KKN di Kampung Halaman Peduli Covid-19

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko melepas 158 mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 53 di Kota Yogyakarta dan 131 peserta di luar Kota Yogyakarta, Rabu 15 Juli 2020. Pelaksanaan KKN tahun ini bertema KKN Peduli  Pandemi Covid-19. Di satu sisi mahasiswa yang tertahan di Yogyakarta, karena Covid-19,  melakukan KKN di Kota Yogyakarta. Sementara yang tertahan di kampung halaman, melakukan KKN di kampung halaman. Tercatat KKN di luar Kota Yogyakarta tersebar di 19 provinsi, 41 kabupaten dan 65 desa.

Sutoro Eko dalam pembekalan menyatakan bahwa KKN merupakan tempat mahasiswa Bergaul dengan rakyat, memupuk kepekaan melihat dengan konkret. Belajar, menetapkan realitas, memahami hubungan pemerintah desa dengan masyarakat. Bagaimana desa menangani Covid-19. Bekerja, jika diminta Desa untuk membantu menangani pandemi Covid-19, mahasiswa berarti mendapat kehormatan. Berdesa, berhubungan, bersenyawa, tak berjarak, memuliakan desa. Tentu mengritik desa juga bisa, mengritik untuk menguatkan.

Mahasiswa KKN harus mampu memahami desa dengan baik. Cara pandang modernis, Barat, Jakarta, memandang desa itu jadul, miskin, bodoh, malas, SDM rendah. Untuk itu solusinya adalah mengelola desa seperti kota. Pandangan strukturalis menganggap desa sebagai situs penindasan. Elit dianggap lalim dan rakus. Tentu saja pandangan  ini terlalu berlebihan. Pendekatan patologis mungkin benar secara ilmiah tetapi bisa gagal secara amaliah. KKN APMD  Yogyakarta merupakan arena melakukan “berilmu dengan beramal, beramal dengan berilmu.” Selain itu, KKN juga ajang mengabdi dengan meneliti dan meneliti dengan mengabdi.

Sutoro Eko menggarisbawahi jika ada sengketa antara pusat dengan daerah maka harus mendukung daerah. Jika ada sengketa daerah dengan desa maka harus mendukung. Jika ada sengketa antara Desa dengan rakyat Desa maka harus mendukung rakyat. “Jangan lupa membuat story telling. Ceritakan gotong royong, solidaritas sosial di desa tempat KKN,” ujar Sutoro Eko.

Yogyakarta, 15 Juli 2020

Diskusi Platform Ilmu Komunikasi

Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta mengadakan diskusi terbatas membahas platform Ilmu Komunikasi, Sabtu (7/3). Tiga pembicara menjadi pemantik diskusi yaitu Dr. JC. Tukiman Taruna (dosen Pascasarjana Undip dan Unika Soegijapranata, Semarang ), Nissa Cita Adinia (dosen Universitas Indonesia, Depok), dan Dr Sutoro Eko (Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta).

Tukiman Taruna dalam pemaparannya banyak menjelaskan tentang Community Development (CD). Ia mengatakan CD mempunyai tiga landasan pikir yaitu educational movement, equally applicable, dan main problem.

Pemberdayaan, kata Tukiman Taruna, adalah salah satu komponen penting dari CD. Dan tolok ukur akhir dan inti segala inti CD itu terletak pada Berkembangnya Martabat Manusia (Human Dignity). Sementara, lanjutnya, tiga komponen human dignity adalah pemberdayaan, partisipasi dan keadilan.

Tukiman Taruna memberi saran, pertama agar yang punya mimpi Komunikasi Pemberdayaan itu semakin banyak. Kedua, perbanyak dan aktifkan interest group untuk menguji Komunikasi Pemberdayaan. Dan ketiga, menentukan memendam paling tepat untuk “ngepyakke” Komunikasi Pemberdayaan ini.

Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata ini mengingatkan tentang fenomena Didi Kempot. Pelajaran dari Didi Kempot adalah jangan pernah berhenti dengan cita cita, jika jatuh tetaplah fokus pada mimpi. Didi Kempot adalah contoh rebranding. “Lagu sewu kutho itu sudah kita dengar sepuluh tahun lalu tapi kini anak muda milenial ikut menyukainya,” tambah Tukiman Taruna.

Nissa yang sedang menempuh kuliah S3 di UGM menjelaskan tentang perlunya Prodi Ilmu Komunikasi STPMD meraih anak muda perkotaan. Caranya dengan mengubah image prodi ini lebih milenial.

Sutoro Eko menawarkan Komunikasi Nusantara. Melalui pemaparannya berjudul Komunikasi Emansipatoris: Nusantara, Lokal, & Rakyat, yang menceritakan enam pengalaman dan pandangan awam terkait Prodi Ilmu Komunikasi di bawah payung STPMD “APMD”. Termasuk pandangan Novel Ali (2001), “Komunikasi tidak akan berkembang di APMD karena wadah dan isi tidak kompatibel.”

Ketua APMD itu menjelaskan genealogi dan posisi antara Konformis-Modernis dengan Kritis-Postmodernis. Pada sisi yang pertama ada Komunikasi Developmental dan Komunikasi Global – Neoliberal. Di sisi lain ada Komunikasi Post-Kolonial dan Komunikasi Lokal-Kultural. Ia mengingatkan bahwa program studi adalah institusi akademik sekaligus academic enterprise yang mengandung keilmuan, kelembagaan dan kemakmuran.

Sutoro Eko merekomendasikan PSIK mengambil posisi epistimologis yang melampaui perspektif konformis-modernis, sekaligus melaju pada mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Pemberdayaan lanjut Sutoro Eko, akan memperoleh tenaga-kuasa lebih besar ketika berdiri dengan mazhab yang kritis, posmodernis, dan emansipatoris. PSIK sebaiknya mengutamakan komunikasi masyarakat meskipun tidak meninggalkan komunikasi negara dan komunikasi korporasi. Bisa juga dengan urutan: komunikasi masyarakat, komunikasi negara, dan komunikasi korporasi, yang dipandang-disentuh dengan mazhab kritis, posmodernis, dan emansipatoris.

