Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan

(7/7/2021) Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta melaksanakan Webinar bersama Alumni dengan tema Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan yang diikuti oleh 100 peserta menggunakan Zoom Meeting. Webinar tersebut dimaksudkan untuk merekatkan hubungan Kampus dengan para Alumni serta mengundang beberapa Alumni untuk berpartisipasi sebagai Narasumber. Hadir dalam Webinar Hermus Indou, S.IP., MH (Bupati Kabupaten Manokwari), Tommy Andana, S.IP., M.AP (Kabag Sekretariat Wakil Ketua MPR), John Patalas, S.IP (Kasi Pengelolaan Aset Desa Kabupaten Landak), Martanti Dwi S. S.IP (Enterpreuner), Rosaria Renyaan, S.Sos, M.Si (Kasubag Bela Negara dan Karakter Bangsa Bandan Kesbangpol Provinsi Maluku) dan dipandu oleh Gregorius Sahdan, S.IP., M.A sebagai moderator. Pembawa acara yakni Mohamad Firdaus, S.IP., M.A memandu jalannya acara dengan pertama membacakan doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menyaksikan video profil STPMD “APMD” dan diskusi panel oleh narasumber dan moderator. Dr Sutoro Eko Yunanto selaku Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta memberikan sambutan yang hangat dengan menitikberatkan antara hubungan Alumni dan Almamater yang harus selalu dijaga dan mengingatkan untuk pulang kampus. Alumni harus saling mendukung satu sama lain, yang akan menjadi kepala desa, menjadi pemerintah, menjadi ASN harus didukung agar keterikatan sesama alumni semakin erat.

“Kontribusi yang akan dilakukan oleh Alumni di Manokwari yaitu membentuk organisasi dan nantinya melakukan sosialisasi agar APMD bisa dikenal oleh masyarakat Manokwari” Ucap Bupari Manokwari sebagai narasumber yang pertama. Selain itu Bupati Manokwari menerangkan bahwa Ilmu Pemerintahan sangat implikatif dalam dunia kerja sehingga hal tersebut perlu dimaksimalkan bagi adik-adik mahasiswa di APMD. Narasumber kedua Tommy Adana yang pernah menjadi pengurus Komap (Kors Mahasiswa Ilmu Pemerintahan) menyampaikan bahwa perlu ada motivasi untuk Alumni yang pasif, kampus perlu melakukan komitmen untuk berperan dalam memotivasi Alumni sehingga nantinya akan ada kontribusi nyata bagi para Alumni. Organisasi kampus juga memiliki peran yang besar dalam meniti karir didunia kerja, sehingga mahasiswa perlu memaksimalkan potensi keorganisasian untuk menambah percaya diri dan banyak hal positif yang lain. John Patalas selaku narasumber ketiga menyampaikan dengan adanya organisasi kemahasiswaan di APMD memberikan kontribusi nyata bagi pribadi mahasiswa. APMD juga selalu melakukan perubahan cepat terhadap isu-isu nasional sehingga ilmu yang disampaikan ke mahasiswa sangat aktual dan bisa bermanfaat. Narasumber selanjutnya Martanti Dwi S. menyampaikan perspektif entrepreuner dalam kontribusi untuk perkembangan kampus. Poin penting dalam dunia kerja terutama di dunia usaha yakni kita semua  memiliki peluang untuk menciptakan pekerjaan dan berwiraswasata (masyarakat ekonomi) adalah jalan lain menjadi langkah pertama untuk berkontribusi untuk masyarakat luas. Rosaria Renyaan alumni Ilmu Sosiatri memberikan sumbangan pemikiran terkait Kolaborasi antar Prodi dalam mengembangkan Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Yang pertama yakni membuat kurikulum konkrit disetiap prodi yang sesuai dengan kebutuhan dimasyarakat dan yang kedua adalah perlunya jurnal ilmiah bersama untuk bersama-sama mengenalkan karya dan tulisan Dosen, Mahasiswa maupun alumni untuk bisa mensyiarkan ajaran APMD, sehingga memiliki dampak positif juga dalam meningkatkan akreditasi prodi.

BEDAH BUKU “MENJERAT GUSDUR”

Buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama yang sempat fenomenal pada akhir 2019 dan awal 2020, dibedah dan diskusikan di Kampus Desa STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin, 30 November 2020. Tampil sebagai pembicara penulis buku Virdika Rizky Utama dan Tri Agus Susanto, dosen Prodi Ilmu Komunikas, serta moderator Dr. Irsasri.

Diskusi bedah buku “Menjerat Gus Dur” karya alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi dan Humas STPMD “APMD” Yogyakarta di Ruang Sidang yang dihadiri para aktivis mahasiswa dan dosen. Selain itu, diskusi juga bisa diiukuti melalui zoom.

Virdika membuka pembicaraan dengan menyampaikan informasi terakhir bahwa dirinya belum lama ini diundang oleh seorang pengusaha yang namanya disebut dalam buku Menjerat Gus Dur. Pengusaha itu tak mengancam ataupun memuji buku yang menghebohkan itu. Ia hanya menyadari “kebodohan” komplotannya mengapa dokumen yang begitu penting bisa jatuh ke tangan seorang jurnalis cum aktivis? Di akhir pertemuan Virdi dikasih segepok uang dolar Amerika Serikat selembarnya nominal 100 dolar. Virdi menolak dengan halus. “Terima kasih pak, tapi maaf saya tak bisa menerima. Jika bapak mau memberi uang kepada saya belilah buku saya,” ujar Virdi.

Virdi kemudian bercerita tentang asal mula dokumen yang ia dapatkan secara tak sengaja. Saat mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika itu masih menjadi jurnalis di Gatra (2017), ia mendapat tugas mewawancarai seorang tokoh di Partai Golkar di kantor DPP Slipi, Jakarta Barat. Tak sengaja ia mendapat “harta karun” dari sampah yang hendak dibuang atau dijual secara kiloan oleh seorang office boy.

Ternyata yang Virdi temukan adalah dokumen konspirasi penjatuhan Gus Dur yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lintas partai dan organisasi massa pemuda dan mahasiswa hingga keterlibatan media massa.  Virdi kemudian mendiskusikan temuannya dengan para senior di Didaktika. Selain itu, Virdi juga berdiskusi dengan komunitas lain termasuk dengan Savic Ali, penerbit buku yang juga mantan aktivis mahasiswa 1998.

Sepanjang tahun 2018 Virdi melakukan riset di sela-sela tugasnya sebagai jurnalis. Setelah dari Gatra, Virdi pernah bekerja di Narasi yang dipimpin oleh Nadjwa Shihab. Ia kemudian menelusuri dan mewawancarai nama-nama yang disebut pada dokumen itu. Dari Amien Rais, Akbar Tanjung, Priyo Budi Santoso, Mahfud MD, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak sampai Fuad Bawasir. Pendek kata ada puluhan orang ia wawancarai. Tentu saja ada yang menerima dengan baik, ada yang menolak, bahkan Amien Rais sempat mengancam atau menahannya saat diwawancarai Virdi di rumahnya.

