Asesmen Lapangan Reakreditasi Prodi PMD

“Kami sebagai asesor datang ke kampus ini bukan seperti jaksa, polisi atau KPK. Kami sama seperti bapak dan ibu yang suatu saat juga didatangi asesor. Jadi biasa saja tak perlu tegang. Ada dua ban, yaitu ban dalam dan ban luar. Nah kami ini ban luar,” kata Dr. Irsyad, S.E., M.Soc., Ph.D dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Ia bersama Prof.Dr. Syamsu Nujum, S.E, M.SI dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar melakukan assesmen lapangan Reakreditasi untuk Prodi Pembangunan Masyarakat Desa (D3) 14-15 Oktober 2019. Mereka dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Saat mengunjungi BAAK pak Irsyad langsung minta data siapa dosen yang baru naik pangkat dan mahasiswa dengan IP tertinggi. Mas Tatag dengan lincah menjawab pertanyaan asesor. Di perpustakaan APMD pak Irsyad minta seorang mahasiswi yang sedang membaca buku di situ untuk menyebut satu buku dan mencari sendiri melalui komputer yang disediakan. Mahasiswi itu menulis buku Desa Baru Negara Lama karya Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto di komputer. Tak sampai dua menit buku sudah didapat.

Pada sambutan di awal assesmen lapangan, Sutoro Eko mengatakan, kampus ini didirikan oleh para eks tentara pelajar sebagai ucapan terima kasih kepada masyarakat desa yang membantu perjuangan pada perang mempertahankan kemerdekaan. Prodi Pembangunan Masyarakat Desa adalah cikal bakal STPMD tambah Ketua APMD. Pada tahun 1980an, APMD sering dipercaya oleh Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam perekrutan calon pegawai. Kini Prodi yang perkembangannya cepat adalah Ilmu Pemerintahan, hal ini sejalan dengan otonomi daerah yang membutuhkan banyak pemimpin daerah. @Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Empat Pesan Ketua Kepada Mahasiswa Baru

STPMD “APMD” Yogyakarta kemarin (17/9) membuat sejarah, menggelar sidang senat terbuka dengan acara tunggal penetapan mahasiswa baru tahun 2019/2020. Sidang senat terbuka diadakan di gedung audiotorium Ganesha dihadiri seluruh anggota senat, para dosen dan mahasiswa baru.

Ketua STPMD “APMD” Dr. Sutoro Eko Yunanto dalam sambutannya mengatakan, “Kita menciptakan tradisi baru menggelar sidang senat terbuka untuk menetapkan mahasiswa baru tahun akademik 2019/2020 bersamaan dengan permulaan Sosialisasi Internal Kampus tahun 2019/2020.” Sidang senat terbuka kemarin dilaksanakan dengan khidmad dan bermartabat menyambut kehadiran mahasiswa baru yang berasal dari 28 provinsi seluruh tanah air. “Ini adalah sebuah keberagaman. Sebuah perbedaan yang selalu kita rayakan. Bersatu dalam keberagaman,” ujar Sutoro Eko.

Ketua menjelaskan, APMD menggelar sidang senat terbuka ingin meneguhkan komitmen sebagai lembaga akademik untuk mendidik dengan melayani mahasiswa dan melayani dengan mendidik. Agar mahasiswa menjadi manusia yang utuh. Sesuai dengan amanat Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 dan juga statuta STPMD “APMD”. “Melayani menjadi tradisi yang kita utamakan. Sekolah tinggi berkomitmen untuk mendidik dan melayani mahasiswa dengan prinsip humanism dan kasih sayang,” tambah Sutoro Eko. Acara kemarin untuk memastikan kepatuhan dan penghormatan kepada kaidah kepada kebajikan kepada institusi dan tradisi akademi yang disimbolisasi dengan adanya senat yang mengenakan toga. Toga adalah simbol kebajikan dan tradisi akademik. Kelak tiga atau empat tahun mahasiswa baru juga akan memakai toga karena telah melewati proses dan tradisi akademik selama proses belajar mengajar. Kepada mahasiswa baru Ketua menyampaikan empat pesan penting.

