Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr, Sutoro Eko Yunanto dan Direktur
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta Sunaji Zamroni
tampil menjadi narasumber lokakarya “Menggali Gagasan dalam Rangka
Memberikan Inputs RPJMN 2020-2024 Bidang Desa & Kewilayahan.”
Kegiatan Ini diselenggarakan oleh IRE di Hotel Santika Yogyakarta,
Selasa (10/9).
Dalam pemaparan background study report review
penyusunan RPJMN 2020-2024 lingkup daerah tertinggal, kawasan
perbatasan, desa dan kawasan perdesaan, dan transmigrasi, Sunaji
mengatakan fokus IRE hanya pada bidang desa dan kawasan perdesaan. Hasil
review atas background study yang dilakukan IRE menemukan bahwa
kedudukan desa masih dilihat dalam kacamata lama. Desa belum ditempatkan
dalam posisi yang otonom. Sehingga dalam beberapa aspek pembangunan
desa masih diatur oleh pemerintah supra desa,
Di samping itu IRE
menemukan beberapa aspek fundamental yang ada dalam UU Desa No. 6 Tahun
2014 belum diterjemahkan secara gamblang dalam background study yang
ada. Di antara aspek tersebut adalah tentang penataan desa, kewenangan
desa, dan aset desa. IRE ingin mengembalikan desa sebagai subyek
pembangunan berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Sementara
pemerintah supra desa perannya lebih banyak dalam hal pembinaan dan
pengawasan kepada desa melalui pembuatan pedoman, melakukan pembinaan,
bimbingan, supervisi, peningkatan kapasitas, fasilitasi, serta mendorong
percepatan pembangunan desa.
Sutoro Eko melalui pemaparan
berjudul “Kembalikan Jalan Lapang Perubahan Desa!” memulai dengan
menjelaskan empat jenis negara terkait dengan desa. Pertama negara
leviathan liberal: negara melenyapkan desa dari posisi kesatuan
masyarakat hukum seperti di Eropa Barat. Negara kolonial: negara
memperalat dan menghisap desa. Negara modernis-developmentalis: negara
membangun sambil merusak, memajukan sambil melemahkan. Negara semesta:
negara mengakui, menghormati, melindungi dan memperkuat desa.
Ketua APMD juga mejelaskan kontradisksi pelaksanaan UU Desa antara lain
telah mengalami simplifikasi dan reduksi hanya menjadi dana desa. Selain
itu, bukan politik rekognisi, subsidiaritas, demokratisasi dan
konsolidasi yang mengarahkan desa, melainkan oleh proyek, administrasi
dan aplikasi.
Terkait regulasi dan deregulasi, Sutoro Eko
mengutip Presiden Joko Widodo, “Kepala desa tidak sibuk mengurus rakyat,
tetapi sibuk mengurus laporan. Kita tidak boleh terjebak pada regulasi
yang kaku, yang formalitas, yang ruwet, yang rumit, yang basa-basi, yang
justru menyibukkan, yang meruwetkan masyarakat dan pelaku usaha,. Ini
harus kita hentikan. Sekali lagi, ini harus kita hentikan. Regulasi yang
tidak konsisten dan tumpang tindih antara satu dan lainnya harus
diselaraskan, disederhanakan dan dipangkas.”
Meskipun keinginan
presiden cukup jelas, namun kenyataanya, yang tidak perlu diatur malah
diatur ketat. Yang perlu pengaturan malah dibiarkan tidak diatur. Aturan
harus dilandasi prinsip hak, kewenangan dan kewajiban desa. Karena itu,
Presiden Jokowi mengatakan menteri tidak perlu membuat banyak program.
Cukup empat program. Selebihnya adalah pelayanan,
Menurut salah
satu perancang UU Desa ini, regulasi merupakan instrumen ekonomi-politik
birokrat, program merupakan instrumen ekonomi-politik teknokrat.
Program tidak pernah akan memperkuat sistem dan institusi, bahkan tidak
akan mengubah struktur sosial, melainkan hanya “menarik sapi kurus
dengan tali yang besar dan panjang” atau “hanya membangun istana pasir.”
Sementara itu, pelayanan merupakan jantung sistem-institusi yang
menjadi tugas utama pemerintah-negara dalam melindungi, memberdayakan
dan memperkuat desa.
Pada akhir pemaparan, Sutoro Eko menguraikan
pendekatan yang harus dilakukan. Bukan mengepung dengan pengawasan,
tetapi pembinaan melalui edukasi, fasiltasi, asistensi,dan pembelajaran.
Bukan mencekoki kades dengan proyek dan uang tetapi dengan politik dan
nilai. Bukan mutilasi dengan cara pandang dan titipan sektoral, tetapi
konsolidasi sistem desa. Bukan inovasi yang membuat desa jadi lokasi dan
obyek, tetapi reformasi desa. Bukan pencegahan korupsi, tetapi
demokratisasi. Bukan pemberantasan korupsi, tetapi penegakan hukum,
Pendamping bukan melayani menteri, tetapi melayani dan mengorganisir
desa.
Lokakarya diikuti oleh sekitar 30 orang dari Gunungkidul,
Bantul, Magelang, Ambon, Kuningan, Serdang Berdagai, Berau, Manokwari.
Mereka terdiri dari kepala desa, Bappeda, sampai Bupati.. @ Sekolah
Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”