PERLUAS RELASI DENGAN MAGANG, MAHASISWA ILMU PEMERINTAHAN MAGANG DI KPU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Yogyakata. 9/8/2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Sebanyak 5 (lima) mahasiswa dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” berkesempatan mengikuti magang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jl. Ipda Tut Harsono No.47, Muja Muju, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Rabu, 9/8 2023)

Magang adalah hal yang sangat bermanfaat terutama untuk mahasiswa dari APMD bernama Irene Bertha Zalukhu, Irene yang notabene sebagai mahasiswi angkatan 2019 yang telah menyelesaikan studi S1 lewat sidang akhir di bulan April kemarin, menggunakan waktu liburan untuk sesuatu yang bermanfaat.

Bermodal dari keingintahuan dan juga semangat kerja kerasnya ia mencari informasi dan relasi untuk magang mengisi waktu luang. Dari salah satu dosen Ilmu Pemerintahan APMD yang juga sebagai tim seleksi komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Bapak Juang Gagah Mardhika, S.IP., M.Sos., Irene melakukan tanya jawab terkait dengan informasi magang di KPU. Banyak mahasiswa dari kampus lain seperti UAD, UKRIM yang juga pernah magang, sekarang APMD menjadi salah satunya.

 Untuk syarat dan ketentuan magang sendiri yaitu menyertakan CV (Curriculum Vitae) berisi identitas, riwayat pendidikan, pengalaman profesional, prestasi dan lainnya, anjuran magang selama 2 (dua) bulan dan mendapatkan sertifikat magang yang diterima di akhir masa magang di KPU DIY. Dengan segala prestasi dan pengalaman profesional terutama dalam bidang Ilmu Pemerintahan, Irene berhasil untuk memenuhi syarat magang yang ditentukan oleh KPU DIY.

Tidak hanya sendirian, Irene juga bersama dengan mahasiwa dari angkatan 2021 yaitu Arviani, Aurin, Putri Gabriel dan Widia. Memilih KPU sebagai tempat untuk magang merupakan hal yang tepat, dari program studi Ilmu Pemerintahan yang belajar juga tentang demokrasi, dan KPU ini salah satu komisi yang mewujudkan tentang demokrasi itu, kuliah sekedar teori, praktek hanya didapatkan disaat kesempatan magang seperti ini, mahasiswa akan di perkenalkan tentang serangkaian proses pemilu, proses calon bisa mendaftar, dan teknis lainnya yang hanya diketahui dari magang.

Ada 3 (tiga) pembagian kerja yaitu bagian hukum dan pemberdayaan, teknis, dan logistik, Irene berada dibagian hukum dan pemberdayaan dan rekan-rekannya mengisi pada bagian lain. Dalam pengalaman Irene selama 1 (satu) bulan magang di KPU DIY ia beserta rekan kerja lainnya melaksanakan program kerja membuat konten kreatif yang berisi video ajakan atau tata cara pemilihan dan segala informasi pemilu yang di muat di sosial media. Dengan perkembangan zaman dan kaum milenial yang semakin melek teknologi membuat terobosan baru untuk informasi yang disampaikan KPU lebih menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Beberapa kegiatan lainnya yaitu ikut dalam rapat verifikasi calon, rapat pleno dan penertiban administrasi serta membuat arsip data dari Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul dan seluruh wilayah di DI Yogyakarta.

Kesan yang didapat Irene dari pengalamannya magang di KPU DIY, “Kita bisa tahu praktek langsung di lapangan seperti apa, bukan soal mencari materi tetapi pengalaman berharganya, bukan hanya sertifikat tetapi itu adalah tiket untuk mewujudkan apa yang diharapkan.” Teman-teman mahasiswa diajak untuk tetap sejalur mencari pengalaman sesuai bidang atau jurusan serta potensi yang dimiliki. Belajar dari pengalaman menjadi staff di KPU DIY juga termasuk harapan Irene untuk meneruskan karirnya di lembaga Pemerintahan. Penulis (Gsn)

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA UNGGUL MENDAPATKAN BANTUAN HIBAH DARI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

17 April 2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – STPMD “APMD” menjadi salah satu Perguruan Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dapat menembus ke tingkat Nasional dan meraih HIBAH Program Kompetisi Kampus Merdeka (PK-KM) Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Liga-3 tahun 2023 dengan mendapatkan Dana Hibah yang disediakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebesar Rp 1 Miliar.

Ketua Tim Dr. Irsasri, M.Pd. Menyampaikan, “Kita bertarung hebat karena kita harus mempertahankan bahwa ini program penting untuk Kampus STPMD “APMD”, karena apa? Manfaatnya adalah untuk reputasi STPMD “APMD”, yang  ke dua untuk siapa? untuk para mahasiswa, karena kita memperjuangkan di sini inginnya teman-teman prodi IP, PS, IK itu punya pengalaman diluar dengan kegiatan seperti pertukaran mahasiswa,” ungkapnya.

Dengan berbagai pertimbangan Akhirnya Dana Hibah PK-KM yang disetujui oleh Dikti untuk STPMD “APMD” adalah Rp 782.148.340.

Hibah PK-KM MBKM yang diterima oleh STPMD ”APMD” ini buah kerja keras banyak pihak. Ketua, Para WK, Pengurus Prodi, Tim Panitia Penyusunan Proposal, Tim Taskforce PKKM MBKM STPMD “APMD”, dan seluruh Unit Kerja serta mahasiswa STPMD “APMD”.

Sekalipun melalui pertarungan hebat dan berhadapan dengan tim penilai untuk mempertahankan program yang diusulkan, namun berkat kerja keras seluruh tim STPMD “APMD” bisa membuahkan hasil dalam mendapatkan Hibah untuk perkembangan intelektual.

Dr. Irsasri melanjutkan, “Bukan kerja Inti dari kami, ini kerja tim besar meskipun yang kami bertarung ke sana (Nasional) hanya 3 orang karena kami dipercaya untuk bertarung di sana, kami punya keberanian itu saja sebenarnya. Saya hanya sebagai pembuka pintu saja, selanjutnya saya mohon semua SDM di STPMD, mau dosen, mahasiswa semua kita sudah punya reputasi lanjutkan ini, mau hibah apapun ikutilah,” imbuhnya.  

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah menetapkan kebijakan Kampus Merdeka pada tahun 2020 sebagai bentuk transformasi pendidikan tinggi dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan program sarjana.

Sasaran yang ingin dicapai melalui transformasi pendidikan tinggi adalah (1) meningkatnya kualitas lulusan pendidikan tinggi, (2) meningkatnya kualitas dosen pendidikan tinggi, dan (3) meningkatnya kualitas kurikulum dan pembelajaran yang diukur melalui 8 (delapan) Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 03/M/2021.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi berupaya mendorong, memfasilitasi, dan mempercepat perguruan tinggi dalam menerapkan kebijakan Kampus Merdeka serta mencapai 8 (delapan) Indikator Kinerja Utama tersebut dengan merancang suatu program kompetisi yang dikemas dalam Program Kompetisi Kampus Merdeka (PK-KM). Program ini dirancang dalam 3 (tiga) liga dimana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dapat berkompetisi sehat sesuai dengan aturan pada tiap liganya.

PK-KM merupakan program kompetisi terbuka, dengan sistem seleksi berkelompok (tiered system). PK-KM dapat mencakup program studi dan program di tingkat institusi yang diutamakan untuk sistem pengelolaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau disebut Institutional Support System (ISS) – MBKM.

Secara khusus PK-KM di tingkat program studi bertujuan untuk meningkatkan mutu, relevansi dan inovasi pendidikan tinggi untuk merespons dan mengantisipasi perkembangan IPTEK di masa depan sesuai dengan keunggulan program studi dan meningkatkan kerjasama dengan DUDI dan top world class universities dalam rangka transformasi pendidikan tinggi untuk mendapatkan pengakuan internasional dan meningkatkan daya saing bangsa.

PK-KM ISS-MBKM secara khusus ditujukan untuk memperkuat tata kelola MBKM dan memfasilitasi implementasi kampus merdeka untuk mendukung transformasi pendidikan tinggi yang dilaksanakan di seluruh program studi.

Pengembangan sekolah tinggi dilakukan melalui perubahan sistematis dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan program sarjana melalui penerapan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).

