Menggali Akar Koperasi Merah Putih : Duplikasi Kebijakan Kolonial Yang Berlanjut

Presiden Prabowo Subianto menggagas program Koperasi Desa yang bernama Koperasi Desa Merah putih. Koperasi tersebut merupakan salah satu strategi yang dirasa mampu untuk mensejahterakan dan memperkuat ekonomi pedesaan di Seluruh Indonesia. Program ini menargetkan pembentukan koperasi di 70.000 hingga 80.000 desa dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga dan mencapai swasembada pangan nasional. Dengan adanya program ini, pemerintah berharap dapat menciptakan desa yang lebih berdaya saing, mandiri, sejahtera secara ekonomi melalui koperasi sebagai pilar utama pembangunan desa.
Melihat dari proyek ambisius Presiden Prabowo Subianto dalam membuat Koperasi Merah Putih di Desa tentunya tidak dapat mengabaikan prinsip pentingnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dijelaskan bahwa di dalam pembangunan sangat membutuhkan peran serta partisipasi masyarakat baik sebagai obyek maupun sebagai subyek pembangunan. Apa yang dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri maka sebaiknya merekalah yang mengerjakannya, karena mereka yang paling mengerti apa yang harus dilakukan dan apa yang dibutuhkan didalam lingkungan masyarakat itu sendiri sesuai yang ada pada potensi lokal yang ada pada wilayahnya.
Pembentukan Koperasi Merah Putih yang pembentukannya berasal dari atas ke bawah atau (top down ) bukan merupakan ide dari rakyat (bottom up) dan kemudian modalnya distimulasi oleh Pemerintah berasal dari sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Anggaran Pendapatan Belanja Desa dan dari sumber-sumber lainya seperti pemberian program kredit dari Bank plat merah atau Bank Milik Pemerintah. Hal ini tentunya merusak secara masif prinsip dan nilai-nilai yang ada pada koperasi. Gagasan Presiden Prabowo Subianto tersebut sama saja mengulang kembali pola kebijakan lama yang maksudnya adalah melakukan pembinaan namun justru sebetulnya menyiapkan pisau tajam untuk membunuh koperasi itu sendiri
Kebijakan yang dilakukan dalam koperasi merah putih saat ini adalah sama persis dengan kebijakan pada masa Kolonial. Melalui kekuasaan yang memaksa dari suprastruktur yaitu Negara, koperasi dihabisi ideologi dan prinsip demokrasinya. Dalam pembuatannya yang pada waktu itu digelontorkan dana dari kas Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui Hulp en Spaarbank. Tujuannya agar koperasi yang diprakasai dan dibentuk masyarakat gagal serta semakin memperkuat dan memperkokoh kekuatan – kekuatan bisnis para elite kolonial pada saat itu yang mengeruk sumberdaya alam didesa. Pada saat ini strategi yang dijalankan Pemerintah terlihat seperti mengulang kebijakan lama di Masa Pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu semua Badan Usaha Unit Desa (BUUD) digabungkan menjadi satu melebur menjadi Koperasi Unit Desa atau yang sering kita kenal KUD. Pola regulasi atau pengaturan berdirinya sama dengan Pemerintahan Orde Baru yang pada saat itu awal pendiriannya dibekali dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa yang tujuannya untuk mengkonsolidasikan seluruh badan usaha yang sudah ada di desa yang melebur ke dalam Koperasi Unit Desa dan dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara Melalui Perbankan yang kemudian dalam perjalanannya banyak yang mati suri yang akhirnya dicabut privilege-nya dengan dikeluarkanya Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 1998 yang berbunyi pendirian koperasi berdasarkan kebutuhan masyarakat (bottom up)
Koperasi Desa Merah Putih yang digagas oleh Pemerintah sekarang ini terjerat pada keadaan yang tidak baik. Bila kita lihat dengan kacamata secara makro, koperasi merah putih tersebut kebijakan pendiriannya dengan menggunakan regulasi yang sangat berbeda jauh dari sistem demokrasi ekonomi yang menjadi cita-cita luhur koperasi itu sendiri sesuai dengan amanat konstitusi. Sedangkan pada satu sisi, program untuk melakukan pembuatan koperasi justru berpeluang besar mendorong para mafia- mafia proyek untuk bermain dan melakukan pembinasaan kepada koperasi dan hal tersebut lebih cenderung besar menguntungkan makelar proyek ketimbang manfaatnya untuk masyarakat. Koperasi Unit Desa pada masa Orde Baru jelas mengalami kegagalan, disebabkan dari nilai-nilai dan ideologi yang terkandung pada pendirian organisasi koperasinya pun sangat diabaikan. Semua yang terkait dengan pengembangan organisasi koperasi pada saat itupun juga mengalami banyak intervensi, banyak motif-motif yang digunakan oleh pemangku kepentingan baik dari pusat hingga daerah untuk memperoleh fasilitas dari negara untuk pengembangan koperasi unit desa tersebut, tentu saja untuk menjadikan koperasi tersebut bermanfaat untuk kebutuhan rakyat rasanya sangat tidak mungkin, akibatnya merusak cara pandang masyarakat pada saat itu yang sebetulnya prinsip dan nilai koperasi sangat mulia kebermanfaatannya. Sehingga menjadikan perusahaan-perusahaan kapitalis lebih berkembang subur karena citra koperasi telah rusak.
