Diskusi Platform Ilmu Komunikasi

Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta mengadakan diskusi terbatas membahas platform Ilmu Komunikasi, Sabtu (7/3). Tiga pembicara menjadi pemantik diskusi yaitu Dr. JC. Tukiman Taruna (dosen Pascasarjana Undip dan Unika Soegijapranata, Semarang ), Nissa Cita Adinia (dosen Universitas Indonesia, Depok), dan Dr Sutoro Eko (Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta).

Tukiman Taruna dalam pemaparannya banyak menjelaskan tentang Community Development (CD). Ia mengatakan CD mempunyai tiga landasan pikir yaitu educational movement, equally applicable, dan main problem.

Pemberdayaan, kata Tukiman Taruna, adalah salah satu komponen penting dari CD. Dan tolok ukur akhir dan inti segala inti CD itu terletak pada Berkembangnya Martabat Manusia (Human Dignity). Sementara, lanjutnya, tiga komponen human dignity adalah pemberdayaan, partisipasi dan keadilan.

Tukiman Taruna memberi saran, pertama agar yang punya mimpi Komunikasi Pemberdayaan itu semakin banyak. Kedua, perbanyak dan aktifkan interest group untuk menguji Komunikasi Pemberdayaan. Dan ketiga, menentukan memendam paling tepat untuk “ngepyakke” Komunikasi Pemberdayaan ini.

Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata ini mengingatkan tentang fenomena Didi Kempot. Pelajaran dari Didi Kempot adalah jangan pernah berhenti dengan cita cita, jika jatuh tetaplah fokus pada mimpi. Didi Kempot adalah contoh rebranding. “Lagu sewu kutho itu sudah kita dengar sepuluh tahun lalu tapi kini anak muda milenial ikut menyukainya,” tambah Tukiman Taruna.

Nissa yang sedang menempuh kuliah S3 di UGM menjelaskan tentang perlunya Prodi Ilmu Komunikasi STPMD meraih anak muda perkotaan. Caranya dengan mengubah image prodi ini lebih milenial.

Sutoro Eko menawarkan Komunikasi Nusantara. Melalui pemaparannya berjudul Komunikasi Emansipatoris: Nusantara, Lokal, & Rakyat, yang menceritakan enam pengalaman dan pandangan awam terkait Prodi Ilmu Komunikasi di bawah payung STPMD “APMD”. Termasuk pandangan Novel Ali (2001), “Komunikasi tidak akan berkembang di APMD karena wadah dan isi tidak kompatibel.”

Ketua APMD itu menjelaskan genealogi dan posisi antara Konformis-Modernis dengan Kritis-Postmodernis. Pada sisi yang pertama ada Komunikasi Developmental dan Komunikasi Global – Neoliberal. Di sisi lain ada Komunikasi Post-Kolonial dan Komunikasi Lokal-Kultural. Ia mengingatkan bahwa program studi adalah institusi akademik sekaligus academic enterprise yang mengandung keilmuan, kelembagaan dan kemakmuran.

Sutoro Eko merekomendasikan PSIK mengambil posisi epistimologis yang melampaui perspektif konformis-modernis, sekaligus melaju pada mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Pemberdayaan lanjut Sutoro Eko, akan memperoleh tenaga-kuasa lebih besar ketika berdiri dengan mazhab yang kritis, posmodernis, dan emansipatoris. PSIK sebaiknya mengutamakan komunikasi masyarakat meskipun tidak meninggalkan komunikasi negara dan komunikasi korporasi. Bisa juga dengan urutan: komunikasi masyarakat, komunikasi negara, dan komunikasi korporasi, yang dipandang-disentuh dengan mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Komunikasi Nusantara
Pada 18 November 2019 lalu, Sutoro Eko sempat menyampaikan gagasan Komunikasi Nusantara, yang diilhami oleh Arsitektur Nusantara. Arsitektur selama ini dikenal sebagai ilmu dan seni modern dan industrial, tetapi hari ini juga berkembang kuat arsitektur posmodern, bahwa arsitektur tidak melulu berkiblat pada gedung-gedung menjulang tinggi di kota-kota megapolitan yang modern dan kejam itu, tetapi arsitektur juga menjadi kekuasaan, budaya dan pengetahuan lokal yang tersebar di ruang kehidupan lokal, di seluruh penjuru Nusantara.

Komunikasi Nusantara: Urat-nadi komunikasi dan darah informasi tidak hanya terjadi di ruang-ruang modern dan global, tetapi juga menyebar ke ruang kehidupan lokal di seluruh penjuru negeri dan desa, di Nusantara. Komunikasi-informasi sebagai representasi kekuasaan dan kedaulatan tidak hanya dimonopoli oleh kaum gedongan dan kelas menengah kota, tetapi juga harus disebar kepada kaum pinggiran di pelosok negeri. Dari hari ke hari, semakin banyak desa maupun komunitas budaya, secara emansipatoris menghadirkan dan mengkapitalisasi beragam khazanah lokal, yang membuka isolasi, masuk ke ranah global dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.