Meskipun sekolah tinggi belum memiliki sistem pengelolaan MBKM yang terstruktur, namun telah terbuka ruang bagi mahasiswa untuk melaksanakan MBKM dengan semangat ilmu guru, ilmu buku, dan ilmu laku. Kemerdekaan belajar bagi mahasiswa dilaksanakan untuk membentuk sarjana yang berpihak dan bermanfaat bagi rakyat.

“Sarjana Rakyat” adalah penjaga republik (republic guardian) dan agen perubahan yang dedikatif, patriotik, responsif dan berpihak pada rakyat. Upaya ini dilakukan dengan membangun sistem pengelolaan MBKM mencakup regulasi, kelembagaan dan Institutional Support System (ISS). Sistem pengelolaan MBKM tersebut dimanifestasikan oleh STPMD “APMD” melalui platform Kampus Merdeka – Sarjana Rakyat.

STPMD “APMD” mengajukan proposal PK-KM mencakup ISS MBKM, Prodi Ilmu Pemerintahan dan Pembangunan Sosial. Namun dalam seleksi yang dilaksanakan STPMD “APMD” hanya lolos ISS-MBKM, Prodi IP dan PS belum lolos. 

Tahapan berikutnya setelah verifikasi kelayakan proposal melalui sistem kemudian dilaksanakan verifikasi lapangan yang diselenggarakan oleh Dikti di Hotel Pullman Jakarta. Dr. Irsasri, Dr. Sri Widayanti, dan Tatag Annur Laili, A,Md. selaku perwakilan Tim Taskforce PK-KM MBKM STPMD ”APMD” diberi tugas dan tanggung jawab oleh Pimpinan STPMD ”APMD” untuk berangkat ke Jakarta dalam rangka pelaksanaaan verifikasi kelayakan dan presentasi serta mempertahankan proposal yang sudah diajukan.

PK-KM pada perguruan tinggi Liga-3 diharapkan dapat mendorong pengembangan inovasi perguruan tinggi di bidang pembelajaran dengan menerapkan kebijakan Kampus Merdeka agar secara langsung meningkatkan mutu dan efektivitas pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran diharapkan juga mencakup pemutakhiran kurikulum yang memenuhi standar nasional pendidikan tinggi dan disusun bersama mitra eksternal perguruan tinggi. Pembelajaran yang efektif diharapkan dapat meningkatkan mutu kinerja pendidikan tinggi dan relevansi lulusan.

Program-program yang akan dilaksanakan adalah Program ISS-MBKM STPMD “APMD” yaitu 1. Penyusunan dasar hukum dan panduan implementasi MBKM Kampus Merdeka-Sarjana Rakyat, 2. Pengembangan Sistem Informasi Merdeka Belajar-Sarjana Rakyat (SIMBESAR), 3. Pengembangan Kemitraan, 4. Pertukaran Mahasiswa. Dr. Irsasri juga melanjutkan, “Kami datang ke sana dengan tegak, hanya 3 orang dibanding puluhan orang, akhirnya kami buktikan sendiri yang bisa lolos sampai 75% menyaingi Universitas-Universita besar. Kami pulang membawakan berita gembira,” ungkapnya.

PENYERAHAN MAHASISWA KKN TAHUN 2023 SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA KE KAPANEWON NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Senin, 31 Juli 2023 09:57

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, menyerahkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Periode 56 tahun 2023 sebanyak 219 orang mahasiswa.

Penyerahan berlangsung di Kantor Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta,  dihadiri oleh Pimpinan STPMD “APMD”, Panewu (Camat) yang diwakili Panewu Anom (Sekcam), Koramil, Kapolsek, beserta Dosen Pembimbing Lapangan (DPL).  

Ketua STPMD “APMD” Dr. Sutoro Eko Yunanto menyampaikan, “gunakan kesempatan 40 hari ini sebagai kesempatan yang sangat bermakna, secara garis besar kalau dari kita namanya berdesa, berdesa bukan berarti berdusun, bukan berarti kita mengabaikan berdusun akan tetapi maksud saya nanti kerangkanya berdesa”.

Kemudian kita juga mengikuti Visi Kebijakan Gubernur DIY Reformasi Kalurahan, dari sisi belajar, bekerja, termasuk program-program itu kita harapkan pada Reformasi Kalurahan,” ungkapnya.

Sutoro Eko juga menyambung, “Kita berharap dua sisi ya, pertama para mahasiswa semakin kaya akan pengalaman pembelajaran berdesa, kedua apa yang kita lakukan secara bersama-sama ini nanti dapat memberikan makna, manfaat bagi desa-desa atau Kalurahan yang kita dampingi untuk KKN ini,” imbuhnya.

219 Mahasiswa tersebut akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kapanewon Nglipar yang berlangsung dari tanggal 31 Juli 2023 sampai dengan tanggal 08 September 2023,  dan tersebar di 7 Kalurahan yaitu Kalurahan Nglipar 31 Mahasiswa, Kalurahan Pengkol 31 Mahasiswa, Kalurahan Kedungpoh 30 Mahasiswa, Kalurahan Katongan 37 Mahasiswa, Kalurahan Natah 30 Mahasiswa, Kalurahan Pilangrejo 30 Mahasiswa, Kalurahan Kedungkeris 30 Mahasiswa, mereka akan melaksanakan program-program yang telah didapatkan di Kampus untuk dapat diimplementasikan kepada masyarakat.

Panewu Anom (Sekcam) Heru Widiyanta, S. IP. menyampaikan, “Kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian APMD yang berusaha ikut mewujudkan reformasi Kalurahan, semoga KKN bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat kami, intinya berterima kasih banyak atas kepedulian APMD untuk perkembangan Kapanewon Nglipar.

Harapan saya nanti kedepan akan semakin ditingkatkan lagi, baik volumenya, baik eksekusinya ke masyarakat, mungkin dari pihak STPMD khusus Perguruan Tinggi bisa selalu memantau ketika terjadi perkembangan di Kalurahan ucapnya.

KKN ini menjadikan mahasiswa mempunyai sinergi yang dapat diaplikasikan kepada Masyarakat Desa, Perangkat Desa, dan Pemerintah Desa yang sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga membuat program-program yang dapat dijalankan sesuai dengan  keilmuan STPMD “APMD” yang berbasis pada desa. Salah satu Mahasiswa peserta KKN yaitu Oktovia Rika  menyampaikan, “Kesan pertama disambut ramah oleh Kapanewon Nglipar, dimana mereka menerima kami dengan baik dengan bahagia juga, dan kita juga sebagai mahasiswa KKN dengan prinsip kita dimana prinsip kita: bergaul, belajar, bekerja, dan berdesa jadi prinsip itu yang akan kita bawa ke setiap Kalurahan yang ada, semoga dengan KKN ini bisa menambahkan wawasan kita dan sebagai pengabdian kita kepada Masyarakat,” ucapnya.

Peluncuran Buku Dialektika Perubahan Kurikulum STPMD “APMD”

Buku Dialektika Perubahan Kurikulum STPMD “APMD” yang diterbitkan APMD Press, kemarin (17/11) diluncurkan. Buku yang ditulis oleh Dr. Sutoro Eko dkk dan dieditori Dra. MC Candra Rusmala Dibyorini M.Si., itu didiskusikan dengan menghadirkan dua narasumber RR. Leslie Retno Angeningsih Ph.D. dan Ir. Mohammad Barori M.Si., serta dua alumni sebagai penanggap, Laode Rahmat A, S.IP dan Nugie L Kristian S.I.Kom.

Moderator bedah buku adalah Dr. EW Tri Nugroho, Ketua Unit Jaminan Mutu.Pada pengantar diskusi, moderator Tri Nugroho mengatakan, STPMD “APMD” tidak memandang perubahan kurikulum Tahun 2021 semata-mata sebagai “aktivitas rutin” yang biasa, namun sebagai aktivitas yang esensial dan penting . Oleh karenanya, perubahan kurikulum tahun 2021 dilakukan secara serius. Selama kegiatan yang panjang, proses dialektika kritis terjadi dalam melakukan perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum tidak jarang terjebak dalam kebiasaan copy paste. Sekolah Tinggi secara sadar ingin mengatasi kebiasaan itu dengan mengembangkan kebiasaan baru, yaitu kebiasaan dialektika kritis.