Komunikasi Nusantara
Pada 18 November 2019 lalu, Sutoro Eko sempat menyampaikan gagasan Komunikasi Nusantara, yang diilhami oleh Arsitektur Nusantara. Arsitektur selama ini dikenal sebagai ilmu dan seni modern dan industrial, tetapi hari ini juga berkembang kuat arsitektur posmodern, bahwa arsitektur tidak melulu berkiblat pada gedung-gedung menjulang tinggi di kota-kota megapolitan yang modern dan kejam itu, tetapi arsitektur juga menjadi kekuasaan, budaya dan pengetahuan lokal yang tersebar di ruang kehidupan lokal, di seluruh penjuru Nusantara.

Komunikasi Nusantara: Urat-nadi komunikasi dan darah informasi tidak hanya terjadi di ruang-ruang modern dan global, tetapi juga menyebar ke ruang kehidupan lokal di seluruh penjuru negeri dan desa, di Nusantara. Komunikasi-informasi sebagai representasi kekuasaan dan kedaulatan tidak hanya dimonopoli oleh kaum gedongan dan kelas menengah kota, tetapi juga harus disebar kepada kaum pinggiran di pelosok negeri. Dari hari ke hari, semakin banyak desa maupun komunitas budaya, secara emansipatoris menghadirkan dan mengkapitalisasi beragam khazanah lokal, yang membuka isolasi, masuk ke ranah global dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Rapat Anggota Tahunan (RAT) Kopkar “APMD”

Memanfaatkan Sambil Membesarkan, Membesarkan Sambil Memanfaatkan.

Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi Karyawan “APMD” hari ini (29/1) dibuka dengan “Kuliah Pendek” tentang sejarah dan ideologi koperasi oleh Ketua STPMD ‘APMD’ Yogyakarta Sutoro Eko. RAT ke XVIII kali ini dihadiri sekitar 108 anggota juga perwakilan dari Dinas Koperasi Kota Yogyakarta.

Ketua APMD mengatakan, koperasi tak lepas dari sosok Robert Owen, orang Inggris anak juragan kapas yang diperoleh dari tanah jajahan, India. Ia juga juragan, besi, kuda. “Pokoknya kaya raya,” ujar Sutoro Eko. Meskipun kaya tapi Owen humanis. Pada 1913 ia menulis buku “A New View of Society, an Essay on the Formation of Human Character.” Pandangan baru tentang masyarakat. Owen termasuk pencetus Sosialisme Utopis.

Sutoro Eko melanjutkan, dalam buku itu beberapa argumen ia kemukakan. Pertama, Owen menyatakan bahwa lingkungan sosial berpengaruh pada pembentukan karakter manusia. Saat itu Inggris dalam era revolusi industri, di mana banyak melahirkan orang serakah. Kedua, ia berbeda dengan orang liberalisme yang semata mata mengejar kekayaan dan kekuasaan. Ia liberalis yang sosialis. Bahwa manusia itu mempunyai kehendak mewujudkan kebebasan dengan cara mengorganisir diri. Kebebasannya bukan semata-mata individu tetapi juga kebebasan dari penindasan dan kemiskinan. Owen tak hanya menulis buku tapi juga bergerak. Ia memelopori membentuk desa koperasi. Ia menggabungkan spirit berdesa dan spirit berkoperasi. Itu sebuah komunitas di desa, koperasi itu digunakan untuk berproduksi secara mandiri. Produksi pangan, produksi pakaian. Dan kedua, desa koperasi itu dijadikan landasan untuk self governing. Untuk memerintah dirinya sendiri.

Yang kedua, papar Sutoro Eko, Owen memanusiakan buruhnya. Mensejahterakan buruhnya dengan prinsip-prinsip kemanuisaan, bahwa buruh itu bukan alat produksi tetapi sebagai manusia semesta. Dan buruh itu menjadi bagian dari basis gerakan ekonomi masyarakat. Ketiga, pendidik dengan kekayaan ia gunakan untuk mendidik termasuk untuk anak-anak buruh Supaya menjadi manusia merdeka dan tidak ditindas. Keempat, ia memelopori gerakan buruh. Serikat Buruh baik sebagai komunitas yang mendirikan koperasi juga sebagai civil society untuk bernegosiasi dengan juragan. Oleh karena itu di satu sisi ia sebagai Gemeinschaft sebagai juragan, di sisi lain ia berperan sebagai gesellschaft, yang ikut bernegosiasi dengan kapitalisme.

Kelima, gerakan koperasi, oleh karena itu Robert Owen dijuluki sebagai Bapak Koperasi. Perjuangan Owen kemudian dilanjutkan oleh seorang dokter bernama William King. Ia seorang dokter tetapi rajin membaca. Membaca literatur filsafat, politik, ekonomi termasuk buku legendaris yang ditulis oleh Adam Smith ‘The Wealth of Nations’. King kemudian memperluas gerakan Owen. Koperasi lalu mempunyai toko-toko untuk melayani masyarakat. Seperti di Kulonprogo berkembang Tomira (Toko Milik Rakyat). Itu namanya ekspansi koperasi.

