Kuliah Umum “Memahami Kedudukan Konstitusi Dalam Bernegara” oleh Prof. Dr. Aswanto, SH, M.Si, D.F.M. (Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi)

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto SH, M.Si, D.F.M. dalam Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, Yogyakarta (27/5) mengatakan, “Salah satu kegiatan kami, memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Indonesia tentang bagaimana berkonstitusi. Tetapi kami tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Momentum ini perlu ditindaklanjuti agar penyadaran kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berkonstitusi bisa lebih masif.”

Aswanto juga menjelaskan tentang Desa Kontitusi yang diinisiasi dan dijalankan MK. Saat ini telah ada lima Desa Konstitusi. Program ini mendapat perhatian dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian-kementerian tesebut ingin bergabung dengan program Desa Konstitusi yang dijalankan MK.

Aswanto yang guru besar di Universitas Hasanuddin Makassar ini mengatakan bahwa Konstitusi adalah kumpulan norma yang mengatur mengenai kewenangan dan lembaga yang akan menjalankan kewenangan itu dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dalam sebuah bangsa.

Lebih lanjut, Aswanto menjelaskan, konstitusi terbagi menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Hampir semua negara menggunakan Konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada, sehingga dasar mereka dalam menjalankan tugas dan kewenangan adalah hukum-hukum adat yang ada di sana beserta dokumen-dokumen yang tidak masuk dalam Konstitusi.

Di Indonesia ada tiga konstitusi yang pernah berlaku dalam empat periode. Pertama, UUD 1945 pada periode pertama 18 Agustus 1945. Kedua Konstitusi RIS 1949. Ketiga UUD Sementara Tahun 1950. Setelah itu pada 5 Juli 1959 tercetus Dekrit Presiden, menggantikan UUD Sementara Tahun 1950 untuk kembali menggunakan UUD 1945.

Perdebatan mengenai konstitusi Indonesia belum juga selesai, hingga kemudian dilakukan amendemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Terlontarlah gagasan untuk membentuk lembaga negara baru yakni Mahkamah Konstitusi.

Menurut Aswanto, MK memiliki peran dan fungsi sebagai penjaga konstitusi, penjaga ideologi Pancasila, penjaga demokrasi, penjaga hak asasi manusia, bahkan sebagai penafsir terakhir konstitusi. Fungsi-fungsi inilah yang diimplementasikan dalam UUD dan memberikan sejumlah kewenangan kepada MK.

Oleh sebab itu, jelas Aswanto, dalam menjalankan tugasnya, MK memiliki kewenangan utama untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Kemudian MK berwenang memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu presiden dan pemilu legislatif, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu, MK memiliki kewenangan tambahan untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah hingga terbentuk peradilan khusus untuk menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Secara bergurau Aswanto menjelaskan UU yang dibuat oleh anggota DPR yang beranggota ratusan orang bisa dibatalkan oleh sembilan orang bahkan empat orang anggota MK. Tak heran banyak pihak menganggap MK itu super body. Sidang yang digelar MK juga sering sangat panjang, “Karena itu pelatihan pelatihan pertama yang dilakukan para hakim MK adalah melakukan makan dengan cepat,” canda Aswanto.

Karena menangani sengketa pemilu yang jumlahnya bisa ratusan maka sidang-sidang MK bisa sangat panjang. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pernah menganugerahkan tiga rekor kepada MK) pada 2019. Ketiga rekor yaitu “Sidang Peradilan Non-Stop Terlama” (dari pagi sampai menjelang subuh) “Sidang Peradilan dengan Berkas Perkara Terbanyak” (bertruk-truk berkas), dan “Proses Persidangan Paling Transparan” (disiarkan langsung oleh puluhan TV dalam dan luar negeri.

Konstitusi dan Konstiuen

Ketua APMD Dr Sutoro Eko pada kesempatan sama menjelaskan tentang kontitusi dan konstitusionalisme. Saat pembentukan UU Desa ada pihak yang tidak puas kemudian mereka mengajukan yudisial review ke MK. Namun hingga kini tidak jelas kelanjutannya, mungkin si pengaju tak punya legal standing.

Menyinggung maraknya politik uang dan sengketa di pilkada, menurut Sutoro Eko, itu hal yang sulit dihindari. Dengan guyon Sutoro Eko mengatakan, “Di Cangkringan Sleman pekerja pengangkat pasir mengatakan dengan santai, mengangkat pasir saja dapat duit masak mengangkat orang jadi pejabat tidak ada uang.’

Kuliah umum kerjasama MK dan APMD ini diharapkan berlanjut dengan kerjasama terkait Desa Konstitusi. (Humas)