Terkait judul buku yang menggunakan kata menjerat, Virdi terinspirasi ketika suatu saat melihat ayam yang dijerat untuk ditangkap. Jeratan terhadap ayam itu tak cuma satu tali tapi beberapa tali. Ini mengingatkan pada persekongkolan para elit politik dan para oligark sisa-sisa Orde Baru yang tak nyaman dan tak ingin Gus Dur sukses menjalankan amanat reformasi.

Bagi sebagaian besar warga NU, ujar Virdi yang sudah berkeliling ke berbagai kota dan pesantren, buku ini semacam air pelepas dahaga, yang selama dua puluh tahun tak dirasakan terkait kebenaran sejarah pelengseran Gus Dur daru kursi Presiden RI. Warga NU sangat percaya, inilah yang pernah disampaikan Gus Dur pada acara Kick Andy kepada Andy Noya, “Nanti sejarah akan membuka kebenaran itu..”

Sebelum meulis Menjerat Gus Dur, Virdi menerbitkan buku tentang Forum demokrasi yang dipimpin Gus Dur berjudul Demokrasi dan Toleransi dalamn represi Orde Baru (2018). Selain pernah di majalah mingguan berita Gatra dan Narasi, Virdi juga pernah menjadi jurnalis majalah Sawit Indonesia dan juga sebagai Fellow Researcher di PARA Syndicate. Kini Virdi sedang menyiapkan kuliah S2 di National University of Singapoe (NUS), yang disebutnya sebagai NU Cabang Sungapura.

Tri Agus Susanto, pembicara kedua, adalah sama-sama aktivis pers mahasiswa di UNJ (dulu IKIP Jakarta) hanya berbeda lima dengan Virdi. Lima tahun? Bukan, lima kali Piala Dunia. Dosen komunikasi politik itu lebih banyak menyampaikan bagaimana proses kreatif Virdi hingga tercipta buku Menjerat Gus Dur. Ia menggarisbawahi bahwa buku ini bisa tercipta karena selain Virdi mempunyai dua modal yaitu metodologi sejarah dan bekal jurnalis, juga keberanian dan kepedulian dari seorang aktivis. Jika hanya bermodal metodologi dan keahlian penulisan tanpa keberanian dan dan kepedulian, mungkin Virdi sudah takut dahulu dengan banyaknya ancaman, dan buku tak jadi terbit.

Panitia menyediakan sepuluh buku Menjerat Gus Dur untuk peserta yang pertanyaannya menarik, baik yang di dalam ruang sidang maupun yang melalui zoom. Sebelumnya Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Habib Muhsin mengatakan diskusi bedah buku ini sebenarnya sudah direncanakan awal tahun ini namun karena ada pandemi Covid 19 sehingga baru bisa dilaksanakan hari ini. Saat ini pun kampus APMD masih kuliah dari sehingga diskusi dilakukan terbatas namun bisa diikuti secara daring melalui zoom.

MERAIH KESEMPATAN DI TENGAH KONDISI KRISIS

Dalam rangka merayakan dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi yang bersahaja ini,  izinkan saya menyampaikan Pidato Kelembagaan Ketua, dengan menyajikan tema “Meraih Kesempatan di Tengah Kondisi Krisis”, yang sekaligus sebagai tanggungjawab kepengurusan kami selama satu tahun terakhir.

Awal tahun 2020 lalu, kami telah memberikan arah Resolusi 2020, guna memperteguh martabat dan meraih kemajuan progesif Sekolah Tinggi. Tiga butir penting Resolusi 2020 adalah: publikasi dan promosi yang progresif untuk mendongkrak animo masyarakat karena mengalami penurunan pada tahun 2019; memperkaya karya keilmuan sesuai mandat Tridarma; dan merayakan Dies Natalis ke-55 bersamaan dengan Munas Kappemada yang lebih seru dan bertenaga.

Sejumlah langkah konkret sudah kita tempuh pada dua bulan pertama. Tetapi fakta berbicara lain. Untuk tidak mengatakan sebagai hambatan, pandemi global hadir menjadi jeda atas Resolusi 2020. Alhamdulillah, kita terhindar dari penularan Covid-19, tetapi pandemi ini membawa dampak serius terhadap penurunan (decline) pelaksanaan Tridarma, aktivitas kelembagaan, aktivitas kemahasiswaan, animo masyarakat dan mahasiswa baru, maupun penerimaan sebagai basis material Sekolah Tinggi. Produksi pengetahuan, sebagai aktivitas keilmuan yang bebas dan merdeka, tanpa terhalang pandemi, juga mengalami penurunan.

Seperti halnya desa mengalami pandemi BLT, kita juga mengalami pandemi dalam bentuk lain. Pertama, pandemi kuliah daring, yang membikin kerepotan bagi proses belajar mengajar, penugasan, dan penilaian terhadap mahasiswa. Kuliah daring secara direct atau secara streaming sungguh menghadapi kendala teknologi, ekonomi, dan akses sehingga tetap ada mahasiswa yang tercecer. “Kuliah tatap muka membuat hidup saya lebih hidup, tetapi kuliah daring membuat hidup saya tidak hidup”, demikian ungkap Prof. Nasrudin Harahap.

Darurat pandemi membuat mahasiswa menuntut “normalisasi pendekatan darurat”, agar para dosen tidak memberi penugasan dan penilaian yang berat. “Pihak kampus dan dosen tidak peka dengan situasi darurat mahasiswa”, demikian ungkap mahasiswa. Kami memenuhi tuntutan itu, meski ketika berhadapan dengan mahasiswa dalam kuliah, saya selalu mengatakan bahwa “mahasiswa berhak bodoh, tetapi tidak boleh malas dan manja dalam berjuang dan belajar”. Kami terpaksa meminta para dosen untuk melonggarkan dan memudahkan dalam penugasan dan penilaian kepada mahasiswa. Bagi sebagian orang, ini adalah “intervensi” yang memberangus kebebasan akademik. Siapapun boleh mempunyai tafsir seperti itu. Tetapi saya juga memiliki makna lain. Kebebasan akademik adalah bicara dan menulis memproduksi pengetahuan secara merdeka. Penilaian lebih tepat ditempatkan pada dimensi pelayanan, bukan pada dimensi kebebasan akademik, agar tidak terjebak menjadi “kuasa akademik”. Pelayanan dalam penilaian tentu bermakna memudahkan, tetapi melayani dan memudahkan bukan pula terjebak menjadi “gampangan” dan “murahan”. Jika mahasiswa memiliki hasrat untuk memperoleh nilai sempurna, maka mereka harus belajar dan berjuang lebih serius. Inilah pendidikan.