Koperasi ideologinya sosialisme tetapi dalam perjalanannya yang namanya sosialisme itu berkembang sedemikian rupa. Kita mengenal di dunia sekarang ada arisan, ada koperasi, ada korporasi. Arisan itu orang berkumpul karena kesamaan keluarga atau hobi. Arisan itu menolong dirinya sendiri. Itu sangat komunitarian. Kalau koperasi itu basisnya sosialisme. Kalau korporasi itu kapitalisme. Perusahaan itu mengejar kekayaan. Kaya dengan cara meningkatkan pertumbuhan. Kalau koperasi mengutamakan social benefit. Mengutamakan pemerataan. Semangant kemakmurannya antara pemerataan dan pertumbuhan. Dalam perjalanannya koperasi itu irisan antara kapitalisme dan sosialisme. Sehingga ia tumbuh menjadi korporasi. Tetapi korporasinya rakyat. Bukan korporasinya juragan. Karena menjadi korporasi lalu koperasi harus tumbuh, kaya dan ekspansi. Selain tetap watak dasarnya memberi manfaat untuk para anggotanya. Tetapi pemiliknya adalah rakyat, para anggotanya sendiri.

Sutoro Eko mengingatkan, karena koperasi memupuk kekayaan maka ada orang menyampaikan kritik. “Ini kalau pinjam di koperasi bukan dipotong gaji tapi dipotong leher.” Itulah dilema koperasi. “Saya ingin memberi fakta di sini. Kita berkoperasi itu artinya memanfaatkan sambil membesarkan, membesarkan sambil memanfaatkan,” tegas Sutoro Eko.. Kalau kita mengikuti jalan sosialis, maka koperasi bisa bangkrut. Bangkrut itu bukan semata-mata manajemen salah urus. Tetapi karena ideologinya semata-mata pemerataan, social benefit. Tanpa memperhatikan pertumbuhan. Tanpa memperhatikan peningkatan aset. Semangat kita berkoperasi adalah memanfaatkan sambil membesarkan, membesarkan sambil memanfaatkan.

Fakta yang kedua, lanjut Ketua APMD, koperasi itu tak hanya mengandung konsumsi tetapi juga edukasi dan investasi. Selama ini banyak dari kita yang hanya memanfaatkan koperasi untuk konsumsi. Mari kita tingkatkan menjadi produksi dan investasi. Kita meminjam uang di koperasi untuk membeli laptop lalu dengan laptop baru kita semangat dan produktif menulis. Atau kita meminjam uang di koperasi untuk membeli handycam lalu menjadi youtuber. Itu artinya menjadi alat produksi untuk investasi. Investasi lain ya untuk sekolah baik sekolah diri sendiri maupun anaknya. Itulah Kopkar Foundation, tetapi untuk investasi pendidikan. Kalau untuk konsusmsi biasanya gali lubang tutup lubang.

Dari Dinas Koperasi Kota Yogyakarta menginformasikan di Kota Yogyakarta ada 45 koperasi sangat berkualitas, 122 koperasi cukup berkualitas dan 17 koperasi tidak berkualitas. Kopkar APMD, menurut bu Probo, masuk dalam kategori cukup berkualitas. Kopkar APMD juga mendapat skor 79,1 atau cukup sehat..

Negara Beradat, Adat Bernegara

Negara Beradat, Adat Bernegara:
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko menjadi narasumber pada FGD “Pengembangan kapasitas lembaga Saniri yang aspiratif pada pembangunan masyarakat desa adat di Kota Ambon,” di Jogja (23/1). FGD yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata Semarang didukung LPDP itu dihadiri sepuluh orang ahli diantaranya dua profesor dari Universitas Pattimura Ambon.

Sutoro Eko menyampaikan materi berjudul Negara Beradat, Adat Bernegara. Bagaimana memandang dan menempatkan Indonesia sebagai negara bangsa modern dan negeri bangsa yang memiliki keragaman adat, suku dan masyarakat lokal. Bisakah hal-hal baik berjalan bersama?

Menurut Sutoro Eko, salah satu prinsip normatif penghormatan dan pengakuan adat pada Pasal 18 UUD 1945. Bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisional. Pasal 28i: “Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Indonesia adalah negara semesta yang mengenal kerakyatan dan kewargaan sekaligus mengakui-menghormati (rekognisi) terhadap adat. Namun, lanjut Sutoro Eko, negara semesta tidak pernah hadir, yang hadir adalah negara developmentalis-modernis yang mewarisi negara kolonial dan disepuh dengan neoliberalisme.

Dalam diskursus desa dan adat, Sutoro Eko mencatat ada empat mazhab. Pertama romantis-esensialis (membela dan mempertahankan), kedua revisionis-radikal (melawan), ketiga orientalis-modernis (mengubah tapi memanfaatkan) dan keempat konstruktivis-transformatif (memuliakan dan memperkuat).

Satu contoh UU atau peraturan kaku di kertas tapi lentur di lapangan, terkait kepala desa yang jadi tersangka korupsi dana desa. Dari 2000an kasus hanya 900an yang benar-benar korupsi. Sisanya karena laporan keuangan yang tidak beres. Ada juga Kades yang nekat membangun kantor desa dengan dana desa meskipun dilarang. Karena itu kebutuhan dan tak ada dana yang dikorupsi maka Kemendagri dan Kemendesa membela Kades itu.

Tentang lembaga adat Saniri, di Kota Ambon ada 22 Negeri Adat yang dipimpin seorang Raja atau Kepala Desa. Badan Saniri Negeri merupakan jantung dari kesatuan masyarakat adat suatu negeri.

Setelah sesi diskusi yang cukup mendalam, Sutoro Eko yang pada 2010 mengadakan penelitian di Ambon itu menggarisbawahi “Hukum positif menjerat manusia, hukum liberal bisa menjerumuskan manusia. Maka dibutuhkan hukum deliberatif yang memuliakan manusia.” @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Mahasiswa, Desa, dan Negara

Mahasiswa, Desa, dan Negara:
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr Sutoro Eko menyambut 200an mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Musi Rawas Sumatera Selatan. Mereka dipimpin Dekan Dr M. Fadhillah Harnawansyah, S.IP., M.Si yang tak lain adalah alumni Ilmu Pemerintahan APMD.

Pada awal sambutannya Sutoro Eko menyebut buku The Narrow Corridor: States, Societies, and The Fate of Liberty karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (2019). Dua penulis itu sebelumnya menerbitkan bestseller internasional Why Nations Fail.

