Diskusi Platform Ilmu Komunikasi

Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta mengadakan diskusi terbatas membahas platform Ilmu Komunikasi, Sabtu (7/3). Tiga pembicara menjadi pemantik diskusi yaitu Dr. JC. Tukiman Taruna (dosen Pascasarjana Undip dan Unika Soegijapranata, Semarang ), Nissa Cita Adinia (dosen Universitas Indonesia, Depok), dan Dr Sutoro Eko (Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta).

Tukiman Taruna dalam pemaparannya banyak menjelaskan tentang Community Development (CD). Ia mengatakan CD mempunyai tiga landasan pikir yaitu educational movement, equally applicable, dan main problem.

Pemberdayaan, kata Tukiman Taruna, adalah salah satu komponen penting dari CD. Dan tolok ukur akhir dan inti segala inti CD itu terletak pada Berkembangnya Martabat Manusia (Human Dignity). Sementara, lanjutnya, tiga komponen human dignity adalah pemberdayaan, partisipasi dan keadilan.

Tukiman Taruna memberi saran, pertama agar yang punya mimpi Komunikasi Pemberdayaan itu semakin banyak. Kedua, perbanyak dan aktifkan interest group untuk menguji Komunikasi Pemberdayaan. Dan ketiga, menentukan memendam paling tepat untuk “ngepyakke” Komunikasi Pemberdayaan ini.

Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata ini mengingatkan tentang fenomena Didi Kempot. Pelajaran dari Didi Kempot adalah jangan pernah berhenti dengan cita cita, jika jatuh tetaplah fokus pada mimpi. Didi Kempot adalah contoh rebranding. “Lagu sewu kutho itu sudah kita dengar sepuluh tahun lalu tapi kini anak muda milenial ikut menyukainya,” tambah Tukiman Taruna.

Nissa yang sedang menempuh kuliah S3 di UGM menjelaskan tentang perlunya Prodi Ilmu Komunikasi STPMD meraih anak muda perkotaan. Caranya dengan mengubah image prodi ini lebih milenial.

Sutoro Eko menawarkan Komunikasi Nusantara. Melalui pemaparannya berjudul Komunikasi Emansipatoris: Nusantara, Lokal, & Rakyat, yang menceritakan enam pengalaman dan pandangan awam terkait Prodi Ilmu Komunikasi di bawah payung STPMD “APMD”. Termasuk pandangan Novel Ali (2001), “Komunikasi tidak akan berkembang di APMD karena wadah dan isi tidak kompatibel.”

Ketua APMD itu menjelaskan genealogi dan posisi antara Konformis-Modernis dengan Kritis-Postmodernis. Pada sisi yang pertama ada Komunikasi Developmental dan Komunikasi Global – Neoliberal. Di sisi lain ada Komunikasi Post-Kolonial dan Komunikasi Lokal-Kultural. Ia mengingatkan bahwa program studi adalah institusi akademik sekaligus academic enterprise yang mengandung keilmuan, kelembagaan dan kemakmuran.

Sutoro Eko merekomendasikan PSIK mengambil posisi epistimologis yang melampaui perspektif konformis-modernis, sekaligus melaju pada mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Pemberdayaan lanjut Sutoro Eko, akan memperoleh tenaga-kuasa lebih besar ketika berdiri dengan mazhab yang kritis, posmodernis, dan emansipatoris. PSIK sebaiknya mengutamakan komunikasi masyarakat meskipun tidak meninggalkan komunikasi negara dan komunikasi korporasi. Bisa juga dengan urutan: komunikasi masyarakat, komunikasi negara, dan komunikasi korporasi, yang dipandang-disentuh dengan mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Komunikasi Nusantara
Pada 18 November 2019 lalu, Sutoro Eko sempat menyampaikan gagasan Komunikasi Nusantara, yang diilhami oleh Arsitektur Nusantara. Arsitektur selama ini dikenal sebagai ilmu dan seni modern dan industrial, tetapi hari ini juga berkembang kuat arsitektur posmodern, bahwa arsitektur tidak melulu berkiblat pada gedung-gedung menjulang tinggi di kota-kota megapolitan yang modern dan kejam itu, tetapi arsitektur juga menjadi kekuasaan, budaya dan pengetahuan lokal yang tersebar di ruang kehidupan lokal, di seluruh penjuru Nusantara.

Komunikasi Nusantara: Urat-nadi komunikasi dan darah informasi tidak hanya terjadi di ruang-ruang modern dan global, tetapi juga menyebar ke ruang kehidupan lokal di seluruh penjuru negeri dan desa, di Nusantara. Komunikasi-informasi sebagai representasi kekuasaan dan kedaulatan tidak hanya dimonopoli oleh kaum gedongan dan kelas menengah kota, tetapi juga harus disebar kepada kaum pinggiran di pelosok negeri. Dari hari ke hari, semakin banyak desa maupun komunitas budaya, secara emansipatoris menghadirkan dan mengkapitalisasi beragam khazanah lokal, yang membuka isolasi, masuk ke ranah global dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Negara Beradat, Adat Bernegara

Negara Beradat, Adat Bernegara:
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko menjadi narasumber pada FGD “Pengembangan kapasitas lembaga Saniri yang aspiratif pada pembangunan masyarakat desa adat di Kota Ambon,” di Jogja (23/1). FGD yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata Semarang didukung LPDP itu dihadiri sepuluh orang ahli diantaranya dua profesor dari Universitas Pattimura Ambon.

