Pimpinan dan Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta Mengantarkan Mahasiswa untuk Magang di Bawaslu DIY

HUMAS APMD, YOGYAKARTA ­- Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, mengantarkan 11 Mahasiswa Program Magang selama kurang lebih 2 bulan di Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) DIY, Senin 07 Agustus 2023.

Acara tersebut berlangsung di Kantor Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Jl. DI Panjaitan No.49, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dihadiri oleh Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STPMD “APMD”, Ketua Bawaslu DIY, dan beberapa Dosen.

Wakil Ketua III STPMD “APMD” , Tri Agus Susanto, S. Pd., M.Si. Mengatakan, bahwa Ketua Bawaslu DIY dan Jajaran sangat menyambut kedatangan para mahasiswa dan Dosen.

Tri Agus Susanto menyampaikan, “Belajar itu tidak hanya di kampus tetapi juga di luar kampus,  salah satunya di Bawaslu. Jogja ini ada kampus kecil ada kampus besar, kampus kecil ya “APMD”,  kampus besar ya Jogja yaitu bisa belajar di Perpustakaan, di Museum, dan di Bawaslu. Kalian akan menjadi saksi sejarah pelaksanaan pemilu 2024. Kalian selama dua bulan ini menjadi bagian dari sejarah penyelenggaraan pemilu melalui Bawaslu,” Ujar Wakil Ketua III Tri Agus Susanto.

Kegiatan Mahasiswa di Bawaslu dibagi dalam beberapa bidang antara lain bidang Humas, SDM, Pencegahan, dan lain-lain. Dari sinilah mahasiswa akan mendapatkan sebuah pengetahuan baru untuk mengasah skill yang sudah didapatkan di bangku kuliah, bukan hanya mendapatkan sebuah pengetahuan baru melainkan mendapatkan pengalaman yang akan dibawa untuk masuk ke dalam dunia kerja yang sesungguhnya.

Ia mengatakan, program magang dua bulan ini menjadi pembuka wawasan, bahwa belajar itu tidak hanya di bangku kuliah tetapi langsung ke sebuah lembaga yang mengawasi pemilu, jadi bagaimana pengawasan pemilu, mahasiswa menjadi lebih tahu untuk mencegah pelanggaran sebelum terjadi. Karena terjun langsung di lembaga yang bertugas sebagai pengawas pemilu mahasiswa bisa mendapatkan pengalaman yang sangat berharga untuk bekal nanti.

“Kami berharap  ini bukan menjadi yang pertama, ini akan menjadi kerjasama berikutnya. Jadi saya mengusulkan dalam waktu tidak lama lagi akan segera menandatangani MoU antara “APMD” dan Bawaslu untuk kerja-kerja yang lain sehingga tidak hanya magang saja, misalnya apakah penelitian ataupun kegiatan lain yang bisa di rumuskan bersama. Intinya dengan membuka pintu melalui magang itu akan membukakan pintu kerja sama yang lebih besar “APMD” dan Bawaslu di kemudian hari,” Ungkap Tri Agus Susanto.

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA UNGGUL MENDAPATKAN BANTUAN HIBAH DARI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

17 April 2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – STPMD “APMD” menjadi salah satu Perguruan Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dapat menembus ke tingkat Nasional dan meraih HIBAH Program Kompetisi Kampus Merdeka (PK-KM) Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Liga-3 tahun 2023 dengan mendapatkan Dana Hibah yang disediakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebesar Rp 1 Miliar.

Ketua Tim Dr. Irsasri, M.Pd. Menyampaikan, “Kita bertarung hebat karena kita harus mempertahankan bahwa ini program penting untuk Kampus STPMD “APMD”, karena apa? Manfaatnya adalah untuk reputasi STPMD “APMD”, yang  ke dua untuk siapa? untuk para mahasiswa, karena kita memperjuangkan di sini inginnya teman-teman prodi IP, PS, IK itu punya pengalaman diluar dengan kegiatan seperti pertukaran mahasiswa,” ungkapnya.

Dengan berbagai pertimbangan Akhirnya Dana Hibah PK-KM yang disetujui oleh Dikti untuk STPMD “APMD” adalah Rp 782.148.340.

Hibah PK-KM MBKM yang diterima oleh STPMD ”APMD” ini buah kerja keras banyak pihak. Ketua, Para WK, Pengurus Prodi, Tim Panitia Penyusunan Proposal, Tim Taskforce PKKM MBKM STPMD “APMD”, dan seluruh Unit Kerja serta mahasiswa STPMD “APMD”.

Sekalipun melalui pertarungan hebat dan berhadapan dengan tim penilai untuk mempertahankan program yang diusulkan, namun berkat kerja keras seluruh tim STPMD “APMD” bisa membuahkan hasil dalam mendapatkan Hibah untuk perkembangan intelektual.

Dr. Irsasri melanjutkan, “Bukan kerja Inti dari kami, ini kerja tim besar meskipun yang kami bertarung ke sana (Nasional) hanya 3 orang karena kami dipercaya untuk bertarung di sana, kami punya keberanian itu saja sebenarnya. Saya hanya sebagai pembuka pintu saja, selanjutnya saya mohon semua SDM di STPMD, mau dosen, mahasiswa semua kita sudah punya reputasi lanjutkan ini, mau hibah apapun ikutilah,” imbuhnya.  

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah menetapkan kebijakan Kampus Merdeka pada tahun 2020 sebagai bentuk transformasi pendidikan tinggi dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan program sarjana.

Sasaran yang ingin dicapai melalui transformasi pendidikan tinggi adalah (1) meningkatnya kualitas lulusan pendidikan tinggi, (2) meningkatnya kualitas dosen pendidikan tinggi, dan (3) meningkatnya kualitas kurikulum dan pembelajaran yang diukur melalui 8 (delapan) Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 03/M/2021.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi berupaya mendorong, memfasilitasi, dan mempercepat perguruan tinggi dalam menerapkan kebijakan Kampus Merdeka serta mencapai 8 (delapan) Indikator Kinerja Utama tersebut dengan merancang suatu program kompetisi yang dikemas dalam Program Kompetisi Kampus Merdeka (PK-KM). Program ini dirancang dalam 3 (tiga) liga dimana Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dapat berkompetisi sehat sesuai dengan aturan pada tiap liganya.

