Gambaran Kemiskinan Indonesia

Penulis: Budi S

Salah satu prasyarat keberhasilan program program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya ?si miskin? tersebut dan di mana si miskin itu berada. Kedua, pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan. Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggouta keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya. Pertanyaan kedua mengenai penyebaran kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya, yaitu dengan menentukan di mana penduduk miskin terkonsentrasi. Untuk kasus indonesia, aspek geografis ini bisa terbagi dalam penyebaran kota dan desa, di Jawa dan di luar Jawa Dalam kasus Indonesia, secara umum memakai standar pengukuran kemiskinan dari standar Bank Dunia. Namun beberapa pendekatan atau tepatnya penyesuian dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung batas miskin. Kajian utama didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2100 kalori perhari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Pengeluaran bukan makanan ini dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Pola ini telah dianut secara konsisten oleh BPS sejak tahun 1976. Sayogyo dan Sam F.Poli dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan pedesaan masing masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun (BPS, 1994). Sebaliknya Bank Dunia menggunakan standard mata uang dollar Amerika Serikat, yaitu untuk dekade 1980, standar pengeluaran untuk makanan adalah 50 dolar AS untuk pedesaan dan 75 dolar AS untuk per kapita per tahun (berdasarkan kurs dasar dollar 126 terhadap rupiah pada tahun 1971). BPS dalam mengadopsi ukuran dari Bank Dunia melakukan penyesuaian dengan pola dasar konsumsi pada tahun 1971, dan kemudian disesuikan dengan kenaikan harga (inflasi) dari bahan makanan pokok .Penyebaran kemiskinan, karakteristik demografis, karakteristik pekerjaan, sumber penghasilan, dan pola konsumsi penduduk miskin dan kaya, terlihat dalam data. Ukuran kemiskinan yang dianut oleh negara negara dari standar Bank Dunia, ternyata secara empiris kadang kadang kurang bisa menjelaskan fenomena kemiskinan. Terutama, membandingkan kemiskinan dengan kesejahteraan. Tidak semua kemiskinan identik dengan ketidak sejahteraan, demikian juga tingkat pendapatan yang tinggi, belum mencerminkan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Sen poverty index (SPI) yang merupakan formula yang dipergunakan untuk mengukur indeks kemiskinan, ternyata tidak mampu mengukur tingkat kesejahteraan. SPI yang lebih mendasarkan pada poverty head account ratio dan ini yang diambil dari penyebaran pendapatan per kapita (koefisien Gini) ternyata hanya mengukur kemiskinan dari tingkat pendapatan. Apakah tingkat pendapatan tersebut mencerminkan kemiskinan ? Jawaban pertanyaan ini bisa betul dan bisa tidak, tergantung bagaimana pola konsumsi, pola kehidupan serta faktor jaminan keamanan akan kehidupan dari setiap negara kepada penduduknya. Studi Birdsall (1995) di negara-negara Asia timur yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi ( >7%), sedang (5%-6%) dan rendah (<5%) selama 30 tahun, menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang berbeda. Studi Birdsall menunjukkan bahwa Srilangka yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang relatif rendah (<5%) dan mempunyai indeks SPI yang rendah (yang menunjukkan tingkat pendapatan per kapita dalam US dollar rendah atau kurang dari 500 dolar AS per tahun) ternyata mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia, atau misalkan Brasil (yang mempunyai pendapatan per kapita diatas 5000 dolar AS pertahun). Anand dan Kanbur (1993) mengusulkan pola pengukuran kemiskinan dengan memasukan variabel variabel non keuangan (non financial variables), seperti kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang luas dan murah, kesempatan kerja yang tinggi, angka kematian balita dan ibu yang melahirkan, tingkat kemungkinan hidup, sistem perumahan dan sarana kesehatan umum, listrik dan lain lain. Dengan memakai ukuran yang baru Anand dan Kanbur melakukan uji ulang atas data dari Ahluwalia terhadap 60 negara. Hasilnya adalah kemiskinan tidak identik dengan kesejahteraan. Malcolm Gillis dalam bukunya ?Economics of Development? (1983) mencantumkan faktor tersebut sebagai basic human needs and Social Indicators dalam penghitungan kemiskinan.

Kemandirian, Keberlangsungan Hidup dan Pembaharuan Desa

Hastowiyono2)

ABSTRACT

 

We know that the most of rural communities in Indonesia life in social vulnerabilities. Its phenomena can be shown on their weakness to handle the risks of harvest failure, epidemic, natural disaster, losses in market competition against strong capitalist, government’s policies which wasn’t sided with them, etc. Some times rural community couldn’t handle the various risks of their life failure, especially the risk of failure on middle and macro levels. So, they need social protection enough to achieve social endurance as sufficient condition for sustaining their life. Sustainability life of rural community would be achieved, if they have enough or strongly social endurance. The question has to be answered is: “What kind of social protecting scheme must be done to promote their social endurance?”.

There are two levels of social protecting schemes. The first level could be done by empowering rural community to promoted social protecting through strengthening their own social capitals, and the second level could be done by pushing the government’s role to seriously making and implementing policies about social services, social insurances and social protects for rural community.

Empowering rural community is intended to grow up their critical consciousness in positioning to social and political structure, and self confidence to improving their life condition. By this scheme, sustaining rural community’s life would be achieved based on their own potencies. On the other hand, Indonesia as a welfare state obligated government to promote social welfare for all citizens, so, government’s policies must be sided with the greatest people’s interest, i.e. promoting the rural community’s sustainability life in welfare condition.

 

Pendahuluan

Pembaharuan desa, sebagai suatu usaha perubahan, pada dasarnya adalah langkah gerakan social. Keberhasilan gerakan pembaharuan desa akan sangat ditentukan oleh sejauh mana usaha-usaha yang dilakukan mampu mentransformasikan kelemahan menjadi kekuatan, dan bagaimana mentransformasikan segala potensi menjadi kekuatan pendorong perubahan Juliantoro, 2003:3). Menurut Eko (2003::4), pembaharuan desa adalah sebuah upaya berkelanjutan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi-politik desa secara internal maupun eksternal menuju tatanan kehidupan desa yang lebih demokratis, mandiri dan adil. Lebih luas dari itu, cakupan pembaharuan desa pada dasarnya ingin menciptakan kemakmuran rakyat dengan melakukan perubahan atas penataan beberapa aspek kehidupan, yakni sosiopolitik, sosioekologi, sosioekonomi, sosiobudaya dan aspek spasial (Poernomo, 2004:vii-viii).

Berdasarkan gagasan di atas, penulis menangkap sebuah makna bahwa pembaharuan desa itu bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup atau kemakmuran warga masyarakat desa. Dalam hal ini, yang dimaksud keberlangsungan hidup adalah kemampuan melakukan berbagai aktivitas oleh warga masyarakat desa, baik secara individu maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan materiil maupun imateriil secara terus menerus. Untuk mencapai tujuan itu, pembaharuan desa dilakukan melalui upaya pembangunan atau transformasi kelemahan menjadi kekuatan dan segala potensi untuk mendorong perubahan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pembaharuan desa tidak hanya terbatas pada satu aspek kehidupan saja, melainkan meliputi berbagai aspek yang melingkupi kehidupan warga masyarakat desa.

Lain dari itu, segala upaya yang dilakukan dalam kerangka pembaharuan desa harus berazaskan demokratis, kemandirian dan berkeadilan. Dengan demikian, bagian penting dari pembaharuan desa terletak pada kemampuan memilih nilai-nilai sosial-budaya dan kelembagaan sosial yang mampu mendukung secara terus menerus proses pembangunan, sehingga kehidupan warga masyarakat desa dapat terselenggara semakin baik dan berkelanjutan. Hal ini dapat berarti memilih nilai sosial-budaya dan lembaga-lembaga lokal yang sudah ada kemudian diperbaharui, dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus dan mandiri oleh warga masyarakat desa atas kekuatan yang dimiliki.

Jika demikian, ciri dalam proses penciptaan keberlanjutan hidup pada masyarakat desa adalah pertumbuhan kemandirian. Di dalam kemandirian seorang pribadi atau suatu satuan masyarakat mampu memilih dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya maupun kepentingan pihak lain dan lingkungan lebih luas, mengingat ada keterkaitan kepentingan bersama (Sajogyo,1994: 43). Menumbuhkan potensi kemandirian masyarakat lokal berarti mendorong proses belajar bersama antara stakeholders yang terlibat di dalamnya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi, mengenali potensi atau sumber-sumber yang dimiliki dan bagaimana mencari peluang-peluang untuk mengatasi permasalahan.

Dalam kenyataan, kehidupan masyarakat desa ternyata seringkali rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kehidupannya. Kerentanan sosial merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan, karena dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat diperlukan perlindungan sosial sebagai penopang ketahanan sosial. Berdasarkan persoalan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah skema perlindungan sosial seperti apa yang dapat dikembangkan agar warga masyarakat desa (terutama kelompok miskin) tetap mampu menjaga keberlangsungan hidupnya? Bagaimana seharusnya peran negara dalam menyelenggarakan perlindungan sosial kepada warga masyarakat desa untuk mengatasi kerentanan sosial itu? Dalam konteks pembaharuan desa yang mencita-citakan terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, penulis akan mencoba menggali persoalan tersebut berdasarkan perspektif pembangunan kesejahteraan sosial.

Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial selalu terkait dengan lemahnya kemampuan untuk menghadapi persoalan yang terjadi secara mendadak yang dialami individu atau masyarakat tertentu. Dalam kenyataan, ketahanan sosial masyarakat desa seringkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam dan kekeringan sampai kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, teknologi modern, kapitalisme global dan masih banyak lagi.

Risiko kerentanan dapat terjadi pada segala aras: mikro (skala individu atau rumahtangga), meso (skala kelompok atau masyarakat), bahkan makro (nasional atau internasional). Kegoncangan pada aras meso dan makro dapat lebih berbahaya daripada kegoncangan mikro, karena kedua risiko kerentanan tersebut seringkali melampaui kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya. Seperti bencana gelombang Tsunami di Aceh, misalnya, penanganannya tidak mungkin diserahkan kepada warga Aceh sendiri, tetapi harus dipikul oleh pemerintah dan warga masyarakat pada skala regional, nasional dan internasional.

Data menunjukkan, 10% anak balita di NTB menderita busung lapar. Menurut data Dinkes NTB, para penderita gizi buruk itu ditemukan di Kabupaten Lombok Timur (175 kasus), Kabupaten Lombok Barat (133 kasus), Kota Mataram (23 kasus), dan Lombok Tengah (7 kasus). Di Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata angka gizi buruknya mencapai 3 persen atau 4.755 anak balita dari total 142.647 anak balita di daerah itu. Ini merupakan contoh konkrit kerentanan yang dialami warga masyarakat NTB dan DIY (Kompas, 28 Mei 2005). Semua itu merupakan contoh kerentanan sosial yang dialami oleh warga masyarakat di kedua daerah tersebut.

Bentuk kerentanan sosial yang lain tampak dari gejala degradasi hubungan antar individu dengan kelompok, hubungan antar kelompok, atau dalam bentuk lain, seperti menurunnya nilai-nilai kepemimpinan desa dan disfungsionalisasi kelembagaan lokal. Tindakan penyerangan atau kekerasan fisik antara warga desa satu dengan desa tetangga yang dilakukan secara masal, penganiayaan terhadap perangkat desa yang dilakukan oleh warga yang tidak memperoleh Subsidi Langsung Tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, bunuh diri, pelecehan seksual, pemabukan, dan lain-lain merupakan penguat bukti kerentanan sosial di kalangan masyarakat desa.