Leslie Retno Angeningsih menjelaskan, kurikulum tidak bersifat statis melainkan dinamis, karena kurikulum selalu mengalami peninjauan ulang, revisi, pengembangan, dan pembaharuan dalam kurun waktu tertentu. Peninjauan dan pengembangan kurikulum bertujuan untuk meningkatkan pembelajaran, keterlibatan, pengalaman, dan capaian hasil. Peninjauan kurikulum bermanfaat untuk: Pertama, meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa dengan mengartikulasikan kekuatan program. Kedua, mengidentifikasi tindakan khusus guna mengatasi kesenjangan dalam program akademik. Ketiga, meningkatkan diskusi dan kolaborasi antara instruktur dan pihak-pihak lain yang berperan dalam program, praktik pengajaran dan pembelajaran. Keempat, memberikan kesempatan untuk refleksi kritis terhadap kurikulum program. Kelima, memberikan bukti untuk memandu pengambilan keputusan dalam program. Keenam, memahami hubungan antar beberapa matakuliah dalam suatu program. Pada umumnya, peninjauan kurikulum dilakukan dengan pendekatan sistematis, yaitu melalui penelitian dan seleksi, revisi dan pengembangan, penerapan, dan evaluasi serta pemantauan.

Muhammad Barori mengatakan, kurikulum merupakan jantung perguruan tinggi sekaligus menunjukkan posisi berdiri dan ideologi keilmuan perguruan tinggi. Kurikulum disusun dengan memperhatikan kaidah-kaidah keilmuan maupun kondisi empirik masyarakat, sehingga kurikulum harus inklusif dan senantiasa didialogkan dengan perkembangan keilmuan dan kondisi masyarakat. Ilmu yang baik adalah ilmu yang memberikan manfaat, ilmu amaliah dan amal ilmiah. Dialog dan debat keilmuan yang berlangsung selama proses peninjauan kurikulum 2021 baik pada tingkat program studi, sekolah tinggi, maupun di senat akademik yang saya ikuti, menunjukkan kesadaran yang semakin dewasa dan komitmen keilmuan para dosen STPMD “APMD”. “Dengan semangat berpikir keras berhati lembut, kurikulum 2021 telah tersusun dan disepakati,” tambah Ketua Umum Yayasan Pengembangan Pendidikan “Tujuh Belas” itu.

Laode Rahmat A, berharap ke depan lulusan APMD tidak hanya menjadi PNS, pejabat daerah, kepala desa dan lain-lain, tetapi juga menjadi pengelola, manajer atau direktur BUMDES yang mumpuni. Sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang mengusung desa, APMD harus mampu mencetak lebih banyak manajer BUMDES.

Nugie L Kristian menganggap kurikulum sangat penting. Apa yang pernah ia peroleh di kampus dulu diakui saat ini diterapkan di dunia kerja. Saat ini Nugie bekerja di Econusa Foundation. Ke depan Nugie berharap APMD mempunyai desa binaan yang tidak sekali pukul melainkan berjangka panjang. Selain itu, pada desa binaan itu melibatkan semua prodi yang ada di APMD. (Humas STPMD “APMD”)

HALAL BI HALAL DAN SILATURAHMI KELUARGA BESAR STPMD “APMD” YOGYAKARTA

Selasa, 18 Mei 2021, acara Halal Bi Halal & silaturahmi keluarga besar STPMD “APMD” dihadiri oleh Pimpinan Kampus STPMD, Ketua Yayasan 17, dosen serta seluruh karyawan yang bertempat di gedung pertemuan Ganesha APMD.

Acara Halal Bi Halal dan silaturahmi ini dibuka dengan sambutan dari Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta. Dalam sambutannya Dr. Sutoro Eko menyampaikan “Halal Bi Halal adalah kreatifitas asli orang Indonesia di setiap Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) dan sudah berjalan secaran turun temurun dan tidak ada di negara-negara manapun kecuali Indonesia.

Acara ini diselenggarakan secara sederhana yang diikuti kurang lebih 100 orang dengan protokol kesehatan yang cukup ketat tanpa diperbolehkan berjabat tangan untuk menghindari penularan Covid-19. Halal Bi Halal dan Silaturahmi tahun 2021 ini dilaksanakan hampir sama seperti 2020, mengingat bahwa penyebaran Covid-19 belum juga mereda.

Semoga Halal Bi Halal tahun depan kita sudah bisa kembali berjabat tangan tanpa takut akan penularan Covid-19. Selalu patuhi protokol kesehatan untuk kesehatan kita Bersama. Keluarga Besar STPMD “APMD” mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

BEDAH BUKU “MENJERAT GUSDUR”

Buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama yang sempat fenomenal pada akhir 2019 dan awal 2020, dibedah dan diskusikan di Kampus Desa STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin, 30 November 2020. Tampil sebagai pembicara penulis buku Virdika Rizky Utama dan Tri Agus Susanto, dosen Prodi Ilmu Komunikas, serta moderator Dr. Irsasri.

Diskusi bedah buku “Menjerat Gus Dur” karya alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi dan Humas STPMD “APMD” Yogyakarta di Ruang Sidang yang dihadiri para aktivis mahasiswa dan dosen. Selain itu, diskusi juga bisa diiukuti melalui zoom.

Virdika membuka pembicaraan dengan menyampaikan informasi terakhir bahwa dirinya belum lama ini diundang oleh seorang pengusaha yang namanya disebut dalam buku Menjerat Gus Dur. Pengusaha itu tak mengancam ataupun memuji buku yang menghebohkan itu. Ia hanya menyadari “kebodohan” komplotannya mengapa dokumen yang begitu penting bisa jatuh ke tangan seorang jurnalis cum aktivis? Di akhir pertemuan Virdi dikasih segepok uang dolar Amerika Serikat selembarnya nominal 100 dolar. Virdi menolak dengan halus. “Terima kasih pak, tapi maaf saya tak bisa menerima. Jika bapak mau memberi uang kepada saya belilah buku saya,” ujar Virdi.

Virdi kemudian bercerita tentang asal mula dokumen yang ia dapatkan secara tak sengaja. Saat mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika itu masih menjadi jurnalis di Gatra (2017), ia mendapat tugas mewawancarai seorang tokoh di Partai Golkar di kantor DPP Slipi, Jakarta Barat. Tak sengaja ia mendapat “harta karun” dari sampah yang hendak dibuang atau dijual secara kiloan oleh seorang office boy.

Ternyata yang Virdi temukan adalah dokumen konspirasi penjatuhan Gus Dur yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lintas partai dan organisasi massa pemuda dan mahasiswa hingga keterlibatan media massa.  Virdi kemudian mendiskusikan temuannya dengan para senior di Didaktika. Selain itu, Virdi juga berdiskusi dengan komunitas lain termasuk dengan Savic Ali, penerbit buku yang juga mantan aktivis mahasiswa 1998.

Sepanjang tahun 2018 Virdi melakukan riset di sela-sela tugasnya sebagai jurnalis. Setelah dari Gatra, Virdi pernah bekerja di Narasi yang dipimpin oleh Nadjwa Shihab. Ia kemudian menelusuri dan mewawancarai nama-nama yang disebut pada dokumen itu. Dari Amien Rais, Akbar Tanjung, Priyo Budi Santoso, Mahfud MD, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak sampai Fuad Bawasir. Pendek kata ada puluhan orang ia wawancarai. Tentu saja ada yang menerima dengan baik, ada yang menolak, bahkan Amien Rais sempat mengancam atau menahannya saat diwawancarai Virdi di rumahnya.

Terkait judul buku yang menggunakan kata menjerat, Virdi terinspirasi ketika suatu saat melihat ayam yang dijerat untuk ditangkap. Jeratan terhadap ayam itu tak cuma satu tali tapi beberapa tali. Ini mengingatkan pada persekongkolan para elit politik dan para oligark sisa-sisa Orde Baru yang tak nyaman dan tak ingin Gus Dur sukses menjalankan amanat reformasi.

Bagi sebagaian besar warga NU, ujar Virdi yang sudah berkeliling ke berbagai kota dan pesantren, buku ini semacam air pelepas dahaga, yang selama dua puluh tahun tak dirasakan terkait kebenaran sejarah pelengseran Gus Dur daru kursi Presiden RI. Warga NU sangat percaya, inilah yang pernah disampaikan Gus Dur pada acara Kick Andy kepada Andy Noya, “Nanti sejarah akan membuka kebenaran itu..”