Kedua, pandemi NINA (Nomor Ijazah Nasional), sebuah standar teknokratik, yang harus diterapkan tahun depan. Ijazah tanpa NINA paling lambat November 2020. NINA menjadi pandemi karena ada banyak mahasiswa golongan tua “sisa-sisa laskar pajang” yang membuat keprihatinan dan hiruk-pikuk kampus untuk “menolong” dengan tutup mata agar mereka bisa lolos pada tahun ini.  Dengan begitu, “sisa-sisa laskar pajang” yang ditolong itu tidak mempunyai predikat sarjana yang lulus dengan sukses dan selamat, melainkan sarjana yang lolos dengan maklum.

            Dua pandemi itu memberi kita hikmah tentang “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa. Mungkin ada pihak-pihak berhaluan birokratik yang tidak “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa, melainkan “mengajar dan mengendalikan” mahasiswa. Ada pula perbedaan antara kaum idealis versus kaum pragmatis. Kaum idealis, yang biasa bicara “apa yang seharusnya”, tentu anti-pragmatisme dan anti-menolong. Mereka bilang bahwa menolong adalah tindakan pragmatis yang membuat institusi menjadi murahan, sekaligus mengeroposkan integritas dan kualitas institusi. Bagi mereka, mahasiswa harus diajarkan dengan standar ideal, agar mahasiswa menjadi lulusan yang berkualitas. Sebaliknya, kaum pragmatis, yang biasa dengan “apa yang mudah untuk dilakukan”, menuding kaum idealis terlalu kaku tidak melihat kenyataan raw material mahasiswa. Kaum pragmatis melayani dan menolong mahasiswa dengan baik, sembari menuding idealisme yang mempersulit itu, bisa membuat mahasiswa rontok dan calon mahasiswa phobia pada Sekolah Tinggi.             Saya ingin mengatakan bahwa cara birokratik — tidak “mendidik, melayani, dan menolong” – itulah yang membuat rontok dan phobia, sehingga harus diakhiri. Di sisi lain, kami memberi arah “realisme-kontekstual” yang menghubungkan secara koheren antara idealisme dan pragmatisme. Kita tidak bisa menerapkan idealisme dan pragmatisme sebagai standar yang standar dan seragam pada setiap mahasiswa.

Idealisme tentu merupakan fondasi dan tradisi pendidikan yang menggembleng, mencerahkan dan membebaskan, agar para mahasiswa menjadi “orang” dan sarjana sujana yang berilmu, kritis, mandiri, dan amaliah. Kalau Sekolah Tinggi pengin kuat dan jaya, maka idealisme harus ditumbuhkan. Sebagai contoh adalah nasehat Prof. Nasrudin Harahap, “Yang membuat mahasiswa menjadi orang bukan selembar ijazah, melainkan ilmu yang dimiliki”. Dari sini, saya hendak membedakan antara “idealisme ilmu” versus “idealisme akademik”.  “Idealisme ilmu” berbicara tentang pengetahuan berlandasankan pada filsafat ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dibangun melalui belajar, penelitian, pendidikan, diskusi, dan lain-lain. Ilmu bersifat tanpa batas, menembus ruang dan waktu, tanpa harus menggunakan standar, yang mengikuti petuah Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”.  Dalam mendidik, kita harus menyuntikkan idealisme ini. Sebaliknya “idealisme akademik” berbicara tentang pengetahuan yang mengalami instrumentalisasi, teknikalisasi dan standarisasi secara teknokratik dalam bentuk kurikulum, proses belajar-mengajar, bahan ajar, metode belajar, teknologi pengajaran, satuan kredit semester, rasio dosen-mahasiswa, ujian, penilaian, indeks prestasi, dan lain. Idealisme akademik juga mengajawantah menjadi kebebasan akademik, kompetensi akademik, kemampuan akademik, gelar akademik, sistem informasi akademik, pedoman akademik, portal akademik, administrasi akademik, dan lain-lain. Semua ini disebut sebagai industri akademik atau academic enterprise, untuk mengarahkan perguruan tinggi sebagai korporasi akademik, yang ingkar pada tradisi “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta doktrin Bung Karno “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Antara idealisme ilmu dan idealisme akademik lebih sering tidak berjalan bersama. Banyak teknokrat bergelar tinggi dan banyak memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sundul langit, dengan TOEFL dan TPA yang tinggi, tetapi memiliki ilmu dan penalaran berkasta rendah, serta miskin amaliah untuk rakyat. Indonesia sangat kaya akan teknokrat, yang berhasil mempengaruhi pemerintah serta membuat kebijakan di segala bidang, tetapi mereka gagal memperkuat daerah, memajukan desa, dan memakmurkan rakyat. Para ranah mikro di kampus, kita juga menyaksikan banyak mahasiswa memiliki indeks prestasi yang menjulang tinggi, tetapi kalau mau jujur, ya hanya sebatas prestasi akademik, bukan reputasi ilmu. Sebaliknya orang-orang seperti saya, merasa memiliki ilmu banyak, tetapi mempunyai kemampuan akademik yang jongkok. Ketika mengikuti TOEFL dan TPA, saya selalu gagal, sehingga saya tidak bakat menjadi teknokrat. Apa yang disebut “standar nasional” bukanlah pengajawantahan dari idealisme ilmu, melainkan penerapan idealisme akademik. Mau tidak mau, suka tidak suka, standar idealisme akademik itu harus dijalankan oleh kampus, tanpa peduli secara serius pada idealisme ilmu. Meskipun Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Nadiem Makarim telah melakukan “subversi” atas idealisme akademik, antara lain dengan jargon kampus merdeka, tetapi standar teknokratik tetap berjalan.  Program studi sebenarnya memiliki idealisme ilmu dan otonomi keilmuan, tetapi semua itu mengalami reduksi karena intervensi standar akademik. Standarisasi, misalnya, tidak membuat ketua prodi menjadi “begawan ilmu” melainkan menjadi “mandor akademik”, serupa dengan teknokratisasi yang membuat kepala desa bukan sebagai pemimpin rakyat dan pemerintah yang kuat, melainkan menjadi mandor proyek dana desa.  Tak urung, idealisme akademik yang teknokratik ini, juga bekerja pada ranah relasi antara dosen dan mahasiswa, yang tergelincir menjadi kuasa akademik atas nama kebebasan akademik.

Pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara antara idealisme ilmu dengan pragmatisme, melainkan antara idealisme akademik dengan pragmatisme, sebab idealisme ilmu telah direduksi oleh idealisme akademik. Idealisme ilmu tidak bisa disebut sebagai standar teknokratik, melainkan sebagai hakekat, tantangan dan cita-cita tanpa batas yang harus diperjuangkan dan diraih. Jika komunitas Sekolah Tinggi, termasuk mahasiswa, masih jauh dari idealisme ilmu, itu adalah tantangan yang harus kita sambut dengan serius. Kita harus melakoni proses untuk menjadi (becoming) terus-menerus sesuai idealisme ilmu.