Mengapa satu bangsa Korea yang utara miskin yang selatan kaya. Mengapa suku bangsa di perbatasan Amerika dan Meksiko, bahasa dan warna kulit sama, tetapi yang utara Makmur Selatan tidak. “Ini bukan soal geografi, ini soal kekuasaan,” jelas Sutoro Eko.

Mengapa sebuah bangsa tak maju? Kata Jokowi karena birokrasi dan regulasi. Kata aktivis karena Oligarki. Sutoro berpesan agar menjadi mahasiswa tidak anti politik. Mahasiswa itu anak didik juga manusia. Di sana ada irisan yaitu intelektual. Mahasiswa harus berorganisasi, aktif di organisasi ekstra itu penting. Dengan organisasi mahasiswa belajar berkuasa untuk melayani mahasiswa yang lebih banyak.

Terkait Undang Undang Desa, Sutoro menyebut ini sebagai upaya membelenggu Leviathan negara agar jangan terlalu dominan. Sebab selama ini kehadiran negara ke Desa hanya menghisap.

Sutoro menilai hari ini desa menikmati liberti dan kemakmuran karena hidup pada “koridor sempit” yang dikendalikan dan ditindas oleh Leviathan (monster) kertas. Intelektualisme dan aktivisme mahasiswa perlu hadir untuk melawan dan membelenggu Leviathan

Desa Wisata & Air di Bukit Menoreh

Pada diskusi Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang (30/12), sempat mengemuka topik desa wisata. Maklum Desa Ngargoretno jaraknya hanya 6 kilometer dari Borobudur. Dan kini desa itu sedang giat mengembangkan desa wisata. Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko mengatakan, “Desa Wisata itu subyeknya desa. Pokdarwis menjadi bagian pengelola desa wisata itu. Tapi jangan latah. Desa A membuat embung atau taman lalu desa B membuat wahana wisata yang sama. Desa wisata merupakan korporasi rakyat. Rakyat yang menanam, rakyat yang memanen, dan rakyat yang menjual. Korporasi rakyat, dikonsolidasi desa, dan diproteksi negara.”

Jasa Lingkungan:
Terkait konservasi untuk wisata. Ketua APMD mempunyai pengalaman kegalauan warga dan perangkat desa di utara Kabupaten Sleman. Desa itu rajin melakukan konservasi dengan menanam pohon. Namun hasilnya yang langsung menikmati adalah hotel-hotel di bawah, Kota Yogyakarta. Karena itu, mereka melakukan negosiasi. Aparat desa itu menemui pengusaha hotel. “Jika pihak hotel tidak membayar jasa lingkungan, kami bisa saja menebang pohon-pohon yang kami tanam, Bagaimana menurut Pak Toro” ujar perangkat desa kepada Sutoro Eko. Ketua APMD itu menjawab dengan memberikan dua jempol.

Air di Bukit Menoreh:
Diskusi dengan topik Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang berakhir (30/12) dengan harapan di kemudian hari tercipta Air di Bukit Menoreh.

Selama ini karena kerusakan alam di DAS Progo yang berhulu di Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung kemudian melewati Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan berhilir di Kabupaten Kulonprogo. Jika Kemarau tiba Sungai Tangsi yang berhulu di Gunung Sumbing Kabupaten Magelang dan kemudian mengalir menjadi Progo berkurang airnya dan membuat Borobudur dan perbukitan Menoreh terdampak kekeringan.

Sebuah upaya gotong royong merevitalisasi DAS Progo khususnya Sungai Tangsi harus dilakukan agar fungsi sungai kembali seperti semula. Hidup dan menghidupi masyarakat sekitar. Herry pegiat desa asal Kabupaten Magelang menginisiasi sebuah pertemuan urun rembug yang dihadiri oleh kalangan yang beragam. Ada kepala desa dan perangkat desa, pegiat dan pendamping desa, komunitas wisata, pengelola desa wisata, perwakilan dari Pemkab seperti dari Dinas lingkungan hidup, pertanian, perhutani, hingga Bappeda Kab Magelang. Juga tentu saja hadir dari kalangan kampus dan LSM desa.

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko memberi masukan kepada forum itu dengan menjelaskan tentang subyek, obyek seperti salah satu topik pada pelajaran Bahasa Indonesia SPOK. “Setiap kita merancang dan melaksanakan kegiatan harus jelas siapa subyeknya dan obyeknya,” ujar Sutoro Eko.

Sutoro memberi contoh ada sebuah desa wisata yang dikelola Pokdarwis namun uangnya tak pernah mengalir ke kas desa. Kepala desa baru kemudian merombak pengelolaan wisata desa itu. Desa lalu tampil melalui BUMDes. Anggota Pokdarwis yang notabene adalah warga desa tetap direkrut tapi mereka hanya pengelola biasa yang harus bertanggung jawab kepada BUMDes.

Contoh lain dari Klaten tentang pengurus Gapoktan yang menghubungkan antara petani dengan pembeli kedelai hitam. Karena tak ada keterlibatan desa yang transparan maka pengurus Gapoktan seenaknya memainkan harga. Yang ujungnya merugikan petani.

Sutoro Eko menggarisbawahi untuk mencapai tujuan bersama harus ada koordinasi, konsolidasi, dan kolaborasi. Gotong royong harus dilakukan tapi gotong royong ala Soekarno yang holobis kuntul baris, anti individualisme dan penuh solidaritas. Bukan gotong royong ala Soeharto yang memobilisasi tenaga kerja secara gratis untuk membangun kepentingan publik.