Koperasi, apapun bentuknya, sudah semestinya dikembangkan menjadi organisasi yang baik. Koperasi itu adalah badan usaha yang merdeka dan secara administrasi publik merupakan badan hukum privat, persona ficta yang diakui oleh negara. Pemerintah tidak perlu banyak ikut campur cukup diberikan ruang yang kondusif untuk menjalankan agenda demokratisasi ekonomi sesuai kebutuhan. Sampai saat ini cara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Pusat bahkan kebijakan pemerintah tersebut tidak pernah dilakukan dengan bertukar gagasan atau ide dan ada proses diskusi dengan para ahli koperasi terkait dengan pendirian dan pengembangannya. Kegagalan yang sering dialami tersebut dalam membesarkan koperasi tentunya banyak dipengaruhi oleh berbagai sebab. Baik itu cara pandang, model regulasi maupun kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri yang terkesan memandang hanya proyek semata dan untuk kepentingan tertentu menyangkut popularitas penguasa. Penyebab terjadinya kerusakan dalam koperasi yang ada di Indonesi seharusnya menjadi catatan khusus bagi pemerintah agar kesalahan fatal tidak terulang kembali bila memang tujuan dari dibentuknya koperasi untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan dan popularitas penguasa semata.
Dari kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia saat ini justru terlihat sebagai pembuat sekaligus menghancurkan nama baik koperasi yang ada sesuai prinsip dan sesuai ideologi koperasi, pemerintah justru merusak citra dimata masyarakat sehingga masyarakat memandang buruk koperasi. Beberapa usaha-usaha rente yang hanya berkedok koperasi dengan menggunakan atas nama koperasi bahkan menggunakan papan-papan nama bertuliskan koperasi semua itu terpacu dan terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah itu sendiri. Pemerintah dalam membuat koperasi tidak mengerti cita-cita yang luhur dari koperasi itu sendiri sehingga marak sekali di masyarakat rentenir yang berkedok koperasi memanfaatkan kelemahan dari regulasi koperasi. Tentunya hal ini semakin menutup koperasi yang asli, koperasi sejati yang sesuai dengan prinsip kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Ditambah secara regulasi umum yang cenderung dikembangkan menggunakan sistem kapitalis daripada sistem demokrasi ekonomi, menghilangkan lahan subur bagi tumbuh kembang koperasi yang sebenarnya atas asas kekeluargaan. Cara tersebut sama persis dengan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial dalam merusak Koperasi sebagai kekuatan ekonomi Bngsa ini melawan dominasi kapitalis
Gagasan Koperasi Desa Merah Putih diagung-agungkan oleh Pemerintah Pusat menjadi kebijakan yang seolah – olah berpihak kepada rakyat. Para Menteri yang diberikan ketugasan untuk mendirikan Koperasi desa merah putih ini mulai bicara ngawur dan tidak logis dengan membebankan berbagai macam persoalan besar negara kepada lembaga yang tidak jelas konsepnya. Isu-isu seperti kemiskinan, pengangguran dan kesejahteraan ekonomi dapat diselesaikan oleh koperasi merah Putih. Koperasi memang dapat memerangi kemiskinan, pengangguran dan kesejahteraan ekonomi namun harus melalui mekanisme partisipasi masyarakat secara mandiri dan sesuai kebutuhan masyarakat bukan intervensi dari atas kebawah (dari Pemerintah Pusat ke Desa ).