Sutoro Eko menyampaikan materi berjudul Negara Beradat, Adat Bernegara. Bagaimana memandang dan menempatkan Indonesia sebagai negara bangsa modern dan negeri bangsa yang memiliki keragaman adat, suku dan masyarakat lokal. Bisakah hal-hal baik berjalan bersama?

Menurut Sutoro Eko, salah satu prinsip normatif penghormatan dan pengakuan adat pada Pasal 18 UUD 1945. Bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional. Pasal 28i: “Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Indonesia adalah negara semesta yang mengenal kerakyatan dan kewargaan sekaligus mengakui-menghormati (rekognisi) terhadap adat. Namun, lanjut Sutoro Eko, negara semesta tidak pernah hadir, yang hadir adalah negara developmentalis-modernis yang mewarisi negara kolonial dan disepuh dengan neoliberalisme.

Dalam diskursus desa dan adat, Sutoro Eko mencatat ada empat mazhab. Pertama romantis-esensialis (membela dan mempertahankan), kedua revisionis-radikal (melawan), ketiga orientalis-modernis (mengubah tapi memanfaatkan) dan keempat konstruktivis-transformatif (memuliakan dan memperkuat).

Satu contoh UU atau peraturan kaku di kertas tapi lentur di lapangan, terkait kepala desa yang jadi tersangka korupsi dana desa. Dari 2000an kasus hanya 900an yang benar-benar korupsi. Sisanya karena laporan keuangan yang tidak beres. Ada juga Kades yang nekat membangun kantor desa dengan dana desa meskipun dilarang. Karena itu kebutuhan dan tak ada dana yang dikorupsi maka Kemendagri dan Kemendesa membela Kades itu.

Tentang lembaga adat Saniri, di Kota Ambon ada 22 Negeri Adat yang dipimpin seorang Raja atau Kepala Desa. Badan Saniri Negeri merupakan jantung dari kesatuan masyarakat adat suatu negeri.

Setelah sesi diskusi yang cukup mendalam, Sutoro Eko yang pada 2010 mengadakan penelitian di Ambon itu menggarisbawahi “Hukum positif menjerat manusia, hukum liberal bisa menjerumuskan manusia. Maka dibutuhkan hukum deliberatif yang memuliakan manusia.” @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Mahasiswa, Desa, dan Negara

Mahasiswa, Desa, dan Negara:
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr Sutoro Eko menyambut 200an mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Musi Rawas Sumatera Selatan. Mereka dipimpin Dekan Dr M. Fadhillah Harnawansyah, S.IP., M.Si yang tak lain adalah alumni Ilmu Pemerintahan APMD.

Pada awal sambutannya Sutoro Eko menyebut buku The Narrow Corridor: States, Societies, and The Fate of Liberty karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (2019). Dua penulis itu sebelumnya menerbitkan bestseller internasional Why Nations Fail.

Mengapa satu bangsa Korea yang utara miskin yang selatan kaya. Mengapa suku bangsa di perbatasan Amerika dan Meksiko, bahasa dan warna kulit sama, tetapi yang utara Makmur Selatan tidak. “Ini bukan soal geografi, ini soal kekuasaan,” jelas Sutoro Eko.

Mengapa sebuah bangsa tak maju? Kata Jokowi karena birokrasi dan regulasi. Kata aktivis karena Oligarki. Sutoro berpesan agar menjadi mahasiswa tidak anti politik. Mahasiswa itu anak didik juga manusia. Di sana ada irisan yaitu intelektual. Mahasiswa harus berorganisasi, aktif di organisasi ekstra itu penting. Dengan organisasi mahasiswa belajar berkuasa untuk melayani mahasiswa yang lebih banyak.

Terkait Undang Undang Desa, Sutoro menyebut ini sebagai upaya membelenggu Leviathan negara agar jangan terlalu dominan. Sebab selama ini kehadiran negara ke Desa hanya menghisap.

Sutoro menilai hari ini desa menikmati liberti dan kemakmuran karena hidup pada “koridor sempit” yang dikendalikan dan ditindas oleh Leviathan (monster) kertas. Intelektualisme dan aktivisme mahasiswa perlu hadir untuk melawan dan membelenggu Leviathan

WISUDA STPMD “APMD” JOGJA

Wisuda STPMD “APMD” hari Sabtu tanggal 30 November 2019 diikuti oleh 195 peserta dari 5 program studi. Program Diploma III PMD sebanyak 14 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Khori Khairu Tunisa, A.Md dengan IPK: 3,62. Program Sarjana Ilmu Sosiatri/ Pembangunan Sosial sebanyak 25 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Anisak Nur Latifah, S.Sos dengan IPK: 3,86. Program Sarjana Komunikasi sebanyak 20 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Kiki Marina Indriasari, S.I.Kom. dengan IPK: 3,54. Program Sarjana Ilmu Pemerintahan sebanyak 82 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Muslimatun Meilina Triwardani, S.I.P. dengan IPK: 3,68. Program Magister Ilmu Pemerintahan sebanyak 54 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Azis Ahmad, S.Sos., M.I.P dengan IPK: 3,85.

