Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan

(7/7/2021) Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta melaksanakan Webinar bersama Alumni dengan tema Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan yang diikuti oleh 100 peserta menggunakan Zoom Meeting. Webinar tersebut dimaksudkan untuk merekatkan hubungan Kampus dengan para Alumni serta mengundang beberapa Alumni untuk berpartisipasi sebagai Narasumber. Hadir dalam Webinar Hermus Indou, S.IP., MH (Bupati Kabupaten Manokwari), Tommy Andana, S.IP., M.AP (Kabag Sekretariat Wakil Ketua MPR), John Patalas, S.IP (Kasi Pengelolaan Aset Desa Kabupaten Landak), Martanti Dwi S. S.IP (Enterpreuner), Rosaria Renyaan, S.Sos, M.Si (Kasubag Bela Negara dan Karakter Bangsa Bandan Kesbangpol Provinsi Maluku) dan dipandu oleh Gregorius Sahdan, S.IP., M.A sebagai moderator. Pembawa acara yakni Mohamad Firdaus, S.IP., M.A memandu jalannya acara dengan pertama membacakan doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menyaksikan video profil STPMD “APMD” dan diskusi panel oleh narasumber dan moderator. Dr Sutoro Eko Yunanto selaku Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta memberikan sambutan yang hangat dengan menitikberatkan antara hubungan Alumni dan Almamater yang harus selalu dijaga dan mengingatkan untuk pulang kampus. Alumni harus saling mendukung satu sama lain, yang akan menjadi kepala desa, menjadi pemerintah, menjadi ASN harus didukung agar keterikatan sesama alumni semakin erat.

“Kontribusi yang akan dilakukan oleh Alumni di Manokwari yaitu membentuk organisasi dan nantinya melakukan sosialisasi agar APMD bisa dikenal oleh masyarakat Manokwari” Ucap Bupari Manokwari sebagai narasumber yang pertama. Selain itu Bupati Manokwari menerangkan bahwa Ilmu Pemerintahan sangat implikatif dalam dunia kerja sehingga hal tersebut perlu dimaksimalkan bagi adik-adik mahasiswa di APMD. Narasumber kedua Tommy Adana yang pernah menjadi pengurus Komap (Kors Mahasiswa Ilmu Pemerintahan) menyampaikan bahwa perlu ada motivasi untuk Alumni yang pasif, kampus perlu melakukan komitmen untuk berperan dalam memotivasi Alumni sehingga nantinya akan ada kontribusi nyata bagi para Alumni. Organisasi kampus juga memiliki peran yang besar dalam meniti karir didunia kerja, sehingga mahasiswa perlu memaksimalkan potensi keorganisasian untuk menambah percaya diri dan banyak hal positif yang lain. John Patalas selaku narasumber ketiga menyampaikan dengan adanya organisasi kemahasiswaan di APMD memberikan kontribusi nyata bagi pribadi mahasiswa. APMD juga selalu melakukan perubahan cepat terhadap isu-isu nasional sehingga ilmu yang disampaikan ke mahasiswa sangat aktual dan bisa bermanfaat. Narasumber selanjutnya Martanti Dwi S. menyampaikan perspektif entrepreuner dalam kontribusi untuk perkembangan kampus. Poin penting dalam dunia kerja terutama di dunia usaha yakni kita semua  memiliki peluang untuk menciptakan pekerjaan dan berwiraswasata (masyarakat ekonomi) adalah jalan lain menjadi langkah pertama untuk berkontribusi untuk masyarakat luas. Rosaria Renyaan alumni Ilmu Sosiatri memberikan sumbangan pemikiran terkait Kolaborasi antar Prodi dalam mengembangkan Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Yang pertama yakni membuat kurikulum konkrit disetiap prodi yang sesuai dengan kebutuhan dimasyarakat dan yang kedua adalah perlunya jurnal ilmiah bersama untuk bersama-sama mengenalkan karya dan tulisan Dosen, Mahasiswa maupun alumni untuk bisa mensyiarkan ajaran APMD, sehingga memiliki dampak positif juga dalam meningkatkan akreditasi prodi.

Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan

(7/7/2021) Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta melaksanakan Webinar bersama Alumni dengan tema Partisipasi dan Kontribusi Alumni Dalam Rekruitmen Mahasiswa Baru Prodi Ilmu Pemerintahan yang diikuti oleh 100 peserta menggunakan Zoom Meeting. Webinar tersebut dimaksudkan untuk merekatkan hubungan Kampus dengan para Alumni serta mengundang beberapa Alumni untuk berpartisipasi sebagai Narasumber. Hadir dalam Webinar Hermus Indou, S.IP., MH (Bupati Kabupaten Manokwari), Tommy Andana, S.IP., M.AP (Kabag Sekretariat Wakil Ketua MPR), John Patalas, S.IP (Kasi Pengelolaan Aset Desa Kabupaten Landak), Martanti Dwi S. S.IP (Enterpreuner), Rosaria Renyaan, S.Sos, M.Si (Kasubag Bela Negara dan Karakter Bangsa Bandan Kesbangpol Provinsi Maluku) dan dipandu oleh Gregorius Sahdan, S.IP., M.A sebagai moderator. Pembawa acara yakni Mohamad Firdaus, S.IP., M.A memandu jalannya acara dengan pertama membacakan doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya, menyaksikan video profil STPMD “APMD” dan diskusi panel oleh narasumber dan moderator. Dr Sutoro Eko Yunanto selaku Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta memberikan sambutan yang hangat dengan menitikberatkan antara hubungan Alumni dan Almamater yang harus selalu dijaga dan mengingatkan untuk pulang kampus. Alumni harus saling mendukung satu sama lain, yang akan menjadi kepala desa, menjadi pemerintah, menjadi ASN harus didukung agar keterikatan sesama alumni semakin erat.

“Kontribusi yang akan dilakukan oleh Alumni di Manokwari yaitu membentuk organisasi dan nantinya melakukan sosialisasi agar APMD bisa dikenal oleh masyarakat Manokwari” Ucap Bupari Manokwari sebagai narasumber yang pertama. Selain itu Bupati Manokwari menerangkan bahwa Ilmu Pemerintahan sangat implikatif dalam dunia kerja sehingga hal tersebut perlu dimaksimalkan bagi adik-adik mahasiswa di APMD. Narasumber kedua Tommy Adana yang pernah menjadi pengurus Komap (Kors Mahasiswa Ilmu Pemerintahan) menyampaikan bahwa perlu ada motivasi untuk Alumni yang pasif, kampus perlu melakukan komitmen untuk berperan dalam memotivasi Alumni sehingga nantinya akan ada kontribusi nyata bagi para Alumni. Organisasi kampus juga memiliki peran yang besar dalam meniti karir didunia kerja, sehingga mahasiswa perlu memaksimalkan potensi keorganisasian untuk menambah percaya diri dan banyak hal positif yang lain. John Patalas selaku narasumber ketiga menyampaikan dengan adanya organisasi kemahasiswaan di APMD memberikan kontribusi nyata bagi pribadi mahasiswa. APMD juga selalu melakukan perubahan cepat terhadap isu-isu nasional sehingga ilmu yang disampaikan ke mahasiswa sangat aktual dan bisa bermanfaat. Narasumber selanjutnya Martanti Dwi S. menyampaikan perspektif entrepreuner dalam kontribusi untuk perkembangan kampus. Poin penting dalam dunia kerja terutama di dunia usaha yakni kita semua  memiliki peluang untuk menciptakan pekerjaan dan berwiraswasata (masyarakat ekonomi) adalah jalan lain menjadi langkah pertama untuk berkontribusi untuk masyarakat luas. Rosaria Renyaan alumni Ilmu Sosiatri memberikan sumbangan pemikiran terkait Kolaborasi antar Prodi dalam mengembangkan Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta. Yang pertama yakni membuat kurikulum konkrit disetiap prodi yang sesuai dengan kebutuhan dimasyarakat dan yang kedua adalah perlunya jurnal ilmiah bersama untuk bersama-sama mengenalkan karya dan tulisan Dosen, Mahasiswa maupun alumni untuk bisa mensyiarkan ajaran APMD, sehingga memiliki dampak positif juga dalam meningkatkan akreditasi prodi.

HALAL BI HALAL DAN SILATURAHMI KELUARGA BESAR STPMD “APMD” YOGYAKARTA

Selasa, 18 Mei 2021, acara Halal Bi Halal & silaturahmi keluarga besar STPMD “APMD” dihadiri oleh Pimpinan Kampus STPMD, Ketua Yayasan 17, dosen serta seluruh karyawan yang bertempat di gedung pertemuan Ganesha APMD.

Acara Halal Bi Halal dan silaturahmi ini dibuka dengan sambutan dari Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta. Dalam sambutannya Dr. Sutoro Eko menyampaikan “Halal Bi Halal adalah kreatifitas asli orang Indonesia di setiap Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) dan sudah berjalan secaran turun temurun dan tidak ada di negara-negara manapun kecuali Indonesia.

Acara ini diselenggarakan secara sederhana yang diikuti kurang lebih 100 orang dengan protokol kesehatan yang cukup ketat tanpa diperbolehkan berjabat tangan untuk menghindari penularan Covid-19. Halal Bi Halal dan Silaturahmi tahun 2021 ini dilaksanakan hampir sama seperti 2020, mengingat bahwa penyebaran Covid-19 belum juga mereda.

Semoga Halal Bi Halal tahun depan kita sudah bisa kembali berjabat tangan tanpa takut akan penularan Covid-19. Selalu patuhi protokol kesehatan untuk kesehatan kita Bersama. Keluarga Besar STPMD “APMD” mengucapkan Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

BEDAH BUKU “MENJERAT GUSDUR”

Buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama yang sempat fenomenal pada akhir 2019 dan awal 2020, dibedah dan diskusikan di Kampus Desa STPMD “APMD” Yogyakarta, Senin, 30 November 2020. Tampil sebagai pembicara penulis buku Virdika Rizky Utama dan Tri Agus Susanto, dosen Prodi Ilmu Komunikas, serta moderator Dr. Irsasri.

