Ketua MPR RI, Drs. Sidarto Danusubroto, S.H., mengharapkan agar MPR kembali memiliki peran sebagaimana dirancang oleh para founding fathers, sebagai pengamalan sila keempat Pancasila. “Yang dimaksud dengan ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ itu wujudnya ya MPR ini!” demikian dikatakannya dalam acara dengar pendapat bertajuk “Peran MPR RI dalam Sistem Pembangunan Nasional” di Kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, Jl. Timoho 317 Yogyakarta, Sabtu, 29 Maret 2014 yang lalu.
Ketua MPR RI mengaku banyak menerima masukan dari berbagai tokoh masyarakat, agar MPR kembali berperan sebagai lembaga tertinggi negara, setelah perannya banyak dipangkas lewat amandemen UUD 1945. Sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, MPR memberikan mandat kepada presiden. Lebih lanjut Sidarto juga menyoroti ketiadaan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dalam system ketatanegaraan kita saat ini. Ia mengungkapkan bahwa GBHN sesungguhnya diperlukan, agar arah pembangunan dan kebijakan menjadi jelas dan terarah, serta tidak mudah diubah-ubah menurut selera presiden dan para menterinya, yang berganti-ganti setiap usai pemilu.
Gagasan yang sama diungkapkan oleh Afnan Malay, S.H. anggota Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia – MPR RI sekaligus staf ahli Ketua MPR RI yang hadir sebagai narasumber dalam acara dengar pendapat itu. Menurut Afnan, agar otoritas MPR tetap terjaga, yaitu sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, cukup dengan menghidupkan kembali GBHN, sebagai panduan kerja preseiden dan/atau wakil presiden.GBHN membuat presiden dan/atau wakil presiden memiliki sistematika kerja (terencana dan terukur) sekaligus mengembalikan roh MPR sebagai pemegang otoritas untuk melakukan evaluasi kinerja presiden dan/atau wakil presiden.
Dosen Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Jogja Dr.R. Widodo Tri Putro, M.M., M.Si., yang juga hadir dalam acara tersebut mengingatkan bahwa kembali ke GBHN bukan hal yang tidak mungkin, karena reamandemen UUD’45 bukanlah hal yang dilarang. Tetapi jika GBHN yang dilahirkan oleh MPR akhirnya juga dikawal oleh para anggotanya yang nota bene di dalamnya adalah anggota DPR dan DPD yang selama ini banyak menjalankan praktik politik transaksional, maka ia pesimis bahwa GBHN akan membuahkan perbaikan.
Acara dengar pendapat ini dihadiri lebih dari 150 orang, terdiri dari akademisi (dosen dan mahasiswa), LSM, dan guru-guru SMA, terutama guru-guru mata pelajaran PKN.