Sebelum meulis Menjerat Gus Dur, Virdi menerbitkan buku tentang Forum demokrasi yang dipimpin Gus Dur berjudul Demokrasi dan Toleransi dalamn represi Orde Baru (2018). Selain pernah di majalah mingguan berita Gatra dan Narasi, Virdi juga pernah menjadi jurnalis majalah Sawit Indonesia dan juga sebagai Fellow Researcher di PARA Syndicate. Kini Virdi sedang menyiapkan kuliah S2 di National University of Singapoe (NUS), yang disebutnya sebagai NU Cabang Sungapura.

Tri Agus Susanto, pembicara kedua, adalah sama-sama aktivis pers mahasiswa di UNJ (dulu IKIP Jakarta) hanya berbeda lima dengan Virdi. Lima tahun? Bukan, lima kali Piala Dunia. Dosen komunikasi politik itu lebih banyak menyampaikan bagaimana proses kreatif Virdi hingga tercipta buku Menjerat Gus Dur. Ia menggarisbawahi bahwa buku ini bisa tercipta karena selain Virdi mempunyai dua modal yaitu metodologi sejarah dan bekal jurnalis, juga keberanian dan kepedulian dari seorang aktivis. Jika hanya bermodal metodologi dan keahlian penulisan tanpa keberanian dan dan kepedulian, mungkin Virdi sudah takut dahulu dengan banyaknya ancaman, dan buku tak jadi terbit.

Panitia menyediakan sepuluh buku Menjerat Gus Dur untuk peserta yang pertanyaannya menarik, baik yang di dalam ruang sidang maupun yang melalui zoom. Sebelumnya Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Habib Muhsin mengatakan diskusi bedah buku ini sebenarnya sudah direncanakan awal tahun ini namun karena ada pandemi Covid 19 sehingga baru bisa dilaksanakan hari ini. Saat ini pun kampus APMD masih kuliah dari sehingga diskusi dilakukan terbatas namun bisa diikuti secara daring melalui zoom.

MERAIH KESEMPATAN DI TENGAH KONDISI KRISIS

Dalam rangka merayakan dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi yang bersahaja ini,  izinkan saya menyampaikan Pidato Kelembagaan Ketua, dengan menyajikan tema “Meraih Kesempatan di Tengah Kondisi Krisis”, yang sekaligus sebagai tanggungjawab kepengurusan kami selama satu tahun terakhir.

Awal tahun 2020 lalu, kami telah memberikan arah Resolusi 2020, guna memperteguh martabat dan meraih kemajuan progesif Sekolah Tinggi. Tiga butir penting Resolusi 2020 adalah: publikasi dan promosi yang progresif untuk mendongkrak animo masyarakat karena mengalami penurunan pada tahun 2019; memperkaya karya keilmuan sesuai mandat Tridarma; dan merayakan Dies Natalis ke-55 bersamaan dengan Munas Kappemada yang lebih seru dan bertenaga.

Sejumlah langkah konkret sudah kita tempuh pada dua bulan pertama. Tetapi fakta berbicara lain. Untuk tidak mengatakan sebagai hambatan, pandemi global hadir menjadi jeda atas Resolusi 2020. Alhamdulillah, kita terhindar dari penularan Covid-19, tetapi pandemi ini membawa dampak serius terhadap penurunan (decline) pelaksanaan Tridarma, aktivitas kelembagaan, aktivitas kemahasiswaan, animo masyarakat dan mahasiswa baru, maupun penerimaan sebagai basis material Sekolah Tinggi. Produksi pengetahuan, sebagai aktivitas keilmuan yang bebas dan merdeka, tanpa terhalang pandemi, juga mengalami penurunan.

Seperti halnya desa mengalami pandemi BLT, kita juga mengalami pandemi dalam bentuk lain. Pertama, pandemi kuliah daring, yang membikin kerepotan bagi proses belajar mengajar, penugasan, dan penilaian terhadap mahasiswa. Kuliah daring secara direct atau secara streaming sungguh menghadapi kendala teknologi, ekonomi, dan akses sehingga tetap ada mahasiswa yang tercecer. “Kuliah tatap muka membuat hidup saya lebih hidup, tetapi kuliah daring membuat hidup saya tidak hidup”, demikian ungkap Prof. Nasrudin Harahap.

Darurat pandemi membuat mahasiswa menuntut “normalisasi pendekatan darurat”, agar para dosen tidak memberi penugasan dan penilaian yang berat. “Pihak kampus dan dosen tidak peka dengan situasi darurat mahasiswa”, demikian ungkap mahasiswa. Kami memenuhi tuntutan itu, meski ketika berhadapan dengan mahasiswa dalam kuliah, saya selalu mengatakan bahwa “mahasiswa berhak bodoh, tetapi tidak boleh malas dan manja dalam berjuang dan belajar”. Kami terpaksa meminta para dosen untuk melonggarkan dan memudahkan dalam penugasan dan penilaian kepada mahasiswa. Bagi sebagian orang, ini adalah “intervensi” yang memberangus kebebasan akademik. Siapapun boleh mempunyai tafsir seperti itu. Tetapi saya juga memiliki makna lain. Kebebasan akademik adalah bicara dan menulis memproduksi pengetahuan secara merdeka. Penilaian lebih tepat ditempatkan pada dimensi pelayanan, bukan pada dimensi kebebasan akademik, agar tidak terjebak menjadi “kuasa akademik”. Pelayanan dalam penilaian tentu bermakna memudahkan, tetapi melayani dan memudahkan bukan pula terjebak menjadi “gampangan” dan “murahan”. Jika mahasiswa memiliki hasrat untuk memperoleh nilai sempurna, maka mereka harus belajar dan berjuang lebih serius. Inilah pendidikan.

Kedua, pandemi NINA (Nomor Ijazah Nasional), sebuah standar teknokratik, yang harus diterapkan tahun depan. Ijazah tanpa NINA paling lambat November 2020. NINA menjadi pandemi karena ada banyak mahasiswa golongan tua “sisa-sisa laskar pajang” yang membuat keprihatinan dan hiruk-pikuk kampus untuk “menolong” dengan tutup mata agar mereka bisa lolos pada tahun ini.  Dengan begitu, “sisa-sisa laskar pajang” yang ditolong itu tidak mempunyai predikat sarjana yang lulus dengan sukses dan selamat, melainkan sarjana yang lolos dengan maklum.

            Dua pandemi itu memberi kita hikmah tentang “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa. Mungkin ada pihak-pihak berhaluan birokratik yang tidak “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa, melainkan “mengajar dan mengendalikan” mahasiswa. Ada pula perbedaan antara kaum idealis versus kaum pragmatis. Kaum idealis, yang biasa bicara “apa yang seharusnya”, tentu anti-pragmatisme dan anti-menolong. Mereka bilang bahwa menolong adalah tindakan pragmatis yang membuat institusi menjadi murahan, sekaligus mengeroposkan integritas dan kualitas institusi. Bagi mereka, mahasiswa harus diajarkan dengan standar ideal, agar mahasiswa menjadi lulusan yang berkualitas. Sebaliknya, kaum pragmatis, yang biasa dengan “apa yang mudah untuk dilakukan”, menuding kaum idealis terlalu kaku tidak melihat kenyataan raw material mahasiswa. Kaum pragmatis melayani dan menolong mahasiswa dengan baik, sembari menuding idealisme yang mempersulit itu, bisa membuat mahasiswa rontok dan calon mahasiswa phobia pada Sekolah Tinggi.             Saya ingin mengatakan bahwa cara birokratik — tidak “mendidik, melayani, dan menolong” – itulah yang membuat rontok dan phobia, sehingga harus diakhiri. Di sisi lain, kami memberi arah “realisme-kontekstual” yang menghubungkan secara koheren antara idealisme dan pragmatisme. Kita tidak bisa menerapkan idealisme dan pragmatisme sebagai standar yang standar dan seragam pada setiap mahasiswa.