Pertama, sesuai hymne Yayasan Pengembangan Pendidikan 17 dan mars APMD, Keilmuan yang berkembang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi bersumber secara ideologis pada Pancasila dan UUD 1945. Konstitusi bukan sekadar pasal demi pasal dan bukan sekadar norma tetapi di dalamnya ada ideologi dan sumber pengetahuan yang kita jadikan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan bagi sekolah tinggi. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan adalah nilai sekaligus keberpihakan pada tujuan bagi sekolah tinggi. Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat dan berkeadilan social, itu adalah sumber ilmu pengetahuan yang akan kita kembangkan dan kita jadikan pijakan dalam penyelenggaraan sekolah tinggi karena kita rumpun ilmu sosial, ilmu politik dan humaniora.

Kedua sesuai sumber Pancasila dan UUD 1945, sekolah tinggi meneguhkan mendedikasikan jiwa rara untuk memuliakan desa sekaligus mempersatukan Indonesia. “Desa dan Indonesia adalah dua entitas yang berbeda tapi keduanya ditunjukkan pada keberpihakan sekolah tinggi melalui Tri Dharma . Ada satu benang merah yang mempertemukan desa dan Indonesia yaitu perubahan,” tegas Sutoro Eko yang sering dipanggil Guru Desa itu. Artinya, tambahnya, kita tak hanya bersatu dalam perbedaan tetapi juga bersatu dalam perubahan. Bersatu dalam perubahan itu artinya kita akan merajut gotong royong sesuai yang ditekankan oleh pendiri bangsa Soekarno. Gotong royong adalah satu nilai kita anti individualisme, kita anti kolonialisme. Kita sepakat pada kolektivisme menuju perubahan. Baik perubahan pada desa, pada sekolah tinggi maupun perubahan pada Indonesia.

Lebih jauh dikatakan, dalam memuliakan desa itu ada semangat mempercayai desa dan semangat menghormati desa. Bukan sekadar sebagai wilayah, bukan sekadar satuan administratif tetapi desa adalah basis kehidupan dan penghidupan. Spirit memuliakan desa dan mempersatukan Indonesia menjadi bagian tak bisa dipisahkan dari ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

Ketiga, Ketua menegaskan, sekolah tinggi dengan jiwa raga, dengan kasih sayang, mendidik, melayani, mempersiapkan sarjana yang sujana.Sujana itu artinya cerdas dan kritis. Serta berpihak dan bermanfaat bagi orang banyak. Sarjana yang tak hanya menuntut untuk kepentingan sendiri tetapi kepentingan orang banyak. Cerdas itu tak hanya ip yang bagus, tak hanya menghapal diktat, tak hanya menghapal rumus, tetapi mampu memaksimalkan lima otak dalam kepala kita. Otak pertama otak atas, otak spiritual, patuh kepada Tuhan cinta kepada manusia. Otak depan itu untuk kecerdasan sosial. Itu artinya kita santun dan rendah hati dalam pergaulan sosial. Punya kepedulian terhadap orang banyak. Terutama rakyat jelata yang tak beruntung secara politik dan ekonomi. Otak kiri adalah kecerdasan intelektual. Kecerdasan kita memahami ilmu pengetahuan dan kritis, kaya perpektif dan kritis terhadap situasi sosial dan politik. Otak kanan adalah kecerdasal kultural, kecerdasan budaya. Selain kita toleran terhadap perbedaan kita punya kreasi yang berbeda dari kecerdasan teknokratik yang hanya berhitung tentang rumus maupun hitung-hitungan dalam analisis kwantitatif atau dalam analisis statistik. Terakhir Otak belakang adalah kecerdasan ekonomo politik. Ekonomi dan politik sesuatu yang normal namun jika ekonomi politik yang ditaruh di depan akan melahirkan para bandit, parasit cukung, dan para tengkulang yang merugikan rakyat jelata.