Kerentanan sosial yang dialami masyarakat desa seperti telah disebutkan, dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor sosial-budaya, sosial-ekonomi maupun sosial-politik. Sekitar empat dasa warsa yang lalu masih banyak wujud solidaritas komunal di daerah pedesaan, seperti gotong-royong atau “sambatan”, tanggung-renteng, rembug desa, institusi lokal atau pranata-pranata, kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan lain-lain yang menjadi ciri khas masyarakat agraris. Bersamaan dengan penerapan kebijakan pembangunan pertanian (revolusi hijau), perempuan desa yang sebelumnya banyak melakukan pekerjaan buruh petik padi di sawah, sekarang mereka harus kehilangan pekerjaan. Cara panen dari ani-ani beralih ke sabit merupakan salah satu contoh penyebab hilangnya kesempatan kerja perempuan di sektor pertanian. Akibatnya, banyak perempuan yang menyerbu ke pusat-pusat industri di kota atau pergi keluar negeri menjadi TKW. Kekerabatan maupun ketetanggaan tidak hanya terwujud dalam acara-acara ritual-mitologis dan keagamaan, seperti slametan dan kenduri, tetapi juga pada tataran survivalnya, misalnya mendirikan institusi lumbung padi sebagai lembaga ketahanan pangan masyarakat setempat. Hukum adat yang berabad-abad lamanya dijalankan oleh masyarakat lokal, menjadi hancur dengan lahirnya Undang-Undang No: 5 Tahun 1979 yang sangat ambisius untuk menyeragamkan bentuk desa di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Akibat dari itu semua, masyarakat desa menjadi masyarakat yang anomali, sehingga mengalami disorganisasi karena tidak lagi memiliki pegangan hidup yang jelas (Bdk.Mubyarto1993: 11-16; Rais, 1999; Dwipayana, 2003: 110-112; Kutanegara, 2002: 277-293).

Seiring berkembangnya peradaban dan pola pikir manusia yang didukung rekayasa teknologi modern dan sistem massifikasi komunikasi kian berdampak pada tatanan sosial di masyarakat pedesaan, termasuk di dalamnya, terjadinya erosi besar-besaran pada modal sosial (social capital). Pada hal, modal sosial dapat berfungsi sebagai penguat ketahanan sosial, terutama apabila terjadi risiko-risiko yang dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.

Sektor industri pedesaan juga mengalami kegoncangan yang maha hebat dan akhirnya banyak yang gulung tikar sebagai akibat penetrasi pasar dari barang-barang sejenis yang dihasilkan industri manufaktur. Kemajuan sarana transportasi otomotif yang semakin meluas di daerah pedesaan juga telah menggulung habis-habisan usaha transportasi tradisional (seperti: gerobak pedati, andong, dokar, dll). Akibatnya, pengangguran dan kemiskinan di desa bertambah.

Kedudukan lembaga keluarga juga mengalami perubahan, sebagai akibat pengenalan teknologi dan komersialisasi di bidang pertanian.Pengenalan tanaman komersial merubah hubungan kerja kontrak atau sistem upah, ketrampilan dan modal, serta pemisahan antara aktifitas produksi dan konsumsi. Akibat dari itu semua, fungsi keluarga yang semula sebagai satuan proses produksi mengalami kemerosotan, karena tidak lagi menangani proses produksi sendiri. Keluarga berubah menjadi unit konsumsi.

Arus globalisasi yang begitu cepat juga menjadi ancaman bagi kerentanan sosial masyarakat desa. Globalisasi merupakan sebuah fenomena universal yang ditandai dengan perluasan dan integrasi pasar, baik di kalangan negara-negara maju, negara-negara berkembang atau antar keduanya. Menurut Nugroho (2001: 29), dampak sosiologis dari ekspansi pasar adalah perilaku konsumtif masyarakat di berbagai kategori usia, lapisan, dan kelompok. Perilaku konsumtif yang berlebihan dapat memicu munculnya berbagai problem sosial seperti kriminalitas, korupsi, gaya hidup boros, deteriorasi ekologi, dan lain-lain.

 

Penguatan Modal Sosial sebagai Basis Perlindungan Sosial secara Mandiri

Menurut James Coleman, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Kemampuan masyarakat untuk berasosiasi satu sama lain memiliki peranan sangat penting bukan saja dalam kehidupan ekonomi, tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Kemampuan berasosiasi ini sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat untuk mau saling berbagi dalam rangka mencari titik temu diantara norma-norma dan nilai-nilai bersama. Nilai-nilai bersama ini akan membangkitkan kepercayaan. Modal manusia (human capital) berupa pengetahuan dan ketrampilan maupun modal yang berupa uang, tanah, pabrik, alat-alat dan mesin belum tentu dapat menjamin terciptanya kesejahteraan masyarakat secara meluas dan berkelanjutan jika tidak disertai kehadiran modal sosial (Bdk, Fukuyama, 2004:12-13)

Fukuyama (2004: 13-14) menggambarkan, betapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh negara maupun masyarakat ketika kepercayaan itu tidak hadir dalam kehidupan masyarakat. Di Amerika Serikat misalnya, merosotnya kepercayaan dan melemahnya sosiabilitas (kemampuan melakukan sikap dan tindakan relasional) telah melahirkan meningkatnya kekerasan dan kriminalitas; meluapnya problem-problem sipil; hancurnya struktur keluarga; runtuhnya fungsi sejumlah besar struktur mediasi dan terutama merosotnya rasa kebersamaan diantara warga masyarakat. Akibat dari itu semua, Amerika menjadi negara paling boros jika dibandingkan dengan negara industri lainnya, karena terpaksa harus mengeluarkan anggaran biaya yang lebih banyak untuk menanggung biaya penahanan lebih dari 1 % penduduknya yang dipenjara dan untuk membayar seluruh proses hukum.

Dengan demikian, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan masyarakat. Oleh karena itu, modal sosial dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini berlangsung dalam konteks interaksi sosial yang mewujud dalam bentuk jaringan atau asosiasi informal. Modal sosial juga dapat berfungsi sebagai perekat hubungan sosial antar warga masyarakat (penguat kohesivitas sosial) dan sarana mediasi antar struktur sosial.

Membangun modal sosial merupakan suatu unsur pokok pemberdayaan, dan pemberdayaan pada gilirannya merupakan agenda penting dalam pengurangan kemiskinan maupun sebagai arena untuk menjawab kerentanan sosial yang dihadapi masyarakat desa. Modal sosial ini terletak dalam hubungan sosial yang membuat organisasi masyarakat desa kuat, yang menghubungkan organisasi ini kepada pelaku lain, dan yang membantu perkembangan keterlibatan lebih penuh warga desa ke dalam proses sosial, ekonomi dan politik. Modal sosial yang dimaksud adalah lembaga-lembaga atau organisasi yang hidup dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai institusi mediasi. Menurut Nugroho (2001: 202), institusi mediasi merupakan lembaga-lembaga sosial yang memiliki posisi diantara wilayah kehidupan individu yang bersifat privat dengan lembaga-lembaga sosial makro yang berhubungan dengan kehidupan publik. Di satu sisi institusi-institusi mediasi memberikan makna privat, sedangkan pada sisi lain memiliki makna publik sehingga merupakan sarana untuk menyampaikan makna dari privat ke publik atau sebaliknya. Posisi strategis yang dimiliki oleh lembaga tersebut cenderung mengurangi alienasi bagi individu dan mengurangi ancaman keberadaan public orders. Apabila institusi-institusi ini dapat diberdayakan, maka kecenderungan pemegang kekuasaan bertindak koersif atau para individu melakukan tindakan anarkis dapat dihindarkan sehingga berbagai program pembangunan dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Perlu ditegaskan bahwa, dalam kehidupan masyarakat desa di Indonesia sebenarnya terdapat banyak bentuk modal sosial yang dapat didayagunakan sebagai penguat ketahanan sosial. Penegasan ini dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh modal sosial bermuatan nilai perlindungan sosial yang dilakukan masyarakat lokal, seperti uraian berikut ini.

1. Aktivitas sosial-ekonomi berbentuk pertukaran:

a. Resiprositas

Resiprositas adalah pertukaran barang atau jasa timbal-balik antar individu atau kelompok. Hampir semua masyarakat tradisional mengembangkan berbagai bentuk resiprositas sebagai manifestasi dari nilai budaya yang mengedepankan semangat egalitarian dan komunitarian. Dari segi sosial, pertukaran ini dapat memperkuat solidaritas sosial, dan dari segi ekonomi dapat menjamin individu mampu memenuhi kebutuhannya tanpa harus tunduk pada mekanisme pasar. Pertukaran ini terlembaga pula di kalangan kelompok masyarakat miskin sebagai suatu mekanisme jaring pengaman sosial. Prinsip dari resiprositas dalam konteks pertukaran timbal-balik itu adalah kewajiban moral untuk memberi dan mengembalikan dengan takaran yang nilainya kurang lebih sebanding. Istilah-istilah lokal yang termasuk kategori resiprositas ini adalah gotong-royong, sambatan, sumbang-menyumbang kepada orang yang mengadakan hajatan, dan lain-lain.

b. Redistribusi

Redistribusi adalah pertukaran barang atau jasa yang dilakukan oleh kelompok atau masyarakat dengan cara barang dan jasa itu dikumpulkan dari anggota-anggota dan kemudian didistribusikan kembali kepada mereka dalam bentuk yang sama atau berbeda. Pertukaran ini merupakan suatu bentuk mobilisasi sosial yang sering terlembaga dalam masyarakat dan berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, solidaritas sosial dan khususnya dapat dipakai untuk asuransi sosial. Pertukaran ini dilandasi oleh kewajiban moral untuk mewujudkan nilai kedermawanan, kesetiakawanan, dan kecintaan kepada masyarakat serta kebersamaan tanpa menuntut imbalan yang sebanding. Beberapa jenis dari redistribusi adalah: dompet dhuafa, jimpitan beras, dana kematian di kampung; dana setia kawan, kerja bakti, gugur gunung, lumbung paceklik, dan lain sebagainya.

c. Arisan

Pertukaran ini merupakan suatu aktivitas kelompok untuk mengembangkan kerjasama antar anggota dalam mengakumulasi harta benda dengan secara bergilir mendistribusikan akumulasi iuran yang dikumpulkan kepada masing-masing anggota. Arisan itu diselenggarakan untuk memenuhi fungsi sosial yakni mengadakan berbagai kegiatan kelompok sambil memenuhi tujuan khusus yang bersifat ekonomi. Pertukaran ini dilandasi oleh semangat kesetiakawanan dan komitmen untuk dapat bekerjasama dengan kelompoknya, sambil memanfaatkan kelompok untuk memungkinkan memperoleh kemudahan dalam menabung uang atau barang karena berhasil mewujudkan kepercayaan dari kelompok. Arisan merupakan perkembangan dari bentuk resiprositas. Arisan telah melembaga di berbagai kelompok sosial dari tingkat organisasi komunitas, profesi sampai dengan jaringan hubungan personal.