Diskusi bedah buku “Menjerat Gus Dur” karya alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi dan Humas STPMD “APMD” Yogyakarta di Ruang Sidang yang dihadiri para aktivis mahasiswa dan dosen. Selain itu, diskusi juga bisa diiukuti melalui zoom.

Virdika membuka pembicaraan dengan menyampaikan informasi terakhir bahwa dirinya belum lama ini diundang oleh seorang pengusaha yang namanya disebut dalam buku Menjerat Gus Dur. Pengusaha itu tak mengancam ataupun memuji buku yang menghebohkan itu. Ia hanya menyadari “kebodohan” komplotannya mengapa dokumen yang begitu penting bisa jatuh ke tangan seorang jurnalis cum aktivis? Di akhir pertemuan Virdi dikasih segepok uang dolar Amerika Serikat selembarnya nominal 100 dolar. Virdi menolak dengan halus. “Terima kasih pak, tapi maaf saya tak bisa menerima. Jika bapak mau memberi uang kepada saya belilah buku saya,” ujar Virdi.

Virdi kemudian bercerita tentang asal mula dokumen yang ia dapatkan secara tak sengaja. Saat mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika itu masih menjadi jurnalis di Gatra (2017), ia mendapat tugas mewawancarai seorang tokoh di Partai Golkar di kantor DPP Slipi, Jakarta Barat. Tak sengaja ia mendapat “harta karun” dari sampah yang hendak dibuang atau dijual secara kiloan oleh seorang office boy.

Ternyata yang Virdi temukan adalah dokumen konspirasi penjatuhan Gus Dur yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lintas partai dan organisasi massa pemuda dan mahasiswa hingga keterlibatan media massa.  Virdi kemudian mendiskusikan temuannya dengan para senior di Didaktika. Selain itu, Virdi juga berdiskusi dengan komunitas lain termasuk dengan Savic Ali, penerbit buku yang juga mantan aktivis mahasiswa 1998.

Sepanjang tahun 2018 Virdi melakukan riset di sela-sela tugasnya sebagai jurnalis. Setelah dari Gatra, Virdi pernah bekerja di Narasi yang dipimpin oleh Nadjwa Shihab. Ia kemudian menelusuri dan mewawancarai nama-nama yang disebut pada dokumen itu. Dari Amien Rais, Akbar Tanjung, Priyo Budi Santoso, Mahfud MD, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak sampai Fuad Bawasir. Pendek kata ada puluhan orang ia wawancarai. Tentu saja ada yang menerima dengan baik, ada yang menolak, bahkan Amien Rais sempat mengancam atau menahannya saat diwawancarai Virdi di rumahnya.

Terkait judul buku yang menggunakan kata menjerat, Virdi terinspirasi ketika suatu saat melihat ayam yang dijerat untuk ditangkap. Jeratan terhadap ayam itu tak cuma satu tali tapi beberapa tali. Ini mengingatkan pada persekongkolan para elit politik dan para oligark sisa-sisa Orde Baru yang tak nyaman dan tak ingin Gus Dur sukses menjalankan amanat reformasi.

Bagi sebagaian besar warga NU, ujar Virdi yang sudah berkeliling ke berbagai kota dan pesantren, buku ini semacam air pelepas dahaga, yang selama dua puluh tahun tak dirasakan terkait kebenaran sejarah pelengseran Gus Dur daru kursi Presiden RI. Warga NU sangat percaya, inilah yang pernah disampaikan Gus Dur pada acara Kick Andy kepada Andy Noya, “Nanti sejarah akan membuka kebenaran itu..”

Sebelum meulis Menjerat Gus Dur, Virdi menerbitkan buku tentang Forum demokrasi yang dipimpin Gus Dur berjudul Demokrasi dan Toleransi dalamn represi Orde Baru (2018). Selain pernah di majalah mingguan berita Gatra dan Narasi, Virdi juga pernah menjadi jurnalis majalah Sawit Indonesia dan juga sebagai Fellow Researcher di PARA Syndicate. Kini Virdi sedang menyiapkan kuliah S2 di National University of Singapoe (NUS), yang disebutnya sebagai NU Cabang Sungapura.

Tri Agus Susanto, pembicara kedua, adalah sama-sama aktivis pers mahasiswa di UNJ (dulu IKIP Jakarta) hanya berbeda lima dengan Virdi. Lima tahun? Bukan, lima kali Piala Dunia. Dosen komunikasi politik itu lebih banyak menyampaikan bagaimana proses kreatif Virdi hingga tercipta buku Menjerat Gus Dur. Ia menggarisbawahi bahwa buku ini bisa tercipta karena selain Virdi mempunyai dua modal yaitu metodologi sejarah dan bekal jurnalis, juga keberanian dan kepedulian dari seorang aktivis. Jika hanya bermodal metodologi dan keahlian penulisan tanpa keberanian dan dan kepedulian, mungkin Virdi sudah takut dahulu dengan banyaknya ancaman, dan buku tak jadi terbit.

Panitia menyediakan sepuluh buku Menjerat Gus Dur untuk peserta yang pertanyaannya menarik, baik yang di dalam ruang sidang maupun yang melalui zoom. Sebelumnya Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Habib Muhsin mengatakan diskusi bedah buku ini sebenarnya sudah direncanakan awal tahun ini namun karena ada pandemi Covid 19 sehingga baru bisa dilaksanakan hari ini. Saat ini pun kampus APMD masih kuliah dari sehingga diskusi dilakukan terbatas namun bisa diikuti secara daring melalui zoom.

MERAIH KESEMPATAN DI TENGAH KONDISI KRISIS

Dalam rangka merayakan dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi yang bersahaja ini,  izinkan saya menyampaikan Pidato Kelembagaan Ketua, dengan menyajikan tema “Meraih Kesempatan di Tengah Kondisi Krisis”, yang sekaligus sebagai tanggungjawab kepengurusan kami selama satu tahun terakhir.

Awal tahun 2020 lalu, kami telah memberikan arah Resolusi 2020, guna memperteguh martabat dan meraih kemajuan progesif Sekolah Tinggi. Tiga butir penting Resolusi 2020 adalah: publikasi dan promosi yang progresif untuk mendongkrak animo masyarakat karena mengalami penurunan pada tahun 2019; memperkaya karya keilmuan sesuai mandat Tridarma; dan merayakan Dies Natalis ke-55 bersamaan dengan Munas Kappemada yang lebih seru dan bertenaga.

Sejumlah langkah konkret sudah kita tempuh pada dua bulan pertama. Tetapi fakta berbicara lain. Untuk tidak mengatakan sebagai hambatan, pandemi global hadir menjadi jeda atas Resolusi 2020. Alhamdulillah, kita terhindar dari penularan Covid-19, tetapi pandemi ini membawa dampak serius terhadap penurunan (decline) pelaksanaan Tridarma, aktivitas kelembagaan, aktivitas kemahasiswaan, animo masyarakat dan mahasiswa baru, maupun penerimaan sebagai basis material Sekolah Tinggi. Produksi pengetahuan, sebagai aktivitas keilmuan yang bebas dan merdeka, tanpa terhalang pandemi, juga mengalami penurunan.

Seperti halnya desa mengalami pandemi BLT, kita juga mengalami pandemi dalam bentuk lain. Pertama, pandemi kuliah daring, yang membikin kerepotan bagi proses belajar mengajar, penugasan, dan penilaian terhadap mahasiswa. Kuliah daring secara direct atau secara streaming sungguh menghadapi kendala teknologi, ekonomi, dan akses sehingga tetap ada mahasiswa yang tercecer. “Kuliah tatap muka membuat hidup saya lebih hidup, tetapi kuliah daring membuat hidup saya tidak hidup”, demikian ungkap Prof. Nasrudin Harahap.

Darurat pandemi membuat mahasiswa menuntut “normalisasi pendekatan darurat”, agar para dosen tidak memberi penugasan dan penilaian yang berat. “Pihak kampus dan dosen tidak peka dengan situasi darurat mahasiswa”, demikian ungkap mahasiswa. Kami memenuhi tuntutan itu, meski ketika berhadapan dengan mahasiswa dalam kuliah, saya selalu mengatakan bahwa “mahasiswa berhak bodoh, tetapi tidak boleh malas dan manja dalam berjuang dan belajar”. Kami terpaksa meminta para dosen untuk melonggarkan dan memudahkan dalam penugasan dan penilaian kepada mahasiswa. Bagi sebagian orang, ini adalah “intervensi” yang memberangus kebebasan akademik. Siapapun boleh mempunyai tafsir seperti itu. Tetapi saya juga memiliki makna lain. Kebebasan akademik adalah bicara dan menulis memproduksi pengetahuan secara merdeka. Penilaian lebih tepat ditempatkan pada dimensi pelayanan, bukan pada dimensi kebebasan akademik, agar tidak terjebak menjadi “kuasa akademik”. Pelayanan dalam penilaian tentu bermakna memudahkan, tetapi melayani dan memudahkan bukan pula terjebak menjadi “gampangan” dan “murahan”. Jika mahasiswa memiliki hasrat untuk memperoleh nilai sempurna, maka mereka harus belajar dan berjuang lebih serius. Inilah pendidikan.

