Pemilu dan Kesadaran Politik Kewargaan

Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa TEROPONG Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta
Salah satu isu publik yang perlu mendapat perhatian serius dan penting untuk didiskursuskan bersama adalah menyangkut penyelenggaraan Pemilu. Pemilu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi.
Sebagai salah satu bentuk pengejawantahan demokrasi, Pemilu mesti menjadi momentum untuk mewujudkan demokrasi substansial, melampaui sekadar pelaksanaan demokrasi prosedural.
Esensi penting demokrasi adalah adanya pengakuan akan kedaulatan rakyat sebagai subjek politik yang memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan dan menentukan pilihan. Berbagai bentuk perbedaan, termasuk perbedaan memilih kandidat, dihormati dan dihargai.
Adanya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat sejauh tidak melanggar hukum. Di sana terdapat partisipasi rakyat yang timbul dari kesadaran, bukan karena paksaan atau tekanan. Sejatinya, dalam sistem kekuasaan demokrasi, kedaulatan tertinggi terletak pada rakyat.
Namun penting digarisbawahi, demokrasi bukan hanya dimaknai pada saat Pemilu yang rutin dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Terlalu sempit dan dangkal apabila kita memahami demokrasi sekadar Pemilu atau soal urusan menang dan kalah.
Akan tetapi, paling tidak kita memiliki kesadaran bahwa Pemilu merupakan suatu upaya membangun peradaban dan membentuk pemerintahan yang lebih bermartabat.
Menciptakan kebebasan serta keleluasaan pemilih dalam memilih dengan berlandaskan nilai-nilai kejujuran dan keadilan harus diupayakan dalam perhelatan Pemilu. Kita tentu saja mengharapkan Pemilu yang dapat mendorong terwujudnya demokrasi substansial, bukan hanya sekadar demokrasi prosedural, serta Pemilu yang mementingkan kedaulatan rakyat, bukan hanya keuntungan segelintir elit.

Pemilu Demokratis: Pentingnya Partisipasi dan Kontestasi yang Sehat
Kita berharap Pemilu dilaksanakan secara demokratis. Pemilu yang demokratis setidaknya harus memenuhi dua syarat penting yaitu dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat khususnya dalam konteks partisipasi dan kontestasi untuk memilih pemimpin yang amanah.
Pertama, partisipasi, yaitu ketika rakyat memilih bukan karena dimobilisasi oleh pihak eksternal dengan iming-iming imbalan tertentu —menerima uang, mendapat jabatan atau proyek misalkan—, melainkan karena kesadaran dalam dirinya sendiri untuk menggunakan hak politiknya sebagai warga negara.
Faktanya, selama ini partisipasi politik warga masih menimbulkan banyak persoalan yaitu adanya perilaku distortif atau menyimpang yang dilakukan para peserta Pemilu, seperti maraknya money politic, menyebar hoaks, ujaran kebencian, black campaign dan sebagainya.
Kedua, kontestasi. Dalam beberapa kali Pilkada, kita menyaksikan fenomena munculnya calon tunggal melawan kotak kosong. Bagi saya, fenomena ini merupakan bentuk kegagalan partai politik (Parpol), yang seharusnya menjadi jantung demokrasi.
Karena itu adalah suatu kemendesakan untuk melakukan reformasi Parpol. Eduardus Lemanto menilai bahwa Parpol kita telah bertransformasi menjadi ‘perusahaan politik’ (Perpol). Ketika Parpol bermetamorfosis menjadi Perpol, yang terjadi adalah kalkulasi untung-rugi, praktik jual beli, dan lain sebagainya.
Akibatnya, yang lahir dari Parpol adalah pegawai politik (white collar politician) yang menjadikan Parpol sebagai lapangan pekerjaan dan mengerdilkan makna politik semata-mata untuk kepentingan pribadi dan kelompok (Lemanto, 2017).
Partai politik belum mampu menyemaikan kader-kadernya untuk dikontestasikan dalam Pemilu, baik pemilihan presiden, pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah. Selain itu, partai politik kerap dikendalikan dan dibajak oleh pemilik modal.
Ketika usulan pencalonan kandidat Paslon menjadi kewenangan partai politik, maka partai politik lebih menguntungkan mereka yang memiliki modal ekonomi, serentak mendiskreditkan mereka yang sebaliknya.
Dampaknya, pelaksanaan Pemilu akan sangat sulit untuk mampu berkorelasi positif terhadap terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik karena biaya politik yang sangat mahal. Partai politik semestinya menerapkan sistem meritokrasi dalam proses perekrutan dan kaderisasi atau pun pengisian jabatan struktural dalam internal partai itu sendiri.
Dengan memberlakukan sistem meritokrasi, penilaian bukan lagi berdasarkan keturunan, kesamaan identitas suku, agama dan ras, atau melakukan praktik suap-menyuap yang mengandalkan modal finansial, melainkan berdasarkan kualifikasi, kinerja dan profesionalitas.

Sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik harus mampu membentuk kader atau anggota yang punya pemahaman ideologis, memiliki kapasitas dan kualitas nalar, kejernihan batin serta kebijaksanaan hidup untuk menjadi calon pemimpin yang bertarung dalam pemilu. Kalau partai politik sudah terbangun dengan baik, maka pasti menghadirkan kontestasi Pemilu yang sehat dan bermutu.
Menjaga Asa untuk Demokrasi yang Bermartabat
Kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya berhasil melangsungkan Pemilu secara demokratis, mengajak kita untuk melakukan pembenahan secara konkret dan serius. Perubahan memerlukan komitmen dan konsistensi semua anak bangsa untuk merawat dan menjaga agar struktur, baik suprastruktur maupun infrastruktur politik mampu bekerja secara efektif dan maksimal dan agar kedaulatan rakyat senantiasa terjaga.
Beberapa kondisi yang perlu diciptakan untuk Pemilu yang demokratis ke depan yaitu: Pertama, membangun rasa saling percaya dan kerja sama untuk mendorong lahirnya semangat transformasi politik demokratis ke arah yang lebih baik.
Kedua, adanya transformasi politik yang demokratis menekankan pentingnya membangun politik dan demokrasi pada basis nilai bangsa terutama nilai-nilai Pancasila. Desain institusi politik dan demokrasi harus dapat mengurangi biaya politik yang mahal.
Sejatinya politik adalah seni untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama. Politik sejatinya tidak kotor, tetapi karena pelaku atau orangnya saja yang tidak bersih dengan menghalalkan segala macam cara, termasuk yang buruk dan jahat sekalipun.

Ketiga, pendalaman demokrasi diarahkan untuk membangun institusi-institusi demokrasi agar lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, membuat kebijakan politik yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, mengurangi sifat egoisme yang hanya melayani diri sendiri dan kelompoknya saja serta menghilangkan kesenjangan sosial yang dapat menghambat proses demokrasi.
Pemilu yang demokratis berkelindan dengan pemerintahan yang demokratis pula. Begitu pun sebaliknya. Kita telah memilih sistem demokrasi karena dianggap sebagai suatu sistem politik yang ideal. Namun, seperti yang disampaikan Presiden Gus Dur, demokrasi bukanlah suatu sistem yang sudah final, melainkan selalu berada dalam proses.
Karena itu, kata dia, demokrasi harus terus diperjuangkan, meski harus berdarah-darah. Salah satu bentuk perjuangan mewujudkan atau mengejawantahkan demokrasi tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan Pemilu demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.