PK-KM merupakan program kompetisi terbuka, dengan sistem seleksi berkelompok (tiered system). PK-KM dapat mencakup program studi dan program di tingkat institusi yang diutamakan untuk sistem pengelolaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau disebut Institutional Support System (ISS) – MBKM.

Secara khusus PK-KM di tingkat program studi bertujuan untuk meningkatkan mutu, relevansi dan inovasi pendidikan tinggi untuk merespons dan mengantisipasi perkembangan IPTEK di masa depan sesuai dengan keunggulan program studi dan meningkatkan kerjasama dengan DUDI dan top world class universities dalam rangka transformasi pendidikan tinggi untuk mendapatkan pengakuan internasional dan meningkatkan daya saing bangsa.

PK-KM ISS-MBKM secara khusus ditujukan untuk memperkuat tata kelola MBKM dan memfasilitasi implementasi kampus merdeka untuk mendukung transformasi pendidikan tinggi yang dilaksanakan di seluruh program studi.

Pengembangan sekolah tinggi dilakukan melalui perubahan sistematis dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan program sarjana melalui penerapan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).

Meskipun sekolah tinggi belum memiliki sistem pengelolaan MBKM yang terstruktur, namun telah terbuka ruang bagi mahasiswa untuk melaksanakan MBKM dengan semangat ilmu guru, ilmu buku, dan ilmu laku. Kemerdekaan belajar bagi mahasiswa dilaksanakan untuk membentuk sarjana yang berpihak dan bermanfaat bagi rakyat.

“Sarjana Rakyat” adalah penjaga republik (republic guardian) dan agen perubahan yang dedikatif, patriotik, responsif dan berpihak pada rakyat. Upaya ini dilakukan dengan membangun sistem pengelolaan MBKM mencakup regulasi, kelembagaan dan Institutional Support System (ISS). Sistem pengelolaan MBKM tersebut dimanifestasikan oleh STPMD “APMD” melalui platform Kampus Merdeka – Sarjana Rakyat.

STPMD “APMD” mengajukan proposal PK-KM mencakup ISS MBKM, Prodi Ilmu Pemerintahan dan Pembangunan Sosial. Namun dalam seleksi yang dilaksanakan STPMD “APMD” hanya lolos ISS-MBKM, Prodi IP dan PS belum lolos. 

Tahapan berikutnya setelah verifikasi kelayakan proposal melalui sistem kemudian dilaksanakan verifikasi lapangan yang diselenggarakan oleh Dikti di Hotel Pullman Jakarta. Dr. Irsasri, Dr. Sri Widayanti, dan Tatag Annur Laili, A,Md. selaku perwakilan Tim Taskforce PK-KM MBKM STPMD ”APMD” diberi tugas dan tanggung jawab oleh Pimpinan STPMD ”APMD” untuk berangkat ke Jakarta dalam rangka pelaksanaaan verifikasi kelayakan dan presentasi serta mempertahankan proposal yang sudah diajukan.

PK-KM pada perguruan tinggi Liga-3 diharapkan dapat mendorong pengembangan inovasi perguruan tinggi di bidang pembelajaran dengan menerapkan kebijakan Kampus Merdeka agar secara langsung meningkatkan mutu dan efektivitas pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran diharapkan juga mencakup pemutakhiran kurikulum yang memenuhi standar nasional pendidikan tinggi dan disusun bersama mitra eksternal perguruan tinggi. Pembelajaran yang efektif diharapkan dapat meningkatkan mutu kinerja pendidikan tinggi dan relevansi lulusan.

Program-program yang akan dilaksanakan adalah Program ISS-MBKM STPMD “APMD” yaitu 1. Penyusunan dasar hukum dan panduan implementasi MBKM Kampus Merdeka-Sarjana Rakyat, 2. Pengembangan Sistem Informasi Merdeka Belajar-Sarjana Rakyat (SIMBESAR), 3. Pengembangan Kemitraan, 4. Pertukaran Mahasiswa. Dr. Irsasri juga melanjutkan, “Kami datang ke sana dengan tegak, hanya 3 orang dibanding puluhan orang, akhirnya kami buktikan sendiri yang bisa lolos sampai 75% menyaingi Universitas-Universita besar. Kami pulang membawakan berita gembira,” ungkapnya.

PENYERAHAN MAHASISWA KKN TAHUN 2023 SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD” YOGYAKARTA KE KAPANEWON NGLIPAR, KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Senin, 31 Juli 2023 09:57

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, menyerahkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Periode 56 tahun 2023 sebanyak 219 orang mahasiswa.

Penyerahan berlangsung di Kantor Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta,  dihadiri oleh Pimpinan STPMD “APMD”, Panewu (Camat) yang diwakili Panewu Anom (Sekcam), Koramil, Kapolsek, beserta Dosen Pembimbing Lapangan (DPL).  

Ketua STPMD “APMD” Dr. Sutoro Eko Yunanto menyampaikan, “gunakan kesempatan 40 hari ini sebagai kesempatan yang sangat bermakna, secara garis besar kalau dari kita namanya berdesa, berdesa bukan berarti berdusun, bukan berarti kita mengabaikan berdusun akan tetapi maksud saya nanti kerangkanya berdesa”.

Kemudian kita juga mengikuti Visi Kebijakan Gubernur DIY Reformasi Kalurahan, dari sisi belajar, bekerja, termasuk program-program itu kita harapkan pada Reformasi Kalurahan,” ungkapnya.

Sutoro Eko juga menyambung, “Kita berharap dua sisi ya, pertama para mahasiswa semakin kaya akan pengalaman pembelajaran berdesa, kedua apa yang kita lakukan secara bersama-sama ini nanti dapat memberikan makna, manfaat bagi desa-desa atau Kalurahan yang kita dampingi untuk KKN ini,” imbuhnya.

219 Mahasiswa tersebut akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kapanewon Nglipar yang berlangsung dari tanggal 31 Juli 2023 sampai dengan tanggal 08 September 2023,  dan tersebar di 7 Kalurahan yaitu Kalurahan Nglipar 31 Mahasiswa, Kalurahan Pengkol 31 Mahasiswa, Kalurahan Kedungpoh 30 Mahasiswa, Kalurahan Katongan 37 Mahasiswa, Kalurahan Natah 30 Mahasiswa, Kalurahan Pilangrejo 30 Mahasiswa, Kalurahan Kedungkeris 30 Mahasiswa, mereka akan melaksanakan program-program yang telah didapatkan di Kampus untuk dapat diimplementasikan kepada masyarakat.