2. Musyawarah/ Forum Warga

Lembaga musyawarah ada di setiap masyarakat pedesaan yang basisnya biasanya masyarakat setingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dusun sampai desa. Forum ini biasanya dipakai untuk memecahkan masalah atau merumuskan berbagai program kegiatan di tingkat masyarakat yang pelaksanaannya dikerjakan oleh pemerintah atau suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh forum itu sendiri. Melalui forum ini proses pengambilan keputusan yang demokratis dapat diwujudkan, meskipun harus diadvokasi sehingga forum ini benar-benar mempunyai keberpihakan terhadap pemberdayaan masyarakat, dan memberikan akses yang kuat bagi lapisan warga paling bawah.

3. Kebiasan Berkumpul

Di setiap masyarakat, ada kebiasaan warga untuk berkumpul dengan melakukan berbagai aktivitas yang positif bagi kepentingan masyarakatnya dan bahkan kelompok masyarakat lapisan bawah. Kebiasaan berkumpul ini memungkinkan individu sebagai warga masyarakat agar tidak mudah mengalamai alienasi sosial-budaya dan sekaligus mudah menyerap informasi publik. Kebiasaan berkumpul dengan disertai ngobrol memungkinkan individu dapat terbiasa berbicara di forum-forum masyarakat. Ada berbagai jenis kebiasaan berkumpul di dalam masyarakat-masyarakat diIndonesia. Beberapa jenis dan nama itu misalnya: jagongan; lesehan, sarasehan (di Jawa), ngobrol di kedai kopi (Aceh, Sumatera Utara, Riau)

4. Kebiasaan Makan dan Pakaian adat

Dalam masyarakat tertentu, selalu ada kebiasaan makan dan minum yang dipelihara sehingga dapat menjadi suatu modal budaya yang memberikan kesempatan bagi warga masyarakat untuk tidak konsumtif terhadap produk dari luar. Imbasnya masyarakat lokal, khususnya lapisan bawah, dapat memperoleh akses untuk menyediakan dan menikmati produk-produk lokal yang relatif murah. Kebiasaan ini berkaitan dengan nilai budaya yang memberikan penghargaan kepada jati diri yang menjunjung sesuatu yang bersifat local genius. Contoh kebiasaan makan adalah memilih makanan yang terbuat dari hasil bumi setempat, misalnya: sagu (bagi orang Maluku dan Irian), umbi-umbian (bagi orang Irian), dan tepung ubi kayu (bagi orang Gunungkidul dan Wonogiri). Contoh kebiasaan minum minuman produk lokal misalnya tuak (orang Timor dan Rote), minuman dengan gula aren atau gula kelapa, gula lontar, geplak (Bantul), dll.

Contoh kebiasaan memakai pakaian adat misalnya pakaian batik tulis dan tenun ATBM.

5. Organisasi / Perkumpulan

Di banyak desa terdapat perkumpulan atau organisasi masyarakat dengan berbagai karakter dan tujuan. Basis keanggotaannya juga beragam, ada yang berbasis kesamaan profesi, kesamaan hobi, kesamaan agama, kesamaan keturunan, dll. Organisasi atau perkumpulan seperti ini sangat bermanfaat bagi perlindungan sosial masyarakat, karena mereka dapat menyalurkan aspirasi kepada struktur yang lebih tinggi (penguasa) dan dapat membangun posisi tawar yang lebih kuat. Contoh: Perkumpulan olah raga, paguyuban seni tari, perkumpulan trah, persatuan pemuda desa, kelompok tani, kelompok pengrajin, dan lain-lain.

 

Pemberdayaan Masyarakat: Upaya Membangun Ketahan Sosial

Proses perlindungan sosial yang nantinya diharapkan dapat diselenggarakan secara mandiri oleh warga masyarakat lokal dapat ditempuh melalui pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat; menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang antara yang kuat dan yang lemah; dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan. Prinsip dasar pemberdayaan menurut perspektif pembangunan pekerjaan sosial, meliputi:

1. Proses kolaboratif, artinya pekerja sosial atau sosiatrisi harus bekerja sama dengan masyarakat sebagai partner.

2. Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai aktor atau subyek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.

3. Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.

4. Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat.

5. Solusi-solusi yang berasal dari situasi khusus harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.

6. Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang.

7. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri.

8. Tingkat kesadaran kritis merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan.

9. Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.

10. Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif, permasalahan selalu memiliki beragam solusi.

11. Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel (Suharto, 2005: 68-69)

 

Sejalan dengan prinsip dasar pemberdayaan masyarakat tersebut di atas, langkah-langkah konkrit yang dapat ditempuh, terutama pemberdayaan bagi kelompok miskin di desa, yaitu:

Pertama, membangun kesadaran kritis atas posisi dirinya dalam struktur sosial-politik dimana orang miskin tersebut tinggal. Tanpa kesadaran kritis orang miskin akan tetap bersifat tidak berdaya dan cenderung akan menyerah pada nasibnya.

Kedua, setelah kesadaran kritis muncul, upaya-upaya memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin perlu dilakukan. Biarkan kesadaran kritis orang miskin muncul dan bersamaan dengan itu biarkan pula mereka melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.

Ketiga, menanamkan rasa kesetaraan (egalitarian) dan berikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi sebagai penjelmaan konstruksi sosial. Yakinkan bahwa nasib orang miskin dapat diubah dan yang mempunyai kekuatan untuk merubahnya adalah diri sendiri.

Keempat, melibatkan masyarakat miskin secara penuh dalam perumusan pembangunan. Dengan demikian, program-program pembangunan yang dilaksanakan di desa akan berkesesuaian dengan masalah, kebutuhan dan kemampuan masyarakat miskin.

Kelima, perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin. Selain perubahan struktural yang diperlukan juga perubahan nilai-nilai budaya. Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai positif kepada lapisan masyarakat miskin, seperti: perencanaan hidup, optimisme, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas dan kualitas kerja, dan lain lain.

Keenam, diperlukan redistribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Langkah ini sangat penting untuk dilakukan, karena tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, orang miskin tetap saja tidak akan memperoleh akses ekonomi dan bidang-bidang lainnya (Nugroho, 2001, 195-197).

Apabila langkah-langkah pemberdayaan masyarakat desa, khususnya bagi lapisan miskin, seperti tersebut di atas dijalankan dengan simultan dan terpadu ketahanan sosial masyarakat desa akan semakin kuat. Ketahanan sosial yang mandiri dan semakin kuat, pada gilirannya akan membawa masyarakat desa ke dalam situasi kehidupan yang sejahtera dan berkelanjutan.

 

Perlindungan Sosial

Pembangunan kesejahteraan sosial, yang paling dasar, adalah berupaya memberikan pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain). Pada level yang lebih tinggi pembangunan kesejahteraan sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosial masyarakat, mengubahnya menjadi ketahanan sosial dan integrasi sosial secara berkelanjutan (social sustainability). Tujuan akhir dari pembangunan sosial adalah tercapainya kesejahteraan sosial (social welfare).

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang tanggung jawab negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan platform sistem ekonomi dan sistem sosial di Indonesia, sehingga Indonesia sebetulnya merupakan negara yang menganut paham “negara kesejahteraan” (welfare state) dengan model “negara kesejahteraan partisipatif” (participatory welfare state)yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah pluralisme kesejahteraan (welfare pluralism). Dalam model ini negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalnya tetap melibatkan masyarakat (Suharto, 2005: 2).

Warga masyarakat desa sebagai bagian dari manusia yang mendiami bumi memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya. Ini sesuai dengan makna Deklarasi PBB tentang Hak-hak Azasi Manusia, khususnya pasal 3 yang berbunyi: Everyone has the right to life, liberty and security of person (Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan/perlindungan diri). Hal tersebut juga berlaku di Indonesia. Di dalam UUD 1945 Bab XA pasal 28A Amandemen II berbunyi: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya dalam UUD 1945 pasal 28 I Ayat 4 Amandemen II dinyatakan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.”. Berdasarkan makna dari pasal-pasal tersebut dapat dimaknai bahwa keberlangsungan hidup warga masyarakat desa merupakan hak azasi manusia. Ini berarti, upaya-upaya atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menghormati, menjaga dan mengembangkan hak azasi manusia tidak lain merupakan implementasi perlindungan sosial. Selain itu, sangat jelas bahwa penyelenggaraan perlindungan sosial kepada warga masyarakat merupakan kewajiban negara. Dengan demikian, pemerintah sebagai penyelenggara negara merupakan penanggungjawab utama dalam penyelenggaraan perlindungan sosial.

Perlindungan sosial adalah skema yang dirancang secara terencana oleh pemerintah maupun masyarakat untuk melindungi warga dari berbagai risiko, baik risiko yang timbul dari dirinya (kecelakaan, sakit, meninggal dunia), maupun yang timbul dari lingkungannya (menganggur, bencana alam/sosial, dll). Perlindungan sosial dapat bersifat formal dan informal. Perlindungan sosial yang bersifat formal adalah berbagai skema jaminan sosial (social security) yang diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance), misalnya tunjangan bagi orang cacat atau miskin, tunjangan pengangguran, tunjangan keluarga. Beberapa skema yang dapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan, dan berbagai skema jaring-jaring pengaman sosial (social safety nets) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (Suharto, 2005: 3).

Sistem jaminan sosial di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974, khususnya dalam pasal 2 ayat 4 ditegaskan: “Jaminan Sosial” sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial, adalah seluruh sistim perlindungan dan pemeliharaan Kesejahteraan Sosial bagi Warganegara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf Kesejahteraan Sosial. Lebih lanjut dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan: Pemerintah mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu sistim jaminan sosial yang menyeluruh. Bunyi pasal-pasal tersebut dengan jelas menegaskan bahwa, selain masyarakat secara mandiri dapat menyelenggarakan jaminan sosial secara mandiri, pemerintah harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan seluruh sistem pelindungan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki alasan apapun untuk mengingkari kewajibannya untuk menyelenggarakan perlindungan sosial secara menyeluruh, terutama dalam hal resiko-resiko kegagalan yang tidak mungkin diatasi sendiri oleh warga masyarakat desa..

Kebijakan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah hendaknya diarahkan untuk memberdayakan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya secara mandiri. Bentuk-bentuk jaminan sosial yang bersifat karitatif hendaknya diletakkan sebagai tindakan darurat, sehingga tidak menimbulkan ketergantungan dan mendorong sifat malas bagi masyarakat. Misalnya pemberian SLT (Subsidi Langsung Tunai) hanya karena hasrat pemerintah menaikkan harga BBM, tidak perlu dijadikan modus kebijakan pemerintah. Akan lebih baik jika dana SLT kenaikan BBM tersebut disalurkan kepada warga miskin melalui suatu program kegiatan produktif, sehingga mereka dapat menerima uang karena ada sesuatu yang dikerjakan, bukan gratisan. Dengan cara ini, berarti warga miskin akan tetap terjaga kehormatannya, harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan lebih bermakna pemberdayaan terhadap dirinya.

Dalam rangka menjamin keberlangsungan hidup masyarakat desa, pemerintah harus berlaku adil dalam menyelenggarakan perlindungan sosial. Dalam hal ini, institusi hukum harus berlaku adil dan konsisten. Dalam UU Dasar 1945 pasal 28 I Ayat 3 Amandemen II dinyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Bunyi pasal ini dapat dimaknai bahwa kehadiran hukum positip tidak ditujukan untuk memarginalisasi keberadaan hukum adat. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum positip harus menghormati dan mengakui hak-hak adat (nilai-nilai lokalitas). Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang hendak dirancang dan dilaksanakan harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Kebijakan-kebijakan yang bertentangan atau yang merusak nilai sosial budaya setempat harus dihindari sejauh mungkin, agar tidak menimbulkan disorganisasi sosial bagi masyarakat setempat.