Idealisme tentu merupakan fondasi dan tradisi pendidikan yang menggembleng, mencerahkan dan membebaskan, agar para mahasiswa menjadi “orang” dan sarjana sujana yang berilmu, kritis, mandiri, dan amaliah. Kalau Sekolah Tinggi pengin kuat dan jaya, maka idealisme harus ditumbuhkan. Sebagai contoh adalah nasehat Prof. Nasrudin Harahap, “Yang membuat mahasiswa menjadi orang bukan selembar ijazah, melainkan ilmu yang dimiliki”. Dari sini, saya hendak membedakan antara “idealisme ilmu” versus “idealisme akademik”.  “Idealisme ilmu” berbicara tentang pengetahuan berlandasankan pada filsafat ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dibangun melalui belajar, penelitian, pendidikan, diskusi, dan lain-lain. Ilmu bersifat tanpa batas, menembus ruang dan waktu, tanpa harus menggunakan standar, yang mengikuti petuah Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”.  Dalam mendidik, kita harus menyuntikkan idealisme ini. Sebaliknya “idealisme akademik” berbicara tentang pengetahuan yang mengalami instrumentalisasi, teknikalisasi dan standarisasi secara teknokratik dalam bentuk kurikulum, proses belajar-mengajar, bahan ajar, metode belajar, teknologi pengajaran, satuan kredit semester, rasio dosen-mahasiswa, ujian, penilaian, indeks prestasi, dan lain. Idealisme akademik juga mengajawantah menjadi kebebasan akademik, kompetensi akademik, kemampuan akademik, gelar akademik, sistem informasi akademik, pedoman akademik, portal akademik, administrasi akademik, dan lain-lain. Semua ini disebut sebagai industri akademik atau academic enterprise, untuk mengarahkan perguruan tinggi sebagai korporasi akademik, yang ingkar pada tradisi “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta doktrin Bung Karno “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Antara idealisme ilmu dan idealisme akademik lebih sering tidak berjalan bersama. Banyak teknokrat bergelar tinggi dan banyak memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sundul langit, dengan TOEFL dan TPA yang tinggi, tetapi memiliki ilmu dan penalaran berkasta rendah, serta miskin amaliah untuk rakyat. Indonesia sangat kaya akan teknokrat, yang berhasil mempengaruhi pemerintah serta membuat kebijakan di segala bidang, tetapi mereka gagal memperkuat daerah, memajukan desa, dan memakmurkan rakyat. Para ranah mikro di kampus, kita juga menyaksikan banyak mahasiswa memiliki indeks prestasi yang menjulang tinggi, tetapi kalau mau jujur, ya hanya sebatas prestasi akademik, bukan reputasi ilmu. Sebaliknya orang-orang seperti saya, merasa memiliki ilmu banyak, tetapi mempunyai kemampuan akademik yang jongkok. Ketika mengikuti TOEFL dan TPA, saya selalu gagal, sehingga saya tidak bakat menjadi teknokrat. Apa yang disebut “standar nasional” bukanlah pengajawantahan dari idealisme ilmu, melainkan penerapan idealisme akademik. Mau tidak mau, suka tidak suka, standar idealisme akademik itu harus dijalankan oleh kampus, tanpa peduli secara serius pada idealisme ilmu. Meskipun Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Nadiem Makarim telah melakukan “subversi” atas idealisme akademik, antara lain dengan jargon kampus merdeka, tetapi standar teknokratik tetap berjalan.  Program studi sebenarnya memiliki idealisme ilmu dan otonomi keilmuan, tetapi semua itu mengalami reduksi karena intervensi standar akademik. Standarisasi, misalnya, tidak membuat ketua prodi menjadi “begawan ilmu” melainkan menjadi “mandor akademik”, serupa dengan teknokratisasi yang membuat kepala desa bukan sebagai pemimpin rakyat dan pemerintah yang kuat, melainkan menjadi mandor proyek dana desa.  Tak urung, idealisme akademik yang teknokratik ini, juga bekerja pada ranah relasi antara dosen dan mahasiswa, yang tergelincir menjadi kuasa akademik atas nama kebebasan akademik.

Pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara antara idealisme ilmu dengan pragmatisme, melainkan antara idealisme akademik dengan pragmatisme, sebab idealisme ilmu telah direduksi oleh idealisme akademik. Idealisme ilmu tidak bisa disebut sebagai standar teknokratik, melainkan sebagai hakekat, tantangan dan cita-cita tanpa batas yang harus diperjuangkan dan diraih. Jika komunitas Sekolah Tinggi, termasuk mahasiswa, masih jauh dari idealisme ilmu, itu adalah tantangan yang harus kita sambut dengan serius. Kita harus melakoni proses untuk menjadi (becoming) terus-menerus sesuai idealisme ilmu.

Pertama, pendidikan adalah mandat dan jalan untuk mencapai idealisme ilmu. Sekolah Tinggi mempunyai panggilan mendidik mahasiswa agar anak-didik ini menjadi orang berilmu, meskipun tidak harus menjadi ilmuwan. Hasrat ingin tahu dan imajinasi anak-didik merupakan hakekat sukses pendidikan, melampaui (beyond) kebiasaan akademik berupa pengajaran, ujian, dan penilaian yang menghasilkan indeks prestasi tinggi. Kedua, program studi dan dosen adalah entitas yang mencari, menebarkan, dan mendidik ilmu kepada mahasiswa. Ilmu bukan sebatas kurikulum, bukan pula kumpulan daftar mata kuliah, yang diampu oleh dosen dan diajarkan kepada mahasiswa. Setiap program studi adalah pemegang disiplin ilmu, yang harus memiliki filsafat ilmu, atau memiliki tubuh pengetahuan yang utuh, untuk dijabarkan ke dalam setiap mata kuliah sampai penulisan karya ilmiah mahasiswa. Dalam hal ini, skripsi bukan sekadar sebagai syarat akademik untuk meraih gelar sarjana sesuai dengan standar akademik, melainkan sebagai proses pembentukan pengetahuan bagi mahasiswa. Setiap skripsi, yang paling dasar, harus duduk sesuai ilmunya. Ini idealisme ilmu yang tidak bisa ditawar. Saya sering cerewet pada komunitas Ilmu Pemerintahan, karena mahasiswa menulis skripsi tidak duduk secara keilmuan, entah menulis skripsi bercorak ilmu politik, administrasi publik, ilmu perkantoran, ilmu pariwisata, atau ilmu pengelolaan (manajemen).

Idealisme ilmu memang dikerangkai dan dijalankan dengan standar-rezim akademik yang juga disebut idealisme itu. Tidak sedikit mahasiswa yang tercecer, atau jauh dari harapan, idealisme ilmu. Namun mahasiswa yang tercecer dari dari idealisme ilmu tidak akan terkena sanksi akademik, kecuali risiko di kemudian hari karena yang bersangkutan tidak berilmu secara memadai. Sebaliknya mahasiswa yang tercecer secara akademik bisa dilihat secara nyata, yaitu mereka yang saya sebut sebagai “sisa-sisa Laskar Pajang”, yang kerap berurusan dengan Wakil Ketua, bahkan melibatkan orang tua untuk bertemu Ketua. Baik idealisme ilmu maupun idealisme akademik, dalam praktik, kerap berjumpa dengan pragmatisme. Idealisme ilmu adalah perbuatan mendidik dan mengetahui. Idealisme akademik adalah perbuatan melayani, mengajar, menguji, menilai, bahkan menghukum, sesuai standar akademik. Pragmatisme adalah perbuatan menolong dengan menurunkan harapan idealisme ilmu dan standar idealisme akademik. Idealisme ilmu, yang tanpa batas itu, bisa dibuat kontekstual dan lentur sesuai kondisi, tetapi tetap harus berproses sampai batas yang tidak bisa ditembus lagi. Inilah mendidik. Idealisme akademik, atau standar akademik yang baku, memang harus dijalankan oleh menjaga integritas (bukan kualitas) dan akuntabilitas, tetapi ketika menghadapi mahasiswa yang tercecer, maka harus ada pertolongan secara pragmatis. Dalam kasus seperti ini, kita tidak boleh kaku dan ketat menerapkan kuasa akademik, melainkan harus dengan siasat. Kami tidak akan campur tangan terhadap penerapan idealisme ilmu, tetapi kami akan campur tangan terhadap penerapan kuasa akademik terhadap mahasiswa yang tercecer. Namun pragmatisme tidak boleh ditaruh di depan mendahului idealisme ilmu dan idealisme akademik. Pragmatisme tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai standar dan menu utama. Kalau pragmatisme menjadi standar dan menu utama, maka kita akan menjadi murahan dan lemah. Ia bukan standar dan menu yang berada di depan, melainkan tindakan afirmatif-residual di tengah atau di penghujung perjalanan, untuk memudahkan dan menolong para mahasiswa tercecer yang tidak sanggup dan lulus mengikuti idealisme.  