Panewu Anom (Sekcam) Heru Widiyanta, S. IP. menyampaikan, “Kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian APMD yang berusaha ikut mewujudkan reformasi Kalurahan, semoga KKN bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat kami, intinya berterima kasih banyak atas kepedulian APMD untuk perkembangan Kapanewon Nglipar.

Harapan saya nanti kedepan akan semakin ditingkatkan lagi, baik volumenya, baik eksekusinya ke masyarakat, mungkin dari pihak STPMD khusus Perguruan Tinggi bisa selalu memantau ketika terjadi perkembangan di Kalurahan ucapnya.

KKN ini menjadikan mahasiswa mempunyai sinergi yang dapat diaplikasikan kepada Masyarakat Desa, Perangkat Desa, dan Pemerintah Desa yang sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga membuat program-program yang dapat dijalankan sesuai dengan  keilmuan STPMD “APMD” yang berbasis pada desa. Salah satu Mahasiswa peserta KKN yaitu Oktovia Rika  menyampaikan, “Kesan pertama disambut ramah oleh Kapanewon Nglipar, dimana mereka menerima kami dengan baik dengan bahagia juga, dan kita juga sebagai mahasiswa KKN dengan prinsip kita dimana prinsip kita: bergaul, belajar, bekerja, dan berdesa jadi prinsip itu yang akan kita bawa ke setiap Kalurahan yang ada, semoga dengan KKN ini bisa menambahkan wawasan kita dan sebagai pengabdian kita kepada Masyarakat,” ucapnya.

Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan

(7/7/2021) Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta melaksanakan Webinar bersama Alumni dengan tema Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan yang diikuti oleh 100 peserta menggunakan Zoom Meeting. Webinar tersebut dimaksudkan untuk merekatkan hubungan Kampus dengan para Alumni serta mengundang beberapa Alumni untuk berpartisipasi sebagai Narasumber. Hadir dalam Webinar Hermus Indou, S.IP., MH (Bupati Kabupaten Manokwari), Tommy Andana, S.IP., M.AP (Kabag Sekretariat Wakil Ketua MPR), John Patalas, S.IP (Kasi Pengelolaan Aset Desa Kabupaten Landak), Martanti Dwi S. S.IP (Enterpreuner), Rosaria Renyaan, S.Sos, M.Si (Kasubag Bela Negara dan Karakter Bangsa Bandan Kesbangpol Provinsi Maluku) dan dipandu oleh Gregorius Sahdan, S.IP., M.A sebagai moderator. Pembawa acara yakni Mohamad Firdaus, S.IP., M.A memandu jalannya acara dengan pertama membacakan doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menyaksikan video profil STPMD “APMD” dan diskusi panel oleh narasumber dan moderator. Dr Sutoro Eko Yunanto selaku Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta memberikan sambutan yang hangat dengan menitikberatkan antara hubungan Alumni dan Almamater yang harus selalu dijaga dan mengingatkan untuk pulang kampus. Alumni harus saling mendukung satu sama lain, yang akan menjadi kepala desa, menjadi pemerintah, menjadi ASN harus didukung agar keterikatan sesama alumni semakin erat.

“Kontribusi yang akan dilakukan oleh Alumni di Manokwari yaitu membentuk organisasi dan nantinya melakukan sosialisasi agar APMD bisa dikenal oleh masyarakat Manokwari” Ucap Bupari Manokwari sebagai narasumber yang pertama. Selain itu Bupati Manokwari menerangkan bahwa Ilmu Pemerintahan sangat implikatif dalam dunia kerja sehingga hal tersebut perlu dimaksimalkan bagi adik-adik mahasiswa di APMD. Narasumber kedua Tommy Adana yang pernah menjadi pengurus Komap (Kors Mahasiswa Ilmu Pemerintahan) menyampaikan bahwa perlu ada motivasi untuk Alumni yang pasif, kampus perlu melakukan komitmen untuk berperan dalam memotivasi Alumni sehingga nantinya akan ada kontribusi nyata bagi para Alumni. Organisasi kampus juga memiliki peran yang besar dalam meniti karir didunia kerja, sehingga mahasiswa perlu memaksimalkan potensi keorganisasian untuk menambah percaya diri dan banyak hal positif yang lain. John Patalas selaku narasumber ketiga menyampaikan dengan adanya organisasi kemahasiswaan di APMD memberikan kontribusi nyata bagi pribadi mahasiswa. APMD juga selalu melakukan perubahan cepat terhadap isu-isu nasional sehingga ilmu yang disampaikan ke mahasiswa sangat aktual dan bisa bermanfaat. Narasumber selanjutnya Martanti Dwi S. menyampaikan perspektif entrepreuner dalam kontribusi untuk perkembangan kampus. Poin penting dalam dunia kerja terutama di dunia usaha yakni kita semua  memiliki peluang untuk menciptakan pekerjaan dan berwiraswasata (masyarakat ekonomi) adalah jalan lain menjadi langkah pertama untuk berkontribusi untuk masyarakat luas. Rosaria Renyaan alumni Ilmu Sosiatri memberikan sumbangan pemikiran terkait Kolaborasi antar Prodi dalam mengembangkan Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Yang pertama yakni membuat kurikulum konkrit disetiap prodi yang sesuai dengan kebutuhan dimasyarakat dan yang kedua adalah perlunya jurnal ilmiah bersama untuk bersama-sama mengenalkan karya dan tulisan Dosen, Mahasiswa maupun alumni untuk bisa mensyiarkan ajaran APMD, sehingga memiliki dampak positif juga dalam meningkatkan akreditasi prodi.

HALAL BI HALAL DAN SILATURAHMI KELUARGA BESAR STPMD “APMD” YOGYAKARTA

Selasa, 18 Mei 2021, acara Halal Bi Halal & silaturahmi keluarga besar STPMD “APMD” dihadiri oleh Pimpinan Kampus STPMD, Ketua Yayasan 17, dosen serta seluruh karyawan yang bertempat di gedung pertemuan Ganesha APMD.

Acara Halal Bi Halal dan silaturahmi ini dibuka dengan sambutan dari Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta. Dalam sambutannya Dr. Sutoro Eko menyampaikan “Halal Bi Halal adalah kreatifitas asli orang Indonesia di setiap Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) dan sudah berjalan secaran turun temurun dan tidak ada di negara-negara manapun kecuali Indonesia.