Akhirnya, untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat desa, pemerintah berkewajiban menyusun anggaran biaya pembangunan yang lebih mengedepankan kepentingan hidup rakyat desa. Dalam hal ini, bukan saja anggaran biaya yang berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial saja yang harus diperbesar, melainkan peningkatan anggaran biaya secara signifikan untuk penyediaan infrastruktur pembangunan di wilayah pedesaan menjadi suatu keharusan.

 

PENUTUP

Kerentanan sosial yang terjadi di berbagai desa di Indonesia berkecenderungan disebabkan karena ketimpangan struktur sosial yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan internal maupun eksternal masyarakat yang bersangkutan. Untuk mengubah kerentanan sosial menuju keberlangsungan hidup, masyarakat desa harus diberdayakan agar memiliki kesadaran kritis dan percaya diri untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Selanjutnya, pemberdayaan perlu ditempuh dengan melibatkan individu maupun kelompok untuk mengakses sumber-sumber pembangunan dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.

Dalam konteks pembaharuan desa, penguatan modal sosial merupakan wahana efektif untuk menyelenggarakan perlindungan sosial oleh warga masyarakat secara mandiri sehingga akan terwujud ketahanan sosial yang semakin kuat. Semakin kuatnya ketahanan sosial yang diupayakan atas spirit kemandirian masyarakat desa, maka keberlangsungan hidupnya menjadi keniscayaan.

Sebagai konsekuensi logis Indonesia sebagai negara kesejahteraan, maka tanggung jawab terhadap kelompok lemah, dan sistem jaminan sosial harus menjadi platform sistem ekonomi dan sistem sosial di Indonesia. Untuk mewujudkannya, negara harus meneguhkan kembali sebagai “negara kesejahteraan” (welfare state) dengan model “negara kesejahteraan partisipatif” (participatory welfare state). Model ini menekankan bahwa negara harus bertanggungjawab dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan jaminan sosial (sosial security) dalam arti luas dengan melibatkan masyarakat. Artinya negara berkewajiban melakukan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia” secara demokratis, beradab dan berkeadilan.

Daftar Bacaan

 

Dwipayana, AAGN Ari dan Sutoro Eko. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press.

Eko, Sutoro, 2003. Mengubah Cara Pandang terhadap Desa.Makalah Seminar Sehari “Pembaharuan Desa di Era Otonomi Daerah” dalam rangka Dies Natalis ke 38 STPMD “APMD”, tanggal12 November 2003 di Yogyakarta.

Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: CV. Qalam.

Juliantoro, Dadang. 2003. Jalan Realisasi Pembaharuan Desa. Makalah Seminar Sehari “Pembaharuan Desa di Era Otonomi Daerah” dalam rangka Dies Natalis ke 38 STPMD “APMD”, tanggal12 November 2003 di Yogyakarta.

Kutanegara, Pande Made. 2002. Akses Terhadap Tanah dan Mobilitas Penduduk Pedesaan Jawa. Dalam Tukiran, dkk. Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Disiplin. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Mubyarto, dkk. 1993. Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan.Yogyakarta: Aditya Media.

Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poernomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa: Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Rais, M. Amien, dkk. 1999. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.

Sajogyo, 1994.”Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Masyarakat Desa“, dalam Sumarjono,dkk (eds): Pembangunan Masyarakat Desa dalam Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahap Kedua. Yogyakarta: STPMD “APMD” .

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan RakyatKajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

 

 


1) Makalah ini telah dipresentasikan pada acara Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke 40 STPMD “APMD” Yogyakarta, tanggal 16 Nopember 2005 di Yogyakarta.

2) Dosen tetap dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STPMD “APMD” Yogyakarta.

Problematika Desa Dalam Konteks Pembangunan Dan Globalisasi

Fajar Sudarwo (Jarwo)[2]

Bagaikan mimpin di siang bolong mengharap angka kemiskinan di desa berkurang dalam kondisi tata kelola desa yang ambrul adul, pembangunan yang berbasis kebutuhan dan globalisasi yang menghancurkan kehidupan pertani.

Ceriteranya seperti Ini

Keberadaan DESA di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya sudah ada sejak Pemerintah Republik Indonesia belum berdiri. Desa adalah  merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat istiadat masyarakat. Kerajaan yang peranah ada di Jawa mengakui desa sebagai wilayah kesatuan hukum  dibawah naungan kerajaan. Status dan keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada ”Buku Kertagama” dan ”Serat Wulangreh”.  Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga diakui sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dibuatlah undang undang tentang desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906 untuk desa desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten) untuk desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Agar Pemerintah Hindia Belanda tidak terlalu mengintervensi tata aturan internal desa, maka Prof. Van Vollenhoven  menulis paper peringatan berupa kritik terhadap IGO dan IGOB, sehingga  Volksraad  (semacam DPR Pemerintah Hindia Belanda) pernah menolak undang undang tersebut, karena dianggap pemerintah Hindia Belanda akan mencampuri urusan tata kelola desa. Keberadaan desa sebagai wilayah kesatuan hukum yang berdaulat juga diakui secara sosial-politik oleh Pemerintah Jepang pada waktu menduduki wilayah Hindia Belanda.

Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo(Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan. Selanjutnya pada jaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu.  Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).
Pada saat Negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan. Hal itu tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, dimana posisi desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesia, Dusun/RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa. Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan pengayom  kehidupan warga, maka untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Karena undang-undang tersebut dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi; (a) Desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesi; (b) RT/Dusun masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada diwilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Undang undang tentang desa tersebut kemudian diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legetimasi hukum yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang Undang Desa Nomor 19 Tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa adalah merupakan pemerintahan Swapraja yang mempunyai kelengkapan kelembagaan demokrasi: Eksekutip (Kepala Desa besarta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa / Gotong Royong); dan Mahkamah Desa / Adat (Para sesepuh dan pemangku adat).

Posisi desa sebagai ”desa swapraja” benar benar memberi peran desa sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak ”bermental miskin”.  Pengaturan tata kelola desa sungguh sungguh sempurna yang memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk pengentasan ”kemiskinan” warga desa. Hal itu tercermin pada alokasi penggunaan tanah desa untuk enam sektor penting, yaitu : (1) Tanah titi sara; adalah tanah desa yang digunakan untuk bentuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan untuk biaya pendidikan anak anak desa. (3) Tanahsengkeran:  adalah tanah desa yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit / tanaman yang dilindungi dan penyeimbang ekosisitem lingkungan alam. (4) Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya untuk biaya komunikasi, loby dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah  tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggembalaan hewan. (6) Tanah pelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk memberi honor para eksekutif, legislatif dan yudikatif desa.

Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat dengan sebutuan G 30 S PKI. Kehidupan desa beserta tatanannya ikut ”hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut. Sehingga hanya sebagaian desa di Indonesia yang sempat mengenyam berlakuknya UU Desa Swapraja. Desa yang sempat menerapkan desa swapraja adalah desa-desa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja adalah Almarhum Sultan Hamengku Buwana IX. Sejak saat itu kehidupan desa bagaikan ”mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa. Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969 yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang undangan dan peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi sosial, politik dan hukum sama sekali, maka kehidupan desa bagaikan ”anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi sosial polik apapun dari negara. Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagaian yang tidak terpisahkan dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat. Posisi desa yang merupakan bagaian melekat dengan Pemerintah Daerah dikuatkan lagi dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1979. Posisi desa seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai ”perangkat” pemerintah daerah bukan sebagai ”pengayom” dan ”pengemong” atau  bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.

Posisi sosial, politik dan hukum desa berdasarkan  UU No 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 yang dilandasi oleh maklumat politik Orde Baru No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata kelola desa. Sebab undang undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan pemerintahan desa dan pembanguan desa bukan lagi utuh menjadi hak dan kewenangan desa namun merupakan hak dan kewenangan pemerintah daerah dibawah arahan pemerintah pusat. Desa bukan lagi sebagai subyek namun sebagai objek berbagai project pembangunan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah administrasi pemerintah daerah yang ”taat” dan ”patuh” menerima ”kehendak baik” berupa berbagai bentuk bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat melaui pemerintah daerah. Bahkan desa pernah menjadi ”alat’ untuk memperoleh  project project bantuan, hal ini terjadi pada kasus program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan JPS (Jaring Pengaman Sosial). Kemiskinan dan kesulitan warga bukan menjadi bagian yang harus diselesaikan oleh desa, namun merupakan modal sosial desa  untuk memperoleh project bantuan dan program pembangunan dari pemerintah. Akibatnya pamong desa berubah dari fungsi ”pengayom” dan fasilitator warga menjadi perangkat administrasi pemerintah untuk: (1) mendata kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan warga untuk diusulkan mendapatkan project bantuan  (2) Menginfromasikan dan mendistribusikan bantuan dari pemerintah untuk warga. (3) membantu pemerintah menarik Pajak Bumi Bangunan dan ada juga yang membantu Kantor Pos untuk menyampaikan surat yang ditujukan untuk warganya.

Ketika era reformasi ”melengserkan” Rezim Orde Baru tahun 1988/1999, posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat ”angin segar”, yaitu keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang undang tersebut memberi posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa mempunyai legislatif (Badan perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa besarta pamong desa), sayangnya UU 22/1999 tidak memberi mandat desa untuk mempunyai badan Yudikatif desa seperti UU 19/1965. Walaupun tidak ada Badan Yudikatif desa pada mandat yang diberikan oleh UU 22/1999, namun sudah cukup memberi hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat. Pelaksanaan UU 22/99 terseok-seok bagaikan ”nafsu besar tenaga kurang”, semangat desa mempunyai hak dan kewenangan tidak diimbangi dengan karakter dan ketrampilan mengelola pembiayaan pemerintahan dan pembanguan desa secara mandiri. Hal itu terlihat dari komposisi APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagian desa masih menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD (Alokasi Dana Desa). Konsekuensi logis dari pendapatan desa yang masih mendapat pasokan dari pemerintah pusat melalui pemerintah daerah, akhirnya proses kemandirian desa terciderai dengan berbagai ”arahan” penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah. Kondisi dan situasi tersebut menjadi salah satu pendorong pemerintah untuk mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dimana posisi politik dan hukum tentang desa merupakan bagian integral dari otonomi daerah. Hal ini diperkuat status sekertaris desa adalah PNS, sementara Kepala Desa besarta pamong desa mendapat insentif untuk menambah pendampatan dari pemerintah daerah, dan tanah desa di beberapa Kabupaten dikelola oleh pemerintah desa. Di pihak warga desa sendiri karakter sebagai penikmat ”bantuan” dan ”project” masih cukup besar walaupun harus mengorbankan kebesaran dirinya yang harus merelakan  dirinya menyandang label ”orang miskin”.  Konsepsi miskin bukan lagi aib yang harus dilepas dari dirinya namun sebagai ”identitas administrasi” untuk persyaratan mendapat bantuan dari pemerintah. Konon pada tahun 1970-an, ketika Rezim Orde Baru meminta para kepala desa untuk mendata orang miskin, banyak kepala desa yang tidak mendapatkannya. Karena tidak ada satupun warga yang mau didaftar sebagai orang miskin. Namun saat ini banyak kasus warga yang marah kepada Kepala Desa karena dirinya di hapus atau di coret dari daftar sebagai orang miskin.

