Membangun Tradisi Melalui Gerakan Sosial: Menjawab Tantangan Pengelolaan Sampah

Penulis: Heri Purnomo

Sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan yang terus menjadi tantangan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meskipun berbagai regulasi telah diterapkan oleh pemerintah, kondisi lapangan menunjukkan bahwa persoalan ini belum sepenuhnya teratasi. Dalam konteks tersebut, perlu dicari pendekatan lain yang lebih menyentuh akar persoalan, salah satunya melalui gerakan sosial yang melibatkan masyarakat secara aktif.
Kebijakan dan Realisasi di Lapangan
Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah DIY dan pemerintah kabupaten/kota di sekitarnya untuk menangani persoalan sampah. Di tingkat provinsi, terdapat Peraturan Gubernur (Pergub DIY), sedangkan kabupaten/kota seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Wali Kota (Perwal). Langkah konkret di lapangan pun telah dilakukan, antara lain dengan pembentukan kelompok Bank Sampah, pembangunan fasilitas pengelolaan sampah, serta penyelenggaraan pelatihan kepada masyarakat. Namun demikian, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa permasalahan sampah masih belum terselesaikan secara menyeluruh. Hal ini menunjukkan perlunya strategi baru yang lebih menekankan pada peran aktif masyarakat.
Gerakan Sosial sebagai Kekuatan Penggerak
Gerakan sosial dapat dipahami sebagai upaya bersama dari sekelompok orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama untuk berinteraksi secara berkelanjutan dengan para pemangku kebijakan, otoritas, dan bahkan pihak yang dianggap berlawanan. Dalam konteks isu lingkungan, khususnya pengelolaan sampah, gerakan sosial bisa menjadi alat tekanan (pressure group) yang mendorong pemerintah agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, gerakan sosial berfungsi menjembatani kesenjangan antara kebijakan yang bersifat top-down dengan kebutuhan nyata masyarakat sehari-hari. Ketika pendekatan birokratis tak sepenuhnya menjangkau masyarakat akar rumput, maka keterlibatan masyarakat melalui gerakan sosial menjadi solusi strategis.
Dua Pendekatan dalam Gerakan Sosial
Dalam studi sosiologi, terdapat dua sudut pandang utama dalam memahami gerakan sosial, yaitu pendekatan klasik dan kontemporer. Pendekatan Klasik melihat gerakan sosial sebagai respon terhadap permasalahan yang langsung memengaruhi individu atau kelompok. Orang cenderung terlibat karena merasa terdampak oleh suatu isu, seperti ketidaknyamanan akibat sampah yang tidak tertangani. Pendekatan kontemporer lebih menekankan pada aspek struktural dan kolektif dari sebuah gerakan. Ia memperhatikan bagaimana sistem politik, ekonomi, dan ketersediaan sumber daya mempengaruhi terbentuknya gerakan sosial. Pendekatan ini juga membahas strategi mobilisasi dan organisasi dalam mencapai tujuan gerakan. Kedua pendekatan ini bisa digunakan secara bersamaan dalam memahami dan merancang gerakan sosial terkait sampah. Secara mikro, kita memahami bahwa masyarakat tergerak karena terdampak langsung, sementara secara makro, kita bisa merancang strategi yang terstruktur untuk memperkuat gerakan tersebut. Sampah bukan hanya soal kebijakan dan infrastruktur, tetapi menyangkut perilaku dan budaya masyarakat. Banyak masyarakat yang masih memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan, dan minimnya kesadaran untuk memilah sampah juga menjadi kendala. Ini menunjukkan bahwa solusi teknis saja tidak memadai. Harus ada pendekatan kultural yang membentuk kebiasaan baru melalui proses sosial. Karena sampah dihasilkan setiap hari oleh setiap individu, maka menjadikan isu ini sebagai dasar gerakan sosial adalah langkah yang tepat. Ia merupakan masalah bersama yang bisa dijadikan titik temu bagi beragam lapisan masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi.
Strategi Gerakan Sosial dalam Menumbuhkan Tradisi Baru
Agar gerakan sosial bisa menjadi alternatif nyata dalam mengatasi persoalan sampah, beberapa strategi bisa diterapkan, yaitu (1) Meningkatkan kesadaran kolektif. Edukasi publik sangat penting, misalnya melalui kampanye lingkungan, lomba kebersihan, pelatihan bank sampah, dan pengenalan gaya hidup minim sampah (zero waste) kepada masyarakat luas. (2) Membangun organisasi yang responsif. Komunitas lokal seperti karang taruna, kelompok PKK, atau relawan lingkungan bisa menjadi motor penggerak. Gerakan sosial memerlukan struktur yang adaptif dan mampu bertahan dalam jangka panjang. (3) Mendorong kolaborasi lintas sektor, sinergi dengan pemerintah daerah, pelaku usaha, dan organisasi non-pemerintah bisa meningkatkan kapasitas dan cakupan gerakan. Kolaborasi akan mempercepat dampak dari perubahan yang diupayakan. (4) Memanfaatkan teknologi informasi,penggunaan media sosial, aplikasi pelaporan, atau sistem pemetaan digital dapat meningkatkan efisiensi gerakan. Informasi dapat disebar lebih cepat dan jangkauan edukasi bisa diperluas secara signifikan. Membentuk Identitas dan budaya baru, gerakan sosial akan lebih kuat jika memiliki simbol, narasi, atau budaya yang dapat dengan mudah diterima masyarakat.

Kesimpulan
Persoalan sampah tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan administratif. Partisipasi aktif masyarakat melalui gerakan sosial sangat penting untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan. Gerakan sosial tidak hanya menjadi tekanan bagi pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi kekuatan yang mampu mendorong tumbuhnya budaya baru yang peduli terhadap lingkungan. Dengan menggabungkan pendekatan klasik dan kontemporer, serta memberdayakan potensi lokal, kita bisa mulai membentuk sebuah tradisi baru: tradisi masyarakat yang bertanggung jawab terhadap sampah dan lingkungan hidupnya. Dengan demikian, kita tidak hanya mengatasi masalah jangka pendek, tetapi juga menanamkan nilai keberlanjutan untuk generasi mendatang.