Wisuda diselenggarakan di Auditorium STPMD “APMD” jalan Timoho 317 Yogyakarta. Aparatur pemkab Tambraw turut diwisuda pada Program Magister Ilmu Pemerintahan sebanyak 19 orang. Turut memberikan sambutan Ketua Keluarga Alumni Pembangunan Masyarakat Desa (Kapemada) Bapak As Martadani Noor dan Sambutan dari Keluarga Besar Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 Yogyakarta yang disampaikan oleh Pembina Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 yakni Bapak Drs. Sumarjono, M.Si.

Adapun sambutan Ketua STPMD “APMD” (Dr. Sutoro Eko Yunanto) diberi judul “Melepas, Mengangkat dan Mengubah”. Dalam sambutanya beliau menyampaikan bahwa Wisuda adalah perbuatan melepas dan mengangkat. Keduanya memiliki makna perubahan. Pertama, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, kemarin mendidik dan melayani mahasiswa sebagai anak didik, hari ini, melepas status mahasiswa anak didik itu menjadi sarjana dan alumni. Sebaliknya para mahasiswa juga sukses lepas dari lorong jalan panjang, dari hulu ke hilir, dari pangkal ke ujung, dari SIKAM sampai wisuda. Proses pelepasan ini butuh olah logika, olah wacana, olah karsa, olah rasa, olah raga dan olah dana, dengan proses yang sulit dan menyebalkan, meski juga ada banyak kegembiraan. Di balik kesulitan dan kesebalan itu terdapat hikmah bermakna, yang memberi empowering dan pengalaman berharga, sebab kesulitan dan kesebalan selalu hadir di setiap ruang dan waktu. Karena itu kami mengucapkan selamat kepada para wisudawan yang telah sukses lepas dari lorong panjang dan lepas dari statu lama memperoleh status baru. Pada hari ini juga, kami melepas wisudawan/wati dan alumni, sekaligus menyerahkan kembali kepada orang tua maupun keluarga, kami sertai dengan penghargaan yang luhur dan terima kasih yang agung kepada masyarakat yang telah memberi kehormatan kepada kami.

Meskipun telah lepas, alumni tetap menjadi anggota keluarga besar Sekolah Tinggi. Besok pulang kampus, suatu saat nanti, akan pulang kampus, baik untuk naik kelas ke Magister, atau untuk reuni temu kangen, atau yang lebih penting, pulang kampus hadir sebagai mitra yang berdarma bakti untuk almamater. Kami selalu berharap bahwa alumni tidak hanya membentuk paguyuban untuk temu kangen, tetapi juga membuat jaringan dan syukur juga kartel, yang saling membantu di level daerah, sekaligus juga mendukung kepentingan almamater.

Kedua, wisuda sebagai perubahan mengandung makna “mengangkat” atau menaikkan pendidikan, derajat, gelar, status, termasuk harkat-martabat, dari menengah menjadi tinggi, dari tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Dalam teori sosial, proses mengangkat ini disebut sebagai mobilitas sosial secara individual. Kenaikan kelas ini harus disyukuri secara seksama, selain karena sukses dalam mobilitas sosial, juga karena tidak setiap orang di republik ini, memiliki kesempatan dan kesanggupan mengakses mobilitas sosial. Sampai saat ini baru ada 5,3% orang Indonesia yang bisa menikmati akses sekolah ke perguruan tinggi. Secara umum tingkat pendidikan orang Indonesia baru pada level SMP.

Para sarjana lulusan Sekolah Tinggi yang sudah terangkat itu mempunyai kewajiban moral dan sosial untuk “mengangkat” orang lain, sebagaimana pesan Bapak Bangsa, Soekarno, tentang “ilmu yang amaliah, dan amal yang ilmiah”. Pertama, apapun profesinya, lulusan APMD mempunyai pengetahuan dan karakter sebagai sarjana sujana yang beramal dan bermanfaat untuk orang banyak, berpihak kepada rakyat, pinggiran, lokal dan desa. Bagi para sarjana yang sudah menduduki profesi sebagai Aparat Sipil Negara, jadilah penjaga republik (republic guardian), yang selalu melindungi dan melayani warga dengan vocation, hati, cinta dan kebajikan. Sejumlah alumni yang menyumbang tulisan dalam buku Memuliakan Desa: Pemikiran dan Sepak Terjang 50 Tahun Sutoro Eko (APMD Press, 2019) adalah para sosok sarjana sujana yang kami sebut itu. Kedua, sarjana jusana lulusan APMD yang beramal-bermanfaat itu, harus tetap ilmiah. Ini bukan berarti meminta sarjana menjadi ilmuwan. Bukan begitu. Tetapi apapun profesinya, lulusan APMD, dalam beramal tetap berilmu.

Dua hal, ilmu dan amal, itu merupakan makna pendidikan dan keilmuan yang hakiki. Ia bukan sekadar mengangkat mobilitas sosial sarjana, tetapi para sarjana APMD hadir menjadi bagian dari proses transformasi sosial, yang mengubah hidup orang lain atau institusi orang banyak. Pertama, sarjana berperan penting melakukan enabling dan empowering terhadap terhadap kaum pinggiran dan rakyat, yang tidak sanggup menikmati mobilitas sosial, agar mereka juga menikmati naik kelas meskipun tidak harus menjadi sarjana, misalnya dari hidup yang bertahan menjadi hidup yang berkembang. Kedua, memanfaatkan institusi – baik organisasi rakyat, organisasi masyarakat, desa, daerah, dan lain-lain – bukan semata untuk mempertahankan order dengan “rutininas yang rutin” tetapi untuk mengubah keadaan, termasuk memfasilitasi kepentingan orang banyak.