Angka kemiskinan di desa tidak semakin berkurang, namun justru kemungkinan akan semakin bertambah, disamping  karena persoalan diatas, juga karena program pembangunan desa yang dilakukan pada era reformasi masih mengalami kegagalan seperti program pembangunan desa yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kegagalan pembanguan pembangunan desa oleh dua rezim tersebut ada kesamaan kesalahan substansial walaupun dengan proses berbeda. Kesalahan substansial pembangunan desa yang dilakukan oleh rezim orde baru maupun rezim reformasi adalah sama sama tidak berorientasi kepada pembentukan karakter diri manusia yang nick-preneurship and social-entrepreneurship. Beda prosesnya adalah pembangunan desa yang dilakukan oleh rezim orde baru adalah dengan proses top-down dan yang dilakukan oleh rezim reformasi adalah bottom-up based on the needed. Dua bentuk proses tersebut sama sama keluar dari prinsip prinsip pemberdayaan masyarakat. Sebab dua proses tersebut masih pada tataran memberi ”padat asupan” terhadap desa. Prinsip dasar pemberdayaan adalah merupakan proses ”sunatullah atau natural law”  seperti analogi hubungan manusai dengan Tuhan Allah. ”Ketika manusia berdoa meminta kekuatan tuhan tidak memberi tulang besi dan kulit tembaga, namun justru manusia diberi beban agar dapat menumbuhkan kekuatan. Ketiak manusia bedoa meminta kecerdasan, tuhan tidak memberi teks dan buku kunci kuncinya namun manusia justru diberi berbagai persoalan dan kerumitan agar bisa menumbuhkan kecerdasan. Ktika manusia berdoa meminta kekayaan, tuhan tidak langsung memberi harta beda, namun diberi modal kesempatan hidup dan kesehatan agar dapat dijadikan peluang berusaha dan bekerja”.  Pembangunan yang dilakukan oleh rezim reformasi justru lebih parah keluar dari prinsip pemberdayaan tersebut, karena gaya politik kepemimpinannya tidak otoriter namun ”menebar peson”. Tebar pesona itu tercermin pada sikap nya terhadap rakyat, yaitu; ketika rakyat butuh uang langsung diberi BLT (bantuan Langsung Tunai), ketika rakyat butuh beras langsung diberi RASKIN, ketika rakyat butuh biaya kesehatan langsung diberi ASKES dan ketika rakyat butuh biaya pendidikan langsung diberi BOS. Sikap kepemimpinan otoriter dan penebar pesona sama sama membentuk dan melahirkan masarakat yang tidak mandiri dan bermental ”miskin”.

Nasib kemiskinan  warga desa yang sebagaian besar petani kenyataannya tidak Cuma akibat ambrul adulnya tata kelola desa dan hancurnya  karakter/ kapasitas individu petani, lingkungan alam lokal, dan kebijakan nasional saja tetapi ada hubungannya dengan perkembangan dunia yang telah mengglobal. Kita ingat bahwa nasib petani Indonesia mulai dicampurtangani globalisasi sejak tahun 1757 oleh VOC Vereenigde Oost indische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur)  di Jawa. Sejak itu sebetulnya petani sudah menjadi bagian dunia global yang 60% nasibnya tergantung di tangannya.

Globalisasi secara umum merupakan bentuk keterbukaan dunia yang tidak lagi tersekat oleh wilayah administrasi negara, ideologi, agama, kultur budaya masyarakat dan keterpisahan geografi fisik tempat tinggal. Dunia bisa terbuka karena dipercepat oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi tersebut dapat menembus batas berbagai sekat-sekat dunia manusia. Di satu sisi globalisasi dapat mempercepat pencerahan dan menyebarnya nilai nilai universal yang dapat dinikmati masyarakat dunia. Namun di sisi lain globalisasi telah mengakibatkan korban jutaan manusia yang nasibnya semakin terpuruk.

Globalisasi sudah berlangsung dan tidak ada satu elemen kekuatan apapun dari manusia yang dapat membendungnya. Karena globalisasi telah menembus batas fisik, pikiran, sifat dan konsepsi hidup manusia dunia. Secara fisik manusia bisa menghindari, namun secara konsepsi hidup yang berupa pikiran, cita cita dan selera kehidupan sulit dihindari. Karena penyebaran dan penularannya menggunakan proses penyadaran diri manusia mulai lahir sampai di liang kubur.

Positipnya globalisasi bagi manusia dunia adalah berkembangnya nilai nilai universal seperti; keadilan sosial, demokratisasi, pluralisme, hak hak manusia, solidaritas antar warga dunia dll. Disamping itu manusia dunia dapat menikmati berbagai pilihan fasilitas kehidupan mulai dari yang manual sampai mesin. Namun globalisasi telah dipergunakan oleh paham perdagangan dan industri untuk menyerap dan menghisap warga miskin dunia untuk mengumpulkan keuntungan dan kekayaan bagi segelintir warga kaya dunia. Dalam tulisan ini saya akan mempertajam sisi gelap dari globalisasi bagi kehidupan pertanian di Indonesia umumnya dan Jawa khususnya.

Pertanian dianggap menjadi sektor yang paling strategis bagi perdagangan dan industri dunia. Sebab dengan menguasai sektor pertanian dunia berarti bisa menguasai pangan dunia, dengan demikian kalau pangan dunia bisa dikuasai maka seluruh elemen manusia dunia dapat direkayasa untuk suatu kepentingan. Kenyataannya, penguasa perdagangan dan industri global telah membuka TNC-TNC (Trans National Corporations) agribisnis raksasa di seluruh pelosok dunia.

Salah satu ciri agribinis raksasa adalah mengeluarkan habitat petani dari kultur dan lingkungan alam ke mekanisme produksi dan pasar.   Secara radikal ada perubahan cara bertani dunia yang disebut revolusi hijau, dimana seluruh budi daya dan alat produksi pertanian diganti sebagai berikut. Pertama, Orientasi pertanian tidak untuk kemakmuran petani dan pelestarian lingkungan tetapi untuk meningkatkan produksi pertanian sebesar-besarnya. Kedua, hasil pertanian bukan untuk mencukupi kebutuhan petani tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia, sehingga harga tidak ditentukan petani tetapi ditentukan oleh pasar dunia. Ketiga, bibit tidak alami namun merupakan hasil rekayasa genetika antar varitas dan antar makhluk hidup yang ada. Keempat, pupuk tidak dari alam tetapi dari bahan kimia. Kelima, pengendalian hama tidak di kontrol dari ekosistem dan predator alami tetapi di berantas dari racun kimia. Keenam, alat produksi tidak dari manusia tetapi dari mesin. Ketujuh, hasil produksi tidak diproduksi menjadi industri makanan rakyat, tetapi menjadi bahan baku industri makanan rekayasa, sehingga terjadi penguasaan pangan dunia oleh TNC yang merugikan petani khususnya dan warga dunia pada umumnya.

Penguasaan TNC terhadap pemasaran produksi pangan sudah terbukti dalam realitanya[3]. Contohnya Monsanto telah mendapat hak paten nomor 6.174.724 yang merupakan hak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika untuk tanaman pangan. Sehingga Monsanto dengan kedele jenis Round-up Ready mampu menghasilkan sekitar 143 juta ton pada tahun 2001 atau sekitar 80% produk dunia. Sementara perdagangan pisang dunia dikuasai dua TNC besar yaitu Chiquita dan Dole Food. Kemudian 80% gandum dunia hanya dikuasai oleh Cargil dan Archer Daniels Midland; tiga TNC menguasai 83% kakao dan 70% perdagangan teh. (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Sementara untuk bibit / benih tanaman pangan dunia tidak lagi dikuasai oleh petani, tetapi oleh TNC sebagai berikut: DuPont (Pioneer) AS dengan total nilai penjualan U$ 1.938.000.000; Pharmacia (mosanto) AS dengan total nilai penjualan US$ 1.600.000.000; Syngenta (Novartis) Swiss pro forma dengan total nilai penjualan US$ 958.000.000; Grupo Pulsar (Seminis) Meksiko dengan total nilai penjualan US$ 622.000.000. Adapun TNC besar yang nilai penjualannya dibawah 500 juta US$ adalah; advanta (AstraZeneca and Cosun) Inggris dan Belanda, Dow + Cargill North Amerika, KWS AG Jerman, Delta and Pine Land AS, dan Aventis Perancis. (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Sementara untuk obat pemberantasan hama dikuasai oleh Glaxo dengan marjin profit 30,9%; Smit Kline Beecham dengan marjin profit 25,1%; Merc and Co dengan marjin profit 26,4%; AstraZeneca dengan marjin profit 18,3%; Aventis dengan marjin profit 17,6%; Bristol-Myers Squibb dengan marjin profit 28,1%; Novartis dengan marjin profit 28,5%; Pharmacia dengan marjin profit 19,6%; Hoffman-La Roche dengan marjin profit 44,2%; Johnson and Johnson dengan marjin profit 33,6% . (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)

Saat ini nasib petani sudah dikontrakan dalam organisasi perdagangan dunia –(WTO (World Trade Organization)- dalam sebuah kontrak yang dinamai AOA (Agreement on Agricultural) yang ditandatangani pada 1 Januari 1995[4]. Inti dari kontrak tersebut adalah memasukan sektor pertanian menjadi komonditi perdagangan bebas dunia. Dimana seluruh petani di dunia harus mengikuti cara dan mekanisme kerja perdagangan bebas. Persoalannya petani miskin selalu dirugikan dengan perusahaan pertanian baik di negara miskin maupun  di negara kaya. Sebab salah satu kebijakan utama dalam perjanjian tersebut adalah mengurangi subsidi petani namun meningkatkan subsidi perusahaan pertanian. Berhubung negara Indonesai lebih banyak petani miskinnya ketimbang perusahaaan pertanian, maka dampak AOA di Indonesia sungguh memprihatinkan.

Hal ini seperti yang diketemukan dalam studi dampak AOA yang dilakukan PAN-Indonesia bekerja sama dengan APRN dan INFID pada tahun 2001. Dampak AOA menurut studi tersebut adalah: Pertama; sebelum ada AOA Indonesia sebagai negara eksportir beras ke-9 di dunia, namun tiga tahun setelah kontrak tahun 1998 Indonesia justru sebagai negara pembeli beras nomor satu di dunia.Kedua; pemerintah yang diarahkan IMF atas anjuran WTO – AOA mengurangi subsidi atas input-input pertanian seperti pupuk, benih dan obat. Sementara harga dikontrol sehingga biaya produksi melambung tidak sebanding dengan hasil jual produksi. Ketiga; tidak adanya subsidi eksport, sehingga produksi pertanian Indonesia kalah bersaing di pasar internasional. Keempat; menurunnya ketahanan pangan Indonesia. Kebutuhan beras rata rata 30 juta ton pertahun, sementara beras yang ada di pasar dunia paling banyak hanya 20 juta ton. Dengan begitu akan sangat mencelakakan kalau kebutuhan beras Indonesia mengandalkan pada pasar luar. Kelima; berkurangnya peran State Trading Enterprise untuk menyelamatkan stok pangan nasional dan harga produksi dari petani, dimana IMF mendesak untuk mengurangi peran atau bahkan membubarkan BULOG. Keenam; seluruh fasilitas TNC yang ada di Indonesia menurut perjanjian BOP kalau terjadi kerusakan akibat protes dari masyarakat menjadi tanggungan negara Indonesia. Ketujuh; Perjanjian paten dan TRIPs memberikan pembenaran bagi perusahaan perusahaan asing di Indonesia untuk mempatenkan segala macam kekayaan hayati dan produk pangan lokal. Seperi Shiseido telah mematenkan kemukus, lempuyang, kayu legi, pelantas, pulowaras, cabe Jawa, brotowali. Demikian juga tempe telah dipantenkan milik perusahaan dari Merika dan Jepang.

