Terjebak di Balik Aplikasi: Bagaimana Regulasi Teknis Melemahkan Kewenangan Desa

Sejak UU No. 6/2014 berlaku, desa diharapkan benar-benar mandiri: bebas memilih program pembangunan sesuai kebutuhan lokal, dengan dana dari PADes, ADD, dan Dana Desa (Pasal 72). Tapi alih-alih mempermudah, satu per satu aturan teknis justru menumpuk dan membuat desa terjebak rutinitas administrasi. Mulai dari PP 43/2014 tentang pelaksanaan UU Desa dan PP 60/2014 tentang Dana Desa. lalu keduanya sering direvisi sampai Permendagri 113/2014 yang kini jadi 20/2018, semuanya menuntut proses yang begitu terinci hingga otonomi desa yang sesungguhnya semakin tergerus.
Pemerintah Desa harus mempelajari setiap aturan baru, padahal setiap revisi, meski katanya “memperbaiki” justru menambah rumit. Perhitungan besaran Dana Desa, penjadwalan pencairan, hingga sanksi otomatis jika melewati tenggat waktu, semua diatur hingga detil. Akibatnya, waktu dan tenaga aparat desa lebih banyak habis untuk memahami dan menyesuaikan beragam regulasi dibandingkan merancang dan menjalankan program nyata.
Musyawarah desa yang dulu sarat diskusi dan gagasan kini berubah menjadi ajang “cek draft RAB.” Warga hanya diundang untuk menyetujui anggaran yang sudah ter-input di aplikasi, tanpa ada peluang menambahkan usulan baru—meski usulan itu sangat dibutuhkan, seperti membuat embung penahan air atau posyandu keliling. Akhirnya, semangat bersama-sama mencari solusi lenyap, berganti formalitas tanda tangan dokumen.
Hasilnya, bendahara desa menghabiskan sekitar 60 % jam kerjanya hanya untuk urusan laporan: LPJ, realisasi bulanan, rekap RAB, hingga input data ke SISKEUDES. Energi yang seharusnya mendampingi petani, memonitor program padat karya, atau memacu UMKM malah tersedot oleh rutinitas mengetik angka—padahal inovasi sebenarnya sulit diukur lewat angka di layar komputer
Partisipasi warga pun menyusut. Banyak yang enggan menyampaikan ide, seperti membuat garam organik atau desa wisata, karena takut “tidak ada di menu aplikasi, jadi tidak masuk anggaran.” Padahal potensi lokal sering muncul dari kebutuhan dan kreativitas sehari-hari—namun pola “pilih-pilih” teknis membekap semangat itu
Kepala desa pun kerap disebut “mandor proyek.” Mereka lebih sibuk mengeksekusi petunjuk teknis—jadwal pencairan, validasi data, format dokumen—daripada memimpin strategi pembangunan. Ironisnya, pedoman BPKP yang diharapkan mendampingi malah mempertebal hierarki pengawasan hingga kecamatan, sehingga kepala desa kehilangan kebebasan mengambil keputusan terbaik bagi warganya (Sutoro et al., 2017).
Ini mirip konsep “hutan ilmiah” Peluso (2006), di mana orang harus izin dan membawa peta untuk memetik kayu. Desa kini diawasi lewat peta aplikasi dan regulasi teknis: setiap inisiatif pemberdayaan, seperti pelatihan padi organik atau revitalisasi seni tradisi, harus melewati labirin aturan. Desa sulit keluar dari pakem teknokratik, bak rakyat yang tak boleh bergerak tanpa izin
Meskipun pemerintah sering bilang “percaya pada desa,” nyatanya tiap saluran kepercayaan diiringi audit APIP, pemeriksaan inspektorat, dan ancaman sanksi. Kepala desa harus menyeimbangkan aspirasi warga dan tuntutan pusat—banyak inovasi akhirnya mati karena takut melanggar prosedur alih-alih mendorong kreativitas
Semangat gotong-royong dalam musyawarah desa juga memudar. Sekarang rapat cuma membahas kode rekening, anggaran, dan tenggat pencairan. Warga memandang musyawarah sebagai “sesi input data,” bukan forum diskusi aspiratif. Rasa kebersamaan yang dulu menjadi kekuatan desa kini tereduksi menjadi formalitas administratif
Padahal subsidiaritas memberikan hak menentukan program sendiri. Nyatanya aplikasi SISKEUDES memaksa format baku: protokol anggaran, pilihan kegiatan, dan indikator keberhasilan sudah ditentukan. Desa hanya memilih “menu” di layar, bukan merancang sendiri. Akhirnya, kewenangan lokal tinggal wacana, tanpa makna pemberdayaan (Permendagri No. 20/2018).
Dana Desa, yang semula menggantikan PNPM Mandiri berbasis partisipasi warga, kini berubah menjadi proyek administratif. Penilaian fokus pada kelengkapan dokumen, bukan dampak sosial. apakah kegiatan padat karya benar-benar mengurangi kemiskinan atau memperkuat kearifan lokal. Negara kini menilai desa lewat angka laporan, bukan kemajuan kesejahteraan nyata
Kontradiksi ini puncaknya: UU Desa bertujuan memberdayakan, namun regulasi teknis malah mengekang. Desa, yang seharusnya jadi aktor utama pembangunan, merancang, menjalankan, mengevaluasi program, justru berubah menjadi pelaksana belakang layar sistem. Ada jurang antara niat luhur undang-undang dan praktik di
Untuk mengembalikan semangat UU Desa, regulasi harus disederhanakan dan dibuat lebih fleksibel: modul aplikasi yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan lokal, lapisan pelaporan yang dipangkas, pelatihan berbasis praktik lapangan, serta BPD yang berfungsi menyalurkan aspirasi, bukan hanya menjadi saksi dokumen. Dengan begitu, Dana Desa bisa kembali menjadi alat pemberdayaan sejati
Akhirnya, agar “Desa Mandiri dan Demokratis” bukan sekadar slogan, desa harus diposisikan kembali sebagai subjek pembangunan: punya ruang politik nyata, partisipasi bermakna, dan pengelolaan keuangan yang tanggap pada kebutuhan lokal. Regulasi teknis perlu selaras dengan semangat rekognisi & subsidiaritas, memberi ruang bereksperimen, dan menghargai inisiatif komunitas, itulah fondasi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Desa semestinya menjadi laboratorium kemandirian dan diberi kewenangan penuh atas program dan anggaran sesuai kebutuhan lokal. Namun nyatanya, lapisan berlapis regulasi teknis (PP 43/2014, PP 60/2014, Permendagri 113/2014/20/2018) menenggelamkan otonomi itu dalam rutinitas administratif. Aparat desa lebih sibuk menyesuaikan RAB dengan kode dalam aplikasi SISKEUDES, menyiapkan beragam laporan, dan menghadapi audit ketat, daripada memimpin inovasi di lapangan. Musyawarah desa berubah menjadi formalitas validasi anggaran dan sosialisasi
Untuk mengembalikan fungsi sejati UU Desa, regulasi harus disederhanakan dan dibuat fleksibel: modul aplikasi yang responsif pada konteks lokal, pemangkasan laporan berulang, pelatihan praktik lapangan, serta peran BPD sebagai saluran aspirasi. Hanya dengan menyelaraskan teknis dan spirit rekognisi & subsidiaritas, Desa Mandiri dan Demokratis bukan lagi wacana, melainkan kenyataan yang mendasar bagi pembangunan nasional berkelanjutan.