Acara ini diselenggarakan secara sederhana yang diikuti kurang lebih 100 orang dengan protokol kesehatan yang cukup ketat tanpa diperbolehkan berjabat tangan untuk menghindari penularan Covid-19. Halal Bi Halal dan Silaturahmi tahun 2021 ini dilaksanakan hampir sama seperti 2020, mengingat bahwa penyebaran Covid-19 belum juga mereda.

Semoga Halal Bi Halal tahun depan kita sudah bisa kembali berjabat tangan tanpa takut akan penularan Covid-19. Selalu patuhi protokol kesehatan untuk kesehatan kita Bersama. Keluarga Besar STPMD “APMD” mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

BEDAH BUKU “MENJERAT GUSDUR”

Buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama yang sempat fenomenal pada akhir 2019 dan awal 2020, dibedah dan diskusikan di Kampus Desa STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin, 30 November 2020. Tampil sebagai pembicara penulis buku Virdika Rizky Utama dan Tri Agus Susanto, dosen Prodi Ilmu Komunikas, serta moderator Dr. Irsasri.

Diskusi bedah buku “Menjerat Gus Dur” karya alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi dan Humas STPMD “APMD” Yogyakarta di Ruang Sidang yang dihadiri para aktivis mahasiswa dan dosen. Selain itu, diskusi juga bisa diiukuti melalui zoom.

Virdika membuka pembicaraan dengan menyampaikan informasi terakhir bahwa dirinya belum lama ini diundang oleh seorang pengusaha yang namanya disebut dalam buku Menjerat Gus Dur. Pengusaha itu tak mengancam ataupun memuji buku yang menghebohkan itu. Ia hanya menyadari “kebodohan” komplotannya mengapa dokumen yang begitu penting bisa jatuh ke tangan seorang jurnalis cum aktivis? Di akhir pertemuan Virdi dikasih segepok uang dolar Amerika Serikat selembarnya nominal 100 dolar. Virdi menolak dengan halus. “Terima kasih pak, tapi maaf saya tak bisa menerima. Jika bapak mau memberi uang kepada saya belilah buku saya,” ujar Virdi.

Virdi kemudian bercerita tentang asal mula dokumen yang ia dapatkan secara tak sengaja. Saat mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika itu masih menjadi jurnalis di Gatra (2017), ia mendapat tugas mewawancarai seorang tokoh di Partai Golkar di kantor DPP Slipi, Jakarta Barat. Tak sengaja ia mendapat “harta karun” dari sampah yang hendak dibuang atau dijual secara kiloan oleh seorang office boy.

Ternyata yang Virdi temukan adalah dokumen konspirasi penjatuhan Gus Dur yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lintas partai dan organisasi massa pemuda dan mahasiswa hingga keterlibatan media massa.  Virdi kemudian mendiskusikan temuannya dengan para senior di Didaktika. Selain itu, Virdi juga berdiskusi dengan komunitas lain termasuk dengan Savic Ali, penerbit buku yang juga mantan aktivis mahasiswa 1998.

Sepanjang tahun 2018 Virdi melakukan riset di sela-sela tugasnya sebagai jurnalis. Setelah dari Gatra, Virdi pernah bekerja di Narasi yang dipimpin oleh Nadjwa Shihab. Ia kemudian menelusuri dan mewawancarai nama-nama yang disebut pada dokumen itu. Dari Amien Rais, Akbar Tanjung, Priyo Budi Santoso, Mahfud MD, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak sampai Fuad Bawasir. Pendek kata ada puluhan orang ia wawancarai. Tentu saja ada yang menerima dengan baik, ada yang menolak, bahkan Amien Rais sempat mengancam atau menahannya saat diwawancarai Virdi di rumahnya.

Terkait judul buku yang menggunakan kata menjerat, Virdi terinspirasi ketika suatu saat melihat ayam yang dijerat untuk ditangkap. Jeratan terhadap ayam itu tak cuma satu tali tapi beberapa tali. Ini mengingatkan pada persekongkolan para elit politik dan para oligark sisa-sisa Orde Baru yang tak nyaman dan tak ingin Gus Dur sukses menjalankan amanat reformasi.

Bagi sebagaian besar warga NU, ujar Virdi yang sudah berkeliling ke berbagai kota dan pesantren, buku ini semacam air pelepas dahaga, yang selama dua puluh tahun tak dirasakan terkait kebenaran sejarah pelengseran Gus Dur daru kursi Presiden RI. Warga NU sangat percaya, inilah yang pernah disampaikan Gus Dur pada acara Kick Andy kepada Andy Noya, “Nanti sejarah akan membuka kebenaran itu..”

Sebelum meulis Menjerat Gus Dur, Virdi menerbitkan buku tentang Forum demokrasi yang dipimpin Gus Dur berjudul Demokrasi dan Toleransi dalamn represi Orde Baru (2018). Selain pernah di majalah mingguan berita Gatra dan Narasi, Virdi juga pernah menjadi jurnalis majalah Sawit Indonesia dan juga sebagai Fellow Researcher di PARA Syndicate. Kini Virdi sedang menyiapkan kuliah S2 di National University of Singapoe (NUS), yang disebutnya sebagai NU Cabang Sungapura.

Tri Agus Susanto, pembicara kedua, adalah sama-sama aktivis pers mahasiswa di UNJ (dulu IKIP Jakarta) hanya berbeda lima dengan Virdi. Lima tahun? Bukan, lima kali Piala Dunia. Dosen komunikasi politik itu lebih banyak menyampaikan bagaimana proses kreatif Virdi hingga tercipta buku Menjerat Gus Dur. Ia menggarisbawahi bahwa buku ini bisa tercipta karena selain Virdi mempunyai dua modal yaitu metodologi sejarah dan bekal jurnalis, juga keberanian dan kepedulian dari seorang aktivis. Jika hanya bermodal metodologi dan keahlian penulisan tanpa keberanian dan dan kepedulian, mungkin Virdi sudah takut dahulu dengan banyaknya ancaman, dan buku tak jadi terbit.