Menurut Prof DR Moch. Maksum[5] nasib petani Indonesia di masa lima tahun mendatang sungguh kelabu. Karena dalam rangka membantu kehidupan industri  yang terkena krisis financial global, Pemerintah Indonesia memilih kebijakan untuk mempermudah impor. Ketika kebijakan mempermudah impor (pengurangan pajak, pengurangan harga dollar Amerika, pengurangan bea masuk dll) terjadi, maka seluruh produk pertanian juga ikut masuk dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga dalam negeri. Akibatnya petani Indonesia mati suri untuk bersaing dengan produk produk pertanian impor.

Kebijakan Pemerintah yang mempermudah impor yang diikuti dengan “politik tebar pesona“ (seperti yang telah dijelaskan diata)  dimana subsidi pertanian dikurangi namun diganti dengan Bantuan Langsung Tunai, RASKIN dll,  membawa perubahan perubahan karakter dan pemahaman ”miskin” bagi warga masyarakat desa. Perubahan yang subtansial sedang terjadi adalah; Pertama; Ada pergeseran pemahaman stereotip tentang “miskin” bagi warga masyarakat. Label miskin yang dilekatkan kepada warga, bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap “aib” atau hal yang perlu disembunyikan.  Namun label miskin justru dianggap perlu dimiliki warga sebagai identitas yang dapat menjadi persyaratan sosial administrasi untuk mendapat hak menerima bantuan. Perubahan ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai program pengentasan kemiskinan.[6]Kedua; fakta kemiskinan ada pergeseran dari kosentrasi kepada pemenuhan kebutuhan primer menjadi kosentrasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder. Pengertian pemahaman kebutuhan primer pada paper ini adalah kebutuhan yang berhubungan untuk mempertahankan hidup secara fisik (makan, sandang, papan). Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang berhubungan untuk pemenuhan berbagai keinginan sesuai dengan wacana yang dimiliki.[7]Ketiga; ada perubahan sumber asupan kebutuhan dasar dari asupan alam ke asupan “rekayasa”. Warga desa sebagaian besar beralih dari perilaku ketergantungan terhadap asupan alam (kelangkaan beras diganti dengan ubi, jagung dll) menjadi ketergantungan terhadap asupan berbagai rekayasa (kelangkaan beras diganti dengan indomie). Implikasinya terhadap berbagai perubahan adalah pada persoalan kesehatan warga.[8]  Keempat, ada perubahan fakta dari  ketidak tercukupinya  kehidupan pada tingkat lokal menjadi fakta dari ketertinggalan terhadap berbagai perubahan gaya kehidupan global.Kelima, ada perubahan perilaku manajemen keluarga dari diversifikasi sumberdaya yang ada berubah menjadi ketergantungan terhadap industri imitasi. Artinya ada perubahan perilaku dari reproduksi di dalam rumah menjadi perilaku konsumtip terhadap berbagai barang industri produk instan dan imitasi yang kualitasnya jauh dari standard baku kesehatan manusia.

Kalau terjadi peminggiran terus menerus terhadap nasib petani, maka dampak yang tidak bisa dihindarkan adalah (1) mudahnya petani melepas lahan pertaniannya untuk digunakan untuk industri dan perumahan. Hampir semua daerah mengalami pengurangan lahan pertanian dari tahun ke tahun; (2) banyak anak warga tani yang didorong oleh keluarganya untuk keluar dari sektor pertanian masuk di sektor buruh industri dan jasa di perkotaan. (3) kebanggaan menjadi petani semakin menurun bahkan ada satu desa perkampungan “pengemis’, yang mempunyai persepsi bahwa hidup sebagai pengemis di jalanan, hidupnya lebih nikmat dari pada seorang petani. (4) petani pinggir hutan akan terstimulan untuk ikut mempercepat kerusakan hutan. Menurut Guiness World Record menyebutkan ada 1,871 juta hektar hutan di Indonesia rusak antara tahun 2000 – 2005 atau 51 kilometer persegi perhari hutan rusak di Indonesia. Menurut Perum Peruhutani pada tahun 2006 jumlah penduduk Indonesia yang ada di kawasan Hutan sebanyak 88.709.522 orang, dimana 32.803.274 orang berada di Pulau Jawa atau hampir 40% dari total penduduk Indonesia yang berada di kawasan hutan. Dengan demikian kalau  petani pinggiran hutan di Jawa belum berdaya, kalau terjadi krisis ekonomi yang melanda petani, maka potensi terjadinya perusakan hutan yang terbesar adalah di Pulau Jawa.

Salah satu ciri globalisasi ekonomi adalah adanya pengaruh resesi negara lain atau benua lain bisa berimbas terhadap munculnya kemiskinan di masyarakat tertentu. Lebih lebih Negara Indonesia saat ini semakin ramah terhadap investor asing dan masuknya TNC.  Niscaya pada masa yang akan datang perilaku ekonomi global akan masuk dan mempengaruhi perilaku ekonomi dan kehidupan lokal. Oleh karena itu untuk membantu petani dalam menghadapi hal tersebut diperlukan strategi yang berkesinambungan dan mampu menggerakkan keikut sertaan seluruh elemen yang mempunyai komitment terhadap perubahan nasib petani.

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa sebagai ”gudang”nya para peneliti dan para ahli pedesaan sangat layak untuk melakukan kegiatan sebagai berikut; Pertama, melakukan kajian praktis untuk menemukan tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa yang mampu membentuk karakter mandiri warganya, menjaga ekosistem alam lingkungannya dan melindungi pengaruh negatip globalisasi. Kedua, melakukan analisis positioning dalam konteks kewilayahan dan komonditas pertanian yang menjadi sumber perekonomian warga desa. Positioning ini penting untuk memahami, mengindentifikasi berbagai daya dukung dan ancaman atau persaingan, Ketiga, melakukan pengkajian dan proses penemuan potensi potensi unggulan yang dapat menjadi topangan ekonomi warga tani miskin. Hal ini penting untuk mengolah potensi unggulan tersebut menjadi daya dukung utama ekonomi keluarga warga miskin. Keempat, melakukan kajian kajian untuk membantu menemukan  trade mark atau brand image untuk identitas sosial ekonomi desa.Hal ini penting sebagai social marketing dan sekaligus sebagai acuan character building warga desa .******

 


[1] Ceritera pengalaman lapangan untuk disajikan pada acara Dies Natalis STPMD “APMD” ke 44

[2] Fasilitator pemberdayaan masyarakat desa dan bergabung sebagai aktivis IRE Jogjakarta

[3] Menurut Prof.DR Moch. Maksum; bahwa banyak prestasi petani yang sama dengan prestasi TNC dalam mengembangkan budidaya bibit unggul…. bahkan beliau mendengar ada beberapa petani di Jawa Timur yang didakwa olehmonsanto mencuri  bibit jagung monsanto…padahal bisa saja prestasi petani sama atau lebih unggul dari pada monsanto

[4] Sungguh disayangkan pada waktu itu kurang adanya perlawanan dari NGO, Mahasiswa, DPR dan dari HKTI sebagai organisasi petani terhadap pemerintah Indonesia yang menggadaikan nasib petani Indonesia.

[5] Ketika penulis berdiskusi dengan beliau di kantornya di Fakultas Teknologi Industri Pertanian UGM  pada tanggal 1 September 2009 beliau menyampaiakn beberapa opini tentang nasib petani Indonesia.

[6] Banyak kasus, warga yang meminta didaftar sebagai warga miskin untuk memperoleh BLT, Raskin, Askeskin dll.

[7] Banyak warga penerima BLT, Raskin yang secara administratip memiliki label miskin namun menggunakan HP, TV bahkan sepeda motor, dan istrinya menggunakan peralatan perias wajah dll

[8]  Warga jarang sekali yang mau memasak sendiri dengan nasi ubi, nasi jagung namun lebih suka memasak indo mie.

Mempersatukan RUU Desa dan RUU Pembangunan Perdesaan

Oleh : Sutoro Eko

Konsep “desa” dan “perdesaan” tidak pernah akur, tidak pernah bersenyawa menjadi satu. Para pemakai kedua konsep itu berbeda-beda. Parapihak yang mempelajari pemerintahan dan NGOs umumnya menggunakan konsep desa. Kalangan NGOs menyebut desa sebagai entitas, hulu, basis dan locus penghidupan dan kehidupan masyarakat, yang notabene berbeda dengan negara. Sebaliknya orang ekonomi dan teknik adalah pemakai konsep perdesaan. Para pemakai konsep perdesaan menilai bahwa konsep desa itu terlalu kecil atau hanya wilayah administratif, sementara perdesaan mereka lihat sebagai functional areas secara lebih luas seperti pertanian, kehutanan, pariwisata, perdagangan, dan lain-lain yang semua ini mempunyai dampak terhadap masyarakat desa.

Di dalam tubuh pemerintah, Departemen Dalam Negeri adalah pemakai utama konsep desa. Beberapa departemen/kementerian lain juga memakai desa, misalnya Departemen Kesehatan punya “desa siaga”, Departemen Kehutanan punya “hutan desa”, Departemen Kelautan dan Perikanan bermain di “desa pesisir” atau “desa nelayan”, Departemen ESDM punya “desa mandiri energi”, Departemen Pertanian punya “desa mandiri pangan”, Departemen Pariwisata mampunyai mainan “desa wisata”, dan Kementerian PDT mempunyai “desa tertinggal”. Tetapi konsep desa yang dimiliki oleh beberapa departemen/kementerian ini berbeda dengan konsep desa yang dimiliki Depdagri. Mereka menyebut desa dalam pengertian lembagalembaga dan masyarakat sebagai penerima manfaat program-program mereka, bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum atau organisasi pemerintahan yang memiliki otonomi.

Sementara departemen/kementerian lain (Bappenas, Departemen PU, Depdiknas) tidak menggunakan desa, melainkan menggunakan perdesaan dan secara spesifik pembangunan perdesaan. Rencana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Draft RPJPMN 2009-2014 serta UU No. 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 – yang merupakan karya besar Bappenas – mempunyai satu chapter tentang Pembangunan Perdesaan, yang lebih banyak bicara tentang perdesaan daripada desa. RPJMN dan RPJP ini sama sekali tidak melihat desa ataupun masyarakat adat sebagai sebuah entitas, basis dan hulu penghidupan dan kehidupan masyarakat. Di atas semua itu, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut desa dan perdesaan.

Intinya, penggunaan dan praktik pembangunan perdesaan cenderung mengabaikan makhluk bernama desa, yang di dalamnya terdapat kekuasaan, manusia, komunitas, kultur, dan sebagainya. Sementara romantisme pada desa juga terjerembab pada isu-isu lokal, yang mengabaikan pembangunan perdesaan.