Sampai November 2019, STPMD “APMD” telah meluluskan sebanyak 16.458 orang. Kami ucapkan selamat dan sukses untuk para wisudawan dan wisudawati. Upacara wisuda ini merupakan awal dari perjuangan selanjutnya ditengah masyarakat… tetaplah semangat, semoga Tuhan YME senantiasa menyertai dalam meraih cita-cita…aamiin3x. (Suharyanto-Wakil Ketua II)

@ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Spiritualisme, Cinta dan Dies Natalis Ke-54 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Ibu bapak dan para mahasiswa yang berbahagia. Hari ini, dan secara khusus malam ini, kita menggelar tasyakuran dalam rangka menyambut dan memuliakan Dies Natalis yang ke-54 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, rumah besar kita ini. Apa makna 54?

Sebenarnya angka 54 sama dengan 53 atau 52. Kalau kita mengikuti jalan lurus, 54 itu usia yang matang, kalau santan tentu sangat kental. Kalau karier orang, itu karier orang yang sudah berkuasa, sehingga jadi tidak perlu berjuang lagi.

Tetapi kalau mengikuti makna usia dari Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris Raya pada era Perang Dunia II, hidup itu dimulai umur 40, hidup yang sebenarnya itu umur 40. Sebelum 40 tahun itu disebut berjuang. Orang yang berusia antara 20-40 tahun itu adalah usia berjuang dan harus jalan di tepi kiri (belok kiri) bukan jalan di kanan, jadi harus kritis dan radikal. Begitu masuk 40, orang harus belok kanan, tidak boleh di kiri lagi karena kata Churchill, sebelah kanan itu hidup yang nikmat, hidup yang enak dan hidup yang tinggal menikmati perjuangan selama 20 tahun.

Artinya kalau kita menapaki jalan hidup itu, berarti hidup Sekolah Tinggi 14 tahun. Tapi sangat masuk akal, 14 tahun ini adalah angka yang penting. Selama 14 tahun terakhir, kita Sekolah Tinggi naik kelas dari survival ke developing, dari bertahan ke berkembang. Sebelum itu adalah era bertahan yang penuh perjuangan dan selama 14 tahun ini kita mengalami kenaikan signifikan, sehingga itulah yang harus kita syukuri secara bersama. Tahap kita sekarang ini adalah developing, tentu kita harus berjuang lebih keras lagi supaya kita lebih unggul, matang, lebih mature, advanced, dan seterusnya.

Tetapi saya juga sedikit kritik dan nakal, apa makna 54 tahun, jangan-jangan ini hanya pengalaman 1 tahun yang diulang-ulang 54 kali. Oleh karena itu setiap ulang tahun seperti ini, harus diberi makna. Bukan rutinitas yang rutin tapi harus rutinitas yang bermakna.

Maknanya begini, saya mengajukan 54 diksi, 54 kosa kata, yang itu mengiringi perjalanan 54 tahun APMD. Diksi yang biasa kita ungkapkan atau praktik yang biasa kita lakukan termasuk praktek diksi diskursus, wacana yang kita hadirkan beberapa hari terakhir termasuk hari hari yang akan datang.

54 diksi itu saya beri awalan ber menjadi: bertunduk, bersujud, bersyukur, berdoa, berkuasa, bertemu, berkumpul, berkeluarga,
bersatu, bermain, berlomba, bernostalgia, bergembira, berbahagia, bersahaja, berbagi, berkaca, berdiri, bersejarah, berkembang, berusia, berkomitmen, berbakti, berkarya, berilmu, bergaul, bersahabat, bermitra, berjuang, berpihak, bermasyarakat, berdesa, berbangsa, bernegara, bersama, berkhidmat, berteguh, bertekat, berniat, bersemangat, berpidato, berdialog, bergotong royong, bervisi, bergerak, berbenah, bermakna, berubah, berhasil, bermartabat, berkepribadian, berkemajuan, berjaya dan berkelanjutan.

Kalau 54 diksi kita kelompokkan, ada 5 gugus. Gugus yang pertama adalah eksistensi Tuhan yang berkuasa atas semesta alam. Yang kedua kita berkumpul termasuk pada malam hari ini keluarga besar, termasuk para sahabat. Yang ketiga adalah eksistensi Sekolah Tinggi yang berumur 54 Tahun. Yang keempat adalah tindakan kita hari ini dan hari esok. Dan yang kelima adalah visi hari esok dan masa depan.

54 diksi, dan kalau lima itu diperas dan dirangkai menjadi satu kalimat panjang, melahirkan rangkaian kalimat begini:
“Dengan bertunduk bersyukur bersujud dan berdoa kepada Allah SWT, Tuhan Maha Agung
yang berkuasa atas alam semesta, kita berkumpul, berkeluarga, bersatu, bermain, berlomba, bernostalgia, bergembira, berbahagia, secara bersahaja, sekaligus berbagi kepada sesama dan juga berkaca atau refleksi atas Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” yang berdiri, bersejarah, berkembang, dan berusia 54 tahun dalam berbakti, berkarya, berilmu, bergaul, bersahabat, bermitra, berjuang, berpihak, bermasyarakat, berdesa, berbangsa dan bernegara untuk bersama kita berkhidmat, berteguh, bertekad, berniat, bersemangat, berpidato, berdialog, dan bergotong royong agar kampus besar ini bervisi, bergerak, berbenah, bermakna, berubah, berhasil, bermartabat, berkepribadian, berkemajuan, dan berjaya secara berkelanjutan di masa depan.