Pesan keempat Ketua, jadilah mahasiswa yang berprestasi, jangan jadi mahasiswa bermasalah. Ada mahasiswa biasa, mahasiswa bermasalah dan mahasiswa berprestasi. Mahasiswa biasa itu rutin. kampung, kost dan kampus. Indeks Prestasinya bagus, selesai 3,5 sampai 4 tahun, tetapi tak punya kesempatan meraih dunia luar. Karena itu raihlah kesempatan menjadi mahasiswa berprestasi. Berprestasi itu artinya tak hanya IP yang bagus. IP bukan ukuran kecerdasan. IP adalah ukuran apakah mahasiswa malas atau tidak. IP bagus belum tentu mahasiswa itu hebat Tetapi mahasiswa yang mempunyai IP jelek pasti orangnya pemalas. Mahasiswa yang bermasalah itu hanya punya dua K. Kampung dan kampus, tak punya kost. Tidurnya di kampus, artinya tak punya kesempatan belajar yang baik. Jika sekian tahun IPnya di bawah 2. Itu mahasiswa bermasalah.Kita ingin mahasiswa baru semua menjadi mahasiswa berprestasi dan sukses menjadi sarjana yg sujana.

Sebelumnya Wakil Ketua I Dra. Chandra Rusmala, M.Si melaporkan mahasiswa baru tahun 2019/2010 datang dari 28 provinsi. Ada enam provinsi dengan mahasiswa terbesar yaitu Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, Papua Barat dan Sumatera Barat. Selain itu sumber biaya studi mahasiswa datang dari biaya mandiri, Beasiswa Bidik Misi, Program Afirrmasi Pendidikan Tinggi, Beasiswa Yayasan Binter Busi dan Beasiswa Tugas belajar Non PNS dari Pemkab Kepulauan Mentawai.

Lokakarya “Menggali Gagasan dalam Rangka Memberikan Inputs RPJMN 2020-2024 Bidang Desa & Kewilayahan”

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr, Sutoro Eko Yunanto dan Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta Sunaji Zamroni tampil menjadi narasumber lokakarya “Menggali Gagasan dalam Rangka Memberikan Inputs RPJMN 2020-2024 Bidang Desa & Kewilayahan.” Kegiatan Ini diselenggarakan oleh IRE di Hotel Santika Yogyakarta, Selasa (10/9).

Dalam pemaparan background study report review penyusunan RPJMN 2020-2024 lingkup daerah tertinggal, kawasan perbatasan, desa dan kawasan perdesaan, dan transmigrasi, Sunaji mengatakan fokus IRE hanya pada bidang desa dan kawasan perdesaan. Hasil review atas background study yang dilakukan IRE menemukan bahwa kedudukan desa masih dilihat dalam kacamata lama. Desa belum ditempatkan dalam posisi yang otonom. Sehingga dalam beberapa aspek pembangunan desa masih diatur oleh pemerintah supra desa,

Di samping itu IRE menemukan beberapa aspek fundamental yang ada dalam UU Desa No. 6 Tahun 2014 belum diterjemahkan secara gamblang dalam background study yang ada. Di antara aspek tersebut adalah tentang penataan desa, kewenangan desa, dan aset desa. IRE ingin mengembalikan desa sebagai subyek pembangunan berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Sementara pemerintah supra desa perannya lebih banyak dalam hal pembinaan dan pengawasan kepada desa melalui pembuatan pedoman, melakukan pembinaan, bimbingan, supervisi, peningkatan kapasitas, fasilitasi, serta mendorong percepatan pembangunan desa.

Sutoro Eko melalui pemaparan berjudul “Kembalikan Jalan Lapang Perubahan Desa!” memulai dengan menjelaskan empat jenis negara terkait dengan desa. Pertama negara leviathan liberal: negara melenyapkan desa dari posisi kesatuan masyarakat hukum seperti di Eropa Barat. Negara kolonial: negara memperalat dan menghisap desa. Negara modernis-developmentalis: negara membangun sambil merusak, memajukan sambil melemahkan. Negara semesta: negara mengakui, menghormati, melindungi dan memperkuat desa.

Ketua APMD juga mejelaskan kontradisksi pelaksanaan UU Desa antara lain telah mengalami simplifikasi dan reduksi hanya menjadi dana desa. Selain itu, bukan politik rekognisi, subsidiaritas, demokratisasi dan konsolidasi yang mengarahkan desa, melainkan oleh proyek, administrasi dan aplikasi.