Kejadian serupa juga dialami oleh lahirnya dua RUU, yakni RUU Desa (RUU-D) dan RUU Pembangunan Perdesaan (RUU-PP). RUU-D sudah berproses sejak 2007, tetapi sampai akhir periode pemerintahan 2004-2009, ia belum bisa disahkan dan revisi UU No. 32/2004 juga belum kelar. Penyebab utamanya adalah belum terbangunnya kesepamahaman tentang posisi desa dan interface antara desa dengan daerah, di kalangan pembuat keputusan di Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah lebih menghendaki desa menjadi bagian dari pengaturan tentang pemerintahan daerah, sementara Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) berupaya memperjuangkan UU Desa tersendiri agar desa menjadi lebih kuat dan bertenaga secara ekonomi dan politik. Upaya untuk mempertemukan dua institusi besar ini mengalami kesulitan yang luar biasa.

Namun pembahasan RUU Desa sempat terhenti karena pada saat yang sama DPR mengambil inisiatif untuk mengesahkan RUU Pembangunan Perdesaan, yang akan disahkan pada akhir masa jabatan DPR periode 2004-2009. DPD melakukan penolakan atas RUU Pembangunan Perdesaan karena secara substansial naskah RUU tidak layak menjadi Undang-undang, serta mengandung kontroversial berupa alokasi dana 20% APBN dan 20% APBD masuk ke rekening desa. Sementara pemerintah mau tidak mau harus memberikan respons atas inisiatif DPR itu, yakni Presiden menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri PU, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan untuk melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.

Konsep Dasar

Tulisan ini beranggapan bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai perbedaan seperti terlihat dalam bagan 1, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural village), sebagai pintu masuk, basis, locus dan hulu semua masalah. Termasuk sumber masalah urbanisasi dari desa ke kota. Bagan 1 itu menunjukkan 4 unit pemerintahan yang diklasifikasi menjadi dua garis, yakni garis vertikal atau garis pemerintahan, yang menggambarkan hirarkhi pemerintahan antara desa dan daerah. Sedangkan garis horizontal merupakan garis pembangunan atau arah modernisasi, yang menghasilkan konsep perdesaan dan perkotaan. Konsep desa menunjuk pada kesatuan masyarakat hukum lokal (local village) yang mempunyai wilayah, tata kuasa, pemerintah, rakyat dan masyarakat. Perdesaan sebenarnya menunjuk pada desa-desa di pedalaman atau kawasan bentang alam dan ekonomi beberapa desa atau lintasdesa dalam lingkup daerah.

Pembicaraan tentang desa dan pembangunan perdesaan tentu yang paling dasar berada pada kuadran desa (3) dan lebih luas lagi berada di kuadran kabupaten (3). Meskipun kabupaten dan kota sama-sama merupakan daerah otonom, tetapi keduanya berbeda dari sisi pertumbuhan ekonominya. Kabupaten pada umumnya mempunyai desa-desa dalam jumlah besar dan bercorak agraris, yang menghadapi keterbatasan input, proses dan output pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya kota cenderung mengalami surplus pertumbuhan, dimana di setiap titik menjadi sumber pertumbuhan, tetapi masalah seriusnya adalah dampak (impact) pertumbuhan, misalnya dalam bentuk ledakan penduduk, segregasi sosial, sampah, lingkungan yang buruk, slum, pengemis jalanan, kejahatan, ketidaktertiban dan sebagainya.

 

Bagan 1 Konsep dasar

 

Berdasarkan gambar itu juga, saya sebenarnya tidak membedakan secara tegas antara pembangunan perdesaan dan pembangunan desa, tetapi saya membuat level yang berbeda: yakni “desa membangun” (local development) yang bekerja di dalam desa (atau desa tunggal) dan “membangun desa” (rural development) yang bekerja di ranah banyak desa (desa jamak) atau di ranah daerah. Yang lebih tinggi lagi adalah regional development yang mencakup antar kabupaten/kota dan national development yang mencakup antarprovinsi.

Seperti terlihat dalam tabel 1, konsep “desa membangun” terkait dengan penguatan otonomi desa atau membuat desa mandiri, yang di dalamnya mengharuskan transfer kekuasaan dan kewenangan kepada desa, sekaligus juga memperkuat inisiatif dan kapasitas desa. Dilihat dari skalanya, “desa membangun” secara mandiri tersebut berada pada skala desa, yang kemudian direncanakan dengan perencanaan desa (village self planning) dan dibiayai dengan APBDes.

Tabel 1 Perbedaan Konsep “membangun desa” dan “desa membangun”

Item/Isu Membangun Desa Desa Membangun
Pintu masuk Perdesaan Desa
Pendekatan Functional Locus
Level Rural development Local development
Konsep-konsep terkait Rural-urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan, Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, dll.
Level, skala dan cakupan Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa.Contohnya adalah kecamatan sebagai small town. Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa
Skema kelembagaan Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal.

Pemegang kewenangan

Pemerintah daerah

Desa (pemerintah desa dan masyarakat)

Tujuan Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta membangun desa yang mandiri
Peran pemerintah daerah Merencanakan, membiayai dan melaksanakan Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa
Peran desa Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan
Hasil • Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik • Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota. • Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dll. • Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga • Satu desa mempunyai produk ekonomi unggulan (one village one product)

Perbedaan antara “membangun desa” dan “desa membangun” juga berkaitan dengan pembagian kerja antar level pemerintahan. Konsep “desa membangun” berarti sebagai local development yang secara mandiri dikelola oleh desa. Pemerintah supradesa sebaiknya tidak menjadi pemain langsung dalam ranah “desa membangun”, meskipun menggunakan program-program pemberdayaan dan skema dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).

Perbandingan Dua RUU

Substansi secara umum RUU Desa dan RUU Pembangunan Perdesaan (Bangdes) dapat dilihat dalam tabel 2; dan analisis kelebihan maupun kekurangan dua RUU itu disajikan dalam tabel 3. Pada dasarnya kedua RUU itu berupaya masuk ke ranah desa, mengatur dan bahkan memperbaiki kondisi desa. Tetapi keduanya mempunyai fokus dan pintu masuk yang berbeda.

RUU Bangdes masuk ke ranah desa dengan fokus isu pada pembangunan perdesaan. Salah satu hal positif adalah bahwa RUU ini didasarkan pada kenyataan dan konteks bahwa desa maupun kawasan perdesaan mengalami kemiskinan dan keterbelakangan akibat dari pembangunan yang bias kota.Karena itu RUU ini merupakan bentuk kebijakan afirmatif terhadap desa. Poin ini yang tampaknya kurang menjadi perhatian bagi RUU Desa. Dengan demikian, RUU Bangdes sebenarnya merupakan upaya afirmatif pemerintah untuk “membangun desa” guna mengatasi masalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan yang melekat pada desa.

RUU Bangdes menegaskan bahwa tujuan pembangunan perdesaan adalah mewujudkan perdesaan yang maju, adil, makmur, dan sejahtera. Kalimat ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah yang diintervensi pembangunan perdesaan adalah desa sebagai entitas yang menyeluruh, atau hanya perdesaan sebagai bagian kecil dari desa? Apakah konsep “maju” berarti sebagai upaya membawa perubahan dari perdesaan menjadi perkotaan? Kenapa dalam tujuan itu tidak menyantumkan tujuan mencapai desa yang mandiri? Apa ukuran makmur dan sejahtera? Bagaimana paradigma dan pendekatan yang akan digunakan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan?

Berbagai pertanyaan ini tentu tidak terjawab dengan baik karena naskah RUU tidak disertai dengan Naskah Akademik. Pembaca RUU ini pasti akan terus bertanya tentang sistem berpikir (system of thinking) pembangunan perdesaan (rural development). Mengapa? Bagaimanapun pembangunan perdesaan bukan hal baru di Indonesia, dan agenda pembangunan itu digerakkan oleh pilihan-pilihan sistem pemikiran (paradigma) untuk mengarahkan apa, siapa dan bagaimana pembangunan perdesaan. Pada tahun 1970-an, kita mengenal integrated rural development yang digerakkan negara (state driven rural development), yang berhasil mengubah wajah fisik desa. Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah Indonesia melakukan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunan masyarakat desa yang dibimbing dengan paradigma community based rural development. Pada dekade 1990-an, kalangan akademik dan lembaga-lembaga donor memperkenalkan sustainable rural livelihood dan juga sustainable rural development. Sejak akhir 1990-an hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama Bank Dunia menjalankan agenda pembangunan perdesaan dengan bimbingan paradigma community driven development melalui Program Pengembangan Kecamatan dan sekarang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Tabel 2 RUU Bangdes vs RUU Desa

No

Item

RUU Bangdes

RUU Desa

1. Cantolan konstitusi Pasal 20, 21, dan 33 UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945
2. Posisi dalam sistem pemerintahan Mengatur pembagian kerja pusat, daerah dan desa dalam pembangunan perdesaan. Tetapi posisi RUU ini lepas dari sistem pemerintahan, misalnya tidak menyebut azas desentralisasi, dekonstrasi atau tugas pembantuan. Menyatu dalam sistem pemerintahan, hendak mempertegas posisi desa dalam sistem pemerintahan.Mengutamakan azas rekognisi dan subsidiaritas, yang berbeda dengan desentralisasi.
3. Makna Kebijakan afirmatif terhadap ketertinggalan desa Memperjelas kedudukan desa, sekaligus reformasi ast dan akses desa.
4. Tujuan Mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat. Menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera
5. Konsep Membedakan dengan tegas pengertian “desa” dan “perdesaan”, tetapi linkage dan pembedaan keduanya belum tegas. Desa sebagai entitas basis penghidupan dan kehidupan masyarakat. Perdesaan sebagai bagian kecil dari entitas itu. Tetapi isu pembangunan perdesaan kurang memperoleh perhatian.
6. Isu-isu utama Pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia perdesaan; sistem pembangunan perdesaan (perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pengawasan), peran pemerintah dan desa, pemberdayaan masyarakat Kedudukan, keragaman, pembentukan desa, kewenangan, susunan pemerintahan, perencanaan pembangunan, keuangan, lembaga kemasyarakatan, dan sebagainya
7. Nilai utama Kemajuan Kemandirian (otonomi)
8. Pelaku Pemerintah desa dan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan perdesaan, yang didukung oleh daerah dan pusat. Pemerintah desa dan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
9. Perencanaan Perencanaan dilakukan oleh pemerintah desa lalu dibawa naik ke atas untuk memperoleh pengesahan. Perencanaan dilakukan oleh pemerintah desa bersama masyarakat, ditetapkan dengan Perdes.
10. Pembiayaan 20% APBN, 20% APBD masuk ke rekening desa. Alokasi Dana Desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah dan PADes.

Pertanyaannya, RUU Bangdes mengikuti paradigma apa? Bagaimana keterkaitan RUU ini dengan pendekatan dan pengalaman community driven development yang kini tengah dijalankan oleh pemerintah? Bagaimana pula keterkaitan ide pembangunan perdesaan yang tertuang dalam RUU ini dengan agenda penanggulangan kemiskinan yang kini tengah gencar dijalankan oleh pemerintah?

Baik tujuan dan ruang lingkup dalam RUU Bangdes tidak menjawab semua pertanyaan itu. RUU ini mengidentifikasi cakupan bangdes secara klasik, yakni mencakup pembangunan fisik dan nonfisik. Pembangunan fisik diidentifikasi secara detail meliputi pembangunan sarana dan prasarana fisik, mulai dari pemerintahan, insfrastruktur hingga sanitasi. Sedangkan pembangunan nonfisik mencakup pembangunan SDM dan kelembagaan usaha dan sosial masyarakat. Uraian tentang pembangunan fisik dan nonfisik itu sungguh dangkal dan bahkan menyesatkan. Pertama, kata fisik itu berarti semakin melagalkan dan memperkuat pembangunan desa yang selama ini bias fisik, yang kurang sensitif terhadap dimensi-dimensi pembangunan yang lebih luas.