@ Museum Alam Marmer Indonesia

WISUDA STPMD “APMD” JOGJA

Wisuda STPMD “APMD” hari Sabtu tanggal 30 November 2019 diikuti oleh 195 peserta dari 5 program studi. Program Diploma III PMD sebanyak 14 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Khori Khairu Tunisa, A.Md dengan IPK: 3,62. Program Sarjana Ilmu Sosiatri/ Pembangunan Sosial sebanyak 25 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Anisak Nur Latifah, S.Sos dengan IPK: 3,86. Program Sarjana Komunikasi sebanyak 20 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Kiki Marina Indriasari, S.I.Kom. dengan IPK: 3,54. Program Sarjana Ilmu Pemerintahan sebanyak 82 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Muslimatun Meilina Triwardani, S.I.P. dengan IPK: 3,68. Program Magister Ilmu Pemerintahan sebanyak 54 peserta, wisudawan/wati terbaik diraih oleh Azis Ahmad, S.Sos., M.I.P dengan IPK: 3,85.

Wisuda diselenggarakan di Auditorium STPMD “APMD” jalan Timoho 317 Yogyakarta. Aparatur pemkab Tambraw turut diwisuda pada Program Magister Ilmu Pemerintahan sebanyak 19 orang. Turut memberikan sambutan Ketua Keluarga Alumni Pembangunan Masyarakat Desa (Kapemada) Bapak As Martadani Noor dan Sambutan dari Keluarga Besar Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 Yogyakarta yang disampaikan oleh Pembina Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 yakni Bapak Drs. Sumarjono, M.Si.

Adapun sambutan Ketua STPMD “APMD” (Dr. Sutoro Eko Yunanto) diberi judul “Melepas, Mengangkat dan Mengubah”. Dalam sambutanya beliau menyampaikan bahwa Wisuda adalah perbuatan melepas dan mengangkat. Keduanya memiliki makna perubahan. Pertama, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, kemarin mendidik dan melayani mahasiswa sebagai anak didik, hari ini, melepas status mahasiswa anak didik itu menjadi sarjana dan alumni. Sebaliknya para mahasiswa juga sukses lepas dari lorong jalan panjang, dari hulu ke hilir, dari pangkal ke ujung, dari SIKAM sampai wisuda. Proses pelepasan ini butuh olah logika, olah wacana, olah karsa, olah rasa, olah raga dan olah dana, dengan proses yang sulit dan menyebalkan, meski juga ada banyak kegembiraan. Di balik kesulitan dan kesebalan itu terdapat hikmah bermakna, yang memberi empowering dan pengalaman berharga, sebab kesulitan dan kesebalan selalu hadir di setiap ruang dan waktu. Karena itu kami mengucapkan selamat kepada para wisudawan yang telah sukses lepas dari lorong panjang dan lepas dari statu lama memperoleh status baru. Pada hari ini juga, kami melepas wisudawan/wati dan alumni, sekaligus menyerahkan kembali kepada orang tua maupun keluarga, kami sertai dengan penghargaan yang luhur dan terima kasih yang agung kepada masyarakat yang telah memberi kehormatan kepada kami.

Meskipun telah lepas, alumni tetap menjadi anggota keluarga besar Sekolah Tinggi. Besok pulang kampus, suatu saat nanti, akan pulang kampus, baik untuk naik kelas ke Magister, atau untuk reuni temu kangen, atau yang lebih penting, pulang kampus hadir sebagai mitra yang berdarma bakti untuk almamater. Kami selalu berharap bahwa alumni tidak hanya membentuk paguyuban untuk temu kangen, tetapi juga membuat jaringan dan syukur juga kartel, yang saling membantu di level daerah, sekaligus juga mendukung kepentingan almamater.

Kedua, wisuda sebagai perubahan mengandung makna “mengangkat” atau menaikkan pendidikan, derajat, gelar, status, termasuk harkat-martabat, dari menengah menjadi tinggi, dari tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Dalam teori sosial, proses mengangkat ini disebut sebagai mobilitas sosial secara individual. Kenaikan kelas ini harus disyukuri secara seksama, selain karena sukses dalam mobilitas sosial, juga karena tidak setiap orang di republik ini, memiliki kesempatan dan kesanggupan mengakses mobilitas sosial. Sampai saat ini baru ada 5,3% orang Indonesia yang bisa menikmati akses sekolah ke perguruan tinggi. Secara umum tingkat pendidikan orang Indonesia baru pada level SMP.

Para sarjana lulusan Sekolah Tinggi yang sudah terangkat itu mempunyai kewajiban moral dan sosial untuk “mengangkat” orang lain, sebagaimana pesan Bapak Bangsa, Soekarno, tentang “ilmu yang amaliah, dan amal yang ilmiah”. Pertama, apapun profesinya, lulusan APMD mempunyai pengetahuan dan karakter sebagai sarjana sujana yang beramal dan bermanfaat untuk orang banyak, berpihak kepada rakyat, pinggiran, lokal dan desa. Bagi para sarjana yang sudah menduduki profesi sebagai Aparat Sipil Negara, jadilah penjaga republik (republic guardian), yang selalu melindungi dan melayani warga dengan vocation, hati, cinta dan kebajikan. Sejumlah alumni yang menyumbang tulisan dalam buku Memuliakan Desa: Pemikiran dan Sepak Terjang 50 Tahun Sutoro Eko (APMD Press, 2019) adalah para sosok sarjana sujana yang kami sebut itu. Kedua, sarjana jusana lulusan APMD yang beramal-bermanfaat itu, harus tetap ilmiah. Ini bukan berarti meminta sarjana menjadi ilmuwan. Bukan begitu. Tetapi apapun profesinya, lulusan APMD, dalam beramal tetap berilmu.