Panitia menyediakan sepuluh buku Menjerat Gus Dur untuk peserta yang pertanyaannya menarik, baik yang di dalam ruang sidang maupun yang melalui zoom. Sebelumnya Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Habib Muhsin mengatakan diskusi bedah buku ini sebenarnya sudah direncanakan awal tahun ini namun karena ada pandemi Covid 19 sehingga baru bisa dilaksanakan hari ini. Saat ini pun kampus APMD masih kuliah dari sehingga diskusi dilakukan terbatas namun bisa diikuti secara daring melalui zoom.

MERAIH KESEMPATAN DI TENGAH KONDISI KRISIS

Dalam rangka merayakan dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi yang bersahaja ini,  izinkan saya menyampaikan Pidato Kelembagaan Ketua, dengan menyajikan tema “Meraih Kesempatan di Tengah Kondisi Krisis”, yang sekaligus sebagai tanggungjawab kepengurusan kami selama satu tahun terakhir.

Awal tahun 2020 lalu, kami telah memberikan arah Resolusi 2020, guna memperteguh martabat dan meraih kemajuan progesif Sekolah Tinggi. Tiga butir penting Resolusi 2020 adalah: publikasi dan promosi yang progresif untuk mendongkrak animo masyarakat karena mengalami penurunan pada tahun 2019; memperkaya karya keilmuan sesuai mandat Tridarma; dan merayakan Dies Natalis ke-55 bersamaan dengan Munas Kappemada yang lebih seru dan bertenaga.

Sejumlah langkah konkret sudah kita tempuh pada dua bulan pertama. Tetapi fakta berbicara lain. Untuk tidak mengatakan sebagai hambatan, pandemi global hadir menjadi jeda atas Resolusi 2020. Alhamdulillah, kita terhindar dari penularan Covid-19, tetapi pandemi ini membawa dampak serius terhadap penurunan (decline) pelaksanaan Tridarma, aktivitas kelembagaan, aktivitas kemahasiswaan, animo masyarakat dan mahasiswa baru, maupun penerimaan sebagai basis material Sekolah Tinggi. Produksi pengetahuan, sebagai aktivitas keilmuan yang bebas dan merdeka, tanpa terhalang pandemi, juga mengalami penurunan.

Seperti halnya desa mengalami pandemi BLT, kita juga mengalami pandemi dalam bentuk lain. Pertama, pandemi kuliah daring, yang membikin kerepotan bagi proses belajar mengajar, penugasan, dan penilaian terhadap mahasiswa. Kuliah daring secara direct atau secara streaming sungguh menghadapi kendala teknologi, ekonomi, dan akses sehingga tetap ada mahasiswa yang tercecer. “Kuliah tatap muka membuat hidup saya lebih hidup, tetapi kuliah daring membuat hidup saya tidak hidup”, demikian ungkap Prof. Nasrudin Harahap.

Darurat pandemi membuat mahasiswa menuntut “normalisasi pendekatan darurat”, agar para dosen tidak memberi penugasan dan penilaian yang berat. “Pihak kampus dan dosen tidak peka dengan situasi darurat mahasiswa”, demikian ungkap mahasiswa. Kami memenuhi tuntutan itu, meski ketika berhadapan dengan mahasiswa dalam kuliah, saya selalu mengatakan bahwa “mahasiswa berhak bodoh, tetapi tidak boleh malas dan manja dalam berjuang dan belajar”. Kami terpaksa meminta para dosen untuk melonggarkan dan memudahkan dalam penugasan dan penilaian kepada mahasiswa. Bagi sebagian orang, ini adalah “intervensi” yang memberangus kebebasan akademik. Siapapun boleh mempunyai tafsir seperti itu. Tetapi saya juga memiliki makna lain. Kebebasan akademik adalah bicara dan menulis memproduksi pengetahuan secara merdeka. Penilaian lebih tepat ditempatkan pada dimensi pelayanan, bukan pada dimensi kebebasan akademik, agar tidak terjebak menjadi “kuasa akademik”. Pelayanan dalam penilaian tentu bermakna memudahkan, tetapi melayani dan memudahkan bukan pula terjebak menjadi “gampangan” dan “murahan”. Jika mahasiswa memiliki hasrat untuk memperoleh nilai sempurna, maka mereka harus belajar dan berjuang lebih serius. Inilah pendidikan.

Kedua, pandemi NINA (Nomor Ijazah Nasional), sebuah standar teknokratik, yang harus diterapkan tahun depan. Ijazah tanpa NINA paling lambat November 2020. NINA menjadi pandemi karena ada banyak mahasiswa golongan tua “sisa-sisa laskar pajang” yang membuat keprihatinan dan hiruk-pikuk kampus untuk “menolong” dengan tutup mata agar mereka bisa lolos pada tahun ini.  Dengan begitu, “sisa-sisa laskar pajang” yang ditolong itu tidak mempunyai predikat sarjana yang lulus dengan sukses dan selamat, melainkan sarjana yang lolos dengan maklum.

            Dua pandemi itu memberi kita hikmah tentang “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa. Mungkin ada pihak-pihak berhaluan birokratik yang tidak “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa, melainkan “mengajar dan mengendalikan” mahasiswa. Ada pula perbedaan antara kaum idealis versus kaum pragmatis. Kaum idealis, yang biasa bicara “apa yang seharusnya”, tentu anti-pragmatisme dan anti-menolong. Mereka bilang bahwa menolong adalah tindakan pragmatis yang membuat institusi menjadi murahan, sekaligus mengeroposkan integritas dan kualitas institusi. Bagi mereka, mahasiswa harus diajarkan dengan standar ideal, agar mahasiswa menjadi lulusan yang berkualitas. Sebaliknya, kaum pragmatis, yang biasa dengan “apa yang mudah untuk dilakukan”, menuding kaum idealis terlalu kaku tidak melihat kenyataan raw material mahasiswa. Kaum pragmatis melayani dan menolong mahasiswa dengan baik, sembari menuding idealisme yang mempersulit itu, bisa membuat mahasiswa rontok dan calon mahasiswa phobia pada Sekolah Tinggi.             Saya ingin mengatakan bahwa cara birokratik — tidak “mendidik, melayani, dan menolong” – itulah yang membuat rontok dan phobia, sehingga harus diakhiri. Di sisi lain, kami memberi arah “realisme-kontekstual” yang menghubungkan secara koheren antara idealisme dan pragmatisme. Kita tidak bisa menerapkan idealisme dan pragmatisme sebagai standar yang standar dan seragam pada setiap mahasiswa.