Kalau serangkaian kalimat diperas lagi menjadi satu kata, itu namanya spiritualisme. Spiritualisme itu adalah cinta tanpa syarat: cinta pada Tuhan, cinta pada alam semesta, cinta pada manusia, dan cinta pada APMD. Cinta itu akan menggerakkan passion dan vocation, sehingga kita punya darma bakti yang lebih dalam kepada Sekolah Tinggi ini. Sebab Sekolah Tinggi ini adalah payung di kala panas dan di kala hujan untuk kita semua.

Pertemuan pada hari ini, malam ini, kita berlomba dengan penuh gembira, dengan penuh bahagia, kita bersatu. Tidak ada jarak antara dosen, pegawai, dan mahasiswa bersatu. Ini bagian dari bukti kita itu cinta. Cinta itu akan melahirkan makna “mendidik dengan melayani” dan “melayani dengan mendidik” Dan ini harus kita sepuh terus menerus, kita kembangkan menjadi nilai, menjadi tradisi untuk kita semuanya.

Hari-hari ini termasuk malam ini, kita juga mengisi kembali atau rujuvenasi, meremanjakan. Para sesepuh berkumpul bernostalgia supaya sel-selnya hidup kembali, mengingat masa lalu, sejarah masa silam itu menjadi perekat termasuk para kangmas dan mbakyu alumni berkumpul, pulang ke kampus ini dalam rangka untuk mengingat sejarah. Tetapi juga ada mahasiswa yang muda, yang punya harapan masa depan.

Nah saya berdiri di sini melakukan connecting antara sejarah masa lalu dan harapan masa depan. Ada banyak hal yang harus kita remajakan. Terutama paling dasar itu kita harus meremajakan dan menyuntikkan cinta kepada sesama dan kepada Sekolah Tinggi. Cinta menjadi kekuatan yang dahsyat untuk melangkah ke depan seperti pesan mars: APMD JAYA.

Demikian yang bisa saya sampaikan, terima kasih kepada para pihak, pada semuanya, kepada para dosen para pegawai yang telah mendedikasikan loyalitas, dan secara khusus pada hari hari ini kepada Bu Sri Suminar dan tim yang menyiapkan segala sesuatunya dalam kegiatan Dies Natalis yang ke 54.

Dirgahayu APMD…..APMD JAYA

Dr. Sutoro Eko Yunanto
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta

Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran (dari Pidato Dr Sutoro Eko Yunanto)

Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran

(dari Pidato Dr Sutoro Eko Yunanto)

Dalam rangka memperingati dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi, dengan tema “Maju dan Bermartabat” Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto menyampaikan pidato berjudul “Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran.”

Tema “Maju dan Bermartabat” bukan sekadar jargon rutinitas yang rutin sehingga menjadi sebuah formalisme yang terkena formalin. Sebaliknya tema itu adalah semangat, makna, vocation, dan passion, sekaligus sebagai start up untuk mencapai langka demi langkah, hari demi hari, perjalanan Sekolah Tinggi, yang tidak pernah lekang dimakan waktu.

Dekade 1980-an adalah dekade kejayaan APMD. Dekade 1990an adalah dekade decline Sekolah Tinggi. Dua dekade reformasi adalah dekade kebangkitan kembali Sekolah Tinggi. Pelan tapi pasti, reformasi (globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, politisasi, lokalisasi, desanisasi, pemberdayaan, dan lain-lain) telah memberikan struktur kesempatan bagi eksistensi Sekolah Tinggi, yang memaksa Sekolah Tinggi berorientasi keluar lebih luas, sekaligus membuka pandangan dunia luar kepada Sekolah Tinggi. Berkah reformasi, capaian APMD naik kelas dari perguruan tinggi yang survival menjadi developing, tentu masih di bawah perguruan tinggi unggul.

Jika dipandang dengan standar teknokratik, Sekolah Tinggi mempunyai kinerja capaian baik, sesuai standar rutin. Akreditasi B merupakan penanda kinerja Sekolah Tinggi yang berstandar rutin itu. Jika dielaborasi dengan naluri dan suasana kebatinan, darma pendidikan punya nilai B minus, penelitian punya nilai C, dan darma pengabdian lebih unggul punya nilai A minus.

APMD hadir pada tahun 1965 karena mengemban misi keilmuan. Sekolah Tinggi, sampai hari ini, bukanlah perguruan tinggi universal seperti universitas, melainkan perguruan tinggi partikular, yang khas dan unik. Ciri khas partikular itu ditandai dengan identitas dan ilmu “desa”, selain memiliki ilmu universal, yakni ISPH Ilmu sosial – politik humaniora. Tak sedikit para sahabat eksternal tak mau tahu tentang prodi dan ISPH, melainkan melihat identitas desa, yang menaruh harapan besar kepada Sekolah Tinggi memiliki “laboratorium desa” yang beragam di belahan Nusantara, melalui sentuhan Tridarma yang konkret.

Meskipun ada sejumlah mata kuliah yang berjudul “desa”, tetapi lewat begitu saja. Dosen dan mahasiswa umumnya tidak tahu hal ihwal desa, yang lebih banyak menekuni Ilmunya, bahkan dosen secara “rutinitas yang rutin” melakoni pengajaran mata kuliah yang diampunya selama bertahun-tahun.