Dua hal, ilmu dan amal, itu merupakan makna pendidikan dan keilmuan yang hakiki. Ia bukan sekadar mengangkat mobilitas sosial sarjana, tetapi para sarjana APMD hadir menjadi bagian dari proses transformasi sosial, yang mengubah hidup orang lain atau institusi orang banyak. Pertama, sarjana berperan penting melakukan enabling dan empowering terhadap terhadap kaum pinggiran dan rakyat, yang tidak sanggup menikmati mobilitas sosial, agar mereka juga menikmati naik kelas meskipun tidak harus menjadi sarjana, misalnya dari hidup yang bertahan menjadi hidup yang berkembang. Kedua, memanfaatkan institusi – baik organisasi rakyat, organisasi masyarakat, desa, daerah, dan lain-lain – bukan semata untuk mempertahankan order dengan “rutininas yang rutin” tetapi untuk mengubah keadaan, termasuk memfasilitasi kepentingan orang banyak.

Sampai November 2019, STPMD “APMD” telah meluluskan sebanyak 16.458 orang. Kami ucapkan selamat dan sukses untuk para wisudawan dan wisudawati. Upacara wisuda ini merupakan awal dari perjuangan selanjutnya ditengah masyarakat… tetaplah semangat, semoga Tuhan YME senantiasa menyertai dalam meraih cita-cita…aamiin3x. (Suharyanto-Wakil Ketua II)

@ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Spiritualisme, Cinta dan Dies Natalis Ke-54 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Ibu bapak dan para mahasiswa yang berbahagia. Hari ini, dan secara khusus malam ini, kita menggelar tasyakuran dalam rangka menyambut dan memuliakan Dies Natalis yang ke-54 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, rumah besar kita ini. Apa makna 54?

Sebenarnya angka 54 sama dengan 53 atau 52. Kalau kita mengikuti jalan lurus, 54 itu usia yang matang, kalau santan tentu sangat kental. Kalau karier orang, itu karier orang yang sudah berkuasa, sehingga jadi tidak perlu berjuang lagi.

Tetapi kalau mengikuti makna usia dari Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris Raya pada era Perang Dunia II, hidup itu dimulai umur 40, hidup yang sebenarnya itu umur 40. Sebelum 40 tahun itu disebut berjuang. Orang yang berusia antara 20-40 tahun itu adalah usia berjuang dan harus jalan di tepi kiri (belok kiri) bukan jalan di kanan, jadi harus kritis dan radikal. Begitu masuk 40, orang harus belok kanan, tidak boleh di kiri lagi karena kata Churchill, sebelah kanan itu hidup yang nikmat, hidup yang enak dan hidup yang tinggal menikmati perjuangan selama 20 tahun.

Artinya kalau kita menapaki jalan hidup itu, berarti hidup Sekolah Tinggi 14 tahun. Tapi sangat masuk akal, 14 tahun ini adalah angka yang penting. Selama 14 tahun terakhir, kita Sekolah Tinggi naik kelas dari survival ke developing, dari bertahan ke berkembang. Sebelum itu adalah era bertahan yang penuh perjuangan dan selama 14 tahun ini kita mengalami kenaikan signifikan, sehingga itulah yang harus kita syukuri secara bersama. Tahap kita sekarang ini adalah developing, tentu kita harus berjuang lebih keras lagi supaya kita lebih unggul, matang, lebih mature, advanced, dan seterusnya.

Tetapi saya juga sedikit kritik dan nakal, apa makna 54 tahun, jangan-jangan ini hanya pengalaman 1 tahun yang diulang-ulang 54 kali. Oleh karena itu setiap ulang tahun seperti ini, harus diberi makna. Bukan rutinitas yang rutin tapi harus rutinitas yang bermakna.

Maknanya begini, saya mengajukan 54 diksi, 54 kosa kata, yang itu mengiringi perjalanan 54 tahun APMD. Diksi yang biasa kita ungkapkan atau praktik yang biasa kita lakukan termasuk praktek diksi diskursus, wacana yang kita hadirkan beberapa hari terakhir termasuk hari hari yang akan datang.

54 diksi itu saya beri awalan ber menjadi: bertunduk, bersujud, bersyukur, berdoa, berkuasa, bertemu, berkumpul, berkeluarga,
bersatu, bermain, berlomba, bernostalgia, bergembira, berbahagia, bersahaja, berbagi, berkaca, berdiri, bersejarah, berkembang, berusia, berkomitmen, berbakti, berkarya, berilmu, bergaul, bersahabat, bermitra, berjuang, berpihak, bermasyarakat, berdesa, berbangsa, bernegara, bersama, berkhidmat, berteguh, bertekat, berniat, bersemangat, berpidato, berdialog, bergotong royong, bervisi, bergerak, berbenah, bermakna, berubah, berhasil, bermartabat, berkepribadian, berkemajuan, berjaya dan berkelanjutan.

Kalau 54 diksi kita kelompokkan, ada 5 gugus. Gugus yang pertama adalah eksistensi Tuhan yang berkuasa atas semesta alam. Yang kedua kita berkumpul termasuk pada malam hari ini keluarga besar, termasuk para sahabat. Yang ketiga adalah eksistensi Sekolah Tinggi yang berumur 54 Tahun. Yang keempat adalah tindakan kita hari ini dan hari esok. Dan yang kelima adalah visi hari esok dan masa depan.

54 diksi, dan kalau lima itu diperas dan dirangkai menjadi satu kalimat panjang, melahirkan rangkaian kalimat begini:
“Dengan bertunduk bersyukur bersujud dan berdoa kepada Allah SWT, Tuhan Maha Agung
yang berkuasa atas alam semesta, kita berkumpul, berkeluarga, bersatu, bermain, berlomba, bernostalgia, bergembira, berbahagia, secara bersahaja, sekaligus berbagi kepada sesama dan juga berkaca atau refleksi atas Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” yang berdiri, bersejarah, berkembang, dan berusia 54 tahun dalam berbakti, berkarya, berilmu, bergaul, bersahabat, bermitra, berjuang, berpihak, bermasyarakat, berdesa, berbangsa dan bernegara untuk bersama kita berkhidmat, berteguh, bertekad, berniat, bersemangat, berpidato, berdialog, dan bergotong royong agar kampus besar ini bervisi, bergerak, berbenah, bermakna, berubah, berhasil, bermartabat, berkepribadian, berkemajuan, dan berjaya secara berkelanjutan di masa depan.