Sebagai refleksi kritis saya ingin mengatakan bahwa kita lebih banyak bergulat dengan idealisme akademik ketimbang idealisme ilmu, yang kerapkali berjumpa dengan pragmatisme baik di depan maupun di belakang. Sebagai resolusi baru, kita harus berdiri dan berbuat mendidik idealisme ilmu secara serius-seksama; melayani idealisme akademik secara lentur dan mudah; sekaligus menolong secara pragmatis-afirmatif terhadap mahasiswa yang tercecer dari idealisme.

Animo masyarakat, input mahasiswa, dan penerimaan, yang saya sebut sebagai kemakmuran, sungguh merupakan tantangan serius bagi Sekolah Tinggi. Tahun 2019 lalu input mengalami penurunan 29% dibandingkan dengan tahun 2018, dan menurun lagi 14% pada tahun 2020. Saya selalu mengatakan bahwa input merupakan sebuah misteri, meskipun fakta empirik – seperti kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin ketat, hingga daya beli yang menurun di tahun krisis pandemi – merupakan variabel yang bisa diperhitungkan secara rasional. Misteri bukan bermakna tetuko: sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Faktanya bisa kita pahami.

Pertama, selama puluhan tahun, input dari Nusa Tenggara Timur selalu menempati ranking satu. Tahun ini, NTT digeser oleh Kalimantan Barat. Apakah ini karena daya beli masyarakat NTT menurun drastis bila dibandingkan dengan daerah lain? Sebaliknya animo dan input dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah justru sedikit meningkat, yang menempatkan DIY pada urutan ketiga setelah Kalimantan Barat. Dengan begitu, daya beli bukan faktor tunggal.

Kedua, meskipun input agregat Sekolah Tinggi mengalami penurunan, tetapi input untuk Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Magister Ilmu Pemerintahan malah mengalami peningkatan, bahkan Prodi Ilmu Komunikasi menggeser Prodi Pembangunan Sosial. Ketiga, meskipun jalur gethok tular merupakan strategi kearifan lokal yang mujarab, namun fakta juga menunjukkan bahwa input dengan jalur online meningkat secara signifikan. Saya tidak mengatakan gethok tular dan promosi tatap muka itu buruk, tetapi peningkatan jalur online merupakan sebuah gejala positif, yang dalam dunia bisnis disebut diversifikasi:

dari promosi ke reputasi, dari personal ke impersonal, dari mendengar ke mengetahui, dari pendekatan berbasis input ke pendekatan berbasis output, dan seterusnya. Semua ini adalah kekuatan dan kesempatan yang baik dan terbuka bagi Sekolah Tinggi.

Jika input merupakan misteri, maka naluri dan keyakinan merupakan jalan untuk membukanya, tentu dengan kalkulasi rasional, yang mengarah pada inovasi dan diversifikasi. Dalam konteks ini, saya berulang kali mengatakan sejumlah hal dan arah. Pertama, tanpa mengabaikan banyak daerah di seluruh penjuru negeri, DIY dan Jawa Tengah, merupakan ceruk menarik. Dua daerah ini bukan hanya dekat secara fisik tetapi dekat secara sosial dengan  Sekolah Tinggi, karena pergaulan Tridarma kita dari daerah ke daerah serta dari desa ke desa, seiring dengan hiruk-pikuk tradisi berdesa berkat stimulus UU Desa. Kedua, memperkuat pendekatan output dan reputasi untuk keperluan input dan promos, atau yang kerap disebut dengan pendekatan “unjuk gigi”. Perbuatan paling sederhana adalah “iklan yang berkonten, dan konten yang diiklankan”. Ketiga, sesuai dengan yang kedua, kita harus agresif berselancar di dunia maya, bukan hanya menampilkan informasi kegiatan kampus, tetapi menghadirkan (representasi) atas gagasan, pengalaman, dan pengetahuan kita kepada masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah karya buku kita “Mengabdi dan Melayani Desa”, yang akan kita luncurkan segera.

Penurunan input harus kita refleksi sebagai krisis, meski krisis Sekolah Tinggi tidak separah dunia usaha yang babak balur karena pandemi. Kita tetap melayani hak-hak pegawai seperti sedia kala, tidak ada penundaan dan tidak ada pemulangan. Kami merespons krisis dengan rasionalisasi. Rasionalisasi mengandung efisiensi, tetapi efisiensi tidak sama dengan rasionalisasi. Kami memahami rasionalisasi sebagai bentuk penggunaan nalar dalam penggunaan sumberdaya, perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan berbagai aktivitas Tridarma dan pelayanan. Kita gunakan nalar daya-guna, hasil-guna dan tanggungjawab, untuk mengelola anggaran tahun 2020 maupun 2021, membiayai kegiatan penting dan mendesak, yang mendukung-mendongkrak promosi, inovasi, dan reputasi. Publikasi karya keilmuan (gagasan, pengalaman, dan pengetahuan) melalui jurnal, buku, diskusi, media sosial, dan lain-lain merupakan aktivitas penting untuk promosi, inovasi dan reputasi itu.

Di tengah pandemi, kerja kelembagaan Sekolah Tinggi terus berjalan. Sejak Maret, kami menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan kampus sepi seperti kuburan tetapi juga tidak boleh membuat ramai seperti pasar. Kerja dari rumah (work from home) hanya berlangsung singkat dari pertengahan Maret hingga akhir Mei 2020. Sejak Juni hingga sekarang, kita tetap bekerja di kantor, dengan protokol moderat dan semangat sluman slumun slamet; melakukan kerja kelembagaan yang tidak pernah habis. Rapat, sebagai kerja kelembagaan, tidak pernah kendor dilakukan. Sebagai bentuk exercising power, rapat adalah perbuatan komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan eksekusi dalam hal pengaturan dan pelayanan untuk memastikan hak dan kewajiban, maupun mengurai-mengatasi kemacetan administratif (administrative traffic) yang sering muncul. Namun saya selalu mengingatkan bahwa kerja rapat kelembagaan kita jauh lebih banyak-padat ketimbang diskusi pengetahuan. Kalau datang sembilan standar pasti kita akan rapat bertubi-tubi. Saya tidak bermaksud mengatakan rapat kelembagaan tidak penting. Tetapi kalau kita jarang

melakukan diskusi pengetahuan, maka idealisme ilmu kita akan mengalami involusi, yang akan melemahkan reputasi Sekolah Tinggi. Karena kita jarang diskusi, maka keberanian dan kapasitas produksi pengetahuan juga terbatas. Terbukti kerja menulis singkat untuk website juga tidak kunjung hadir, yang karena itu, saya subversi secara cepat dengan Podcast APMD, untuk menebar gagasan, pengalaman, dan pengetahuan.

Akhir kata, meskipun menghadapi krisis, kita sebenarnya memiliki harapan sebagai kekuatan, yang jika kita mau (gelem) dan berani (wani), maka kita bisa (iso) meraih kesempatan yang gemilang di masa depan.  Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang luhur kepada seluruh pegawai yang telah berdikasi dengan loyalitas tanpa batas (satya ananta) kepada Sekolah Tinggi. Juga kepada mahasiswa yang hidup menghidupi dan menghidupkan Sekolah Tinggi. Raihlah kesempatan, kalian adalah masa depan Sekolah Tinggi. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, melimpahkan ridho, hidayah, dan rahmat kepada kita, keluarga besar Sekolah Tinggi. Aaamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,

Timoho, 15 November 2020

Ketua

Dr. Sutoro Eko Yunanto

Deklarasi Mazhab Timoho dan Peluncuran Jurnal Governabilitas Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta

              Publik   lebih  akrab   dengan   istilah   “pakar   politik”   daripada   “pakar   pemerintahan”.   Istilah “pengamat  politik” lebih sering kita dengar daripada  “pengamat  pemerintahan”.  Padahal,  para pakar tersebut sedang mengamati proses berpemerintahan,  membahas orang-orang yang diberi kuasa untuk memerintah,  seni dan cara memerintah,  kebijakan pemerintah,  dan seterusnya. Gambaran sederhana ini menunjukkan bahwa posisi Ilmu Pemerintahan selama ini seolah-olah ada dalam kendali ilmu Politik. Pada saat yang sama, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia kebanyakan  terjebak  pada “ilmu perkantoran”  yang sangat  bermuatan  administrasi.  Jika Ilmu Hukum berbicara   soal   legalitas,   dan   Ilmu   Politik   berbicara   soal   legitimasi   yang   demokratis,   maka   apa sesungguhnya yang dibahas oleh Ilmu Pemerintahan?  