Kedua, pandemi NINA (Nomor Ijazah Nasional), sebuah standar teknokratik, yang harus diterapkan tahun depan. Ijazah tanpa NINA paling lambat November 2020. NINA menjadi pandemi karena ada banyak mahasiswa golongan tua “sisa-sisa laskar pajang” yang membuat keprihatinan dan hiruk-pikuk kampus untuk “menolong” dengan tutup mata agar mereka bisa lolos pada tahun ini.  Dengan begitu, “sisa-sisa laskar pajang” yang ditolong itu tidak mempunyai predikat sarjana yang lulus dengan sukses dan selamat, melainkan sarjana yang lolos dengan maklum.

            Dua pandemi itu memberi kita hikmah tentang “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa. Mungkin ada pihak-pihak berhaluan birokratik yang tidak “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa, melainkan “mengajar dan mengendalikan” mahasiswa. Ada pula perbedaan antara kaum idealis versus kaum pragmatis. Kaum idealis, yang biasa bicara “apa yang seharusnya”, tentu anti-pragmatisme dan anti-menolong. Mereka bilang bahwa menolong adalah tindakan pragmatis yang membuat institusi menjadi murahan, sekaligus mengeroposkan integritas dan kualitas institusi. Bagi mereka, mahasiswa harus diajarkan dengan standar ideal, agar mahasiswa menjadi lulusan yang berkualitas. Sebaliknya, kaum pragmatis, yang biasa dengan “apa yang mudah untuk dilakukan”, menuding kaum idealis terlalu kaku tidak melihat kenyataan raw material mahasiswa. Kaum pragmatis melayani dan menolong mahasiswa dengan baik, sembari menuding idealisme yang mempersulit itu, bisa membuat mahasiswa rontok dan calon mahasiswa phobia pada Sekolah Tinggi.             Saya ingin mengatakan bahwa cara birokratik — tidak “mendidik, melayani, dan menolong” – itulah yang membuat rontok dan phobia, sehingga harus diakhiri. Di sisi lain, kami memberi arah “realisme-kontekstual” yang menghubungkan secara koheren antara idealisme dan pragmatisme. Kita tidak bisa menerapkan idealisme dan pragmatisme sebagai standar yang standar dan seragam pada setiap mahasiswa.

Idealisme tentu merupakan fondasi dan tradisi pendidikan yang menggembleng, mencerahkan dan membebaskan, agar para mahasiswa menjadi “orang” dan sarjana sujana yang berilmu, kritis, mandiri, dan amaliah. Kalau Sekolah Tinggi pengin kuat dan jaya, maka idealisme harus ditumbuhkan. Sebagai contoh adalah nasehat Prof. Nasrudin Harahap, “Yang membuat mahasiswa menjadi orang bukan selembar ijazah, melainkan ilmu yang dimiliki”. Dari sini, saya hendak membedakan antara “idealisme ilmu” versus “idealisme akademik”.  “Idealisme ilmu” berbicara tentang pengetahuan berlandasankan pada filsafat ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dibangun melalui belajar, penelitian, pendidikan, diskusi, dan lain-lain. Ilmu bersifat tanpa batas, menembus ruang dan waktu, tanpa harus menggunakan standar, yang mengikuti petuah Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”.  Dalam mendidik, kita harus menyuntikkan idealisme ini. Sebaliknya “idealisme akademik” berbicara tentang pengetahuan yang mengalami instrumentalisasi, teknikalisasi dan standarisasi secara teknokratik dalam bentuk kurikulum, proses belajar-mengajar, bahan ajar, metode belajar, teknologi pengajaran, satuan kredit semester, rasio dosen-mahasiswa, ujian, penilaian, indeks prestasi, dan lain. Idealisme akademik juga mengajawantah menjadi kebebasan akademik, kompetensi akademik, kemampuan akademik, gelar akademik, sistem informasi akademik, pedoman akademik, portal akademik, administrasi akademik, dan lain-lain. Semua ini disebut sebagai industri akademik atau academic enterprise, untuk mengarahkan perguruan tinggi sebagai korporasi akademik, yang ingkar pada tradisi “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta doktrin Bung Karno “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Antara idealisme ilmu dan idealisme akademik lebih sering tidak berjalan bersama. Banyak teknokrat bergelar tinggi dan banyak memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sundul langit, dengan TOEFL dan TPA yang tinggi, tetapi memiliki ilmu dan penalaran berkasta rendah, serta miskin amaliah untuk rakyat. Indonesia sangat kaya akan teknokrat, yang berhasil mempengaruhi pemerintah serta membuat kebijakan di segala bidang, tetapi mereka gagal memperkuat daerah, memajukan desa, dan memakmurkan rakyat. Para ranah mikro di kampus, kita juga menyaksikan banyak mahasiswa memiliki indeks prestasi yang menjulang tinggi, tetapi kalau mau jujur, ya hanya sebatas prestasi akademik, bukan reputasi ilmu. Sebaliknya orang-orang seperti saya, merasa memiliki ilmu banyak, tetapi mempunyai kemampuan akademik yang jongkok. Ketika mengikuti TOEFL dan TPA, saya selalu gagal, sehingga saya tidak bakat menjadi teknokrat. Apa yang disebut “standar nasional” bukanlah pengajawantahan dari idealisme ilmu, melainkan penerapan idealisme akademik. Mau tidak mau, suka tidak suka, standar idealisme akademik itu harus dijalankan oleh kampus, tanpa peduli secara serius pada idealisme ilmu. Meskipun Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Nadiem Makarim telah melakukan “subversi” atas idealisme akademik, antara lain dengan jargon kampus merdeka, tetapi standar teknokratik tetap berjalan.  Program studi sebenarnya memiliki idealisme ilmu dan otonomi keilmuan, tetapi semua itu mengalami reduksi karena intervensi standar akademik. Standarisasi, misalnya, tidak membuat ketua prodi menjadi “begawan ilmu” melainkan menjadi “mandor akademik”, serupa dengan teknokratisasi yang membuat kepala desa bukan sebagai pemimpin rakyat dan pemerintah yang kuat, melainkan menjadi mandor proyek dana desa.  Tak urung, idealisme akademik yang teknokratik ini, juga bekerja pada ranah relasi antara dosen dan mahasiswa, yang tergelincir menjadi kuasa akademik atas nama kebebasan akademik.

Pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara antara idealisme ilmu dengan pragmatisme, melainkan antara idealisme akademik dengan pragmatisme, sebab idealisme ilmu telah direduksi oleh idealisme akademik. Idealisme ilmu tidak bisa disebut sebagai standar teknokratik, melainkan sebagai hakekat, tantangan dan cita-cita tanpa batas yang harus diperjuangkan dan diraih. Jika komunitas Sekolah Tinggi, termasuk mahasiswa, masih jauh dari idealisme ilmu, itu adalah tantangan yang harus kita sambut dengan serius. Kita harus melakoni proses untuk menjadi (becoming) terus-menerus sesuai idealisme ilmu.

Pertama, pendidikan adalah mandat dan jalan untuk mencapai idealisme ilmu. Sekolah Tinggi mempunyai panggilan mendidik mahasiswa agar anak-didik ini menjadi orang berilmu, meskipun tidak harus menjadi ilmuwan. Hasrat ingin tahu dan imajinasi anak-didik merupakan hakekat sukses pendidikan, melampaui (beyond) kebiasaan akademik berupa pengajaran, ujian, dan penilaian yang menghasilkan indeks prestasi tinggi. Kedua, program studi dan dosen adalah entitas yang mencari, menebarkan, dan mendidik ilmu kepada mahasiswa. Ilmu bukan sebatas kurikulum, bukan pula kumpulan daftar mata kuliah, yang diampu oleh dosen dan diajarkan kepada mahasiswa. Setiap program studi adalah pemegang disiplin ilmu, yang harus memiliki filsafat ilmu, atau memiliki tubuh pengetahuan yang utuh, untuk dijabarkan ke dalam setiap mata kuliah sampai penulisan karya ilmiah mahasiswa. Dalam hal ini, skripsi bukan sekadar sebagai syarat akademik untuk meraih gelar sarjana sesuai dengan standar akademik, melainkan sebagai proses pembentukan pengetahuan bagi mahasiswa. Setiap skripsi, yang paling dasar, harus duduk sesuai ilmunya. Ini idealisme ilmu yang tidak bisa ditawar. Saya sering cerewet pada komunitas Ilmu Pemerintahan, karena mahasiswa menulis skripsi tidak duduk secara keilmuan, entah menulis skripsi bercorak ilmu politik, administrasi publik, ilmu perkantoran, ilmu pariwisata, atau ilmu pengelolaan (manajemen).

Idealisme ilmu memang dikerangkai dan dijalankan dengan standar-rezim akademik yang juga disebut idealisme itu. Tidak sedikit mahasiswa yang tercecer, atau jauh dari harapan, idealisme ilmu. Namun mahasiswa yang tercecer dari dari idealisme ilmu tidak akan terkena sanksi akademik, kecuali risiko di kemudian hari karena yang bersangkutan tidak berilmu secara memadai. Sebaliknya mahasiswa yang tercecer secara akademik bisa dilihat secara nyata, yaitu mereka yang saya sebut sebagai “sisa-sisa Laskar Pajang”, yang kerap berurusan dengan Wakil Ketua, bahkan melibatkan orang tua untuk bertemu Ketua. Baik idealisme ilmu maupun idealisme akademik, dalam praktik, kerap berjumpa dengan pragmatisme. Idealisme ilmu adalah perbuatan mendidik dan mengetahui. Idealisme akademik adalah perbuatan melayani, mengajar, menguji, menilai, bahkan menghukum, sesuai standar akademik. Pragmatisme adalah perbuatan menolong dengan menurunkan harapan idealisme ilmu dan standar idealisme akademik. Idealisme ilmu, yang tanpa batas itu, bisa dibuat kontekstual dan lentur sesuai kondisi, tetapi tetap harus berproses sampai batas yang tidak bisa ditembus lagi. Inilah mendidik. Idealisme akademik, atau standar akademik yang baku, memang harus dijalankan oleh menjaga integritas (bukan kualitas) dan akuntabilitas, tetapi ketika menghadapi mahasiswa yang tercecer, maka harus ada pertolongan secara pragmatis. Dalam kasus seperti ini, kita tidak boleh kaku dan ketat menerapkan kuasa akademik, melainkan harus dengan siasat. Kami tidak akan campur tangan terhadap penerapan idealisme ilmu, tetapi kami akan campur tangan terhadap penerapan kuasa akademik terhadap mahasiswa yang tercecer. Namun pragmatisme tidak boleh ditaruh di depan mendahului idealisme ilmu dan idealisme akademik. Pragmatisme tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai standar dan menu utama. Kalau pragmatisme menjadi standar dan menu utama, maka kita akan menjadi murahan dan lemah. Ia bukan standar dan menu yang berada di depan, melainkan tindakan afirmatif-residual di tengah atau di penghujung perjalanan, untuk memudahkan dan menolong para mahasiswa tercecer yang tidak sanggup dan lulus mengikuti idealisme.  