Terkait regulasi dan deregulasi, Sutoro Eko mengutip Presiden Joko Widodo, “Kepala desa tidak sibuk mengurus rakyat, tetapi sibuk mengurus laporan. Kita tidak boleh terjebak pada regulasi yang kaku, yang formalitas, yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang justru menyibukkan, yang meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha,. Ini harus kita hentikan. Sekali lagi, ini harus kita hentikan. Regulasi yang tidak konsisten dan tumpang tindih antara satu dan lainnya harus diselaraskan, disederhanakan dan dipangkas.”
Meskipun keinginan presiden cukup jelas, namun kenyataanya, yang tidak perlu diatur malah diatur ketat. Yang perlu pengaturan malah dibiarkan tidak diatur. Aturan harus dilandasi prinsip hak, kewenangan dan kewajiban desa. Karena itu, Presiden Jokowi mengatakan menteri tidak perlu membuat banyak program. Cukup empat program. Selebihnya adalah pelayanan,

Menurut salah satu perancang UU Desa ini, regulasi merupakan instrumen ekonomi-politik birokrat, program merupakan instrumen ekonomi-politik teknokrat. Program tidak pernah akan memperkuat sistem dan institusi, bahkan tidak akan mengubah struktur sosial, melainkan hanya “menarik sapi kurus dengan tali yang besar dan panjang” atau “hanya membangun istana pasir.” Sementara itu, pelayanan merupakan jantung sistem-institusi yang menjadi tugas utama pemerintah-negara dalam melindungi, memberdayakan dan memperkuat desa.

Pada akhir pemaparan, Sutoro Eko menguraikan pendekatan yang harus dilakukan. Bukan mengepung dengan pengawasan, tetapi pembinaan melalui edukasi, fasiltasi, asistensi,dan pembelajaran. Bukan mencekoki kades dengan proyek dan uang tetapi dengan politik dan nilai. Bukan mutilasi dengan cara pandang dan titipan sektoral, tetapi konsolidasi sistem desa. Bukan inovasi yang membuat desa jadi lokasi dan obyek, tetapi reformasi desa. Bukan pencegahan korupsi, tetapi demokratisasi. Bukan pemberantasan korupsi, tetapi penegakan hukum, Pendamping bukan melayani menteri, tetapi melayani dan mengorganisir desa.

Lokakarya diikuti oleh sekitar 30 orang dari Gunungkidul, Bantul, Magelang, Ambon, Kuningan, Serdang Berdagai, Berau, Manokwari. Mereka terdiri dari kepala desa, Bappeda, sampai Bupati.. @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Kuliah Umum “Keluar dari NEGARA JAKARTA Membentuk Ulang NEGARA INDONESIA”

Pindah ibu kota adalah hijrah untuk membuat sejarah masa depan. Tidak perlu berpikir dan berpendapat ala bakul plus tengkulak Jakarta yang hanya berhitung untung rugi. Hal itu dikatakan oleh Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko Yunanto, Rabu (4/9) pada kuliah umum bertema “Keluar dari Negara Jakarta Membentuk Ulang Negara Indonesia.” Kuliah umum diadakan di Ruang M. Soetopo, Kampus Desa Timoho, Yogyakarta, yang diikuti lebih dari seratus mahasiswa dan non mahasiswa.

Dalam kuliah umum yang dipandu Dr. Guno Tri Tjahjoko itu, Sutoro Eko menjelaskan berbagai isu antara lain: teori dan praktik pembentukan Negara, negaranisasi pemerintah govermentalisasi negara, transformasi dan mentalitas Negara Jakarta, arsitektur baru pemerintahan dan Negara Indonesia, dan posisi desa dalam Negara baru.