Dalam  rangka  menjawab  pertanyaan   tersebut,  Prodi  Ilmu  Pemerintahan   STPMD   “APMD” Yogyakarta  menyelenggarakan   Webinar  dengan  tema  “Dekolonisasi  Ilmu  Pemerintahan”  sekaligus peluncuran  JURNAL  GOVERNABILITAS  yang  diselenggarakan  pada  hari  Kamis,  16  Juli  2020  serentak melalui  webinar  dengan  aplikasi  Zoom  dan  Seminar  internal  di  Kampus  STPMD  “APMD”  Yogyakarta dengan  menerapkan   protokol   kesehatan   COVID-19.   Webinar  ini  membahas   mengenai   kontribusi keilmuan    para    akademisi    di    Indonesia    dalam    merekonstruksi    Ilmu    Pemerintahan    sekaligus menyelamatkannya  dari krisis  identitas.  Kegiatan  Webinar  ini  menghadirkan  narasumber,  pembahas, dan moderator yaitu:  

1.    Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua STPMD ”APMD”– Pembicara utama)

2.    Dr. Fadhillah Harnawansyah (Universitas Musi Rawas – Pembahas)

3.    Andi Luhur Prianto, M.Si (Universitas Muhammadiyah Makassar – pembahas)

4.    Dr. Krisno Hadi, M.IP (Universitas Kristen Palangkaraya- Pembahas)

5.    Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si (Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – Pembahas)

6.    Mansetus Darto (Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit- Pembahas)  

7.    Gregorius Sahdan,S.IP, M.A (Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” – Moderator)  

Menurut Sutoro Eko, ada dua tradisi utama yang berpengaruh dalam perkembangan kajian Ilmu Pemerintahan  di Indonesia,  yaitu  tradisi  mazhab  Anglo-Saxon  dan tradisi  mazhab  Kontinental Eropa. Tradisi   Anglo-Saxon   berasal   dari  Inggris   dan  berkembang   di  Amerika   yang   menganggap   bahwa pemerintahan   adalah  politik  plus  administrasi.   Tradisi  ini  dibawa  oleh   para  ilmuwan  politik  dan adminsitrasi yang bersekolah di Amerika maupun Inggris, kemudian dibawa ke Indonesia yang kemudian diturunkan  dalam konstitusi.  Sementara  tradisi Kontinental  Eropa yang syarat dengan muatan hukum merupakan warisan Romawi, yang berkembang di Prusia dan Jerman dengan nama Kameralisme. Tradisi ini dibawa oleh Belanda ke Indonesia dengan sebutan bestuurkunde. Bestuurkunde  inilah yang banyak berkembang di Indonesia dan disebut sebagai “Ilmu Pemerintahan”. Padahal, di Belanda bestuur adalah administrasi   dinas-dinas   negara,   yang   kemudian   oleh   generasi   baru,   bestuurkunde   merupakan administrasi publik Belanda.  

Karena ‘benturan  antar mazhab’ tersebut  di atas, maka Ilmu Pemerintahan  yang diajarkan  di Indonesia  menjadi tidak jelas secara ontologis.  Ilmu Pemerintahan  seolah-olah  anti pada  politik,  lupa

pada  hukum,  namun  enggan  pada  administrasi.  Karena  problem  inilah  maka  sudah  saatnya  para ilmuwan di Indonesia harus berani merekonstruksi  Ilmu Pemerintahan  yang bisa berdiri tegak sebagai sebuah disiplin keilmuan sekaligus berguna bagi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara.   

Berangkat  dari keresahan itu, setelah melalui proses dialektika yang panjang dan  melelahkan, Prodi  Ilmu  Pemerintahan   STPMD  “APMD”   Yogyakarta   mencoba   mendudukkan   ulang  posisi  Ilmu Pemerintahan    yang   dibingkai   dengan   lima   konsep   kunci   (5G),   yaitu   government,    governing, governability,  governance,  dan governmentality.  Kelima konsep kunci ini  bisa menjadi roh, spirit, dan substansi dari disiplin Ilmu Pemerintahan yang khas Indonesia dan mampu memuliakan rakyat. Kelima konsep  kunci  ini  juga  diharapkan   mampu  menjawab   berbagai   problema   yang  terjadi  di  tengah masyarakat Indonesia sehingga Ilmu Pemerintahan dapat menjadi ilmu yang mampu memuliakan rakyat dan desa.

Menurut  Andi  Luhur  Prianto,  selaku  pembahas  dari  Universitas  Muhammadiyah  Makassar memiliki  keresahan  yang  sama,  bahwasannya  Ilmu  Pemerintahan  saat  ini berada  dalam  masa  kritis. Meski Ilmu Pemerintahan  memiliki ciri khasnya sendiri diberbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, namun, saat ini Ilmu Pemerintahan  bersifat lebih praktis dan hanya sedikit sekali yang membicarakan Ilmu  Pemerintahan   secara   khusus   dengan   melihat   ontologi,   epistimologi,   maupun   aksiologisnya. Dideklarasikannya  Mazhab Timoho oleh STPMD “APMD”  Yogyakarta  seperti sebuah oase dalam masa kritis  Ilmu Pemerintahan  dewasa  ini karena  mampu  membuat  pemetaan  yang cukup jelas mengenai posisi Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Mazhab timoho diharapkan mampu membawa Ilmu Pemerintahan keluar dari bayang-bayang ilmu politik maupun administrasi dan membawa Ilmu Pemerintahan tidak lagi bersifat  praktis  namun  mampu   melihat  fenomena  yang  ada  secara  luas,  serta  berpihak  kepada masyarakat kecil seperti yang selama ini menjadi fokus dari prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

              Sementara  menurut  pembahas  Drs.  Urbanus  Ola  Hurek,  M.Si  dari  Universitas  Katolik  Widya Mandira  Kupang  mengemukakan  bahwa  selama  ini  Ilmu  Pemerintahan  berada  dalam  cengkeraman ilmu-ilmu  lain  yang  lebih  dominan.  Ilmu  Pemerintahan  selama  ini  juga  mengalami  tumpang  tindih dengan  ilmu  lain  seperti  Ilmu  Hukum,  Ilmu  Administrasi,   maupun  Ilmu   Politik.  Mazhab  Timoho diharapkan   mampu   mengisi   dekolonisasi   Ilmu   Pemerintahan   dan   kemudian   memperjelas   serta mempertegas   posisi  Ilmu  Pemerintahan   dalam   perkembangannya  kedepan.  Mazhab  timoho  juga diharapkan mampu membebaskan Ilmu Pemerintahan yang selama ini cenderung memberikan tempat istimewa  untuk pemerintah  yang  tidak berpihak  kepada rakyat dan mendorong  berkembangnya  Ilmu Pemerintahan yang terfokus kepada rakyat kecil.  

              Berbeda dengan pendapat dari Dr. Krisno Hadi, M.IP dari Universitas Kristen Palangkaraya yang mengkritisi  Mazhab  Timoho  ini.  bahwa  mazhab  timoho  diharapkan  mampu  menjadi  ilmu  semesta maupun ilmu pribumi sehingga konsep kunci 5G  mampu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia supaya mudah dipahami oleh seluruh pihak yang concern terhadap Ilmu Pemerintahan.  Mazhab timoho juga diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang didapatkan oleh Ilmu Pemerintahan dewasa ini, antara lain posisi Ilmu Pemerintahan yang masih kabur dan belum memiliki batasan jelas dibandingkan dengan ilmu-ilmu  lain seperti Ilmu Politik,  Ilmu Administrasi,  dan sebagainya.  Mazhab  ini diharapkan juga mampu mendekolonisasi Ilmu Pemerintahan sehingga mampu membedakan sekaligus memetakan antara fakta politk dengan fakta pemerintahan.