Sebagai refleksi kritis saya ingin mengatakan bahwa kita lebih banyak bergulat dengan idealisme akademik ketimbang idealisme ilmu, yang kerapkali berjumpa dengan pragmatisme baik di depan maupun di belakang. Sebagai resolusi baru, kita harus berdiri dan berbuat mendidik idealisme ilmu secara serius-seksama; melayani idealisme akademik secara lentur dan mudah; sekaligus menolong secara pragmatis-afirmatif terhadap mahasiswa yang tercecer dari idealisme.

Animo masyarakat, input mahasiswa, dan penerimaan, yang saya sebut sebagai kemakmuran, sungguh merupakan tantangan serius bagi Sekolah Tinggi. Tahun 2019 lalu input mengalami penurunan 29% dibandingkan dengan tahun 2018, dan menurun lagi 14% pada tahun 2020. Saya selalu mengatakan bahwa input merupakan sebuah misteri, meskipun fakta empirik – seperti kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin ketat, hingga daya beli yang menurun di tahun krisis pandemi – merupakan variabel yang bisa diperhitungkan secara rasional. Misteri bukan bermakna tetuko: sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Faktanya bisa kita pahami.

Pertama, selama puluhan tahun, input dari Nusa Tenggara Timur selalu menempati ranking satu. Tahun ini, NTT digeser oleh Kalimantan Barat. Apakah ini karena daya beli masyarakat NTT menurun drastis bila dibandingkan dengan daerah lain? Sebaliknya animo dan input dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah justru sedikit meningkat, yang menempatkan DIY pada urutan ketiga setelah Kalimantan Barat. Dengan begitu, daya beli bukan faktor tunggal.

Kedua, meskipun input agregat Sekolah Tinggi mengalami penurunan, tetapi input untuk Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Magister Ilmu Pemerintahan malah mengalami peningkatan, bahkan Prodi Ilmu Komunikasi menggeser Prodi Pembangunan Sosial. Ketiga, meskipun jalur gethok tular merupakan strategi kearifan lokal yang mujarab, namun fakta juga menunjukkan bahwa input dengan jalur online meningkat secara signifikan. Saya tidak mengatakan gethok tular dan promosi tatap muka itu buruk, tetapi peningkatan jalur online merupakan sebuah gejala positif, yang dalam dunia bisnis disebut diversifikasi:

dari promosi ke reputasi, dari personal ke impersonal, dari mendengar ke mengetahui, dari pendekatan berbasis input ke pendekatan berbasis output, dan seterusnya. Semua ini adalah kekuatan dan kesempatan yang baik dan terbuka bagi Sekolah Tinggi.

Jika input merupakan misteri, maka naluri dan keyakinan merupakan jalan untuk membukanya, tentu dengan kalkulasi rasional, yang mengarah pada inovasi dan diversifikasi. Dalam konteks ini, saya berulang kali mengatakan sejumlah hal dan arah. Pertama, tanpa mengabaikan banyak daerah di seluruh penjuru negeri, DIY dan Jawa Tengah, merupakan ceruk menarik. Dua daerah ini bukan hanya dekat secara fisik tetapi dekat secara sosial dengan  Sekolah Tinggi, karena pergaulan Tridarma kita dari daerah ke daerah serta dari desa ke desa, seiring dengan hiruk-pikuk tradisi berdesa berkat stimulus UU Desa. Kedua, memperkuat pendekatan output dan reputasi untuk keperluan input dan promos, atau yang kerap disebut dengan pendekatan “unjuk gigi”. Perbuatan paling sederhana adalah “iklan yang berkonten, dan konten yang diiklankan”. Ketiga, sesuai dengan yang kedua, kita harus agresif berselancar di dunia maya, bukan hanya menampilkan informasi kegiatan kampus, tetapi menghadirkan (representasi) atas gagasan, pengalaman, dan pengetahuan kita kepada masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah karya buku kita “Mengabdi dan Melayani Desa”, yang akan kita luncurkan segera.

Penurunan input harus kita refleksi sebagai krisis, meski krisis Sekolah Tinggi tidak separah dunia usaha yang babak balur karena pandemi. Kita tetap melayani hak-hak pegawai seperti sedia kala, tidak ada penundaan dan tidak ada pemulangan. Kami merespons krisis dengan rasionalisasi. Rasionalisasi mengandung efisiensi, tetapi efisiensi tidak sama dengan rasionalisasi. Kami memahami rasionalisasi sebagai bentuk penggunaan nalar dalam penggunaan sumberdaya, perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan berbagai aktivitas Tridarma dan pelayanan. Kita gunakan nalar daya-guna, hasil-guna dan tanggungjawab, untuk mengelola anggaran tahun 2020 maupun 2021, membiayai kegiatan penting dan mendesak, yang mendukung-mendongkrak promosi, inovasi, dan reputasi. Publikasi karya keilmuan (gagasan, pengalaman, dan pengetahuan) melalui jurnal, buku, diskusi, media sosial, dan lain-lain merupakan aktivitas penting untuk promosi, inovasi dan reputasi itu.

Di tengah pandemi, kerja kelembagaan Sekolah Tinggi terus berjalan. Sejak Maret, kami menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan kampus sepi seperti kuburan tetapi juga tidak boleh membuat ramai seperti pasar. Kerja dari rumah (work from home) hanya berlangsung singkat dari pertengahan Maret hingga akhir Mei 2020. Sejak Juni hingga sekarang, kita tetap bekerja di kantor, dengan protokol moderat dan semangat sluman slumun slamet; melakukan kerja kelembagaan yang tidak pernah habis. Rapat, sebagai kerja kelembagaan, tidak pernah kendor dilakukan. Sebagai bentuk exercising power, rapat adalah perbuatan komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan eksekusi dalam hal pengaturan dan pelayanan untuk memastikan hak dan kewajiban, maupun mengurai-mengatasi kemacetan administratif (administrative traffic) yang sering muncul. Namun saya selalu mengingatkan bahwa kerja rapat kelembagaan kita jauh lebih banyak-padat ketimbang diskusi pengetahuan. Kalau datang sembilan standar pasti kita akan rapat bertubi-tubi. Saya tidak bermaksud mengatakan rapat kelembagaan tidak penting. Tetapi kalau kita jarang

melakukan diskusi pengetahuan, maka idealisme ilmu kita akan mengalami involusi, yang akan melemahkan reputasi Sekolah Tinggi. Karena kita jarang diskusi, maka keberanian dan kapasitas produksi pengetahuan juga terbatas. Terbukti kerja menulis singkat untuk website juga tidak kunjung hadir, yang karena itu, saya subversi secara cepat dengan Podcast APMD, untuk menebar gagasan, pengalaman, dan pengetahuan.

Akhir kata, meskipun menghadapi krisis, kita sebenarnya memiliki harapan sebagai kekuatan, yang jika kita mau (gelem) dan berani (wani), maka kita bisa (iso) meraih kesempatan yang gemilang di masa depan.  Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang luhur kepada seluruh pegawai yang telah berdikasi dengan loyalitas tanpa batas (satya ananta) kepada Sekolah Tinggi. Juga kepada mahasiswa yang hidup menghidupi dan menghidupkan Sekolah Tinggi. Raihlah kesempatan, kalian adalah masa depan Sekolah Tinggi. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, melimpahkan ridho, hidayah, dan rahmat kepada kita, keluarga besar Sekolah Tinggi. Aaamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,

Timoho, 15 November 2020

Ketua

Dr. Sutoro Eko Yunanto

BUM Desa Jalan Baru Kebangkitan Ekonomi Desa

Webinar Kedua Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” dilaksanakan pada Hari Rabu, 2 September 2020, pukul 10.00 – 12.00 WIB dengan mengambil tema BUM Desa Jalan Baru Kebangkitan ekonomi Desa. Dalam webinar ini menghadirkan dua narasumber yang sangat berkompeten dalam BUM Desa. Ada Drs. Suharyanto, M.M beliau adalah bidan BUM Desa dan pakar dalam mengembangkan BUM Desa. Sedang Anom Surya Putra, SH adalah praktisi BUM Desa yang sudah melalang buana dengan berbagai aktifitass terkait BUM Desa, termasuk juga mengampu youtube dengan Desatubernya. Kedua narasumber ini akan berbagi informasi dan pengalaman tentang BUM Desa.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa BUM Desa atau Badan Usaha Milik Desa menurut Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembaruan. Badan Usaha Milik Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sebenarnya bentuk kelembagaan ini telah diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2005 tentang Desa.

