Ilmu Pemerintahan secara ontologis sudah jelas. Perlu terus dikembangkan metodologi yang lebih baru, inovatif dan berkemajuan dalam studi ilmu pemerintahan. Selain itu, ilmu pemerintahan dikembalikan ke identitasnya sebagai ilmu yang “melayani” dan memperkuat kedaulatan rakyat. Demikian catatan penting Webinar Mazhab Timoho #3 “Jalan Baru Ilmu Pemerintahan” (23/3) yang dibacakan oleh Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Guno Tri Tjahjoko. Webinar diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Pemerintahan APMD, bekerjasama dengan KAPSIPI dan ADIPSI.
Webinar yang dibuka oleh Prof. Achmad Nurmandi, M.Sc (Ketua KAPSIPI) itu, menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Dr. Teguh Yuwono, M.Pol, Admin (Ketua ADIPSI/Dosen Fisip Universitas Diponegoro), Dr. Muhtar Haboddin, .S.IP, M.A (Dosen Fisip Universitas Brawijaya), Ganjar Pranowo, S.H, M.IP (Gubernur Jawa Tengah), Lilik Ratnawati, S.Pd, M.IP (Kepala Desa Plawen Klaten, Jawa Tengah) dan Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta), serta moderator Goris Sahdan, S.IP, M.A (dosen Prodi Ilmu Pemerintahan APMD).
Ganjar Pronowo dalam presentasinya berjudul “Membangun Kedaulatan Rakyat Dalam Permerintahan” menjelaskan perubahan tata kelola di masa demokrasi modern, dari otoriter ke demokrasi. Menurut Ganjar, pada era Governance 4.0, untuk pelayanan publik yang prima mewujudkan birokrasi berkelas dunia, ada tiga transformasi yang harus dilakukan, yaitu transformasi organisasi, transformasi sistem kerja, dan transformasi Sumber daya manusia. Pada transformasi sistem kerja misalnya, perlu dilakukan digitalisasi pelayanan publik dan digitalisasi proses bisnis internal. Tata kelola pemerintahan berbasis digital dengan berbagai aplikasi.
Sebagai praktisi Ilmu Pemerintahan, Ganjar menjelaskan Jateng Digital, ada LaporGub (layanan pengaduan), Lapak Ganjar (pemasaran online untuk UMKM), Sakpole (pembayaran pajak kendaraan), Bina cantik (aplikasi Runah Sakit mempercepat klaim BPJS), PTSP Jateng (perijinan terpadu satu pintu), dan Pembayaran TransJateng dengan GoPay. Untuk suksesnya itu semua, lanjut Ganjar, harus ada komunikasi dan kolaborasi menuju masa depan. Di sini sangat dibutuhkan critical thinking dan creativity, kata Ganjar.
Sebelum presentasi Ganjar Pranowo, Teguh Yuwono menyampaikan, Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan dalam perjalanan dan arah perkembangannya mengalami situasi kontroversial dalam memasuki abad ke 21. Keadaan tersebut menjadi semakin tidak jelas karena terdapat berbagai kebijakan pemerintah pada dunia akademis yang telah memasuki substansi keilmuan. Dalam Ilmu Pemerintahan, lanjut Teguh Yuwono, ada yang memerintah dan ada yang diperintah serta dinamika relasi keduanya. Upaya untuk mempertajan konten ilmu Pemerintahan perlu terus diupayakan.
Muhtar Haboddin menjelaskan tentang riset dan kajian di Ilmu Pemerintahan. Misalnya riset tentang memperbesar kekuasaan. “Contohnya Gus Ipul. Dia dari dari anggota DPR menjadi menteri, lalu menjadi wakil gubernur jawa Timur, kemudian kini menjadi Walikota Pasuruan,” kata Muhtar. Ada juga yang meneliti tentang Jokowi dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai menjadi Presiden RI. Menurut Muhtar ada dua catatan dari penelitian tentang kekuasaan itu. Bagi pemerintah bagaimana kekuasaan dipertahankan, diperbesar untuk dirinya. Bagi masyarakat, bagaimana sumber kekuasaan diganti pemimpinnya untuk rakyat. Menurut Muhtar Haboddin, kekuasaan dan kedaulatan memerintah, harus dikontrol, dikritik dan dibatasi. “Pertanggungjawaban kekuasan adalah memperpendek jarak antara penguasa dan rakyat,” tambah Muhtar Haboddin.
Lilik Ratnawati adalah kepala desa yang oleh penguji tesisnya dikatakan sebagai tersesat di jalan yang benar. Dari ibu rumah tangga menjadi kepala desa. Ia banyak menceritakan pengalaman memimpin desa yang sering disebut “miniatur negara”. Lilik Ratnawati menjelaskan bagaimana kewenangan desa dan bagaimana melayani masyarakat. “Karena desa terdepan dalam memberi pelayanan kepada masyarakat (warga desa) maka desa harus diperkuat,” tegas Lilik Ratnawati.
Sutoro Eko menjelaskan ada dua jalan Ilmu Pemerintahan, yaitu jalan lama (kolonial) dan jalan baru (neoliberal). Keduanya mereduksi pemerintahan. Terkait mazhab dalam Ilmu Pemerintahan ada Mazhab Bulaksumur. “Namun pada 2009, UGM tinggal gelanggang colong playu,” kata Suroro Eko yang artinya sudah tak bersetia dengan Ilmu Pemerintahan. Kini di UGM program studinya adalah Politik dan Pemerintahan. Selain Mazhab Biulak Sumur ada Mazhab Jatinangor. Di sana ada UNPAD dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Menurut Sutoro Eko, Mazhab Jatinangor itu melanjutkan jalan kolonial ke jalan neoloberal. Di sana lebih kental manajemen publik.Menurut Sutoro Eko, Ilmu Pemerintahan bukan ilmu normatif, juga bukan politeknik.Karena itu matakuliah pada Ilmu Pemerintahan harus ada disiplin dan perspektif. Ilmu Pemerintahan harus tajam dalam konten. “Ilmu Pemerintahan itu bagaimana transforming dan connecting,” kata Sutoro Eko pada webinar yang diikuti 281 peserta itu. Dasarnya Ilmu Pemerintahan jelas Pancasila dan Konstitusi. Ilmu Pemerintahan, lebih khusus, bagaimana menghubungkan sila keempat Pancasila, kerakyatan, bertransformasi menjadi sila kelima Pancasia, keadilan. Ilmu Pemerintahan tak bisa disederhanakan dalam politik, hukum, atau admistrasi.