Pada diskusi Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang (30/12), sempat mengemuka topik desa wisata. Maklum Desa Ngargoretno jaraknya hanya 6 kilometer dari Borobudur. Dan kini desa itu sedang giat mengembangkan desa wisata. Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko mengatakan, “Desa Wisata itu subyeknya desa. Pokdarwis menjadi bagian pengelola desa wisata itu. Tapi jangan latah. Desa A membuat embung atau taman lalu desa B membuat wahana wisata yang sama. Desa wisata merupakan korporasi rakyat. Rakyat yang menanam, rakyat yang memanen, dan rakyat yang menjual. Korporasi rakyat, dikonsolidasi desa, dan diproteksi negara.”
Jasa Lingkungan:
Terkait konservasi untuk wisata. Ketua APMD mempunyai pengalaman kegalauan warga dan perangkat desa di utara Kabupaten Sleman. Desa itu rajin melakukan konservasi dengan menanam pohon. Namun hasilnya yang langsung menikmati adalah hotel-hotel di bawah, Kota Yogyakarta. Karena itu, mereka melakukan negosiasi. Aparat desa itu menemui pengusaha hotel. “Jika pihak hotel tidak membayar jasa lingkungan, kami bisa saja menebang pohon-pohon yang kami tanam, Bagaimana menurut Pak Toro” ujar perangkat desa kepada Sutoro Eko. Ketua APMD itu menjawab dengan memberikan dua jempol.
Air di Bukit Menoreh:
Diskusi dengan topik Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo di Desa Ngargoretno,
Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang berakhir (30/12) dengan harapan di
kemudian hari tercipta Air di Bukit Menoreh.
Selama ini karena kerusakan alam di DAS Progo yang berhulu di Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung kemudian melewati Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan berhilir di Kabupaten Kulonprogo. Jika Kemarau tiba Sungai Tangsi yang berhulu di Gunung Sumbing Kabupaten Magelang dan kemudian mengalir menjadi Progo berkurang airnya dan membuat Borobudur dan perbukitan Menoreh terdampak kekeringan.
Sebuah upaya gotong royong merevitalisasi DAS Progo khususnya Sungai Tangsi harus dilakukan agar fungsi sungai kembali seperti semula. Hidup dan menghidupi masyarakat sekitar. Herry pegiat desa asal Kabupaten Magelang menginisiasi sebuah pertemuan urun rembug yang dihadiri oleh kalangan yang beragam. Ada kepala desa dan perangkat desa, pegiat dan pendamping desa, komunitas wisata, pengelola desa wisata, perwakilan dari Pemkab seperti dari Dinas lingkungan hidup, pertanian, perhutani, hingga Bappeda Kab Magelang. Juga tentu saja hadir dari kalangan kampus dan LSM desa.
Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko memberi masukan kepada forum itu dengan menjelaskan tentang subyek, obyek seperti salah satu topik pada pelajaran Bahasa Indonesia SPOK. “Setiap kita merancang dan melaksanakan kegiatan harus jelas siapa subyeknya dan obyeknya,” ujar Sutoro Eko.
Sutoro memberi contoh ada sebuah desa wisata yang dikelola Pokdarwis namun uangnya tak pernah mengalir ke kas desa. Kepala desa baru kemudian merombak pengelolaan wisata desa itu. Desa lalu tampil melalui BUMDes. Anggota Pokdarwis yang notabene adalah warga desa tetap direkrut tapi mereka hanya pengelola biasa yang harus bertanggung jawab kepada BUMDes.
Contoh lain dari Klaten tentang pengurus Gapoktan yang menghubungkan antara petani dengan pembeli kedelai hitam. Karena tak ada keterlibatan desa yang transparan maka pengurus Gapoktan seenaknya memainkan harga. Yang ujungnya merugikan petani.
Sutoro Eko menggarisbawahi untuk mencapai tujuan bersama harus ada koordinasi, konsolidasi, dan kolaborasi. Gotong royong harus dilakukan tapi gotong royong ala Soekarno yang holobis kuntul baris, anti individualisme dan penuh solidaritas. Bukan gotong royong ala Soeharto yang memobilisasi tenaga kerja secara gratis untuk membangun kepentingan publik.
@ Museum Alam Marmer Indonesia