Kalau serangkaian kalimat diperas lagi menjadi satu kata, itu namanya spiritualisme. Spiritualisme itu adalah cinta tanpa syarat: cinta pada Tuhan, cinta pada alam semesta, cinta pada manusia, dan cinta pada APMD. Cinta itu akan menggerakkan passion dan vocation, sehingga kita punya darma bakti yang lebih dalam kepada Sekolah Tinggi ini. Sebab Sekolah Tinggi ini adalah payung di kala panas dan di kala hujan untuk kita semua.

Pertemuan pada hari ini, malam ini, kita berlomba dengan penuh gembira, dengan penuh bahagia, kita bersatu. Tidak ada jarak antara dosen, pegawai, dan mahasiswa bersatu. Ini bagian dari bukti kita itu cinta. Cinta itu akan melahirkan makna “mendidik dengan melayani” dan “melayani dengan mendidik” Dan ini harus kita sepuh terus menerus, kita kembangkan menjadi nilai, menjadi tradisi untuk kita semuanya.

Hari-hari ini termasuk malam ini, kita juga mengisi kembali atau rujuvenasi, meremanjakan. Para sesepuh berkumpul bernostalgia supaya sel-selnya hidup kembali, mengingat masa lalu, sejarah masa silam itu menjadi perekat termasuk para kangmas dan mbakyu alumni berkumpul, pulang ke kampus ini dalam rangka untuk mengingat sejarah. Tetapi juga ada mahasiswa yang muda, yang punya harapan masa depan.

Nah saya berdiri di sini melakukan connecting antara sejarah masa lalu dan harapan masa depan. Ada banyak hal yang harus kita remajakan. Terutama paling dasar itu kita harus meremajakan dan menyuntikkan cinta kepada sesama dan kepada Sekolah Tinggi. Cinta menjadi kekuatan yang dahsyat untuk melangkah ke depan seperti pesan mars: APMD JAYA.

Demikian yang bisa saya sampaikan, terima kasih kepada para pihak, pada semuanya, kepada para dosen para pegawai yang telah mendedikasikan loyalitas, dan secara khusus pada hari hari ini kepada Bu Sri Suminar dan tim yang menyiapkan segala sesuatunya dalam kegiatan Dies Natalis yang ke 54.

Dirgahayu APMD…..APMD JAYA

Dr. Sutoro Eko Yunanto
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta

Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran (dari Pidato Dr Sutoro Eko Yunanto)

Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran

(dari Pidato Dr Sutoro Eko Yunanto)

Dalam rangka memperingati dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi, dengan tema “Maju dan Bermartabat” Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto menyampaikan pidato berjudul “Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran.”

Tema “Maju dan Bermartabat” bukan sekadar jargon rutinitas yang rutin sehingga menjadi sebuah formalisme yang terkena formalin. Sebaliknya tema itu adalah semangat, makna, vocation, dan passion, sekaligus sebagai start up untuk mencapai langka demi langkah, hari demi hari, perjalanan Sekolah Tinggi, yang tidak pernah lekang dimakan waktu.

Dekade 1980-an adalah dekade kejayaan APMD. Dekade 1990an adalah dekade decline Sekolah Tinggi. Dua dekade reformasi adalah dekade kebangkitan kembali Sekolah Tinggi. Pelan tapi pasti, reformasi (globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, politisasi, lokalisasi, desanisasi, pemberdayaan, dan lain-lain) telah memberikan struktur kesempatan bagi eksistensi Sekolah Tinggi, yang memaksa Sekolah Tinggi berorientasi keluar lebih luas, sekaligus membuka pandangan dunia luar kepada Sekolah Tinggi. Berkah reformasi, capaian APMD naik kelas dari perguruan tinggi yang survival menjadi developing, tentu masih di bawah perguruan tinggi unggul.

Jika dipandang dengan standar teknokratik, Sekolah Tinggi mempunyai kinerja capaian baik, sesuai standar rutin. Akreditasi B merupakan penanda kinerja Sekolah Tinggi yang berstandar rutin itu. Jika dielaborasi dengan naluri dan suasana kebatinan, darma pendidikan punya nilai B minus, penelitian punya nilai C, dan darma pengabdian lebih unggul punya nilai A minus.

APMD hadir pada tahun 1965 karena mengemban misi keilmuan. Sekolah Tinggi, sampai hari ini, bukanlah perguruan tinggi universal seperti universitas, melainkan perguruan tinggi partikular, yang khas dan unik. Ciri khas partikular itu ditandai dengan identitas dan ilmu “desa”, selain memiliki ilmu universal, yakni ISPH Ilmu sosial – politik humaniora. Tak sedikit para sahabat eksternal tak mau tahu tentang prodi dan ISPH, melainkan melihat identitas desa, yang menaruh harapan besar kepada Sekolah Tinggi memiliki “laboratorium desa” yang beragam di belahan Nusantara, melalui sentuhan Tridarma yang konkret.

Meskipun ada sejumlah mata kuliah yang berjudul “desa”, tetapi lewat begitu saja. Dosen dan mahasiswa umumnya tidak tahu hal ihwal desa, yang lebih banyak menekuni Ilmunya, bahkan dosen secara “rutinitas yang rutin” melakoni pengajaran mata kuliah yang diampunya selama bertahun-tahun.

ISPH menggunakan ilmu universal untuk melihat, mendidik, meneliti, dan menyuluh desa. Ilmu secara deduktif memandang desa sebagai lokasi dan obyek. Dalam praktik kebijakan, ini disebut dengan pendekatan sektoral, yang masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Posisi “Ilmu memandang desa” ini lazim dipakai oleh sebagian besar ilmuwan sosial baik domestik maupun asing, baik yang berhalauan orientalis-modernis maupun kaum revisionis-radikal.