Opini yang terlihat spektakuler dan angan-angan yang tidak masuk akal dari para menteri yang mengawal berdirinya Koperasi desa merah putih ini sangat tidak realistis. Di gambarkan bahwa koperasi merah putih setelah dibentuk dan dikembangkan akan menghasilkan menghasilkan keuntungan 2000 (dua ribu) trilyun rupiah dari modal Rp 400 (empat ratus) trilyun sebagai modal awal, akan dapat mengurangi pengangguran sebesar 8 (delapan) juta orang. Bila disimak secara bersama tentunya hal itu sama dengan janji politisi dimasa pencalonan saat pemilu, dan tidak patut diucapkan oleh pejabat publik. Koperasi desa merah putih yang digagas oleh Pemerintahan Prabowo dari segi konsep saja sudah salah dari awal dan hanya menduplikasi ide usang yang gagal total seperti Koperasi Unit Desa (KUD). Tentunya hal ini menjadi beban besar bagi anggaran negara, sungguh ironis dan sangat memalukan di satu sisi rakyat dibebankan dengan kenaikan pajak tinggi disisi lain Pemerintah Pusat menghambur-hamburkan anggaran untuk hal yang bersifat populis bagi penguasa. Padahal bila dilihat dari konsep, sumber modalnya dan core bisnisnya saja Koperasi Desa Merah Putih belum jelas.
Kenapa beban besar Bangsa ini tidak dibebankan kepada perusahan plat merah negara saja melalui Badan Pengelola Investasi Danantara yang sudah jelas modalnya, core bisnisnya, dan juga regulasinya? Kenapa harus dibebankan kepada Koperasi desa merah putih, lembaga kecil yang baru dilevel gagasan saja sudah tidak jelas? Kalaupun memang sumber modalnya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, tentunya sangat berat untuk direalisasi, mengingat Pemerintah saat ini sedang menghadapi defisit neraca pembayaran, untuk membayar bunga hutang yang sudah jatuh tempo kepada bank dunia saja tidak mampu harus berhutang kembali dan menaikkan pajak yang dibebankan kepada rakyat.
Jika sumber modalnya itu berasal dari APBDesa sama saja halnya seperti membenturkan dengan lembaga BUMDesa yang saat sudah eksis terlebih dahulu dan lebih jelas payung hukumnya yaitu Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 serta jumlah modal untuk BUMdesa lebih kecil, dikarenakan dana desa dari seluruh desa di Indonesia yang dialokasikan sekitar 70 trilyun dan dibagi seluruh desa kurang lebih hanya satu milyar per desa dan alokasinya dana desa tersebut penggunaanya bukan hanya murni untuk BUMDesa tetapi juga dibagi dan digunakan untuk proyek-proyek pembangunan lainya seperti BLT, Stunting dan Infrastruktur. Sementara itu, jika menggunakan skema kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada perbankan berplat merah misalnya, maka tentu akan berbenturan dengan kebijakan prudential dari Bank milik negara tersebut. Hal ini sangat tidak realistis cenderung menabrak dan melanggar aturan yang sudah ada.
Kalau memang serius, mengapa tidak memperlakukan Koperasi desa ini sama halnya seperti yang dilalukan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara dengan lakukan mekanisme inbreng (pengalihan/penyerahan) asset negara kepada perseroan Badan Usaha Milik Negara yang selama ini dilakukan? Mengapa dalam upaya memprivatisasi Badan Usaha Milik Negara untuk kepentingan elite selalu didukung penuh habis-habisan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan untuk rakyat hanya diberi janji? Hal ini berarti pemerintah dengan secara sengaja hanya membuat janji manis kepada rakyat dan memberikan harapan semu kepada rakyat sedangkan mereka para pejabat dan elite sedang berupaya melakukan perampasan asset milik rakyat secara besar-besaran melalui Badan Pengelola Investasi Danantara melalui mekanisme inbreng dan privatisasi.