Pertama, pendidikan adalah mandat dan jalan untuk mencapai idealisme ilmu. Sekolah Tinggi mempunyai panggilan mendidik mahasiswa agar anak-didik ini menjadi orang berilmu, meskipun tidak harus menjadi ilmuwan. Hasrat ingin tahu dan imajinasi anak-didik merupakan hakekat sukses pendidikan, melampaui (beyond) kebiasaan akademik berupa pengajaran, ujian, dan penilaian yang menghasilkan indeks prestasi tinggi. Kedua, program studi dan dosen adalah entitas yang mencari, menebarkan, dan mendidik ilmu kepada mahasiswa. Ilmu bukan sebatas kurikulum, bukan pula kumpulan daftar mata kuliah, yang diampu oleh dosen dan diajarkan kepada mahasiswa. Setiap program studi adalah pemegang disiplin ilmu, yang harus memiliki filsafat ilmu, atau memiliki tubuh pengetahuan yang utuh, untuk dijabarkan ke dalam setiap mata kuliah sampai penulisan karya ilmiah mahasiswa. Dalam hal ini, skripsi bukan sekadar sebagai syarat akademik untuk meraih gelar sarjana sesuai dengan standar akademik, melainkan sebagai proses pembentukan pengetahuan bagi mahasiswa. Setiap skripsi, yang paling dasar, harus duduk sesuai ilmunya. Ini idealisme ilmu yang tidak bisa ditawar. Saya sering cerewet pada komunitas Ilmu Pemerintahan, karena mahasiswa menulis skripsi tidak duduk secara keilmuan, entah menulis skripsi bercorak ilmu politik, administrasi publik, ilmu perkantoran, ilmu pariwisata, atau ilmu pengelolaan (manajemen).

Idealisme ilmu memang dikerangkai dan dijalankan dengan standar-rezim akademik yang juga disebut idealisme itu. Tidak sedikit mahasiswa yang tercecer, atau jauh dari harapan, idealisme ilmu. Namun mahasiswa yang tercecer dari dari idealisme ilmu tidak akan terkena sanksi akademik, kecuali risiko di kemudian hari karena yang bersangkutan tidak berilmu secara memadai. Sebaliknya mahasiswa yang tercecer secara akademik bisa dilihat secara nyata, yaitu mereka yang saya sebut sebagai “sisa-sisa Laskar Pajang”, yang kerap berurusan dengan Wakil Ketua, bahkan melibatkan orang tua untuk bertemu Ketua. Baik idealisme ilmu maupun idealisme akademik, dalam praktik, kerap berjumpa dengan pragmatisme. Idealisme ilmu adalah perbuatan mendidik dan mengetahui. Idealisme akademik adalah perbuatan melayani, mengajar, menguji, menilai, bahkan menghukum, sesuai standar akademik. Pragmatisme adalah perbuatan menolong dengan menurunkan harapan idealisme ilmu dan standar idealisme akademik. Idealisme ilmu, yang tanpa batas itu, bisa dibuat kontekstual dan lentur sesuai kondisi, tetapi tetap harus berproses sampai batas yang tidak bisa ditembus lagi. Inilah mendidik. Idealisme akademik, atau standar akademik yang baku, memang harus dijalankan oleh menjaga integritas (bukan kualitas) dan akuntabilitas, tetapi ketika menghadapi mahasiswa yang tercecer, maka harus ada pertolongan secara pragmatis. Dalam kasus seperti ini, kita tidak boleh kaku dan ketat menerapkan kuasa akademik, melainkan harus dengan siasat. Kami tidak akan campur tangan terhadap penerapan idealisme ilmu, tetapi kami akan campur tangan terhadap penerapan kuasa akademik terhadap mahasiswa yang tercecer. Namun pragmatisme tidak boleh ditaruh di depan mendahului idealisme ilmu dan idealisme akademik. Pragmatisme tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai standar dan menu utama. Kalau pragmatisme menjadi standar dan menu utama, maka kita akan menjadi murahan dan lemah. Ia bukan standar dan menu yang berada di depan, melainkan tindakan afirmatif-residual di tengah atau di penghujung perjalanan, untuk memudahkan dan menolong para mahasiswa tercecer yang tidak sanggup dan lulus mengikuti idealisme.  

Sebagai refleksi kritis saya ingin mengatakan bahwa kita lebih banyak bergulat dengan idealisme akademik ketimbang idealisme ilmu, yang kerapkali berjumpa dengan pragmatisme baik di depan maupun di belakang. Sebagai resolusi baru, kita harus berdiri dan berbuat mendidik idealisme ilmu secara serius-seksama; melayani idealisme akademik secara lentur dan mudah; sekaligus menolong secara pragmatis-afirmatif terhadap mahasiswa yang tercecer dari idealisme.

Animo masyarakat, input mahasiswa, dan penerimaan, yang saya sebut sebagai kemakmuran, sungguh merupakan tantangan serius bagi Sekolah Tinggi. Tahun 2019 lalu input mengalami penurunan 29% dibandingkan dengan tahun 2018, dan menurun lagi 14% pada tahun 2020. Saya selalu mengatakan bahwa input merupakan sebuah misteri, meskipun fakta empirik – seperti kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin ketat, hingga daya beli yang menurun di tahun krisis pandemi – merupakan variabel yang bisa diperhitungkan secara rasional. Misteri bukan bermakna tetuko: sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Faktanya bisa kita pahami.

Pertama, selama puluhan tahun, input dari Nusa Tenggara Timur selalu menempati ranking satu. Tahun ini, NTT digeser oleh Kalimantan Barat. Apakah ini karena daya beli masyarakat NTT menurun drastis bila dibandingkan dengan daerah lain? Sebaliknya animo dan input dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah justru sedikit meningkat, yang menempatkan DIY pada urutan ketiga setelah Kalimantan Barat. Dengan begitu, daya beli bukan faktor tunggal.

Kedua, meskipun input agregat Sekolah Tinggi mengalami penurunan, tetapi input untuk Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Magister Ilmu Pemerintahan malah mengalami peningkatan, bahkan Prodi Ilmu Komunikasi menggeser Prodi Pembangunan Sosial. Ketiga, meskipun jalur gethok tular merupakan strategi kearifan lokal yang mujarab, namun fakta juga menunjukkan bahwa input dengan jalur online meningkat secara signifikan. Saya tidak mengatakan gethok tular dan promosi tatap muka itu buruk, tetapi peningkatan jalur online merupakan sebuah gejala positif, yang dalam dunia bisnis disebut diversifikasi:

dari promosi ke reputasi, dari personal ke impersonal, dari mendengar ke mengetahui, dari pendekatan berbasis input ke pendekatan berbasis output, dan seterusnya. Semua ini adalah kekuatan dan kesempatan yang baik dan terbuka bagi Sekolah Tinggi.