Di Sekolah Tinggi, praktik “Ilmu memandang desa” ini juga terjadi. Dosen datang ke desa sebagai lokasi dan obyek penelitian dan pengabdian, dengan membawa konsep “berbasis masyarakat”, misalnya manajemen bencana berbasis masyarakat, pariwisata berbasis masyarakat, konservasi lingkungan berbasis masyarakat, manajemen sumber daya alam berbasis masyarakat dan sebagainya. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh tradisi community development ala Amerika atau Australia yang juga dibawa oleh CSR perusahaan multinasional ke Indonesia. Orang APMD kok bicara “berbasis masyarakat”, kenapa tidak bicara “berbasis desa”?

Desa berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi, dengan mengabaikan ISPH secara formal. Mengabaikan ilmu secara deduktif, ilmu desa ini bekerja secara induktif dengan pengetahuan lokal yang tumbuh dalam kehidupan desa maupun praktik kebijakan. Tetapi posisi ini terlalu romantis dan bahkan konyol, yang justru akan mengisolasi desa dari dunia dan narasi besar. Ilmu desa tidak mungkin berdiri sendiri tanpa berinteraksi dengan banyak ilmu universal.

ISPH dan desa blended bersenyawa menjadi satu. Ilmu berdesa, desa berilmu, atau mendesakan Ilmu dan mengilmukan desa. Blended ini dialektik, konstruktivis, reflektif, kontekstual dan relevan. Sutoro Eko secara personal mengambil posisi ini, tanpa meninggalkan Ilmu politik-pemerintahan, bahkan dirinya juga belajar sosiologi, sejarah, dan antropologi untuk memperkuat blended antara ilmu sosial dan desa.

Sebagai sarjana politik-pemerintahan Sutoro Eko membangkang ajaran Bapak Ilmu Politik, Aristoteles, yang meninggalkan asosiasi manusia bernama desa, menuju negara sebagai asosiasi pamungkas bagi manusia, yang memberi kehidupan etik secara baik dan sempurna bagi warga negara. Sebaliknya, Sutoro Eko mengambil posisi membela dan memuliakan desa, bukan karena sikap romantis-esensialis, tetapi sikap kontruktivis-transformatif. Pilihan ini diambil karena Sutoro Eko secara institusional bernaung di bawah payung APMD. Juga secara keilmuan, pilihan atas desa itu karena “Desa adalah sel negara, desa adalah pemilik negara”, dan secara historis-antropologis desa telah menciptakan negara.

Jika perspektif “desa ilmiah” melihat desa sebagai lokasi dan obyek semata, perspektif “desa semesta” secara utuh memandang desa sebagai ruang kehidupan manusia, yang lengkap mengandung kekuasaan, rakyat, sumberdaya ekonomi, identitas, wilayah, masyarakat dan seterusnya. Rural bukan sekadar area, melainkan mengandung tiga dimensi a) lokalitas b) kehidupan dan c) representasi.

Jika “desa ilmiah” bekerja secara masif dan berjangkauan luas dari makro-nasional, meso-regional dan mikro-lokal, maka juga harus ditandingi secara masif, baik melalui counter discourses, Ilmu blended, provokasi politik, praktik diskursif, maupun praktik konkret melalui pembelajaran dan pengorganisasian. Sekolah Tinggi, pegiat desa, dan para pemimpin desa bisa merajut gotong royong untuk melawan “desa ilmiah” itu dan memperjuangkan “desa semesta”.

Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Dalam rangka dies natalis ke 54, STPMD “APMD” Yogyakarta mengundang Dr. Pujo Semedi H.Y., M.A. dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia membawakan pidato ilmiah berjudul: Sakpada-pada. Kesetaraan di Pedesaan Jawa 1850-2010.”

Data yang menjadi dasar orasi Pujo Semedi dikumpulkan dari Patungkriyono, Pekalongan Selatan, Jawa Tengah. Melalui pengamatan terlibat dan pemeriksaan arsip dari waktu ke waktu ia bisa mengenali dinamika sosial yang berlangsung di kalangan petani yang sejak akhir abad ke 19 mengalami proses de-peasantrization.

Pada dekade 1950an dulu hanya orang kaya di Patungkriyono yang punya lembu, itupun paling hanya 3 atau 4 ekor lembu kurus. Setengah abad kemudian, setiap rumah tangga petani memiliki rata-rata 3 ekor lembu, sementara dua petani kaya tercatat memiliki 100 ekor lembu. Perubahan ini sama sekali berbeda dengan imajinasi umum seperti yang dibentuk oleh Rhoma Irama pada awal dekade 1980 dulu: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Pilkades sebagai arena de-akumulasi:
Pemilihan kepala desa adalah tontonan “adu jago” harus ada jago yang diadu. Jauh sebelum pilkades warga sudah kasak kusuk siapa dari dusun mereka yang mencalonkan diri. “Ayo Kang, angger sejen rika sapa maning sing mrantasi gawe. Urusan suara aja digawe kuwatir. Inyong kabeh sing bakal ngurus. Pokoke aman,” bujuk rayu warga kepada calon jago.

Pada titik ini pilkades bukan lagi perkara publik nasib pelayanan dan pembangunan desa 6 tahun mendatang, tetapi menjadi perkara pribadi penegakan harga diri mengikuti kredo “Lebih baik mati umuk, daripada mati ngantuk, lebih baik kalah uang daripada kalah uwong, boleh kalah jenang tapi aja nanti kalah jeneng.

Alumni Universitas Amsterdam Belanda itu menyimpulkan, persilangan proses akumulasi dan de-akumulasi, antara semangat elit untuk terus mengakumulasi kemakmuran berhadapan dengan semangat warga biasa untuk menjaga agar mereka tak jauh-jauh amat tertinggal. Ini bukanlah semata-mata peristiwa “lokalisasi politik” yang digerakkan pusat namun juga digerakkan oleh daya internal di dalam desa. @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?