Terdapat empat tujuan utama pendirian BUM Desa, yaitu meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan pendapatan asli desa, meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerantaan ekonomi pedesan. Pendirian dan pengelolaan BUM Desa adalah perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena itu diperlukan upaya yang cukup serius agar dapat BUM Desa dapat berjalan secara efektif, efesien, professional dan mandiri. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi dipeDesan, BUM Desa harus memiliki perbedaaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Hal ini agar keberadaaan dan kinerja BUM Desa Mampu Memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa.

Menurut data Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Jumlah Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) menanjak tajam dari 1.022 unit pada Tahun 2014 lalu menjadi 50.199 unit pada 2019. Jumlah BUM Desa terus meningkat setiap tahunnya. Dari data ini menunjukkan lebih dari 60% jumlah seluruh desa di Indonesia. Dari sekian banyak BUM Desa yang ada di desa tentu juga terdampak akibat COVID-19. Bahkan beberapa diantaranya dapat dikatakan sedang sekarat, dari pendapatan yang surplus menjadi minus.

Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar menyatakan selama pandemi Covid-19 jumlah BUM Desa di Indonesia turun signifikan dan hanya tersisa 10.026 BUM Desa yang masih bertahan. Masih menurut Mendes, BUM Desa yang bertahan adalah BUM Desa yang berdiri atas prakarsa warga masyarakat yang telah melalui telaah ekonomi dan bisnis. Dan BUM Desa yang tidak bertahan adalah BUM Desa yang berdiri atas inisatif pemerintah. Ini menjadi catatan menarik dan sangat signifikan dari proses pendirian BUM Desa. BUM Desa sebagai sarana pengembangan ekonomi berbasis desa masih belum cukup kokoh untuk menjadi tonggak ekonomi desa. Secara institusi banyak BUM Desa yang rapuh. Pendirian BUM Desa tidak didasarkan pada kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa akan tetapi lebih karena latah, “ben koyo kancane”.

Kondisi saat ini menjadi lebih luar biasa dimana seluruh aktifitas ekonomi terdampak oleh COVID-19 ini termasuk BUM Desa ini. Akan tetapi kondisi ini diharapkan menjadi titik balik BUM Desa untuk lebih bermanfaat bagi masyarakat. BUM Desa dapat menjadi corong ekonomi bagi kebangkitan aktifitas ekonomi di masa pandemi. Tentu saja dibutuhkan siasat baru untuk keluar dari masa sulit ini, bukan malah berdiam diri dan mati. Geliat ekonomi di desa sudah semakin terasa di masa pandemi dengan banyak penyesuaian di sana sini. Upaya dari masyarakat juga pemerintah dalam merevitalisasi dan menemukan sumber energi baru untuk bangkit berdiri dan berlari bagi BUM Desa saat ini. Harapan besar ditumpukan pada BUM Desa yang masih seumur jagung ini. Maka dari itu diperlukan banyak siasat, strategi, ide segar dan inovasi dalam membangkitkan BUM Desa ini. Dengan ini Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” Yogyakarta akan mengadakan webinar dengan tema : “BUM Desa : Jalan Baru Kebangkitan Ekonomi Desa.

Webinar tentang BUM Desa ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan baik dari pengurus BUM Desa, akademisi, mahasiswa serta para penggiat desa dari berbagai penjuru Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pendaftar sebelum diskusi dan peserta terpenuhi hingga 100 peserta zoom, dengan beberapa peserta mengikuti via facebook, karena acara ini ditayangkan langsung live facebook untuk mengantisipasi peserta yang tidak dapat masuk melalui zoom. Banyaknya persoalan di BUM Desa menjadi sangat menarik untuk di diskusikan berikut juga solusi-solusi yang berupa siasat maupun transformasi sebagai jalan baru kebangkitan ekonomi desa.

Anom Surya Putra, Ketua Umum Perkumpulan Jarkom Desa, banyak berbincang tentang 3 hal, yaitu Persoalan Krusial BUM Desa dan Kelangsungannya, menemukan inovasi, strategi dan siasat baru, keluar dari “lingkaran setan pandemi” dan jalan baru ekonomi Desa berbasis potensi dan inisiasi warga Desa. Menurut Anom, pada dasarnya BUM Desa ini dilahirkan karena krisis, dari masa colonial dengan Badan Hukum Pribumi, kemudian di masa orde lama dan orde baru dengan koperasi dan Koperasi Unit Desa atau yang lebih dikenal dengan KUD. Sementara pada masa reformasi mulai muncul isu BUM Desa, Badan Hukum Lembaga Bisnis, Lembaga keuangan mikro.

BUM Desa secara normatif kali pertama dirumuskan dalam situasi Krisis dan Reformasi 1998, melalui kaidah hukum Pasal 107 ayat (1) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta penjelasannya: “institusi pemberdayaan potensi Desa untuk meningkatkan pendapatan Desa”. Sementara krisis yang melanda desa saat ini, dengan COVID-19 yang menimpa hamper seluruh elemen baik di desa maupun di Kota. Berdasarkan kondisi ini Anom memetakan desa menggunakan kriteria :

  1. Desa biru, dengan kriteria tidak terpapar & tidak terdampak, BUM Desa di desa pedalaman/terisolasi, kondisi subsisten, stagnan, bersawah, berhutan, berkebun dll
  2. Desa Kuning, terpapar tapi tidak terdampak, BUM Desa di desa transisi (tidak mengkota, tidak pedalaman), Efek transmisi orang bepergian, bersawah, berkebun, berladang, berternak, produktivitas lain
  3. Desa hijau, tidak terpapar dan tidak terdampak, desa urban, efek PHK di kota dan ketahanan pangan.
  4. Desa merah, terpapar dan terdampak, desa dekat perkotaan yang terdampak Covid-19, Aktivitas ekonomi terhenti

Anom menyimpulkan BUMDesa yang masih bisa bergerak adalah desa kuning dan biru, kalau mengelola common pool resources. Khusus desa hijau ketahanan pangan organic. selain itu penulis buku “Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa: Badan Hukum BUM Desa” terbitan LKiS Yogyakarta, 2020 ini menawarkan jalan baru BUM Desa bergerak ke arah perdagangan untuk bisa sustain dalam menghadapi krisi kali ini. Jenis usaha ini menjadi unit usaha baru disamping juga usaha lama mengelola common pool resourcesnya. Tentu saja ini tidak bisa instan, harus melalui musyawarah BUM Desa bukan rapat membahas kondisi dan posisi BUM Desa saat ini. Dalam musyawarah ini membahas siasat dan transformasi BUM Desa dengan reposisi dan restrukturisasi kelembagaan BUM Desa. Dalam presentasinya Anom menutup dengan amanah UU Desa pasal 90 tentang kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk BUM desa, yaitu memberikan hibah dan/atau, akses permodalan yang sesuai model bisnis BUM desa, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar, pendampingan jenis usaha BUM desa, akses e-commerce, marketplace, expo serta memprioritaskan BUM desa dalam pengelolaan SDA di desa, pemahaman aset bersama, tidak memburu pajak parkir, tiket, tapi kerjasama paket wisata, reforma agrarian.

Sementara itu Drs Suharyanto, M.M lebih menyorot persoalan bagaimana BUM Desa khususnya desa Wisata yang saat ini sudah mulai beroperasi tentu saja dengan standar operasional covid-19. Suharyanto banyak menyorot soal beberapa pengalaman BUM Desa seperti Desa Sambirejo, dengan BUM Desa Sambimulyo nya di tahun 2019 dengan 1Juta pengunjung, tiket masuk 5rb, setara 5M. 2019 Ponggok, omset 15,7 M, sangat spektakuler. 70% dari Wisata desa. Di Bleberan, dengan wisata desa gua Sri Gethuk, menyumbang sangat besar terkait dengan BUM Desa, omset di atas 1M semua. Pukulan besar sejak Maret 2020, selama pandemi tutup. Desa Ponggok tutup di 24 Maret 2020 sampai sekarang, dari ribuan pengunjung tiap haris tidak ada sama sekali. Desa Sabirejo dengan Tebing breksinya tutup mulai 16 Maret 2020. Tebing breksi sudah mulai buka 14 Juli 2020, mulai merintis kebali, mulai merintis kembali. Karena memang sudah terlanjur mengandalkan dari potensi Wisata. Dibalik tutupnya beberapa usaha BUM Desa ini terdapat banyak Kepala Keluarga yang bergantung dari usaha ini dengan berbagai usahanya, Jeep, kuliner, kaki lima baik yang terdampak langsung maupun tidak. Dapat dibayangkan di Desa Sambirejo, Tebing Breksi, melibatkan karyawan sekitar 130 KK, Ponggok 80 KK belum yang lainnya. Di Sri Gethuk sangat tiarap karena mengandalkan Wisata air yang kono sangat rawan penularan. Dari 1000 pengunjung per hari, 3000-4000 pengunjung di akhir minggu dan mencapai 10.000 pengunjung di akhir tahun menjadi nol, tidak ada pengunjung sama sekali.