Jika input merupakan misteri, maka naluri dan keyakinan merupakan jalan untuk membukanya, tentu dengan kalkulasi rasional, yang mengarah pada inovasi dan diversifikasi. Dalam konteks ini, saya berulang kali mengatakan sejumlah hal dan arah. Pertama, tanpa mengabaikan banyak daerah di seluruh penjuru negeri, DIY dan Jawa Tengah, merupakan ceruk menarik. Dua daerah ini bukan hanya dekat secara fisik tetapi dekat secara sosial dengan  Sekolah Tinggi, karena pergaulan Tridarma kita dari daerah ke daerah serta dari desa ke desa, seiring dengan hiruk-pikuk tradisi berdesa berkat stimulus UU Desa. Kedua, memperkuat pendekatan output dan reputasi untuk keperluan input dan promos, atau yang kerap disebut dengan pendekatan “unjuk gigi”. Perbuatan paling sederhana adalah “iklan yang berkonten, dan konten yang diiklankan”. Ketiga, sesuai dengan yang kedua, kita harus agresif berselancar di dunia maya, bukan hanya menampilkan informasi kegiatan kampus, tetapi menghadirkan (representasi) atas gagasan, pengalaman, dan pengetahuan kita kepada masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah karya buku kita “Mengabdi dan Melayani Desa”, yang akan kita luncurkan segera.

Penurunan input harus kita refleksi sebagai krisis, meski krisis Sekolah Tinggi tidak separah dunia usaha yang babak balur karena pandemi. Kita tetap melayani hak-hak pegawai seperti sedia kala, tidak ada penundaan dan tidak ada pemulangan. Kami merespons krisis dengan rasionalisasi. Rasionalisasi mengandung efisiensi, tetapi efisiensi tidak sama dengan rasionalisasi. Kami memahami rasionalisasi sebagai bentuk penggunaan nalar dalam penggunaan sumberdaya, perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan berbagai aktivitas Tridarma dan pelayanan. Kita gunakan nalar daya-guna, hasil-guna dan tanggungjawab, untuk mengelola anggaran tahun 2020 maupun 2021, membiayai kegiatan penting dan mendesak, yang mendukung-mendongkrak promosi, inovasi, dan reputasi. Publikasi karya keilmuan (gagasan, pengalaman, dan pengetahuan) melalui jurnal, buku, diskusi, media sosial, dan lain-lain merupakan aktivitas penting untuk promosi, inovasi dan reputasi itu.

Di tengah pandemi, kerja kelembagaan Sekolah Tinggi terus berjalan. Sejak Maret, kami menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan kampus sepi seperti kuburan tetapi juga tidak boleh membuat ramai seperti pasar. Kerja dari rumah (work from home) hanya berlangsung singkat dari pertengahan Maret hingga akhir Mei 2020. Sejak Juni hingga sekarang, kita tetap bekerja di kantor, dengan protokol moderat dan semangat sluman slumun slamet; melakukan kerja kelembagaan yang tidak pernah habis. Rapat, sebagai kerja kelembagaan, tidak pernah kendor dilakukan. Sebagai bentuk exercising power, rapat adalah perbuatan komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan eksekusi dalam hal pengaturan dan pelayanan untuk memastikan hak dan kewajiban, maupun mengurai-mengatasi kemacetan administratif (administrative traffic) yang sering muncul. Namun saya selalu mengingatkan bahwa kerja rapat kelembagaan kita jauh lebih banyak-padat ketimbang diskusi pengetahuan. Kalau datang sembilan standar pasti kita akan rapat bertubi-tubi. Saya tidak bermaksud mengatakan rapat kelembagaan tidak penting. Tetapi kalau kita jarang

melakukan diskusi pengetahuan, maka idealisme ilmu kita akan mengalami involusi, yang akan melemahkan reputasi Sekolah Tinggi. Karena kita jarang diskusi, maka keberanian dan kapasitas produksi pengetahuan juga terbatas. Terbukti kerja menulis singkat untuk website juga tidak kunjung hadir, yang karena itu, saya subversi secara cepat dengan Podcast APMD, untuk menebar gagasan, pengalaman, dan pengetahuan.

Akhir kata, meskipun menghadapi krisis, kita sebenarnya memiliki harapan sebagai kekuatan, yang jika kita mau (gelem) dan berani (wani), maka kita bisa (iso) meraih kesempatan yang gemilang di masa depan.  Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang luhur kepada seluruh pegawai yang telah berdikasi dengan loyalitas tanpa batas (satya ananta) kepada Sekolah Tinggi. Juga kepada mahasiswa yang hidup menghidupi dan menghidupkan Sekolah Tinggi. Raihlah kesempatan, kalian adalah masa depan Sekolah Tinggi. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, melimpahkan ridho, hidayah, dan rahmat kepada kita, keluarga besar Sekolah Tinggi. Aaamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,

Timoho, 15 November 2020

Ketua

Dr. Sutoro Eko Yunanto

Kuliah Umum Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” Desa Di Era New Normal

Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” dengan tema Desa di Era New Normal. Kuliah umum ini berlangsung pada Hari Selasa, 4 Agustus 2020, pukul 10.00 – 12.30 WIB dengan menggunakan metode daring dengan zoom dan live streaming di facebook PMD STPMD APMD. Kuliah ini merespon kondisi aktual untuk memotret dan membedah persoalan desa, strategi pemerintah desa dan strategi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di masa pandemi dan new normal. Dalam kuliah ini menghadirkan dua narasumber yang sangat berkompeten di bidangnya, seorang guru desa, Dr Sutoro Eko Yunanto dan praktisi desa, yaitu Kepala Desa Pagerharjo, Widayat, A.Md yang juga alumni Prodi PMD.

Dalam kuliah umum Dr Sutoro Eko menyampaikan “Desa Tiga Era”, era normal, era pandemi dan era new normal. Paparan dimulai dari sejarah desa dilihat dari berbagai sudut pandang keilmuan dan kemudian membedahnya dari berbagai sudut pandang. Ada beberapa, pandangan menarik yang disampaikan diantaranya adalah “Desa itu panggah”, stagnan meskipun berbagai upaya pembangunan dilaksanakan. Desa. Penyakit kronis desa sulit dikenali karena adanya kabut tebal kedaulatan sehingga desa tidak dapat dilihat akibatnya desa tidak bisa berdaulat. Dalam pandangan lain menyebutkan bahwa desa adalah situs penindasan, “kebo gedhe menang berike”. Desa masih dalam kondisi yang sama meski dengan adanya UU Desa.

Selanjutnya dalam paparannya Dr. Sutoro Eko menyebutkan bahwa “Desa itu penting” apalagi saat pandemi, pemerintahan desa menjalankan fungsi preventif maupun distributif. Desa menjadi basis untuk pencegahan maupun pendistribusian berbagai hal terkait dengan covid-19. Berbagai upaya preventif dilakukan desa secara mandiri dengan berbagai variasi seperti lockdown mandiri, upaya penanganan kasus serta berbagai inovasi kegiatan pelayanan di desa. Wabah covid-19 ini memunculkan emansipasi, representasi sehingga desa menjadi lebih maju dan progresif.