ISPH menggunakan ilmu universal untuk melihat, mendidik, meneliti, dan menyuluh desa. Ilmu secara deduktif memandang desa sebagai lokasi dan obyek. Dalam praktik kebijakan, ini disebut dengan pendekatan sektoral, yang masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Posisi “Ilmu memandang desa” ini lazim dipakai oleh sebagian besar ilmuwan sosial baik domestik maupun asing, baik yang berhalauan orientalis-modernis maupun kaum revisionis-radikal.

Di Sekolah Tinggi, praktik “Ilmu memandang desa” ini juga terjadi. Dosen datang ke desa sebagai lokasi dan obyek penelitian dan pengabdian, dengan membawa konsep “berbasis masyarakat”, misalnya manajemen bencana berbasis masyarakat, pariwisata berbasis masyarakat, konservasi lingkungan berbasis masyarakat, manajemen sumber daya alam berbasis masyarakat dan sebagainya. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh tradisi community development ala Amerika atau Australia yang juga dibawa oleh CSR perusahaan multinasional ke Indonesia. Orang APMD kok bicara “berbasis masyarakat”, kenapa tidak bicara “berbasis desa”?

Desa berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi, dengan mengabaikan ISPH secara formal. Mengabaikan ilmu secara deduktif, ilmu desa ini bekerja secara induktif dengan pengetahuan lokal yang tumbuh dalam kehidupan desa maupun praktik kebijakan. Tetapi posisi ini terlalu romantis dan bahkan konyol, yang justru akan mengisolasi desa dari dunia dan narasi besar. Ilmu desa tidak mungkin berdiri sendiri tanpa berinteraksi dengan banyak ilmu universal.

ISPH dan desa blended bersenyawa menjadi satu. Ilmu berdesa, desa berilmu, atau mendesakan Ilmu dan mengilmukan desa. Blended ini dialektik, konstruktivis, reflektif, kontekstual dan relevan. Sutoro Eko secara personal mengambil posisi ini, tanpa meninggalkan Ilmu politik-pemerintahan, bahkan dirinya juga belajar sosiologi, sejarah, dan antropologi untuk memperkuat blended antara ilmu sosial dan desa.

Sebagai sarjana politik-pemerintahan Sutoro Eko membangkang ajaran Bapak Ilmu Politik, Aristoteles, yang meninggalkan asosiasi manusia bernama desa, menuju negara sebagai asosiasi pamungkas bagi manusia, yang memberi kehidupan etik secara baik dan sempurna bagi warga negara. Sebaliknya, Sutoro Eko mengambil posisi membela dan memuliakan desa, bukan karena sikap romantis-esensialis, tetapi sikap kontruktivis-transformatif. Pilihan ini diambil karena Sutoro Eko secara institusional bernaung di bawah payung APMD. Juga secara keilmuan, pilihan atas desa itu karena “Desa adalah sel negara, desa adalah pemilik negara”, dan secara historis-antropologis desa telah menciptakan negara.

Jika perspektif “desa ilmiah” melihat desa sebagai lokasi dan obyek semata, perspektif “desa semesta” secara utuh memandang desa sebagai ruang kehidupan manusia, yang lengkap mengandung kekuasaan, rakyat, sumberdaya ekonomi, identitas, wilayah, masyarakat dan seterusnya. Rural bukan sekadar area, melainkan mengandung tiga dimensi a) lokalitas b) kehidupan dan c) representasi.

Jika “desa ilmiah” bekerja secara masif dan berjangkauan luas dari makro-nasional, meso-regional dan mikro-lokal, maka juga harus ditandingi secara masif, baik melalui counter discourses, Ilmu blended, provokasi politik, praktik diskursif, maupun praktik konkret melalui pembelajaran dan pengorganisasian. Sekolah Tinggi, pegiat desa, dan para pemimpin desa bisa merajut gotong royong untuk melawan “desa ilmiah” itu dan memperjuangkan “desa semesta”.

Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Dalam rangka dies natalis ke 54, STPMD “APMD” Yogyakarta mengundang Dr. Pujo Semedi H.Y., M.A. dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia membawakan pidato ilmiah berjudul: Sakpada-pada. Kesetaraan di Pedesaan Jawa 1850-2010.”

Data yang menjadi dasar orasi Pujo Semedi dikumpulkan dari Patungkriyono, Pekalongan Selatan, Jawa Tengah. Melalui pengamatan terlibat dan pemeriksaan arsip dari waktu ke waktu ia bisa mengenali dinamika sosial yang berlangsung di kalangan petani yang sejak akhir abad ke 19 mengalami proses de-peasantrization.

Pada dekade 1950an dulu hanya orang kaya di Patungkriyono yang punya lembu, itupun paling hanya 3 atau 4 ekor lembu kurus. Setengah abad kemudian, setiap rumah tangga petani memiliki rata-rata 3 ekor lembu, sementara dua petani kaya tercatat memiliki 100 ekor lembu. Perubahan ini sama sekali berbeda dengan imajinasi umum seperti yang dibentuk oleh Rhoma Irama pada awal dekade 1980 dulu: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Pilkades sebagai arena de-akumulasi:
Pemilihan kepala desa adalah tontonan “adu jago” harus ada jago yang diadu. Jauh sebelum pilkades warga sudah kasak kusuk siapa dari dusun mereka yang mencalonkan diri. “Ayo Kang, angger sejen rika sapa maning sing mrantasi gawe. Urusan suara aja digawe kuwatir. Inyong kabeh sing bakal ngurus. Pokoke aman,” bujuk rayu warga kepada calon jago.

