Jajaran birokrasi dituntut untuk bersikap netral dalam Pemilu 2014 ini. Akan tetapi, bagi Dr. R. Widodo tri Putro,M.M. M.Si., dosen Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, tuntutan itu mengabaikan hakikat seorang birokrat yang pada dasarnya adalah manusia-subyek yang pasti memiliki pilihan politis. “Tuntutan agar birokrat netral berangkat dari paham bahwa birokrat pada dasarnya hanyalah mesin-perangkat teknis yang menjalankan kebijakan. Kenyataannya, birokrat bukanlah mesin. Birokrat itu subyek-manusia yang hidup. Jadi wajar kalau memiliki pilihan-pilihan politis. Karenanya, netralitas birokrat itu mitos!” Widodo mengatakan hal itu dalam Seminar Nasional bertajuk “KONSOLIDASI SIPIL UNTUK PENGUATAN HAK PILIH WARGA NEGARA DAN KELEMBAGAAN PEMILU 2014 YANG BERSIH DAN DEMOKRATIS” di Kampus STPMD Jogja.
Seminar ini diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD Jogja, bekerjasama dengan The Indonesian Power for Democracy (IPD) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Kamis, 3 April 2014).
Lebih lanjut, Doktor lulusan S3 Administrasi Publik UGM ini mengungkapkan, untuk mencegah agar birokrat tidak terlalu terlibat dalam politik praktis, yang diperlukan adalah sistem dan kebijakan yang transparan dalam proses rekrutmen, mutasi, dan promosi jabatan di segala level. Widodo menilai, kebijakan atau aturan yang ada selama ini cenderung menutup-nutupi proses itu, karenanya harus dibongkar dan diganti, sehingga menjadi transparan. “Mereka terlibat politik praktis karena berharap akan mendapat keuntungan, dan/ atau takut hukuman, dari kekuatan politik yang mungkin akan berkuasa!~” lanjutnya memberi alasan.
Hadir juga sebagai narasumber dalam seminar ini Gregorius Sahdan,SIP., M.A dari IPD , Didik Supriyanto dari PERLUDEM, dan Marwanto dari KPU Kulonprogo. Seminar ini diikuti lebih dari 150 undangan, terdiri dari dosen, mahasiswa, dan aktivis politik lainnya.