Pada awal kuliah umum, Ketua APMD itu member latar belakan tentang tujuan dan alas an Presiden Joko Widodo berkehendak memindahkan ibu kota sebagai bagian dari misi besarnya mengubah Jakarta-Jawa centris menuju Indonesia centris. Baik Presiden maupun Bappenas menyampaikan alas an pada fakta hilir yang kongkret dan kasat mata apa yang terjadi di Jakarta. Presiden sama sekali tak menyalahkan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan menurut catatan sejarawan, sejak zaman VOC sudah mengendalikan banjir tetapi juga menciptakan banjir.

Argumen para penolak ibu kota pindah cukup banyak. Mereka menggunakan argumen sejarah, politik, ekonomi, anggaran, dan legalitas. Pada argumen sejarah, Jakarta adalah legacy Bung Karno, terlalu bersejarah untuk ditinggalkan. Jakarta adalah warisan Batavia tetapi Jakarta bukan Batavia karena Bung Karno member citarasa Indonesia pada Jakarta. Argumen politik mengatakan Presiden tak bisa memutuskan sendiri pemindahan ibu kota tetapi harus melalui referendum. Mirip argumen politik, pada argumen legalitas, dikatakan keputusan presiden illegal karena tak menggunakan UU bersama DPR. Argumen ekonomi dan anggaran sebelas-dua belas, ekonomi sedang sulit, pindah ibu kota akan membebani anggaran Negara. Seorang influencer muda yang cerdas, kritis, hebat tetapi dangkal mengatakan bahwa pemindahan ibu kota mengonfirmasi kegagalan Jokowi memperbaiki Jakarta.

Sutoro Eko juga mengutip dua sahabatnya terkait pemindahan ibu kota. M. Barori, Ketua Yayasan Pendidikan 17 mengatakan pemindahan ibu kota bukan soal lingkungan, tetapi reformasi birokrasi secara radikal. Sementara Yando Zakaria, pegiat desa aktivis LSM, mengatakan pemindahan ibu kota Negara itu dalam konteks Indonesia adalah reproklamasi republik. Jadi tidak relevan dibahas dengan pendekatan teknokratik dan atau ekonomi semata.

Negara menurut “ilmu Negara” yang dipengaruhi oleh hukum, Negara adalah kesatuan (entitas) yang terdiri dari wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan pengakuan. Max Weber mengatakan Negara adalah satu masyarakat manusia yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara absah dalam suatu wilayah. Negara mempunyai dua fungsi utama yaitu law & order dan welfare.

Negara Jakarta:
Jakarta bukan sekadar provinsi, bukan pula sekadar ibu kota Negara Republik Indonesia. Jakarta adalah pusatnya pusat, mengandung unsur negara, kota dan modal, yang dibentuk dan disepuh terus dari zaman kolonial hingga zaman neoliberal dengan politik perang dan paksaan. Sutoro Eko menyebutnya sebagai Negara Jakarta. Ini bukan Negara dalam Negara. Tetapi Jakarta dan Negara adalah dua sisi mata uang. Sejarah, ekonomi-politik, budaya,ilmu pengetahuan, teknologi, globalisasi, sengketa politik, berkontribusi terhadap pembentukan Negara Jakarta. Karena itu, “Jakarta menciptakan Negara, Negara menciptakan Jakarta,” jelas Sutoro Eko.

Ketua APMD itu menggarisbawahi, setiap episode sejarah ( dari Kolonialisme Belanda, Nasionalisme Soekarno, Developmentalisme Soeharto, dan Neoliberalisme Reformasi) selalu menampilkan sosok ideologi menonjol yang berbeda, tetapi empat episode yang berbeda itu memiliki kesamaan yakni sentralisme. Nasionalisme sangat kontras dengan kolonialisme, tetapi keduanya adalah sentralisme. Apalagi, developmentalisme dan neoliberalisme, merupakan dua pewaris yang melanjutkan kolonialisme.

Sutoro Eko juga mengutip Susan Blackburn yang antara lain mengatakan selama 400 tahun, Jakarta hanya kota yang dibangun untuk memenuhi impian para penguasa dan kaum aristokrasi uang. Penguasa ingin Jakarta menjadi semacam model kota harapan mereka sendiri. Jakarta bukan milik dan untuk kehidupan bersama.

