Pemberdayaan masyarakat masih cukup urgen menjadi landasan bagi korporasi melaksanakan CSR. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, ke depan hendaknya tak menambah regulasi terkait CSR agar tidak terjadi tumpang tindih. Itulah antara lain yang mengemuka pada webinar “Urgensi Peberdayaan Masyarakat Dalam Pelaksanaan CSR” yang diselenggarakan Prodi Ilmu Komunikasi dan Imako (24/11). Tampil sebagai pembicara Dr. Yuli Setyowati, M.Si (dosen Prodi Ilmu Komunikasi STPMD APMD) dan Agus Triyono S.I.Kom (Kepala Cabang Human Initiative, alumnus Prodi Ilmu Komunikasi STPMD APMD), serta moderator Tri Agus Susanto, S.Pd., M.Si.
Moderator mengantar diskusi dengan menyebut bahwa dari tema ada dua kata kunci yaitu pemberdayaan dan CSR. Pemberdayaan menurut John Friedmann (1992) merupakan bagian dari proses pembangunan alternatif menuju pertumbuhan ekonomi yang memadai, demokrasi inklusif, kesetaraan gender dan berkelanjutan. Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) menurut The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD) adalah “Komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas”. Moderator juga mengutip John Elkington (1997) yang mempopulerkan Triple Bottom Line yaitu economic prosperity, enveronmental quality dan social justice. Perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan 3P yaitu profit (ekonomi), people (sosial) dan planet (lingkungan).
Agus Triyono memaparkan pengalaman sebagai pegiat di Human Initiative Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia berpengalaman mengelola dana-dana CSR untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sebelum dilaksanakan CSR pada suatu komunitas atau masyarakat di suatu daerah, harus dilakukan pemetaan sosial. Pemetaan sosial adalah satu kegiatan yang dilakukan untuk menemukenali sosial budaya masyarakat lokal. Metode pemetaan sosial menurut Agus Triyono bisa dengan Parcipatory Rural Apraisal / PRA (pemantauan secara partisipatif), Rapid Apraisal (pemantauan cepat), atau Survey formal. Prinsip-prinsip PRA antara lain: keberpihakan, pemberdayaan, masyarakat sebagai pelaku, saling belajar & menghargai perbedaan, dan santai & informasi. Sementara itu teknik-teknik PRA juga dipaparkan Agus Triyono, antara lain: pemetaan desa, transek (penelusuran desa), diagram Venn (bagan hubungan kelembagaan), kalender musim, analisis mata pencaharian, dan analisis sebab-akibat.
Agus Troyono mengilustrasikan kisah tentang monyet dan banjir bandang. Seekor monyet yang baik hati ingin menolong ikan karena banjir bandang yang penuh lumpur. Ia menolong dengan mengangkat ikan itu ke pohon. Tentu saja ikan yang ditolong bukan selamat malah mati. Si monyet tidak tahu jika ikan hanya bisa hidup di air. Karena itu, tambah Agus Triyono, pemetaan sosial sangat penting, jangan sampai CSR salah sasaran. Agus Triyono mengakui mata kuliah yang dipelajari saat kuliah hingga saat ini berguna dan terus dipakai, antara lain Teknik Fasilitasi dan Metode Penelitian Sosial.
Kepala Cabang Human Initiative DIY itu juga menjelaskan empat karakter klaster berdaya. Inklusif, melibatkan seluruh komunitas tanpa membedakan kelompok dan tingkat tertentu dan merangkul kelompok marginal dan rentan. Solutif, berorientasi pada pengembangan berbasis masyarakat dan daerah yang potensial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perubahan, mendorong perubahan positif di masyarakat dan wilayah yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Inspiratif, mendorong setiap kebaikan yang diciptakan menjadi sumber inspirasi bagi orang lain.
Yuli Setyowati mengatakan bahwa kegagalan pembangunan melahirkan pemberdayaan sebagai alternatif. Pemberdayaan masyarakat merupakan paradigma alternatif pembangunan dengan tujuan membawa masyarakat kepada keberdayaan dan kemandirian. Pemberdayaan dapat dimaknai sebagai program dan proses. Sebagai program, pemberdayaan dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas, pengembangan rasa percaya diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuatan dari lingkungannya. Sebagai proses, pemberdayaan adalah usaha yang terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia.
Selanjutnya alumnus S3 Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat, Minat Studi CSR dari Universitas Sebelas Maret (UNS) itu menjelaskan tentang komunikasi pemberdayaan. Ketidaktahuan tidak sama dengan stupidity (kebodohan), berbeda dengan lack of intelligence (kurang cerdas), dan lain dari foolishness (kedunguan). Ketidaktahuan mengacu pada kurangnya informasi (lack of information) atau kurangnya pengetahuan (lack of knowledge). Ketidaktahuan menyebabkan masyarakat tidak sanggup memaksimalkan potensi yang dimiliki, tidak proaktif dan kreatif memanfaatkan sumber-sumber dan peluang yang tersedia.
Komunikasi yang memberdayakan, menurut doktor yang meneliti kampung preman itu, adalah proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau kolektif agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Proses komunikasi yang memanusiakan manusia, partisipatif dan menyuarakan pihak-pihak yang selama ini tak mampu bersuara (voicing the voiceless).
Bagaimana dengan pelaksanaan CSR? CSR tidak bisa dilepaskan dari praktik pemberdayaan masyarakat atau sering disebut dengan istilah community development. Community development secara eksplisit dalam CSR diukur berdasarkan kenaikan taraf kualitas atau mutu hidup dari masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi. Community development dilaksanakan oleh perusahaan dengan mengacu pada nilai keadilan dan kesetaraan atas kesempatan, pilihan partisipasi, timbal balik dan kebersamaan.
Pemberdayaan masyarakat dapat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting bagi perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan sebaliknya, sehingga tercipta modal sosial di lingkungan perusahaan. Inilah, kata Yuli Setyowati, yang menjadi prasyarat long life corporate yang seyogyanya menjadi dambaan setiap perusahaan.
Webinar kerjasama Prodi Ilmu Komunikasi dan Imako ini diikuti sekitar 210 peserta. Saat diskusi atau tanya jawab, peserta bisa bertanya langsung atau melalui chat. Ada sekitar tujuh orang peserta yang bertanya untuk kedua narasumber. Pertanyaan yang belum sempat terjawab karena waktu terbatas, diakomodasi dan akan dijawab pada webinar Komunikasi Pemberdayaan seri berikutnya. (Humas)