Apa strategi selanjutnya?, sudah 5 bulan tutup sejak pandemi. Mereka punya potensi luar biasa, pantas untuk dijual dan menarik banyak minat wisatawan. Dan banyak KK yang bergantung hidup pada jenis usaha ini. Pertama, bagi BUM Desa dengan mengandalkan jenis usaha common pool resources, saatnya pembenahan, selama ini seperti Ponggok, Tebing Breksi, Sri Gethuk hampir tidak ada kesempatan untuk berbenah karena banyaknya pengunjung. Tentu saja dengan menyesuaikan protocol Kesehatan covid-19. Strategi ini dapat digunakan bagi BUM Desa yang mengandalkan factor eksternal, pengunjung, wisatawan. BUM Desa khususnya desa Wisata harus dapat menjamin pengunjung aman dan tidak khawatir saat berkunjung di obyek Wisata. Kedua, strategi yang harus diselenggarakan desa mendorong, menguatkan devisi usaha ekonomi produktif. Ekonomi produktif perlu dibangkitkan. Jadi ini yang banyak, saya sampaikan saja, di Pongok yang terpukul Wisata air, resto, penyewaan Gedung, homestay, sewa kios, ekonomi kreatif ini yang terpukul akibat covid. Ekonomi produktif ada toko desa, sewa kolam, budidaya air tawar, simpan pinjam, omset sampai 1M dan pengelolaan air bersih. Sama dengan Sambirejo, memang tiarap Wisata tebing breksi. Pengelolaan air dan simpan pinjam jalan. Sambirejo mulai melirik toko desa mulai menyiapkan sembako, untuk keperluan warga. Ini yang menarik. Kita berinovasi ke arah memenuhi kebutuhan warga.

Suharyanto, Bidan BUM Desa ini juga mengingatkan tentang teori BUM Desa, bahwa pada dasarnya devisi usaha BUM Desa itu mempertemukan 2 hal penting, yaitu ada kebutuhan dan ada potensi. Inilah terbentuklah devisi usaha. Kalua ini betul dilakukan secara kelayakan studi diharapkan akan lebih abadi. Yang tergantung eksternal begitu terlanda probem kena dampaknya.

            Siti Sumaryatiningsih

            Ketua Panitia

Kuliah Umum Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” Desa Di Era New Normal

Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) STPMD “APMD” dengan tema Desa di Era New Normal. Kuliah umum ini berlangsung pada Hari Selasa, 4 Agustus 2020, pukul 10.00 – 12.30 WIB dengan menggunakan metode daring dengan zoom dan live streaming di facebook PMD STPMD APMD. Kuliah ini merespon kondisi aktual untuk memotret dan membedah persoalan desa, strategi pemerintah desa dan strategi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa di masa pandemi dan new normal. Dalam kuliah ini menghadirkan dua narasumber yang sangat berkompeten di bidangnya, seorang guru desa, Dr Sutoro Eko Yunanto dan praktisi desa, yaitu Kepala Desa Pagerharjo, Widayat, A.Md yang juga alumni Prodi PMD.

Dalam kuliah umum Dr Sutoro Eko menyampaikan “Desa Tiga Era”, era normal, era pandemi dan era new normal. Paparan dimulai dari sejarah desa dilihat dari berbagai sudut pandang keilmuan dan kemudian membedahnya dari berbagai sudut pandang. Ada beberapa, pandangan menarik yang disampaikan diantaranya adalah “Desa itu panggah”, stagnan meskipun berbagai upaya pembangunan dilaksanakan. Desa. Penyakit kronis desa sulit dikenali karena adanya kabut tebal kedaulatan sehingga desa tidak dapat dilihat akibatnya desa tidak bisa berdaulat. Dalam pandangan lain menyebutkan bahwa desa adalah situs penindasan, “kebo gedhe menang berike”. Desa masih dalam kondisi yang sama meski dengan adanya UU Desa.

Selanjutnya dalam paparannya Dr. Sutoro Eko menyebutkan bahwa “Desa itu penting” apalagi saat pandemi, pemerintahan desa menjalankan fungsi preventif maupun distributif. Desa menjadi basis untuk pencegahan maupun pendistribusian berbagai hal terkait dengan covid-19. Berbagai upaya preventif dilakukan desa secara mandiri dengan berbagai variasi seperti lockdown mandiri, upaya penanganan kasus serta berbagai inovasi kegiatan pelayanan di desa. Wabah covid-19 ini memunculkan emansipasi, representasi sehingga desa menjadi lebih maju dan progresif.

Sementara Widayat, A.Md memaprkan kondisi desa, Covid-19 datang, semua meradang. Seluruh dunia merasakan dampaknya secara langsung maupun tidak langsung termasuk desa. Hampir seluruh aktifitas pembangunan dari pusat hingga daerah menjadi mandek bahkan lumpuh baik program maupun pelayanan. Semua sangat sadar tidak ada yang kebal terhadap virus ini, semua warga terdampak baik masyarakat kota maupun desa. Desa semakin meradang dengan pulangnya pekerja urban yang telah sampai di kampung halaman karena membawa kecemasan terjadinya transmisi lokal virus corona. Tetapi desa tentu saja tidak tinggal diam, berbagai upaya coping mechanism untuk kesehatan masyarakat juga ekonomi tetap dilangsungkan. Untuk menjaga kesehatan masyarakat, beberapa wilayah mengadakan penutupan wilayah, lockdown skala lokal. Beberapa wilayah di desa membentuk tim sendiri untuk menjaga posko dengan pembiayaan mandiri untuk menjaga wilayahnya dan mencegah penularan virus ini. Bentuk kegiatannya sangat beragam tergantung dengan kearifan masing-masing wilayah. Selain itu meski warga desa bukanlah manusia yang kebal terhadap virus tetap beraktifitas dalam memproduksi hasil pertanian. Beberapa inovasi yang disampaikan adalah program “iso nandur ngopo tuku”. Program ini memanfaatkan lahan yang ada dengan berbagai aktifitas pertanian juga peternakan. Selain itu untuk pemasaran dikembangkan konsep e-warung sehingga dapat memperluas jangkauan pembeli untuk produksi pertanian dan peternakan yang ada.

Diskusi sangat menarik dengan berbagai pertanyaan serta harapan terkait dengan desa dan juga SPTMD “APMD”. Partisipan langsung melalui daring sebayak 57 peserta aktif sangat beragam dari akademisi, praktisi, mahasiswa dan pemerhati desa. Antusiasme peserta juga terlihat dari banyaknya penanya dalam kuliah umum ini. Kuliah umum ditutup dengan closing statement dari Dr. Sutoro Eko, untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait dengan desa jangan hanya cuci tangan dan campur tangan tapi yang terbaik adalah turun tangan dari seluruh stakeholder desa.

Covid-19, KKN STPMD “APMD”, dan Kepedulian

Dalam rentan waktu selama satu semester ini, covid-19 masih saja menjadi momok bagi tatanan kehidupan umat manusia. Alasan tersebut menjadi persoalan utama pememorak-morandaan kehidupan sosial, ekonomi, dan peradaban masyarakat. Di lain sisi, kemelaratan di tengahnya bangsa yang dilanda pandemi ini masih sulit terselesaikan.

Berbagai ketakutan terus diproduksi dengan berbagai narasi dan alasan yang tidak masuk akal: selain mengenang para korban di Papua yang terus berguguran nyawanya oleh negara dengan kekerasan yang dilakukan oleh militer, kemiskinan dan berbagai persoalan kehidupan pun masih terjadi di tengah masyarakat.

Cara yang mesti dihadapi saat ini adalah kepedulian. Kepedulian terhadap sesama manusia adalah cara terbaik yang mesti tetap hidup di tengah pergolakan-pergolakan serta fenomena-fenomena baru yang terjadi saat ini. Peduli terhadap sesama masyarakat, orang yang panik, berkekurangan, mengalami keputusasaan akibat dirumahkan, matinya kehidupan sosial, dan berbagai persoalan yang muncul setelah tersebarnya covid-19 ini.

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Yogyakarta (STPMD “APMD”), pada tahun ini, tetap menerjunkan mahasiswa (yang telah menyelesaikan studi teorinya) ke tengah masyarakat untuk bergabung dengan masyarakat dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Bagi STPMD “APMD”, momen ini sangat penting sekaligus berguna dan bermanfaat, karena kemudian mahasiswa boleh berkesempatan melihat secara langsung fenomena yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengobservasi, mengkaji, mengedukasi lalu berkolaborasi dengan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Di sisi lain, mahasiswa dapat belajar banyak dari masyarakat tentang hidup bermasyarakat.

Kegiatan KKN tahun ini memang agak sedikit unik. Jika sebelumnya mahasiswa diterjunkan ke masyarakat dan tinggal di tengah masyarakat selama waktu yang ditentukan, kini mahasiswa STPMD hanya diberi kesempatan 3 sampai 4 jam dalam sehari untuk bertemu dengan masyarakat. Alasan ini jelas, sebab dengan demikian, dapat mempersempit tesebarnya virus mematikan: covid-19.

Walaupun begitu, semangat dan antusiasme antara masyarakat dan mahasiswa untuk saling menerima tetap “hidup” di tengah fenomena ini. Terlepas dari itu, semangat yang diproduksi adalah kepedulian. Kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan pun kepedulian mahasiswa terhadap persoalan yang telah menimpa masyarakat selama berbulan-bulan.

Saya sendiri adalah angota KKN yang diterjunkan bersama empat teman saya: Rusidyan Tarambani dari Sumba, Nelson Kulismian dari Papua, Efantris Megah dari Manggarai, dan Abri Maxon Kogoya dari Jogja. Sebagai kelompok urutan 28, kami diterjunkan di Kelurahan Sorostan, Umbulharjo—sebuah Kelurahan di tengah Kota Yogyakarta.

Dengan semangat kepedulian, kami berlima bekerjasama, menyusun strategi, berkolaborasi, dan saling memberikan ide untuk kemudian berhadapan dengan masyarakat. Strategi utama yang kemudian kami terapkan adalah membangun ke-percayadiri-an dan semangat kekeluargaan agar boleh bersanding dengan masyarakat dengan semangat yang sama.

Di awal kami berkunjung ke masyarakat, memang banyak kendala yang mesti kami terima. Salah satunya adalah tidak diterima oleh masyarakat jika belum membawa bukti kesehatan dari pihak kesehatan (rapid test). Tidak berhenti di situ. Kami kemudian membuat pendekatan dengan lembaga STPMD “APMD” untuk memenuhi permintaan tersebut.