Sebagai seorang ilmuwan, Sutoro Eko wanti-wanti memberi preskripsi dan antisipasi terhadap berbagai konsekuensi yang tidak disengaja (unintended consequences), jebakan “musang berbulu domba” para penumpang gelap, maupun jebakan mesin anti-politik yang teknokratik-birokratik, yang menyertai kehadiran ibu kota baru. (Humas/Tass)

Mantap Bersinergi Membangun Bangsa

Acara serah terima peserta KKN periode 52 Tahun 2019 oleh Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta @sutoroeko kepada Kepala Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, berlangsung gayeng, hari ini (25/7). Mahasiswa KKN yang berjumlah 198 itu akan diterjunkan di 28 dukuh di Desa Pacarejo.

Ketua APMD dalam sambutannya mengatakan KKN mahasiswa APMD berbeda dengan mahasiswa kampus lain. Mahasiswa KKN diterjunkan untuk bergaul, belajar, bekerja dan berdesa. Berdesa adalah ciri APMD. Ketua menegaskan kunci sukses KKN adalah jika tak ada program plangisasi. “Itu program sejak 1990, KKN ini jangan ada program yang mundur tiga puluh tahun ke belakang,” tambah Ketua.

Menyinggung nama desa Pacarejo, Ketua teringat sebuah nama tempat di Jawa Barat yaitu Sukarame. Rejo itu ramai, pacar itu seseorang yang disukai. “Jadi pacar yang suka ramai. Namun jika sudah menjadi istri jadinya Bojo Galak,” seloroh Ketua APMD disambut tertawa hadirin termasuk Camat Semanu dan Koramil setempat.

Kepala Desa Pacarejo tak kalah semangat dalam menyambut kedatangan rombongan APMD. Dirinya sejak dilantik ingin berkunjung ke APMD untuk belajar ilmu desa. Ternyata gayung bersambut, malah mendapat mahasiswa KKN. Ini namanya jodoh, karena itu hubungan APMD dengan Pacarejo harus ditingkatkan dan dimantapkan. Sesuai slogan, “Kita Mantap Bersinergi Membangun Bangsa.”

Pembekalan KKN Reguler Periode 52

Pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) STPMD “APMD” Yogyakarta reguler 52 Tahun 2019 di Hall Selasa (23/7). KKN diikuti 198 mahasiswa dan akan diterjunkan ke Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul selama 50 hari dari 25 Juli sampai 12 September 2019

APMD Fasilitasi Seleksi Perangkat Desa

Sebagai kampus yang paling fokus tentang desa, APMD menjalin kerjasama dengan banyak Pemerintahan Desa. Kerjasama tak hanya di bidang peningkatan kapasitas perangkat desa, melainkan juga fasilitasi perekrutan perangkat desa. Seperti seleksi perangkat desa di Desa Giripurwo, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (14/7).

Pemaparan dan Workshop di Tapanuli Selatan

Tiga dosen APMD Drs. Suharyanto, MM., Ir. Muhammad Barori M.Si dan Drs. Hasto Wiyono, MS selama sekitar seminggu (7-12 Juli 2019) berada di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Banyak kegiatan yang dilakukan, antara adalah Pemaparan dan Workshop (Hasil Penilaian Tingkat Kemandirian Desa Lingkar Tambang) di PT AR Martabe Gold Mine.

Dra. MC. Ruswahyuningsih, M.A. Purna Tugas

Melepas dosen tercinta bu Iche dan menyambut dosen baru mas Hery di STPMD “APMD” Yogyakarta (5/7). “Saya dulu dilantik oleh pak Soetopo dan kini dilepas di Ruang Soetopo,” kata bu Iche. “Waktu saya masuk APMD, saya diwawancara oleh beberapa dosen termasuk bu Iche,” ujar Ketua APMD Dr. Sutoro Eko Yunanto. “Saat wawancara menjadi dosen itu, saya tak memakai kaos kaki dan rupanya menjadi bahan pembicaraan di antara para dosen. Dan bu Iche-lah yang membela dan mendukung saya,” lanjut Sutoro Eko. Terima kasih bu Iche telah menjadi bagian yang hebat dari kampus desa APMD.