Idealisme tentu merupakan fondasi dan tradisi pendidikan yang menggembleng, mencerahkan dan membebaskan, agar para mahasiswa menjadi “orang” dan sarjana sujana yang berilmu, kritis, mandiri, dan amaliah. Kalau Sekolah Tinggi pengin kuat dan jaya, maka idealisme harus ditumbuhkan. Sebagai contoh adalah nasehat Prof. Nasrudin Harahap, “Yang membuat mahasiswa menjadi orang bukan selembar ijazah, melainkan ilmu yang dimiliki”. Dari sini, saya hendak membedakan antara “idealisme ilmu” versus “idealisme akademik”.  “Idealisme ilmu” berbicara tentang pengetahuan berlandasankan pada filsafat ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dibangun melalui belajar, penelitian, pendidikan, diskusi, dan lain-lain. Ilmu bersifat tanpa batas, menembus ruang dan waktu, tanpa harus menggunakan standar, yang mengikuti petuah Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”.  Dalam mendidik, kita harus menyuntikkan idealisme ini. Sebaliknya “idealisme akademik” berbicara tentang pengetahuan yang mengalami instrumentalisasi, teknikalisasi dan standarisasi secara teknokratik dalam bentuk kurikulum, proses belajar-mengajar, bahan ajar, metode belajar, teknologi pengajaran, satuan kredit semester, rasio dosen-mahasiswa, ujian, penilaian, indeks prestasi, dan lain. Idealisme akademik juga mengajawantah menjadi kebebasan akademik, kompetensi akademik, kemampuan akademik, gelar akademik, sistem informasi akademik, pedoman akademik, portal akademik, administrasi akademik, dan lain-lain. Semua ini disebut sebagai industri akademik atau academic enterprise, untuk mengarahkan perguruan tinggi sebagai korporasi akademik, yang ingkar pada tradisi “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta doktrin Bung Karno “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Antara idealisme ilmu dan idealisme akademik lebih sering tidak berjalan bersama. Banyak teknokrat bergelar tinggi dan banyak memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sundul langit, dengan TOEFL dan TPA yang tinggi, tetapi memiliki ilmu dan penalaran berkasta rendah, serta miskin amaliah untuk rakyat. Indonesia sangat kaya akan teknokrat, yang berhasil mempengaruhi pemerintah serta membuat kebijakan di segala bidang, tetapi mereka gagal memperkuat daerah, memajukan desa, dan memakmurkan rakyat. Para ranah mikro di kampus, kita juga menyaksikan banyak mahasiswa memiliki indeks prestasi yang menjulang tinggi, tetapi kalau mau jujur, ya hanya sebatas prestasi akademik, bukan reputasi ilmu. Sebaliknya orang-orang seperti saya, merasa memiliki ilmu banyak, tetapi mempunyai kemampuan akademik yang jongkok. Ketika mengikuti TOEFL dan TPA, saya selalu gagal, sehingga saya tidak bakat menjadi teknokrat. Apa yang disebut “standar nasional” bukanlah pengajawantahan dari idealisme ilmu, melainkan penerapan idealisme akademik. Mau tidak mau, suka tidak suka, standar idealisme akademik itu harus dijalankan oleh kampus, tanpa peduli secara serius pada idealisme ilmu. Meskipun Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Nadiem Makarim telah melakukan “subversi” atas idealisme akademik, antara lain dengan jargon kampus merdeka, tetapi standar teknokratik tetap berjalan.  Program studi sebenarnya memiliki idealisme ilmu dan otonomi keilmuan, tetapi semua itu mengalami reduksi karena intervensi standar akademik. Standarisasi, misalnya, tidak membuat ketua prodi menjadi “begawan ilmu” melainkan menjadi “mandor akademik”, serupa dengan teknokratisasi yang membuat kepala desa bukan sebagai pemimpin rakyat dan pemerintah yang kuat, melainkan menjadi mandor proyek dana desa.  Tak urung, idealisme akademik yang teknokratik ini, juga bekerja pada ranah relasi antara dosen dan mahasiswa, yang tergelincir menjadi kuasa akademik atas nama kebebasan akademik.

Pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara antara idealisme ilmu dengan pragmatisme, melainkan antara idealisme akademik dengan pragmatisme, sebab idealisme ilmu telah direduksi oleh idealisme akademik. Idealisme ilmu tidak bisa disebut sebagai standar teknokratik, melainkan sebagai hakekat, tantangan dan cita-cita tanpa batas yang harus diperjuangkan dan diraih. Jika komunitas Sekolah Tinggi, termasuk mahasiswa, masih jauh dari idealisme ilmu, itu adalah tantangan yang harus kita sambut dengan serius. Kita harus melakoni proses untuk menjadi (becoming) terus-menerus sesuai idealisme ilmu.

Pertama, pendidikan adalah mandat dan jalan untuk mencapai idealisme ilmu. Sekolah Tinggi mempunyai panggilan mendidik mahasiswa agar anak-didik ini menjadi orang berilmu, meskipun tidak harus menjadi ilmuwan. Hasrat ingin tahu dan imajinasi anak-didik merupakan hakekat sukses pendidikan, melampaui (beyond) kebiasaan akademik berupa pengajaran, ujian, dan penilaian yang menghasilkan indeks prestasi tinggi. Kedua, program studi dan dosen adalah entitas yang mencari, menebarkan, dan mendidik ilmu kepada mahasiswa. Ilmu bukan sebatas kurikulum, bukan pula kumpulan daftar mata kuliah, yang diampu oleh dosen dan diajarkan kepada mahasiswa. Setiap program studi adalah pemegang disiplin ilmu, yang harus memiliki filsafat ilmu, atau memiliki tubuh pengetahuan yang utuh, untuk dijabarkan ke dalam setiap mata kuliah sampai penulisan karya ilmiah mahasiswa. Dalam hal ini, skripsi bukan sekadar sebagai syarat akademik untuk meraih gelar sarjana sesuai dengan standar akademik, melainkan sebagai proses pembentukan pengetahuan bagi mahasiswa. Setiap skripsi, yang paling dasar, harus duduk sesuai ilmunya. Ini idealisme ilmu yang tidak bisa ditawar. Saya sering cerewet pada komunitas Ilmu Pemerintahan, karena mahasiswa menulis skripsi tidak duduk secara keilmuan, entah menulis skripsi bercorak ilmu politik, administrasi publik, ilmu perkantoran, ilmu pariwisata, atau ilmu pengelolaan (manajemen).