              Sementara  Mansetus  Darto  selaku  Sekjen  Serikat  Petani  Kelapa  Sawit  yang  juga   sebagai pembahas di webinar ini menggunakan konsep kunci 5G dari mazhab timoho untuk melihat realitas dan fakta praktis di sektor sawit. Dimana konsep Government dalam sektor sawit dapat  digunakan  untuk melihat bagaimana berbagai dinas terkait dalam melayani pelaku di sektor sawit belum efektif, selama ini masih berbelit-belit  dan masih berpihak  kepada  pemilik  kekuasaan  maupun  pemilik  modal besar. Kemudian  konsep governing  digunakan  untuk melihat bagaimana  pemerintah  atau  pemberi  ijin  lebih

‘melayani’ dan memudahkan prosedur aturan untuk korporasi dan konglomerasi sawit di Indonesia dan

kurang berpihak kepada rakyat yang berprofesi sebagai petani sawit.  Sementara konsep governability

Yogyakarta, 16 Juli 2020

Dua Dosen APMD Menjadi Narasumber Kongres Kebudayaan Desa 2020

Pada 1-10 Juli 2020 serangkaian webinar Kongres Kebudayaan Desa telah digelar. Sejumlah 100 narasumber, 20 moderator dari berbagai keahliahnya masing-masing, mulai dari Papua hingga Aceh. Puluhan ribu peserta juga dari segala penjuru Tanah Air bergabung selama kongres.

Menurut Ketua Kongres Kebudayaan Desa, Ryan Sugiarto, semenjak Covid-19 menyebar ke pelosok Nusantara, orang-orang kota berbondong pulang ke desa. Kota-kota besar yang selama ini didamba demi rupiah luluh lantak. Kembalinya orang-orang ke desa seharusnya jadi lonceng pengingat bagi Indonesia bahwa desa kembali menjadi penyelamat bagi rakyat di tengah badai krisis Covid-19.

Ryan Sugiarto menambahkan, melalui Kongres Kebudayaan Desa siasat kebudayaan dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi. Pandemi mengajarkan sisi positif, manusia dengan segala daya, akal budi, dan kreativitasnya harus mencari ruang “perlawanan” yang lebih baik. Menyerah berarti mengantarkan kematian dan kemanusiaan. Maka, tak ada kata lain selain terus berjuang, dan perjuangan itu harus dimulai dari desa. Sebuah entitas negara paling dekat dengan warganya. Tak ada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan warga selain desa.

Dua dosen Sekolah Tinggi embangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta, Ketua Sutoro Eko dan dosen Ilmu Komunikasi Tri Agus Susanto ikut menjadi pembicara webinar Kongres Kebudayaan Desa. Sutoro Eko, tampil pada sesi weninar ke13: Hukum dan Politik Desa: Membangun Habitus Politik dan Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia Dalam Tatanan Indonesia Baru. Sementara Tri Agus Susanto menjadi pembicara webinar sesi ke 18 (terakhir): Komunikasi, Media dan Influencer: Merumuskan Kebujakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan Desa menuju Indonesia Baru.

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko menilai desa sejauh ini masih dikelola dengan paradigma kolonial. Desa masih dipandang sebagai entitas yang formalistik, disibukkan dengan urusan administrasi. Pembangunan di desa masih menggunakan cara-cara teknokrasi. Ia mencontohkan bagaimana paradigma teknokrat tak berhasil menyejahterakan desa. “Misalnya keterbelakangan desa harus diselesaikan dengan modernisasi [paradigma teknokrasi]. Tapi sudah lama modernasi gagal menyejahterakan desa,” papar dia.

Padahal, menurut Sutoro Eko, ada misi penting yang diemban pemerintah tak terkecuali desa, “Hakikat pemerintah itu protecting [melindungi] dan distributing (mendistribusi). Protecting misalnya menjaga keselamatan dan kelestarian alam, memproteksi rakyat dari perampasan elit [sumber daya dan sebagainya]. Protecting itu juga bisa soal kesehatan. Distributing misalnya mendistribusi dana desa,” jelas Sutoro Eko.

Sementara itu pada sesi terakhir, melalui Kongres Kebudayaan Desa, Tri Agus Susanto, staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta, mengatakan pola komunikasi dalam kepemimpinan memilki peran penting dalam membuat desa bertahan terhadap ruralisasi. “Kalau desa bisa mengelola komunikasinya, sumber dayanya, maka desa bisa bertahan saat pandemi,” ujar Tri Agus (10/7).

Tri Agus menekankan gaya kepemimpinan yang paling sesuai untuk menyiapkan desa menghadapi beragam krisis akibat pandemi adalah kepemimpinan inovatif-progresif yang ditandai dengan mengelola kekuasaan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Tipe kepemimpinan ini membuka seluas-luasnya ruang partisipasi masyarakat, transparan dan akuntabel, yang diharapkan mampu mengajak masyarakat berprakarsa dan berpartisipasi membangun desa sebagai kekuatan ekonomi.

Dari sini, Tri Agus kemudian menyebutkan pola komunikasi yang dipilih juga berfokus pada partisipasi warga. Menurutnya, para pimpinan desa diharapkan menggunakan pola komunikasi kombinasi antara gaya komunikasi khas desa dan kekinian. Kepala desa dalam hal ini merupakan influencer harus memadukan gaya komunikasi yang guyub dan kekinian yang menggunakan media sosial dan cepat tanggap. Pun masyarakat harus ikut berperan aktif dalam pola komunikasi ini. “Warga desa dan para perangkatnya harus membangun komunikasi yang baik dengan menggabungkan komunikasi cara lama yang guyup dengan komunikasi yang baru yang berbasis teknologi,” sambungnya. (dari berbagai sumber)

KKN di Kampung Halaman Peduli Covid-19

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko melepas 158 mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 53 di Kota Yogyakarta dan 131 peserta di luar Kota Yogyakarta, Rabu 15 Juli 2020. Pelaksanaan KKN tahun ini bertema KKN Peduli  Pandemi Covid-19. Di satu sisi mahasiswa yang tertahan di Yogyakarta, karena Covid-19,  melakukan KKN di Kota Yogyakarta. Sementara yang tertahan di kampung halaman, melakukan KKN di kampung halaman. Tercatat KKN di luar Kota Yogyakarta tersebar di 19 provinsi, 41 kabupaten dan 65 desa.

Sutoro Eko dalam pembekalan menyatakan bahwa KKN merupakan tempat mahasiswa Bergaul dengan rakyat, memupuk kepekaan melihat dengan konkret. Belajar, menetapkan realitas, memahami hubungan pemerintah desa dengan masyarakat. Bagaimana desa menangani Covid-19. Bekerja, jika diminta Desa untuk membantu menangani pandemi Covid-19, mahasiswa berarti mendapat kehormatan. Berdesa, berhubungan, bersenyawa, tak berjarak, memuliakan desa. Tentu mengritik desa juga bisa, mengritik untuk menguatkan.

Mahasiswa KKN harus mampu memahami desa dengan baik. Cara pandang modernis, Barat, Jakarta, memandang desa itu jadul, miskin, bodoh, malas, SDM rendah. Untuk itu solusinya adalah mengelola desa seperti kota. Pandangan strukturalis menganggap desa sebagai situs penindasan. Elit dianggap lalim dan rakus. Tentu saja pandangan  ini terlalu berlebihan. Pendekatan patologis mungkin benar secara ilmiah tetapi bisa gagal secara amaliah. KKN APMD  Yogyakarta merupakan arena melakukan “berilmu dengan beramal, beramal dengan berilmu.” Selain itu, KKN juga ajang mengabdi dengan meneliti dan meneliti dengan mengabdi.

Sutoro Eko menggarisbawahi jika ada sengketa antara pusat dengan daerah maka harus mendukung daerah. Jika ada sengketa daerah dengan desa maka harus mendukung. Jika ada sengketa antara Desa dengan rakyat Desa maka harus mendukung rakyat. “Jangan lupa membuat story telling. Ceritakan gotong royong, solidaritas sosial di desa tempat KKN,” ujar Sutoro Eko.

Yogyakarta, 15 Juli 2020

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?