Pada titik ini pilkades bukan lagi perkara publik nasib pelayanan dan pembangunan desa 6 tahun mendatang, tetapi menjadi perkara pribadi penegakan harga diri mengikuti kredo “Lebih baik mati umuk, daripada mati ngantuk, lebih baik kalah uang daripada kalah uwong, boleh kalah jenang tapi aja nanti kalah jeneng.

Alumni Universitas Amsterdam Belanda itu menyimpulkan, persilangan proses akumulasi dan de-akumulasi, antara semangat elit untuk terus mengakumulasi kemakmuran berhadapan dengan semangat warga biasa untuk menjaga agar mereka tak jauh-jauh amat tertinggal. Ini bukanlah semata-mata peristiwa “lokalisasi politik” yang digerakkan pusat namun juga digerakkan oleh daya internal di dalam desa. @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

“Digitalisasi politik, pedang bermata dua”

Sejumlah 74 makalah dari tujuh negara dibahas dalam Internasional Conference on Advances Goverment and Political Sciences (ICAGPS2019) dan Digital Communication, Media and Journalism (ICCMJ-2019) yang digelar di STPMD “APMD” Yogyakarta 25-26 Oktober 2019.

Tiga pembicara utama yang tampil kemarin adalah Dr. Rizal Mohd Yaakop dari Universiti Teknologi Malaysia, Prof. Tutut Herawan Ph.D (coaching clinic Internasional Journal), dan Prof. Purwo Santoso Ph.D. Mereka membawakan makalah di depan sekitar 150 peserta dari berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia dan mancanegara.

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr Sutoro Eko Yunanto dalam opening speach mengatakan konferensi internasional ini memiliki tiga kata kunci: politik-pemerintahan, komunikasi dan community developnent. Namun, lanjutnya, di antara tiga kata kunci, terdapat satu kata kunci yang sama, yakni advances, yang secara etimologis bermakna promoting atau moving foward.

Sutoro Eko menjelaskan orang lebih suka berbicara pada sejumlah konsep yang direproduksi sebagai industri pemerintahan oleh neoliberalisme seperti transparansi, akuntabilitas, integritas, partisipasi, anti-korupsi. Bagi neoliberal, yang diikuti netizen milenial dan kaum kelas menengah kota, konsep “advance” lebih bermakna sebagai digitalisasi (data, informasi, media, teknologi, internet) terhadap kehidupan manusia, sebagaimana hadir dalam berbagai jargon: ekonomi digital, masyarakat digital, komunitas digital, politik digital maupun pemerintah digital.

Ketua APMD menggarisbawahi perangkat digital ibarat sebilah pedang bermata dua. Tubuh pedang itu adalah neoliberalisme, yang memanfaatkan perangkat digital untuk mengobati krisis kapitalisme, sekaligus memperkuat kapitalisme dengan prinsip efisiensi dan kecepatan informasi yang disediakan oleh perangkat digital. Namun kapitalisme bukan perkara bisnis biasa. Ia hidup bersentuhan dengan negara, pemerintah dan masyarakat. Neoliberalisme tak suka pada sistem politik-pemerintahan yang merugikan ekonomi pasar kapitalis, entah demokrasi atau otoritarian.

Ada dua jenis sistem-politik pemerintahan yang menjadi musuh neoliberalisme dan harus dihadapi dengan perangkat digital, Sutoro Eko menjelaskan. Satu mata pedang perangkat digital digunakan oleh masyarakat sipil, yang didukung oleh agen neoliberalisme, untuk menantang otoritarianisme dan membuka demokrasi. Contoh Arab Spring.

Mata pedang yang lain, digitalisasi melemahkan demokrasi, sesuai skenario neoliberalisme. Secara formal, demokrasi terus berfungsi tetapi menjadi semakin kosong, yang disebut sosiolog Inggris Colin Crough (2000) sebagai “pasca-demokrasi.” Ciri penting “pasca-demokrasi” adalah peningkatan kuasa agen neoliberal dan korporasi untuk memengaruhi keputusan yang diambil pemerintah nasional dalam menanggapi tekanan rakyat. Mereka juga memaksa mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan sosial, kecuali campur tangan yang menguntungkan pasar dan korporasi. Pemerintah juga dipaksa untuk mengadopsi perangkat digital sebagai bentuk kontrol teknokratis atas oligarki dan populisme.

Sutoro Eko juga memberi sejumlah tanda terhadap rezim digital dan pasca-demokrasi. Pertama, netizen merupakan bentuk jejaring komunalisme baru tanpa kewargaan. Kedua, rezim digital tidak percaya pada pemerintah dan negara, tetapi lebih percaya pada kapitalisme, sembari memaksa dan memanfaatkan negara untuk mengurus kepentingan mereka. Ketiga, efisiensi lebih penting ketimbang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Keempat, informasi lebih penting ketimbang harapan dan aspirasi rakyat. Kelima, standardisasi teknokrasi lebih penting ketimbang representasi politik. Keenam, kreator digital adalah pahlawan, yang lebih utama ketimbang guru, pemimpin rakyat atau profesor. Ketujuh, manusia semesta disederhanakan menjadi sumberdaya manusia sebagai alat produksi, yang harus mahir menggunakan perangkat digital.