Idealisme ilmu memang dikerangkai dan dijalankan dengan standar-rezim akademik yang juga disebut idealisme itu. Tidak sedikit mahasiswa yang tercecer, atau jauh dari harapan, idealisme ilmu. Namun mahasiswa yang tercecer dari dari idealisme ilmu tidak akan terkena sanksi akademik, kecuali risiko di kemudian hari karena yang bersangkutan tidak berilmu secara memadai. Sebaliknya mahasiswa yang tercecer secara akademik bisa dilihat secara nyata, yaitu mereka yang saya sebut sebagai “sisa-sisa Laskar Pajang”, yang kerap berurusan dengan Wakil Ketua, bahkan melibatkan orang tua untuk bertemu Ketua. Baik idealisme ilmu maupun idealisme akademik, dalam praktik, kerap berjumpa dengan pragmatisme. Idealisme ilmu adalah perbuatan mendidik dan mengetahui. Idealisme akademik adalah perbuatan melayani, mengajar, menguji, menilai, bahkan menghukum, sesuai standar akademik. Pragmatisme adalah perbuatan menolong dengan menurunkan harapan idealisme ilmu dan standar idealisme akademik. Idealisme ilmu, yang tanpa batas itu, bisa dibuat kontekstual dan lentur sesuai kondisi, tetapi tetap harus berproses sampai batas yang tidak bisa ditembus lagi. Inilah mendidik. Idealisme akademik, atau standar akademik yang baku, memang harus dijalankan oleh menjaga integritas (bukan kualitas) dan akuntabilitas, tetapi ketika menghadapi mahasiswa yang tercecer, maka harus ada pertolongan secara pragmatis. Dalam kasus seperti ini, kita tidak boleh kaku dan ketat menerapkan kuasa akademik, melainkan harus dengan siasat. Kami tidak akan campur tangan terhadap penerapan idealisme ilmu, tetapi kami akan campur tangan terhadap penerapan kuasa akademik terhadap mahasiswa yang tercecer. Namun pragmatisme tidak boleh ditaruh di depan mendahului idealisme ilmu dan idealisme akademik. Pragmatisme tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai standar dan menu utama. Kalau pragmatisme menjadi standar dan menu utama, maka kita akan menjadi murahan dan lemah. Ia bukan standar dan menu yang berada di depan, melainkan tindakan afirmatif-residual di tengah atau di penghujung perjalanan, untuk memudahkan dan menolong para mahasiswa tercecer yang tidak sanggup dan lulus mengikuti idealisme.  

Sebagai refleksi kritis saya ingin mengatakan bahwa kita lebih banyak bergulat dengan idealisme akademik ketimbang idealisme ilmu, yang kerapkali berjumpa dengan pragmatisme baik di depan maupun di belakang. Sebagai resolusi baru, kita harus berdiri dan berbuat mendidik idealisme ilmu secara serius-seksama; melayani idealisme akademik secara lentur dan mudah; sekaligus menolong secara pragmatis-afirmatif terhadap mahasiswa yang tercecer dari idealisme.

Animo masyarakat, input mahasiswa, dan penerimaan, yang saya sebut sebagai kemakmuran, sungguh merupakan tantangan serius bagi Sekolah Tinggi. Tahun 2019 lalu input mengalami penurunan 29% dibandingkan dengan tahun 2018, dan menurun lagi 14% pada tahun 2020. Saya selalu mengatakan bahwa input merupakan sebuah misteri, meskipun fakta empirik – seperti kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin ketat, hingga daya beli yang menurun di tahun krisis pandemi – merupakan variabel yang bisa diperhitungkan secara rasional. Misteri bukan bermakna tetuko: sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Faktanya bisa kita pahami.

Pertama, selama puluhan tahun, input dari Nusa Tenggara Timur selalu menempati ranking satu. Tahun ini, NTT digeser oleh Kalimantan Barat. Apakah ini karena daya beli masyarakat NTT menurun drastis bila dibandingkan dengan daerah lain? Sebaliknya animo dan input dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah justru sedikit meningkat, yang menempatkan DIY pada urutan ketiga setelah Kalimantan Barat. Dengan begitu, daya beli bukan faktor tunggal.

Kedua, meskipun input agregat Sekolah Tinggi mengalami penurunan, tetapi input untuk Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Magister Ilmu Pemerintahan malah mengalami peningkatan, bahkan Prodi Ilmu Komunikasi menggeser Prodi Pembangunan Sosial. Ketiga, meskipun jalur gethok tular merupakan strategi kearifan lokal yang mujarab, namun fakta juga menunjukkan bahwa input dengan jalur online meningkat secara signifikan. Saya tidak mengatakan gethok tular dan promosi tatap muka itu buruk, tetapi peningkatan jalur online merupakan sebuah gejala positif, yang dalam dunia bisnis disebut diversifikasi:

dari promosi ke reputasi, dari personal ke impersonal, dari mendengar ke mengetahui, dari pendekatan berbasis input ke pendekatan berbasis output, dan seterusnya. Semua ini adalah kekuatan dan kesempatan yang baik dan terbuka bagi Sekolah Tinggi.

Jika input merupakan misteri, maka naluri dan keyakinan merupakan jalan untuk membukanya, tentu dengan kalkulasi rasional, yang mengarah pada inovasi dan diversifikasi. Dalam konteks ini, saya berulang kali mengatakan sejumlah hal dan arah. Pertama, tanpa mengabaikan banyak daerah di seluruh penjuru negeri, DIY dan Jawa Tengah, merupakan ceruk menarik. Dua daerah ini bukan hanya dekat secara fisik tetapi dekat secara sosial dengan  Sekolah Tinggi, karena pergaulan Tridarma kita dari daerah ke daerah serta dari desa ke desa, seiring dengan hiruk-pikuk tradisi berdesa berkat stimulus UU Desa. Kedua, memperkuat pendekatan output dan reputasi untuk keperluan input dan promos, atau yang kerap disebut dengan pendekatan “unjuk gigi”. Perbuatan paling sederhana adalah “iklan yang berkonten, dan konten yang diiklankan”. Ketiga, sesuai dengan yang kedua, kita harus agresif berselancar di dunia maya, bukan hanya menampilkan informasi kegiatan kampus, tetapi menghadirkan (representasi) atas gagasan, pengalaman, dan pengetahuan kita kepada masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah karya buku kita “Mengabdi dan Melayani Desa”, yang akan kita luncurkan segera.