Alhasil, semua itu berjalan lancar. Setelah kami kembali ke masyarakat dengan membawa berkas-berkas tersebut, maka kami diterima untuk menjalankan program-program kami di Kelurahan tersebut. Ini adalah pengalaman menarik yang kemudian kami berlima mengakuinya sebagai orang-orang yang pada akhirnya memang akan menetap di tengah masyarakat umum.

Semangat kepedulian mulai kami bangun saat itu. Kami mendekati setiap masyarakat secara individu dan menanyakan apa yang menjadi persoalan mereka. Dengan segala keterbukaan, masyarakat menceritakan semua kesulitan yang mereka rasakan di tengah merebaknya pandemi covid-19 ini.

Persoalan mendasar yang mereka alami adalah ketahanan pangan. Sebagai masyarakat kota, kebutuhan pangan hanya akan bisa didapatkan lewat pendapatan dari bekerja sebagai buruh, gojek, pemulung, pedagang kaki lima dan masih banyak varian pekerjaan yang tidak dapat disebut satu-satu. 

Tetapi pada intinya, krisis pangan benar-benar mereka alami lantas banyak buruh yang dirumahkan, juga beberapa pekerjaan yang mesti dihentikan selama covid-19 masih menjadi persoalan negeri ini.

Persoalan lain adalah belajar via online bagi anak-anak Sekolah Dasar. Mereka masih belum mampu menggunakan teknologi untuk belajar dengan efisien. Persoalan ini saya pikir terjadi di semua daerah. Sistem pembelajaran (baru) yang amat menyulitkan. Saya tidak bayangkan jika mereka yang alami hal demikian adalah orang-orang desa di pedalaman. Tetapi kesulitan-kesulitan itu adalah kenyataan yang mesti dihadapi.

Dan satu lagi persoalan yang cukup memerlukan edukasi adalah protokol kesehatan. Sudah kita tahu bersama bahwa protokol kesehatan secara umum yang harus diterapkan saat ini antara lain: selalu menggunakan masker, sering mencuci tangan, rajin olah raga, menghindari kerumunan dan beberapa yang lain. 

Tetapi banyak masyarakat yang terpakasa harus melanggar aturan-aturan tersebut karena berbagai alasan. Ada yang memang kekurangan edukasi, ada pula karena alasan untuk tetap bertahan hidup meski pada aturan tersebut diimbau untuk tetap di rumah saja. Sedangkan jika di rumah saja, maka yang terjadi adalah krisis ekonomi bahkan kelaparan.

Dari berbagai persoalan di atas, tentu saja kami sebagai mahasiswa tidak dapat menyelesaikannya dengan memenuhi semua kebutuhan masyarakat tersebut, apalagi dalam hal ekonomi masyarakat. Cara yang kami gunakan adalah membantu dengan semangat kepedulian yang tinggi.

Cara-cara yang menururt kami dapat sedikit membantu persoalan-persoalan di atasa dalah sebagai berikut: Pertama, mengalihfungsikan beberapa lahan kosong—tempat pembuangan sampah, atau taman-taman bunga untuk kami tanami berbagai jenis sayuran yang kemudian hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat yang sangat membutuhkan. 

Kedua, mengedukasi masyarakat terkait protokol kesehatan dan juga menyediakan aksesoris seperti tempat mencuci tangan dan hand sinitizer di setiap RT. Ini dimaksudkan untuk masyarakat selalu waspada dengan menjunjung tinggi kebersihan. Dan, ketiga, mendampingi dan mengajarkan anak-anak dalam menggunakan teknologi sebagai satu-satunya media untuk belajar secara online.

Ketiga cara di atas kami lakukan sejatinya bukan karena memang kami bisa dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan, melainkan sebagai bentuk kepedulian dalam memerangi covid-19 secara bersama. Dan satunya-satunya cara yang mesti dilakukan untuk memerangi pandemi ini adalah dengan kerjasama, kekompakan kepedulian dan saling mengingatkan.

Jika sebelumnya STMPD lebih banyak peduli terhadap desa, kini, STPMD juga mampu membuka diri dan memberikan kepedulian terhadap masyarakat kota. Alhasil, persoalan di desa tidak beda jauh dengan yang dihadapi masyarakat kota. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengatasi krisis-krisis tersebut.

Harapannya, pemerintah segera memerhatikan hal-hal kecil seperti persoalan-persoalan yang dialami masyarakat yang saya gambarkan di atas. Terkadang, pemerintah dan para pemegang kekuasan melihat dan memandang dari tahkta yang tinggi lalu membuat banyak kebijakan agar terlihat seperti memerintah tetapi tidak melihat dian-dian kecil yang hampir padam di tengah masyarakat.

Peduli memang sangat penting. Kita hanya bisa “berdiri” jika saling peduli. Peduli terhadap sesama adalah peduli terhadap diri kita sendiri. Pemerintah yang peduli adalah pemerintah yang adil. Masyarakat yang peduli adalah masyarakat yang makmur.

Penulis : Bruno Rey Pantola

30 Juli 2020

Deklarasi Mazhab Timoho dan Peluncuran Jurnal Governabilitas Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta

              Publik   lebih  akrab   dengan   istilah   “pakar   politik”   daripada   “pakar   pemerintahan”.   Istilah “pengamat  politik” lebih sering kita dengar daripada  “pengamat  pemerintahan”.  Padahal,  para pakar tersebut sedang mengamati proses berpemerintahan,  membahas orang-orang yang diberi kuasa untuk memerintah,  seni dan cara memerintah,  kebijakan pemerintah,  dan seterusnya. Gambaran sederhana ini menunjukkan bahwa posisi Ilmu Pemerintahan selama ini seolah-olah ada dalam kendali ilmu Politik. Pada saat yang sama, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia kebanyakan  terjebak  pada “ilmu perkantoran”  yang sangat  bermuatan  administrasi.  Jika Ilmu Hukum berbicara   soal   legalitas,   dan   Ilmu   Politik   berbicara   soal   legitimasi   yang   demokratis,   maka   apa sesungguhnya yang dibahas oleh Ilmu Pemerintahan?  

Dalam  rangka  menjawab  pertanyaan   tersebut,  Prodi  Ilmu  Pemerintahan   STPMD   “APMD” Yogyakarta  menyelenggarakan   Webinar  dengan  tema  “Dekolonisasi  Ilmu  Pemerintahan”  sekaligus peluncuran  JURNAL  GOVERNABILITAS  yang  diselenggarakan  pada  hari  Kamis,  16  Juli  2020  serentak melalui  webinar  dengan  aplikasi  Zoom  dan  Seminar  internal  di  Kampus  STPMD  “APMD”  Yogyakarta dengan  menerapkan   protokol   kesehatan   COVID-19.   Webinar  ini  membahas   mengenai   kontribusi keilmuan    para    akademisi    di    Indonesia    dalam    merekonstruksi    Ilmu    Pemerintahan    sekaligus menyelamatkannya  dari krisis  identitas.  Kegiatan  Webinar  ini  menghadirkan  narasumber,  pembahas, dan moderator yaitu:  

1.    Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua STPMD ”APMD”– Pembicara utama)

2.    Dr. Fadhillah Harnawansyah (Universitas Musi Rawas – Pembahas)

3.    Andi Luhur Prianto, M.Si (Universitas Muhammadiyah Makassar – pembahas)

4.    Dr. Krisno Hadi, M.IP (Universitas Kristen Palangkaraya- Pembahas)

5.    Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si (Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – Pembahas)

6.    Mansetus Darto (Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit- Pembahas)  

7.    Gregorius Sahdan,S.IP, M.A (Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” – Moderator)  

Menurut Sutoro Eko, ada dua tradisi utama yang berpengaruh dalam perkembangan kajian Ilmu Pemerintahan  di Indonesia,  yaitu  tradisi  mazhab  Anglo-Saxon  dan tradisi  mazhab  Kontinental Eropa. Tradisi   Anglo-Saxon   berasal   dari  Inggris   dan  berkembang   di  Amerika   yang   menganggap   bahwa pemerintahan   adalah  politik  plus  administrasi.   Tradisi  ini  dibawa  oleh   para  ilmuwan  politik  dan adminsitrasi yang bersekolah di Amerika maupun Inggris, kemudian dibawa ke Indonesia yang kemudian diturunkan  dalam konstitusi.  Sementara  tradisi Kontinental  Eropa yang syarat dengan muatan hukum merupakan warisan Romawi, yang berkembang di Prusia dan Jerman dengan nama Kameralisme. Tradisi ini dibawa oleh Belanda ke Indonesia dengan sebutan bestuurkunde. Bestuurkunde  inilah yang banyak berkembang di Indonesia dan disebut sebagai “Ilmu Pemerintahan”. Padahal, di Belanda bestuur adalah administrasi   dinas-dinas   negara,   yang   kemudian   oleh   generasi   baru,   bestuurkunde   merupakan administrasi publik Belanda.  

Karena ‘benturan  antar mazhab’ tersebut  di atas, maka Ilmu Pemerintahan  yang diajarkan  di Indonesia  menjadi tidak jelas secara ontologis.  Ilmu Pemerintahan  seolah-olah  anti pada  politik,  lupa

pada  hukum,  namun  enggan  pada  administrasi.  Karena  problem  inilah  maka  sudah  saatnya  para ilmuwan di Indonesia harus berani merekonstruksi  Ilmu Pemerintahan  yang bisa berdiri tegak sebagai sebuah disiplin keilmuan sekaligus berguna bagi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara.   