BUMDes Quo Vadis? Melongok Seonggok Masalah di Ponggok

Diskusi membahas kasus BUMDes di Ponggok berlangsung di kantor Pemkab Klaten, Senin (1/7). Diikuti puluhan pengelola BUMDes, pendamping desa, perangkat desa dan dinas terkait se Kabupaten Klaten. Dua pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Sutoro Eko Yunanto dan Anom Surya Putra, SH., MH.

Di Klaten saat ini ada sekitar 391 BUMDes dan ada 294 atau 75 persen BUMDes cukup berkembang serta tujuh BUMDes dikategorikan maju termasuk dari Ponggok. Ponggok yang telah lama dikenal sebagai percontohan bagi BUMDes se Indonesia kali ini diterpa berita yang kurang sedap, terkait dugaan pengelolaan aset desa yang tak transparan.

Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta membawakan makalah dengan judul “BUMDesa Menantang Politik Isolasi Ekonomi di Medan Desa.” Mengawali pemaparan dengan memberi argumen BUMDesa bukanlah proyek mobilisasi untuk membuat Merpati (meralat ke bupat), Pedati (perintah dari bupati) jika tak diperintah tak jalan, dan Melati (menjadi ladang upeti).

BUMDesa bukan pula sekadar bisnis konvensional yang semata mempertimbangkan untung rugi dengan pendekatan manajerial dan akuntansi. Selain dua hal di atas, BUMDesa memiliki nilai dan semangat hadir sebagai korpirasi kerakyatan-kemandirian yang dikonsolidasi oleh desa menentang marginalisasi dan isolasi ekonomi.

Sutoro menjelaskan, BUMDesa itu mempunyai tiga A yaitu aset, aktor, dan arena. Aset adalah harta yang dimiliki. Aktor adalah mereka yang menjadi pengelola bisnis skala desa ini. Dan Arena adalah ruang di mana BUMDesa mestinya berkembang dan maju.
Sutoro juga menjelaskan secara historis dampak serius sejarah panjang desa 400 tahun, dari era kolonial sampai neoliberal. Salah satu arsitek UU Desa 6/2014 ini juga sekilas menjelaskan politik kekinian. Katanya, berbeda dengan UU lain yang cenderung teknokratis, UU Desa merupakan sebuah undang-undang yang pro politik.

BUMDesa dalam UU Desa juga dipaparkan termasuk paradoks implementasi UU Desa. Paradoks itu antara lain: semangat besar UU Desa direduksi menjadi proyek dana desa, kepala desa yang seharusnya menjadi pemimoin rakyat diarahkan menjadi mandor proyek, prakarsa desa biasa dibatasi dan dilarang dengan frasa “belum ada payung hukumnya,” “belum ada aturannya,” “aturannya melarang,” kecurigaan dan pengawasan jauh lebih menonjol ketimbang pembinaan dan pemberdayaan.

Pelajaran dari BUMDesa Sejati antara lain: Prakarsa lokal yang digerakkan oleh pemimpin desa, yang malakukan konsolidasi, melakukan subversi atas proyek sektoral misalnya “Wisata desa” menjadi “Desa Wisata” yang sanggup membawa desa mendunia.
Banyaknya tugas kepala desa, secara kelakar, menjadikan mereka mirip presiden. Jika presiden kerja kerja kerja, kalau kepala desa laporan, laporan, laporan. Namun, jika kepala desa salah, misalnya, ya dihukum. Tak perlu polisi dan jaksa ke desa, sampai minta rancangan anggaran desa.

Anom menyatakan pengelola BUMDes itu mestinya masa jabatannya selama enam tahun. Selama ini hanya tiga tahun. Tahun pertama masih bingung mau melakukan apa. Tahun kedua baru membuat program dan tahun ketigasudah ditagih laporan.

BUMDes itu menurut Anom mempunyai setidaknya tiga problem. Yaitu problem yuridis, problem manajerial dan ketiga problem yang ditimbulkan karena politik makro dan lokal. (humas/tass)

https://procseo.com/
https://procseo.com/
https://procseo.com/
Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?