Pertanyaannya, apakah cakupan fisik dan nonfisik itu mampu mencapai tujuan kemajuan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan? Jawabnya: tidak. Mengapa? Masalah dasar yang dihadapi warga masyarakat desa adalah keterbatasan-ketimpangan aset dan akses. Karena itu jika hendak mencapai kesejahteraan, maka pembangunan perdesaan harus mampu memperbaiki aset-akses masyarakat desa. Aset berbicara tentang kepemilikan warga terhadap sumber-sumber produksi: tanah, hutan, kebun, uang, lumbung pangan, air, dll. Akses berbicara tentang kesempatan dan kemampuan warga untuk memperoleh informasi, terlibat dalam pembuatan kebijakan, layanan publik yang baik dan terjangkau, dukungan modal, lapangan pekerjaan, dll. Kesempatan warga desa memperoleh pekerjaan, misalnya, merupakan sebuah isu krusial yang memungkinkan mereka mempunyai aset, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Selama ini banyak proyek pemerintah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan seperti PPK dan PNPM tidak secara signifikan mengangkat taraf hidup warga desa karena proyekproyek itu bukanlah investasi sosial-ekonomi yang membuka lapangan pekerjaan secara berkelanjutan.

Konsep “fisik” itu sebenarnya hanya instrumen, tetapi RUU Bangdes menjadikannya sasaran untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, gedung SD adalah instrumen, sasaran sebenarnya adalah kualitas pendidikan warga. Karena itu RUU Bangdes itu sebaiknya mencakup sasaransasaran substantif yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup warga masyarakat desa secara berkelanjutan. Untuk mencapai sasaran ini, konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan (sustainable rural development) mencakup beberapa sasaran yang menyeluruh: pembangunan ekonomi lokal, pembangunan sosial, pembangunan politik dan pemberdayaan masyarakat.

Tabel 3 Kelebihan dan Kekurangan Dua RUU

RUU Bangdes RUU Desa
Kelebihan • Sebagai kebijakan afirmatif pemerintah untuk “membangun desa” dan memacu pertumbuhan desa yang selama ini tertinggal. • Menonjolkan pembangunan perdesaan (rural development) yang lebih besar, meskipun secara konseptual belum lengkap. • Ada komitmen distribusi dan alokasi dana yang lebih besar kepada desa, sehingga diharapkan bisa menggerakkan ekonomi desa dan mengurangi urbanisasi. • Menempatkan desa sebagai entitas yang menyeluruh. • Memperkuat desa (kedudukan, otoritas, keragaman, kemandirian, tata pemerintahan, inisiatif lokal). • Memperkuat semangat dan pendekatan “desa membangun” yang menempatkan desa sebagai subyek dan basis kehidupan
Kekurangan • Cakupan substansinya parsial. Lebih fokus pada perencanaan dan uang. • Perdesaan mempunyai cakupan luas (kawasan yang mempunyai kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi) tetapi cakupan pembangunan perdesaan hanya infrastruktur dan sumberdaya manusia. • Tidak menyatu (integrated) dengan sistem pemerintahan, sehingga bisa menimbulkan benturan • Mengabaikan domain pemerintahan, padahal pembangunan dan aliran dana selalu dikerangkai dengan governance. Tidak adanya kejelasan tentang batas-batas kewenangan desa, maka rencana pembangunan perdesaan bisa menimbulkan benturan dengan kewenangan kabupaten/kota, mengingat perdesaan mempunyai cakupan lintas desa. • Alokasi dana 20% dari APBN tidak fisibel dan membuat pemerintah tidak memiliki descretionary dalam penggunaan anggaran. • Lebih banyak mengatur tentang pemerintahan desa (village governance), khususnya kekuasaan pemerintah desa. • Kurang memperhatikan aspek kewajiban pemerintah dalam “membangun desa” (rural development), yakni tindakan pemerintah melancarkan pembangunan desa yang berkelanjutan. • Pembangunan kawasan perdesaan disebut dalam konteks partisipasi masyarakat di dalamnya. Artinya desa hanya sebagai komplemen dalam pembangunan perdesaan. RUU ini tidak mewajibkan pemerintah untuk melancarkan pembangunan perdesaan guna mengurangi kebijakan pembangunan yang bias kota. • Alokasi dana desa sangat kecil atau hanya sisa sisanya dari kabupaten/kota.

 

Selain itu RUU Bangdes juga mengandung beberapa poin kritis dan kelemahan:

a.   Cakupan substansinya parsial, yang belum mencakup seluruh dimensi yang ada dalam kerangka tabel 1. Konsep “desa mandiri” misalnya, selama ini menjadi aspirasi dan wacana yang berkembang di level desa, daerah dan nasional. Tetapi konsep ini kurang diperhatikan oleh RUU Bangdes.

b.   Perdesaan mempunyai cakupan luas (kawasan yang mempunyai kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi). Namun cakupan pembangunan perdesaan hanya mengarah pada perbaikan infrastruktur dan sumberdaya manusia.

c.   Pembangunan tentu tidak bisa berdiri sendiri dan tidak terpisah dari pemerintahan (governance), sebab pembangunan sebenarnya merupakan kegiatan pembangunan yang melibatkan negara, swasta (pasar) dan masyarakat.

d.   RUU Bangdes tidak membedakan secara jelas antara konsep “membangun desa” dan “desa membangunan”, yang kedua konsep ini terkait dengan posisi dan kewenangan desa dengan pemerintah supra desa.

e.   Alokasi dana 20% dari APBN menimbulkan masalah serius, bisa bertabrakan dengan UU lain dan tampaknya tidak fisibel. Alokasi yang ditentukan secara fixed seperti itu membuat pemerintah tidak memiliki descrionary dalam penggunaan anggaran.

Sementara RUU Desa hendak mencakup tiga isu besar (pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan) secara menyeluruh. RUU Memperkuat desa (kedudukan, otoritas, keragaman, kemandirian, tata pemerintahan, inisiatif lokal), juga memperkuat semangat dan pendekatan “desa membangun” yang menempatkan desa sebagai subyek dan basis kehidupan masyarakat desa. Tetapi RUU ini lebih banyak berbicara tentang pemerintahan, sehingga kurang menaruh perhatian secara afirmatif terhadap isu keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan desa sebagaimana ditekankan oleh RUU Bangdes. Dengan kalimat lain, RUU Desa kurang memperhatikan aspek pembangunan perdesaan (rural devvelopment) atau “membangun desa”, kecuali hanya menyebutkan tentang partisipasi masyarakat desa dalam pembanguna kawasan perdesaan yang dijalankan oleh pemerintah maupun pihak ketiga. Substansi dan kewajiban pemerintah “membangun desa” kurang diperhatikan. Selain itu, alokasi dana desa terlalu kecil dan bersifat residual (sisa sisanya) dari kabupaten/kota.

Beberapa Usulan

  • Desa lebih baik ditransformasikan dari sekadar sebuah “asbak” yang menampung semua jenis puntung rokok menjadi ujung tombak pemerintahan yang paling bawah dan paling dekat dengan masyarakat. Untuk menjadi ujung tombak, maka desa perlu kewenangan, perencanaan, sistem administrasi yang lebih baik, keuangan yang memadai, kapasitas pemerintah dan lembaga-lembaga desa. Menjadi ujung tombak berarti desa mempunyai fungsi regulasi, pelayanan publik dan pemberdayaan kepada masyarakat, termasuk menyiapkan dan menggerakkan spirit “desa membangun”.
  • Model BLM untuk mendukung “desa membangun” lebih baik diubah menjadi alokasi (atau ADD) satu pintu yang masuk ke dalam APBDes secara berkelanjutan. Untuk urusan “desa membangun” ini sebenarnya pemerintah pusat (departemen-departemen sektoral) tidak perlu masuk ke ranah lokal dengan berbagai judul program dan dengan skema BLM. Kalau semua BLM ini dikumpulkan maka bisa menjadi ADD yang jauh lebih besar. APBDes desa yang semakin besar akan berguna untuk menyiapkan dan menjalankan rencana skala desa secara partisipatif dan terkontrol. Ini juga menjadi ajang pemberdayaan dan pembelajaran bagi pemerintah desa dan masyarakat.
  • Pendekatan “membangun desa” dan “desa membangun” sebaiknya terintegrasi sehingga bisa komprehensif dan mampu mencapai desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Konsep “desa membangun” terkait dengan penguatan otonomi desa atau membuat desa mandiri, yang di dalamnya mengharuskan transfer kekuasaan dan kewenangan kepada desa, sekaligus juga memperkuat inisiatif dan kapasitas desa. Dilihat dari skalanya, “desa membangun” secara mandiri tersebut berada pada skala desa, yang kemudian direncanakan dengan perencanaan desa (village self planning) dan dibiayai dengan APBDes.
  • Pemerintah sebaiknya melakukan migrasi dari ranah “desa membangun” dalam lingkup desa (local village) dengan BLM menuju ranah “membangun desa” (rural development) di kawasan perdesaan. Pendekatan membangun desa bukan pemberdayaan (atau memberi pancing), tetapi membangun “kolam” dan menabur “benih ikan” sebanyak mungkin di kawasan perdesaan. Ini akan menggerakkan ekonomi lokal yang berbasis pada sumberdaya lokal dan membuka lapangan pekerjaan baru secara berkelanjutan. Lebih baik lagi, model ini ditempuh misalnya dengan membangun semacam collective farming dengan pola shareholding, yang melakukan bagi hasil farming itu kepada pemerintah, desa, pemodal dan juga tenaga kerja. Cara-cara lama dalam bentuk menyewa atau membeli tanah dan eksploitasi buruh lebih baik ditinggalkan.
  • Untuk mendukung upaya “membangun desa” atau membangun kolam-kolam di kawasan perdesaan tentu memerlukan perubahan dalam hal politik anggaran, dari model fragmented budget yang disebar merata ke banyak kelompok masyarakat menuju model consolidated budget yang utuh untuk investasi membangun kolam ikan itu.
  • Kedepan sebaiknya RUU Bangdes dan RUU Desa digabung menjadi satu, yang di dalamnya berisi dan berorientasi pada penguatan pemerintahan desa (village government), pembangunan perdesaan (rural development) dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Alokasi dana yang selama ini bias pada urban development sebaiknya dipindahkan untuk memperkuat rural development (level daerah) dan local development (level desa). Di dalam naskah RUU sebaiknya ditegaskan tentang tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengembangkan rural development (membangunan desa) yang didukung pengembangan kapsitas dan anggaran oleh pemerintah pusat. Juga ditegaskan tentang tanggungjawab desa dalam mengembangkan local development (desa membangun) yang sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya.
_____________________

1    Makalah disampaikan dalam Seminar “Bergerak Menuju Desa dan Bergeral Dari Desa” Dies ke-44 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, 16 November 2009.

2    Dosen Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, aktif sebagai anggota Tim Pakar Revisi UU No. 32/2004 Departemen Dalam Negeri, khususnya mempersiapkan RUU Desa. Juga terlibat sebagai anggota Tim Pemerintah dalam pembahasan RUU Pembangunan Perdesaan.

https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
https://procseo.com/
https://ofwteleseryes.net
https://hotfoxbranding.com/
https://beton88play.com/
https://beton88vip.org/
https://dogplayoutdoors.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?