Penurunan input harus kita refleksi sebagai krisis, meski krisis Sekolah Tinggi tidak separah dunia usaha yang babak balur karena pandemi. Kita tetap melayani hak-hak pegawai seperti sedia kala, tidak ada penundaan dan tidak ada pemulangan. Kami merespons krisis dengan rasionalisasi. Rasionalisasi mengandung efisiensi, tetapi efisiensi tidak sama dengan rasionalisasi. Kami memahami rasionalisasi sebagai bentuk penggunaan nalar dalam penggunaan sumberdaya, perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan berbagai aktivitas Tridarma dan pelayanan. Kita gunakan nalar daya-guna, hasil-guna dan tanggungjawab, untuk mengelola anggaran tahun 2020 maupun 2021, membiayai kegiatan penting dan mendesak, yang mendukung-mendongkrak promosi, inovasi, dan reputasi. Publikasi karya keilmuan (gagasan, pengalaman, dan pengetahuan) melalui jurnal, buku, diskusi, media sosial, dan lain-lain merupakan aktivitas penting untuk promosi, inovasi dan reputasi itu.

Di tengah pandemi, kerja kelembagaan Sekolah Tinggi terus berjalan. Sejak Maret, kami menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan kampus sepi seperti kuburan tetapi juga tidak boleh membuat ramai seperti pasar. Kerja dari rumah (work from home) hanya berlangsung singkat dari pertengahan Maret hingga akhir Mei 2020. Sejak Juni hingga sekarang, kita tetap bekerja di kantor, dengan protokol moderat dan semangat sluman slumun slamet; melakukan kerja kelembagaan yang tidak pernah habis. Rapat, sebagai kerja kelembagaan, tidak pernah kendor dilakukan. Sebagai bentuk exercising power, rapat adalah perbuatan komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan eksekusi dalam hal pengaturan dan pelayanan untuk memastikan hak dan kewajiban, maupun mengurai-mengatasi kemacetan administratif (administrative traffic) yang sering muncul. Namun saya selalu mengingatkan bahwa kerja rapat kelembagaan kita jauh lebih banyak-padat ketimbang diskusi pengetahuan. Kalau datang sembilan standar pasti kita akan rapat bertubi-tubi. Saya tidak bermaksud mengatakan rapat kelembagaan tidak penting. Tetapi kalau kita jarang

melakukan diskusi pengetahuan, maka idealisme ilmu kita akan mengalami involusi, yang akan melemahkan reputasi Sekolah Tinggi. Karena kita jarang diskusi, maka keberanian dan kapasitas produksi pengetahuan juga terbatas. Terbukti kerja menulis singkat untuk website juga tidak kunjung hadir, yang karena itu, saya subversi secara cepat dengan Podcast APMD, untuk menebar gagasan, pengalaman, dan pengetahuan.

Akhir kata, meskipun menghadapi krisis, kita sebenarnya memiliki harapan sebagai kekuatan, yang jika kita mau (gelem) dan berani (wani), maka kita bisa (iso) meraih kesempatan yang gemilang di masa depan.  Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang luhur kepada seluruh pegawai yang telah berdikasi dengan loyalitas tanpa batas (satya ananta) kepada Sekolah Tinggi. Juga kepada mahasiswa yang hidup menghidupi dan menghidupkan Sekolah Tinggi. Raihlah kesempatan, kalian adalah masa depan Sekolah Tinggi. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, melimpahkan ridho, hidayah, dan rahmat kepada kita, keluarga besar Sekolah Tinggi. Aaamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,

Timoho, 15 November 2020

Ketua

Dr. Sutoro Eko Yunanto

KKN di Kampung Halaman Peduli Covid-19

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko melepas 158 mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 53 di Kota Yogyakarta dan 131 peserta di luar Kota Yogyakarta, Rabu 15 Juli 2020. Pelaksanaan KKN tahun ini bertema KKN Peduli  Pandemi Covid-19. Di satu sisi mahasiswa yang tertahan di Yogyakarta, karena Covid-19,  melakukan KKN di Kota Yogyakarta. Sementara yang tertahan di kampung halaman, melakukan KKN di kampung halaman. Tercatat KKN di luar Kota Yogyakarta tersebar di 19 provinsi, 41 kabupaten dan 65 desa.

Sutoro Eko dalam pembekalan menyatakan bahwa KKN merupakan tempat mahasiswa Bergaul dengan rakyat, memupuk kepekaan melihat dengan konkret. Belajar, menetapkan realitas, memahami hubungan pemerintah desa dengan masyarakat. Bagaimana desa menangani Covid-19. Bekerja, jika diminta Desa untuk membantu menangani pandemi Covid-19, mahasiswa berarti mendapat kehormatan. Berdesa, berhubungan, bersenyawa, tak berjarak, memuliakan desa. Tentu mengritik desa juga bisa, mengritik untuk menguatkan.

Mahasiswa KKN harus mampu memahami desa dengan baik. Cara pandang modernis, Barat, Jakarta, memandang desa itu jadul, miskin, bodoh, malas, SDM rendah. Untuk itu solusinya adalah mengelola desa seperti kota. Pandangan strukturalis menganggap desa sebagai situs penindasan. Elit dianggap lalim dan rakus. Tentu saja pandangan  ini terlalu berlebihan. Pendekatan patologis mungkin benar secara ilmiah tetapi bisa gagal secara amaliah. KKN APMD  Yogyakarta merupakan arena melakukan “berilmu dengan beramal, beramal dengan berilmu.” Selain itu, KKN juga ajang mengabdi dengan meneliti dan meneliti dengan mengabdi.

Sutoro Eko menggarisbawahi jika ada sengketa antara pusat dengan daerah maka harus mendukung daerah. Jika ada sengketa daerah dengan desa maka harus mendukung. Jika ada sengketa antara Desa dengan rakyat Desa maka harus mendukung rakyat. “Jangan lupa membuat story telling. Ceritakan gotong royong, solidaritas sosial di desa tempat KKN,” ujar Sutoro Eko.

Yogyakarta, 15 Juli 2020

Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?