Pada bagian akhir Sutoro Eko memberi saran agar kita tidak boleh gampang terkejut dan heran, lalu menjadikan digitalisasi sebagai berhala. Kita harus bersikap kritis dan emansipatoris. Digitalisasi politik harus ditandingi dengan politisasi digital, agar perangkat teknologi itu tidak dilembagakan menjadi teknokrasi, yang mereduksi segala aspek kehidupan manusia menjadi perkara teknis semata. Paling tidak orang bisa melakukan bullying terhadap digitalisasi politik maupun perangkat digital yang dilembagakan menjadi teknokrasi.

Internasional Conference on Advance Government and Political Sciences (ICAGPS 2019)

Ilmu Politik dan Pemerintahan adalah salah satu ilmu yang perkembangannya sangat cepat, hal itu karena pada prakteknya di lapangan baik di Indonesia maupun negara lain, selalu ada hal-hal baru di luar teori yang telah ada. Karena itu para akademisi dan ilmuwan di kampus harus mampu mengikuti perkembangan Ilmu Politik dan Pemerintahan pada praktek di pemerintahan dan kenegaraan.

Dalam bidang pemerintahan ditandai dengan merosotnya moralitas elite politik, hal ini terindikasi dengan penangkapan Kepala daerah dan elite politik karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Tindak pidana korupsi Kepala daerah dari tahun ke tahun semakin tinggi bersamaan dengan diselenggarakan Pemilu dan Pilkada serentak. Pesta demokrasi lima tahunan diwarnai dengan sarat tindakan politik uang. Hal ini menyebabkan beban berat bagi elite politik yang mengikuti kontestasi baik dalam Pemilu maupun Pilkada.

STPMD “APMD” Yogyakarta merupakan perguruan tinggi yang konsen pada berbagai permasalahan di lingkungan  sosial masyarakat secara khusus pada lingkup masyarakat desa. Selain itu kampus ini juga mempunyai perhatian pada perkembangan ilmu politik dan pemerintahan terutama pada perkembangan dan praktek di era otonomi daerah.

Panitia Internasional  Conference on Advance Government and Political Sciences (ICAGPS 2019) dari Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta akan menggelar acara tersebut pada 25 dan 26 Oktober 2019 di Ruang M. Soetopo Kampus “APMD” Jalan Timoho 317 Yogyakarta. Konferensi internasional yang akan dihadiri 77 orang dari tujuh negara (Indonesia, Australia, Malaysia, Korea, China, Iran, Philippina, dan Perancis) tersebut, juga akan ada partisipasi dari kalangan mahasiswa.

Mereka yang menjadi pembicara antara lain; Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta), Profesor Jemal Abawajy Ph.D (Deakin University, Australia), Profesor Ahmad Othman Ph.D (Universiti Teknologi Malaysia), Profesor Tai-Hoon Kim Ph.D (Women Sungshin University, Korea), Profesor Purwo Santoso Ph.D (Universitas Gadjah Mada, Indonesia), Profesor Tutut Herawan Ph.D (Coaching Clinic International Journal), RR Leslie R. Angeningsih Ph.D ( dosen STPMD “APMD”).

ICAGPS 2019 didedikasikan untuk mewujudkan pemerintah yang kuat, sehat, benar dan merakyat (governability). Oleh karena itu ACAGPS 2019 menjadi fasilitator bagi para ilmuwan politik/pemerintahan/sosial di Indonesia untuk menyemai pemikiran atau hasil riset yang akan disosialisasikan kepada pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan.

Asesmen Lapangan Reakreditasi Prodi PMD

“Kami sebagai asesor datang ke kampus ini bukan seperti jaksa, polisi atau KPK. Kami sama seperti bapak dan ibu yang suatu saat juga didatangi asesor. Jadi biasa saja tak perlu tegang. Ada dua ban, yaitu ban dalam dan ban luar. Nah kami ini ban luar,” kata Dr. Irsyad, S.E., M.Soc., Ph.D dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Ia bersama Prof.Dr. Syamsu Nujum, S.E, M.SI dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar melakukan assesmen lapangan Reakreditasi untuk Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (D3) 14-15 Oktober 2019. Mereka dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Saat mengunjungi BAAK pak Irsyad langsung minta data siapa dosen yang baru naik pangkat dan mahasiswa dengan IP tertinggi. Mas Tatag dengan lincah menjawab pertanyaan asesor. Di perpustakaan APMD pak Irsyad minta seorang mahasiswi yang sedang membaca buku di situ untuk menyebut satu buku dan mencari sendiri melalui komputer yang disediakan. Mahasiswi itu menulis buku Desa Baru Negara Lama karya Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto di komputer. Tak sampai dua menit buku sudah didapat.

Pada sambutan di awal assesmen lapangan, Sutoro Eko mengatakan, kampus ini didirikan oleh para eks tentara pelajar sebagai ucapan terima kasih kepada masyarakat desa yang membantu perjuangan pada perang mempertahankan kemerdekaan. Prodi Pembangunan Masyarakat Desa adalah cikal bakal STPMD tambah Ketua APMD. Pada tahun 1980an, APMD sering dipercaya oleh Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam perekrutan calon pegawai. Kini Prodi yang perkembangannya cepat adalah Ilmu Pemerintahan, hal ini sejalan dengan otonomi daerah yang membutuhkan banyak pemimpin daerah. @Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?