Sementara Widayat, A.Md memaprkan kondisi desa, Covid-19 datang, semua meradang. Seluruh dunia merasakan dampaknya secara langsung maupun tidak langsung termasuk desa. Hampir seluruh aktifitas pembangunan dari pusat hingga daerah menjadi mandek bahkan lumpuh baik program maupun pelayanan. Semua sangat sadar tidak ada yang kebal terhadap virus ini, semua warga terdampak baik masyarakat kota maupun desa. Desa semakin meradang dengan pulangnya pekerja urban yang telah sampai di kampung halaman karena membawa kecemasan terjadinya transmisi lokal virus corona. Tetapi desa tentu saja tidak tinggal diam, berbagai upaya coping mechanism untuk kesehatan masyarakat juga ekonomi tetap dilangsungkan. Untuk menjaga kesehatan masyarakat, beberapa wilayah mengadakan penutupan wilayah, lockdown skala lokal. Beberapa wilayah di desa membentuk tim sendiri untuk menjaga posko dengan pembiayaan mandiri untuk menjaga wilayahnya dan mencegah penularan virus ini. Bentuk kegiatannya sangat beragam tergantung dengan kearifan masing-masing wilayah. Selain itu meski warga desa bukanlah manusia yang kebal terhadap virus tetap beraktifitas dalam memproduksi hasil pertanian. Beberapa inovasi yang disampaikan adalah program “iso nandur ngopo tuku”. Program ini memanfaatkan lahan yang ada dengan berbagai aktifitas pertanian juga peternakan. Selain itu untuk pemasaran dikembangkan konsep e-warung sehingga dapat memperluas jangkauan pembeli untuk produksi pertanian dan peternakan yang ada.

Diskusi sangat menarik dengan berbagai pertanyaan serta harapan terkait dengan desa dan juga SPTMD “APMD”. Partisipan langsung melalui daring sebayak 57 peserta aktif sangat beragam dari akademisi, praktisi, mahasiswa dan pemerhati desa. Antusiasme peserta juga terlihat dari banyaknya penanya dalam kuliah umum ini. Kuliah umum ditutup dengan closing statement dari Dr. Sutoro Eko, untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan desa jangan hanya cuci tangan dan campur tangan tapi yang terbaik adalah turun tangan dari seluruh stakeholder desa.

Covid-19, KKN STPMD “APMD”, dan Kepedulian

Dalam rentan waktu selama satu semester ini, covid-19 masih saja menjadi momok bagi tatanan kehidupan umat manusia. Alasan tersebut menjadi persoalan utama pememorak-morandaan kehidupan sosial, ekonomi, dan peradaban masyarakat. Di lain sisi, kemelaratan di tengahnya bangsa yang dilanda pandemi ini masih sulit terselesaikan.

Berbagai ketakutan terus diproduksi dengan berbagai narasi dan alasan yang tidak masuk akal: selain mengenang para korban di Papua yang terus berguguran nyawanya oleh negara dengan kekerasan yang dilakukan oleh militer, kemiskinan dan berbagai persoalan kehidupan pun masih terjadi di tengah masyarakat.

Cara yang mesti dihadapi saat ini adalah kepedulian. Kepedulian terhadap sesama manusia adalah cara terbaik yang mesti tetap hidup di tengah pergolakan-pergolakan serta fenomena-fenomena baru yang terjadi saat ini. Peduli terhadap sesama masyarakat, orang yang panik, berkekurangan, mengalami keputusasaan akibat dirumahkan, matinya kehidupan sosial, dan berbagai persoalan yang muncul setelah tersebarnya covid-19 ini.

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Yogyakarta (STPMD “APMD”), pada tahun ini, tetap menerjunkan mahasiswa (yang telah menyelesaikan studi teorinya) ke tengah masyarakat untuk bergabung dengan masyarakat dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Bagi STPMD “APMD”, momen ini sangat penting sekaligus berguna dan bermanfaat, karena kemudian mahasiswa boleh berkesempatan melihat secara langsung fenomena yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengobservasi, mengkaji, mengedukasi lalu berkolaborasi dengan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Di sisi lain, mahasiswa dapat belajar banyak dari masyarakat tentang hidup bermasyarakat.

Kegiatan KKN tahun ini memang agak sedikit unik. Jika sebelumnya mahasiswa diterjunkan ke masyarakat dan tinggal di tengah masyarakat selama waktu yang ditentukan, kini mahasiswa STPMD hanya diberi kesempatan 3 sampai 4 jam dalam sehari untuk bertemu dengan masyarakat. Alasan ini jelas, sebab dengan demikian, dapat mempersempit tesebarnya virus mematikan: covid-19.

Walaupun begitu, semangat dan antusiasme antara masyarakat dan mahasiswa untuk saling menerima tetap “hidup” di tengah fenomena ini. Terlepas dari itu, semangat yang diproduksi adalah kepedulian. Kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan pun kepedulian mahasiswa terhadap persoalan yang telah menimpa masyarakat selama berbulan-bulan.

Saya sendiri adalah angota KKN yang diterjunkan bersama empat teman saya: Rusidyan Tarambani dari Sumba, Nelson Kulismian dari Papua, Efantris Megah dari Manggarai, dan Abri Maxon Kogoya dari Jogja. Sebagai kelompok urutan 28, kami diterjunkan di Kelurahan Sorostan, Umbulharjo—sebuah Kelurahan di tengah Kota Yogyakarta.

Dengan semangat kepedulian, kami berlima bekerjasama, menyusun strategi, berkolaborasi, dan saling memberikan ide untuk kemudian berhadapan dengan masyarakat. Strategi utama yang kemudian kami terapkan adalah membangun ke-percayadiri-an dan semangat kekeluargaan agar boleh bersanding dengan masyarakat dengan semangat yang sama.

Di awal kami berkunjung ke masyarakat, memang banyak kendala yang mesti kami terima. Salah satunya adalah tidak diterima oleh masyarakat jika belum membawa bukti kesehatan dari pihak kesehatan (rapid test). Tidak berhenti di situ. Kami kemudian membuat pendekatan dengan lembaga STPMD “APMD” untuk memenuhi permintaan tersebut.

Alhasil, semua itu berjalan lancar. Setelah kami kembali ke masyarakat dengan membawa berkas-berkas tersebut, maka kami diterima untuk menjalankan program-program kami di Kelurahan tersebut. Ini adalah pengalaman menarik yang kemudian kami berlima mengakuinya sebagai orang-orang yang pada akhirnya memang akan menetap di tengah masyarakat umum.

Semangat kepedulian mulai kami bangun saat itu. Kami mendekati setiap masyarakat secara individu dan menanyakan apa yang menjadi persoalan mereka. Dengan segala keterbukaan, masyarakat menceritakan semua kesulitan yang mereka rasakan di tengah merebaknya pandemi covid-19 ini.

Persoalan mendasar yang mereka alami adalah ketahanan pangan. Sebagai masyarakat kota, kebutuhan pangan hanya akan bisa didapatkan lewat pendapatan dari bekerja sebagai buruh, gojek, pemulung, pedagang kaki lima dan masih banyak varian pekerjaan yang tidak dapat disebut satu-satu. 

