Masihkah desa mempunyai kewenangan? Itulah pertanyaan yang coba dijawab pada webinar Desa, Adat dan Quo Vadis UU Desa. Diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta (10/11). Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian acara Dies Natalis ke 56 Kampus Desa APMD.
Mansetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam paparannya berjudul Reclaiming Kewenangan Desa dalam Memperkuat Desa Adat menjelaskan, UU Desa kalah berhadapan dengan UU lain seperti UU Kehutanan, UU Minerba, UU Perkebunan, UU Wilayah Pesisir & Pulau Kecil, dan UU Cipta Kerja. Darto tidak menyebut UU Keistimewaan DIY yang juga mengalahkan UU Desa.
Menurut catatan Darto, fakta dan masalah agraria di desa kian mengkhawatirkan. Antara lain konflik di perkebunan, infrastruktur, hutan, tambang, dan lainnya. Akibatnya kehidupan di desa mengalami krisis, antara lain krisis ekologi, krisis air, krisis pangan, krisis energi, dan krisis tradisi berdesa. Darto yang alumnus APMD ini juga menggarisbawahi bahwa kepemilikan lahan kelapa sawit lebih banyak korporasi dibandingkan dengan petani.Ketua APMD
Sutoro Eko menyinggung UU Desa yang manjadi fondasi rekognisi dan subsidiaritas negara terhadap desa kian dikebiri melalui pendekatan teknokrasi yang mengabaikan kewenangan dan tradisi desa. Meski begitu, UU Desa mempunyai tiga hal penting. Pertama musyawarah desa, antara lain sebagai ruang untuk memproteksi desa. Dua, akses desa. Dan, ketiga pembangunan kawasan perdesaan.
Menanggapi data dari Darto tentang kepemilikan lahan petani kelapa sawit yang kalah jauh dibandingkan dengan korporasi, Sutoro Eko memberi contoh petani tembakau. Kepemilikan lahan petani tembakau di Kabupaten Temanggung mayoritas dimiliki oleh petani tembakau bukan korporasi. Itu sebabnya petani tembakau memiliki posisi tawar.Terkait upaya berbagai pihak untuk merebut kembali kewenangan desa, Sutoro Eko mengatakan, “Kemampuan itu penting, tapi keberanian lebih penting.” Warga juga perlu diorganisir untuk berani, tambah Ketua APMD yang saat webinar sedang berada di Papua.
Bekti Suryani, jurnalis Harian Jogja, mengajak kepada kita semua untuk jangan berhenti kritis dan jangan berhenti konsolidasi. Pasalnya, tambah alumnus Prodi Ilmu Pemerintahan ini, telah banyak contoh pembangunan yang berdampak pada warga desa. Korban pembangunan bandara Kulonprogo misalnya. Mereka asalnya petani selama ini hanya bertani, dan dijanjikan adanya pelatihan untuk berusaha di luar bertani. Namun kenyataannya tak sesuai janjinya.Webinar yang diikuti oleh sekitar 170 peserta ini, juga menghadirkan Maria Goroti, anggota DPD RI Dapil Kalimantan Barat dan Joash Tapiheru, dosen Fisipol UGM, dengan moderator Goris Sahdan. (Humas/Tass)