Berangkat  dari keresahan itu, setelah melalui proses dialektika yang panjang dan  melelahkan, Prodi  Ilmu  Pemerintahan   STPMD  “APMD”   Yogyakarta   mencoba   mendudukkan   ulang  posisi  Ilmu Pemerintahan    yang   dibingkai   dengan   lima   konsep   kunci   (5G),   yaitu   government,    governing, governability,  governance,  dan governmentality.  Kelima konsep kunci ini  bisa menjadi roh, spirit, dan substansi dari disiplin Ilmu Pemerintahan yang khas Indonesia dan mampu memuliakan rakyat. Kelima konsep  kunci  ini  juga  diharapkan   mampu  menjawab   berbagai   problema   yang  terjadi  di  tengah masyarakat Indonesia sehingga Ilmu Pemerintahan dapat menjadi ilmu yang mampu memuliakan rakyat dan desa.

Menurut  Andi  Luhur  Prianto,  selaku  pembahas  dari  Universitas  Muhammadiyah  Makassar memiliki  keresahan  yang  sama,  bahwasannya  Ilmu  Pemerintahan  saat  ini berada  dalam  masa  kritis. Meski Ilmu Pemerintahan  memiliki ciri khasnya sendiri diberbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, namun, saat ini Ilmu Pemerintahan  bersifat lebih praktis dan hanya sedikit sekali yang membicarakan Ilmu  Pemerintahan   secara   khusus   dengan   melihat   ontologi,   epistimologi,   maupun   aksiologisnya. Dideklarasikannya  Mazhab Timoho oleh STPMD “APMD”  Yogyakarta  seperti sebuah oase dalam masa kritis  Ilmu Pemerintahan  dewasa  ini karena  mampu  membuat  pemetaan  yang cukup jelas mengenai posisi Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Mazhab timoho diharapkan mampu membawa Ilmu Pemerintahan keluar dari bayang-bayang ilmu politik maupun administrasi dan membawa Ilmu Pemerintahan tidak lagi bersifat  praktis  namun  mampu   melihat  fenomena  yang  ada  secara  luas,  serta  berpihak  kepada masyarakat kecil seperti yang selama ini menjadi fokus dari prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.

              Sementara  menurut  pembahas  Drs.  Urbanus  Ola  Hurek,  M.Si  dari  Universitas  Katolik  Widya Mandira  Kupang  mengemukakan  bahwa  selama  ini  Ilmu  Pemerintahan  berada  dalam  cengkeraman ilmu-ilmu  lain  yang  lebih  dominan.  Ilmu  Pemerintahan  selama  ini  juga  mengalami  tumpang  tindih dengan  ilmu  lain  seperti  Ilmu  Hukum,  Ilmu  Administrasi,   maupun  Ilmu   Politik.  Mazhab  Timoho diharapkan   mampu   mengisi   dekolonisasi   Ilmu   Pemerintahan   dan   kemudian   memperjelas   serta mempertegas   posisi  Ilmu  Pemerintahan   dalam   perkembangannya  kedepan.  Mazhab  timoho  juga diharapkan mampu membebaskan Ilmu Pemerintahan yang selama ini cenderung memberikan tempat istimewa  untuk pemerintah  yang  tidak berpihak  kepada rakyat dan mendorong  berkembangnya  Ilmu Pemerintahan yang terfokus kepada rakyat kecil.  

              Berbeda dengan pendapat dari Dr. Krisno Hadi, M.IP dari Universitas Kristen Palangkaraya yang mengkritisi  Mazhab  Timoho  ini.  bahwa  mazhab  timoho  diharapkan  mampu  menjadi  ilmu  semesta maupun ilmu pribumi sehingga konsep kunci 5G  mampu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia supaya mudah dipahami oleh seluruh pihak yang concern terhadap Ilmu Pemerintahan.  Mazhab timoho juga diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang didapatkan oleh Ilmu Pemerintahan dewasa ini, antara lain posisi Ilmu Pemerintahan yang masih kabur dan belum memiliki batasan jelas dibandingkan dengan ilmu-ilmu  lain seperti Ilmu Politik,  Ilmu Administrasi,  dan sebagainya.  Mazhab  ini diharapkan juga mampu mendekolonisasi Ilmu Pemerintahan sehingga mampu membedakan sekaligus memetakan antara fakta politk dengan fakta pemerintahan.

              Sementara  Mansetus  Darto  selaku  Sekjen  Serikat  Petani  Kelapa  Sawit  yang  juga   sebagai pembahas di webinar ini menggunakan konsep kunci 5G dari mazhab timoho untuk melihat realitas dan fakta praktis di sektor sawit. Dimana konsep Government dalam sektor sawit dapat  digunakan  untuk melihat bagaimana berbagai dinas terkait dalam melayani pelaku di sektor sawit belum efektif, selama ini masih berbelit-belit  dan masih berpihak  kepada  pemilik  kekuasaan  maupun  pemilik  modal besar. Kemudian  konsep governing  digunakan  untuk melihat bagaimana  pemerintah  atau  pemberi  ijin  lebih

‘melayani’ dan memudahkan prosedur aturan untuk korporasi dan konglomerasi sawit di Indonesia dan

kurang berpihak kepada rakyat yang berprofesi sebagai petani sawit.  Sementara konsep governability

Yogyakarta, 16 Juli 2020

Dua Dosen APMD Menjadi Narasumber Kongres Kebudayaan Desa 2020

Pada 1-10 Juli 2020 serangkaian webinar Kongres Kebudayaan Desa telah digelar. Sejumlah 100 narasumber, 20 moderator dari berbagai keahliahnya masing-masing, mulai dari Papua hingga Aceh. Puluhan ribu peserta juga dari segala penjuru Tanah Air bergabung selama kongres.

Menurut Ketua Kongres Kebudayaan Desa, Ryan Sugiarto, semenjak Covid-19 menyebar ke pelosok Nusantara, orang-orang kota berbondong pulang ke desa. Kota-kota besar yang selama ini didamba demi rupiah luluh lantak. Kembalinya orang-orang ke desa seharusnya jadi lonceng pengingat bagi Indonesia bahwa desa kembali menjadi penyelamat bagi rakyat di tengah badai krisis Covid-19.

Ryan Sugiarto menambahkan, melalui Kongres Kebudayaan Desa siasat kebudayaan dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi. Pandemi mengajarkan sisi positif, manusia dengan segala daya, akal budi, dan kreativitasnya harus mencari ruang “perlawanan” yang lebih baik. Menyerah berarti mengantarkan kematian dan kemanusiaan. Maka, tak ada kata lain selain terus berjuang, dan perjuangan itu harus dimulai dari desa. Sebuah entitas negara paling dekat dengan warganya. Tak ada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan warga selain desa.

Dua dosen Sekolah Tinggi embangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta, Ketua Sutoro Eko dan dosen Ilmu Komunikasi Tri Agus Susanto ikut menjadi pembicara webinar Kongres Kebudayaan Desa. Sutoro Eko, tampil pada sesi weninar ke13: Hukum dan Politik Desa: Membangun Habitus Politik dan Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia Dalam Tatanan Indonesia Baru. Sementara Tri Agus Susanto menjadi pembicara webinar sesi ke 18 (terakhir): Komunikasi, Media dan Influencer: Merumuskan Kebujakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan Desa menuju Indonesia Baru.

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko menilai desa sejauh ini masih dikelola dengan paradigma kolonial. Desa masih dipandang sebagai entitas yang formalistik, disibukkan dengan urusan administrasi. Pembangunan di desa masih menggunakan cara-cara teknokrasi. Ia mencontohkan bagaimana paradigma teknokrat tak berhasil menyejahterakan desa. “Misalnya keterbelakangan desa harus diselesaikan dengan modernisasi [paradigma teknokrasi]. Tapi sudah lama modernasi gagal menyejahterakan desa,” papar dia.

Padahal, menurut Sutoro Eko, ada misi penting yang diemban pemerintah tak terkecuali desa, “Hakikat pemerintah itu protecting [melindungi] dan distributing (mendistribusi). Protecting misalnya menjaga keselamatan dan kelestarian alam, memproteksi rakyat dari perampasan elit [sumber daya dan sebagainya]. Protecting itu juga bisa soal kesehatan. Distributing misalnya mendistribusi dana desa,” jelas Sutoro Eko.

Sementara itu pada sesi terakhir, melalui Kongres Kebudayaan Desa, Tri Agus Susanto, staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta, mengatakan pola komunikasi dalam kepemimpinan memilki peran penting dalam membuat desa bertahan terhadap ruralisasi. “Kalau desa bisa mengelola komunikasinya, sumber dayanya, maka desa bisa bertahan saat pandemi,” ujar Tri Agus (10/7).

Tri Agus menekankan gaya kepemimpinan yang paling sesuai untuk menyiapkan desa menghadapi beragam krisis akibat pandemi adalah kepemimpinan inovatif-progresif yang ditandai dengan mengelola kekuasaan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Tipe kepemimpinan ini membuka seluas-luasnya ruang partisipasi masyarakat, transparan dan akuntabel, yang diharapkan mampu mengajak masyarakat berprakarsa dan berpartisipasi membangun desa sebagai kekuatan ekonomi.

Dari sini, Tri Agus kemudian menyebutkan pola komunikasi yang dipilih juga berfokus pada partisipasi warga. Menurutnya, para pimpinan desa diharapkan menggunakan pola komunikasi kombinasi antara gaya komunikasi khas desa dan kekinian. Kepala desa dalam hal ini merupakan influencer harus memadukan gaya komunikasi yang guyub dan kekinian yang menggunakan media sosial dan cepat tanggap. Pun masyarakat harus ikut berperan aktif dalam pola komunikasi ini. “Warga desa dan para perangkatnya harus membangun komunikasi yang baik dengan menggabungkan komunikasi cara lama yang guyup dengan komunikasi yang baru yang berbasis teknologi,” sambungnya. (dari berbagai sumber)

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?