Tetapi pada intinya, krisis pangan benar-benar mereka alami lantas banyak buruh yang dirumahkan, juga beberapa pekerjaan yang mesti dihentikan selama covid-19 masih menjadi persoalan negeri ini.

Persoalan lain adalah belajar via online bagi anak-anak Sekolah Dasar. Mereka masih belum mampu menggunakan teknologi untuk belajar dengan efisien. Persoalan ini saya pikir terjadi di semua daerah. Sistem pembelajaran (baru) yang amat menyulitkan. Saya tidak bayangkan jika mereka yang alami hal demikian adalah orang-orang desa di pedalaman. Tetapi kesulitan-kesulitan itu adalah kenyataan yang mesti dihadapi.

Dan satu lagi persoalan yang cukup memerlukan edukasi adalah protokol kesehatan. Sudah kita tahu bersama bahwa protokol kesehatan secara umum yang harus diterapkan saat ini antara lain: selalu menggunakan masker, sering mencuci tangan, rajin olah raga, menghindari kerumunan dan beberapa yang lain. 

Tetapi banyak masyarakat yang terpakasa harus melanggar aturan-aturan tersebut karena berbagai alasan. Ada yang memang kekurangan edukasi, ada pula karena alasan untuk tetap bertahan hidup meski pada aturan tersebut diimbau untuk tetap di rumah saja. Sedangkan jika di rumah saja, maka yang terjadi adalah krisis ekonomi bahkan kelaparan.

Dari berbagai persoalan di atas, tentu saja kami sebagai mahasiswa tidak dapat menyelesaikannya dengan memenuhi semua kebutuhan masyarakat tersebut, apalagi dalam hal ekonomi masyarakat. Cara yang kami gunakan adalah membantu dengan semangat kepedulian yang tinggi.

Cara-cara yang menururt kami dapat sedikit membantu persoalan-persoalan di atasa dalah sebagai berikut: Pertama, mengalihfungsikan beberapa lahan kosong—tempat pembuangan sampah, atau taman-taman bunga untuk kami tanami berbagai jenis sayuran yang kemudian hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat yang sangat membutuhkan. 

Kedua, mengedukasi masyarakat terkait protokol kesehatan dan juga menyediakan aksesoris seperti tempat mencuci tangan dan hand sinitizer di setiap RT. Ini dimaksudkan untuk masyarakat selalu waspada dengan menjunjung tinggi kebersihan. Dan, ketiga, mendampingi dan mengajarkan anak-anak dalam menggunakan teknologi sebagai satu-satunya media untuk belajar secara online.

Ketiga cara di atas kami lakukan sejatinya bukan karena memang kami bisa dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan, melainkan sebagai bentuk kepedulian dalam memerangi covid-19 secara bersama. Dan satunya-satunya cara yang mesti dilakukan untuk memerangi pandemi ini adalah dengan kerjasama, kekompakan kepedulian dan saling mengingatkan.

Jika sebelumnya STMPD lebih banyak peduli terhadap desa, kini, STPMD juga mampu membuka diri dan memberikan kepedulian terhadap masyarakat kota. Alhasil, persoalan di desa tidak beda jauh dengan yang dihadapi masyarakat kota. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengatasi krisis-krisis tersebut.

Harapannya, pemerintah segera memerhatikan hal-hal kecil seperti persoalan-persoalan yang dialami masyarakat yang saya gambarkan di atas. Terkadang, pemerintah dan para pemegang kekuasan melihat dan memandang dari tahkta yang tinggi lalu membuat banyak kebijakan agar terlihat seperti memerintah tetapi tidak melihat dian-dian kecil yang hampir padam di tengah masyarakat.

Peduli memang sangat penting. Kita hanya bisa “berdiri” jika saling peduli. Peduli terhadap sesama adalah peduli terhadap diri kita sendiri. Pemerintah yang peduli adalah pemerintah yang adil. Masyarakat yang peduli adalah masyarakat yang makmur.

Penulis : Bruno Rey Pantola

30 Juli 2020

APMD Fasilitasi Seleksi Perangkat Desa

Sebagai kampus yang paling fokus tentang desa, APMD menjalin kerjasama dengan banyak Pemerintahan Desa. Kerjasama tak hanya di bidang peningkatan kapasitas perangkat desa, melainkan juga fasilitasi perekrutan perangkat desa. Seperti seleksi perangkat desa di Desa Giripurwo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (14/7).

Pemaparan dan Workshop di Tapanuli Selatan

Tiga dosen APMD Drs. Suharyanto, MM., Ir. Muhammad Barori M.Si dan Drs. Hasto Wiyono, MS selama sekitar seminggu (7-12 Juli 2019) berada di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Banyak kegiatan yang dilakukan, antara adalah Pemaparan dan Workshop (Hasil Penilaian Tingkat Kemandirian Desa Lingkar Tambang) di PT AR Martabe Gold Mine.

Dra. MC. Ruswahyuningsih, M.A. Purna Tugas

Melepas dosen tercinta bu Iche dan menyambut dosen baru mas Hery di STPMD “APMD” Yogyakarta (5/7). “Saya dulu dilantik oleh pak Soetopo dan kini dilepas di Ruang Soetopo,” kata bu Iche. “Waktu saya masuk APMD, saya diwawancara oleh beberapa dosen termasuk bu Iche,” ujar Ketua APMD Dr. Sutoro Eko Yunanto. “Saat wawancara menjadi dosen itu, saya tak memakai kaos kaki dan rupanya menjadi bahan pembicaraan di antara para dosen. Dan bu Iche-lah yang membela dan mendukung saya,” lanjut Sutoro Eko. Terima kasih bu Iche telah menjadi bagian yang hebat dari kampus desa APMD.

BUMDes Quo Vadis? Melongok Seonggok Masalah di Ponggok

Diskusi membahas kasus BUMDes di Ponggok berlangsung di kantor Pemkab Klaten, Senin (1/7). Diikuti puluhan pengelola BUMDes, pendamping desa, perangkat desa dan dinas terkait se Kabupaten Klaten. Dua pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Sutoro Eko Yunanto dan Anom Surya Putra, SH., MH.

Di Klaten saat ini ada sekitar 391 BUMDes dan ada 294 atau 75 persen BUMDes cukup berkembang serta tujuh BUMDes dikategorikan maju termasuk dari Ponggok. Ponggok yang telah lama dikenal sebagai percontohan bagi BUMDes se Indonesia kali ini diterpa berita yang kurang sedap, terkait dugaan pengelolaan aset desa yang tak transparan.

Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta membawakan makalah dengan judul “BUMDesa Menantang Politik Isolasi Ekonomi di Medan Desa.” Mengawali pemaparan dengan memberi argumen BUMDesa bukanlah proyek mobilisasi untuk membuat Merpati (meralat ke bupat), Pedati (perintah dari bupati) jika tak diperintah tak jalan, dan Melati (menjadi ladang upeti).

BUMDesa bukan pula sekadar bisnis konvensional yang semata mempertimbangkan untung rugi dengan pendekatan manajerial dan akuntansi. Selain dua hal di atas, BUMDesa memiliki nilai dan semangat hadir sebagai korpirasi kerakyatan-kemandirian yang dikonsolidasi oleh desa menentang marginalisasi dan isolasi ekonomi.

Sutoro menjelaskan, BUMDesa itu mempunyai tiga A yaitu aset, aktor, dan arena. Aset adalah harta yang dimiliki. Aktor adalah mereka yang menjadi pengelola bisnis skala desa ini. Dan Arena adalah ruang di mana BUMDesa mestinya berkembang dan maju.
Sutoro juga menjelaskan secara historis dampak serius sejarah panjang desa 400 tahun, dari era kolonial sampai neoliberal. Salah satu arsitek UU Desa 6/2014 ini juga sekilas menjelaskan politik kekinian. Katanya, berbeda dengan UU lain yang cenderung teknokratis, UU Desa merupakan sebuah undang-undang yang pro politik.

BUMDesa dalam UU Desa juga dipaparkan termasuk paradoks implementasi UU Desa. Paradoks itu antara lain: semangat besar UU Desa direduksi menjadi proyek dana desa, kepala desa yang seharusnya menjadi pemimoin rakyat diarahkan menjadi mandor proyek, prakarsa desa biasa dibatasi dan dilarang dengan frasa “belum ada payung hukumnya,” “belum ada aturannya,” “aturannya melarang,” kecurigaan dan pengawasan jauh lebih menonjol ketimbang pembinaan dan pemberdayaan.

Pelajaran dari BUMDesa Sejati antara lain: Prakarsa lokal yang digerakkan oleh pemimpin desa, yang malakukan konsolidasi, melakukan subversi atas proyek sektoral misalnya “Wisata desa” menjadi “Desa Wisata” yang sanggup membawa desa mendunia.
Banyaknya tugas kepala desa, secara kelakar, menjadikan mereka mirip presiden. Jika presiden kerja kerja kerja, kalau kepala desa laporan, laporan, laporan. Namun, jika kepala desa salah, misalnya, ya dihukum. Tak perlu polisi dan jaksa ke desa, sampai minta rancangan anggaran desa.

Anom menyatakan pengelola BUMDes itu mestinya masa jabatannya selama enam tahun. Selama ini hanya tiga tahun. Tahun pertama masih bingung mau melakukan apa. Tahun kedua baru membuat program dan tahun ketigasudah ditagih laporan.

BUMDes itu menurut Anom mempunyai setidaknya tiga problem. Yaitu problem yuridis, problem manajerial dan ketiga problem yang ditimbulkan karena politik makro dan lokal. (humas/tass)

Diskusi Khusus: Banyak Jalan Menuju Scopus

Dua doktor lulusan Malaysia – Dr. Ismail Suardi W dan Dr. Suyatno Ladiqi – dihadirkan dalam sebuah diskusi khusus untuk memacu para dosen STPMD “APMD” Yogyakarta menulis di jurnal berafiliasi Scopus, Jumat (28/6) di Ruang Sutopo, kampus APMD Timoho. Diskusi ini langsung dimoderatori Ketua APMD Sutoro Eko.

Suyatno, pernah mengajar di prodi Ilmu Pemerintahan APMD kini dosen di Faculty of Law & International Relation, Universiti Sultan Zaenal Abidin, Terengganu Malaysia. Ia bersama Ismail mempunyai kesamaan visi membantu kampus-kampus kecil dan sedang mengembangkan mutu dosennya melalui jejaring internasional.

Suyatno menjelaskan pada dasarnya APMD mempunyai potensi membuat jurnal terindeks Scopus. Jaringan internasional APMD harus diperluas. Suyatno memberi usul kerjasama dengan universitas di Malaysia sebagai pembuka pintu jaringan internasional yang lebih luas. “Saya mengerti ada banyak dosen yang bahasa Inggrisnya belum bagus nah di Malaysia bahasa Indonesia masih bisa digunakan,” tambah Suyatno.

Kepada para dosen APMD, Suyatno yang rajin penelitian dan mengikuti konferensi ke penjuru dunia ini memberi tiga tips. Pertama percaya diri, kedua perkuat jaringan internasional, dan ketiga segera mengambil peluang dengan melakukan langkah nyata.

Ismail, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong Papua Barat ini sebelum memulai pemaparan sedikit menyentil APMD. Katanya, dari 3.000 perguruan tinggi di Indonesia peringkat APMD jauh di bawah STAIN Sorong yang masuk seratus besar. Padahal di Sorong listriknya sering padam. “Di Sorong PLN itu Perusahaan Lilin Negara karena sering mati,” kata Ismail.

Jika ada pepatah banyak jalan menuju Roma, Ismail mengatakan banyak jalan menuju Scopus. Bagi Ismail, era saat ini bagaimana perguruan tinggi bukan lagi berdaya saing tapi berdaya sanding. Karena itu meski kampusnya di daerah harus bisa bersanding dengan kampus lain demi peningkatan mutu para dosennya.

Ismail secara menarik mengenalkan istilah “buat apa yang boleh” dan tinggalkan “apa boleh buat”. Ia menjelaskan dengan banyak silaturahmi maka pintu rezeki mudah terbuka. Ismail pernah mengikuti konperensi di Makau dan tidurnya di bandara. Ia hanya ingin bertemu dengan pengelola jurnal penyelenggara konperensi itu. Jika sebuah kampus luar telah menandatangani kerjasama internasional maka harus dipastikan kesinambungannya. Jangan sekadar hit and run

Karena itu, Ismail menyarankan agar para dosen di kampus yang punya jejaring internasional, setidaknya membuat konperensi internasional di kampus, tak perlu di hotel. Langkah kedua melakukan riset bersama, pertukaran mengajar, kemudian jika dimungkinkan kerjasama dobel degree. Jika langkah-langkah ini dilakukan maka bonusnya untuk dosen yang aktif adalah gelar profesor.

Ismail juga memberi tips membuat jurnal online. Bentuklah tim kerja tiga sampai lima orang untuk mengurus jurnal. Mereka bisa membuat call for paper. Jurnal online itu minimal lima artikel setiap terbit dan terbit setahun dua kali. Diperkirakan jurnal akan dapat akreditasi setelah empat edisi atau empat tahun. “Pengelola jurnal itu seperti pengelola masjid. Ia dicari dosen sebelum jurnal terbit. Setelah terbit dilupakan orang,” ujar Ismail disambut tawa para dosen.

Kepada para dosen Ismail mendorong agar makin percaya diri dengan kampus di Jogja ini. Kedua mari membuat apa saja yang boleh untuk meningkatkan kapasitas kita sebagai dosen. Dan ketiga, mari secara kelembagaan APMD menambah speed dengan makin banyak buku dan jurnal yang terbit dari kampus desa di Timoho itu.

Meski demikian saat menjawab pertanyaan dosen terkait Scopus, Ismail menggarisbawahi dosen jangan sampai terseret ke short cut scopus dengan yang serba uang. (humas/tass)

 

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?