Koperasi Desa atau Kuperasi Desa?

Penulis : Minardi

Musren (Musrenbangdes) menjadi tidak menarik, karena semua sudah diatur Pusat, demikian ungkapan dari seorang Kepala Desa di Jawa Tengah. Ungkapan tersebut muncul pada saat diskusi tentang rencana pemerintah menjalankan program Koperasi Desa. Nampaknya ungkapan Kepala Desa tidak jauh berbeda dengan suasana hati yang dirasakan oleh Pemerintah Desa, baik Kepala Desa maupun Perangkat Desa lainnya.
Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sedang tranding topik dengan mendapat tanggapan yang beragam. Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Kabupaten/Kota menggelar sosialisasi pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Para Camat kemudian meneruskan menjadi pemateri dalam Musyawarah Desa Khusus (Musdesus) pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di tingkat desa. Keberadaan Koperasi tersebut seakan sinar fajar mentari yang akan menyelasaikan segala problemarika perekonomian di desa. Koperasi Desa Merah Putih adalah Titah Raja yang wajib dilaksanakan, berdosa jika mengabaikan, walaupun sebenarnya tidak suci.
Posisi Kepala Desa berada di persimpamgan jalan, ragu-ragu dan bimbang untuk melaksanakan. Sikap Pemerintah Desa ada yang tidak sepakat, ada yang netral karena takut bersikap dan sepakat karena terpaksa. Sikap tidak sepakat memandang Koperasi Desa merupakan program dari Pusat yang memaksa. Pemerintah Desa berharap diberikan keleluasaan dalam menentukan nasib rumah tangganya sendiri. Amanah dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang kemudian direvisi Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bercita-cita agar Desa menjadi kuat, mandiri dan berdaya secara ekonomi. Namun kenyataannya Pemerintah Desa dipaksa melaksanakan banyak program dari Pusat, mengatur poin-poin dalam penggunaan Dana Desa sampai membuat sibuk dengan laporan. Musyawarah Desa dan Musrenbangdes yang seyogyanya menjadi ajang politik desa, tidak lagi memiliki kedaulatan, karena sudah diarahkan sebagaimana perintah-perintah dari Pusat.
Desa Digagalkan Menuju Berdaya Secara Ekonomi
Cita-cita luhur lahirnya UU Desa dirangkum dalam Catur Sakti Desa: Bertenaga secara Sosial; Berdaulat secara Politik; Berdaya secara Sosial dan Bermartabat secara Budaya. Mengapa demikian? Karena sejak lahirnya Indonesia posisi desa tidak pernah dimuliakan. Desa masih menjadi objek dan lahan bagi program-program yang digelontorkan Pemerintah Pusat. Maka adanya UU Desa ini diharapkan posisi desa dimuliakan, khususnya bidang ekonomi. Bidang ekonomi harus seimbang dengan politik, sosial dan budaya. Sejak lama Indonesia mencanangkan koperasi sebagai agul-agul program perekonomian Indonesia. Namun lambat laun berjalannya waktu, keberadaan koperasi tidak mampu menjawab problematika perekonomian yang semakin berkembang dan kompleks. Maka di awal lahirnya UU Desa, muncullah kata BUM Desa sebagai terobosan baru dalam kemandirian ekonomi desa.
Perdebatan tentang Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) terus mengemuka. Badan hukum dan penyertaaan modal ke dalam BUM Desa menjadi isu utama perdebatan. Para pegiat koperasi melontarkan kritik bahwa perseroan tidak tepat menjadi badan hukum bagi BUM Desa sebab badan ini bersifat padat modal, mengarah pada privatisasi dan tidak berpihak pada masyarakat desa. Sebaliknya mereka merekomendasikan bahwa koperasi merupakan satu-satunya badan hukum yang tepat bagi BUM Desa sebab koperasi mempunyai sandaran konstitusional yang kokoh dan secara sosiologis lebih mencerminkan semangat gotong royong.
Hakekat BUM Desa berbeda dengan hakekat koperasi. Sehingga kemudian banyak orang bahkan pemangku kebijakan tidak mampu mendudukan posisi BUM Desa dengan koperasi dengan tepat. Koperasi bukan sekedar pelarian dari BUM Desa ketika mangkrak, begitu pula sebaliknya, BUM Desa bukan pelarian dari koperasi ketika bangkrut. Terdapat empat perbedaan mendasar antara BUM Desa dengan koperasi:
Pertama, BUM Desa dibentuk dengan perbuatan hukum publik, yakni melalui Peraturan Desa yang disepakati dalam musyawarah desa. Koperasi merupakan institusi hukum privat, yakni dibentuk oleh kumpulan orang per orang, yang semuanya berkedudukan setara sebagai anggota. 
Kedua, seperti halnya BUMN, modal BUM Desa berangkat dari kekayaan desa yang dipisahkan. Koperasi berangkat dari simpanan pokok dan wajib dari anggota, yang kemudian juga membuka penyertaan modal dari pihak lain. 
Ketiga, BUM Desa merupakan campuran antara pelayanan umum dan kegiatan usaha ekonomi; koperasi merupakan institusi dan gerakan ekonomi rakyat. 
Keempat, BUM Desa dibentuk untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan desa, memenuhi kebutuhan masyarakat Desa dan mendayagunakan sumberdaya ekonomi lokal. Koperasi dibentuk untuk mengembangkan kekuatan dan memajukan kesejahteraan anggota.
Antara BUM Desa dan koperasi sama-sama menghadapi permasalahan yang sama. Pertama, adanya perampasan oleh elite (elite capture) sehingga terjadi kebangkrutan. Urusan ekonomi, berurusan dengan uang, maka tidak hanya koperasi, BUM Desa akan terjangkit penyakit yang sama.
Kedua, secara tiba-tiba para penumpang gelap (free rider), entah titipan maupun orang jahat yang ingin melancarkan aksinya. Membuat banyak BUM Desa dan koperasi abal-abal, yang tidak mencerminkan spirit kegotongroyongan dan kerakyatan.
Ketiga, sudah banyak BUM Desa dan koperasi yang dimobilisasi oleh pemerintah sehingga mati. Pemerintah Desa terpaksa membuat BUM Desa maupun koperasi dengan separangkat aturan main, sehingga Desa tidak leluasa untuk mengeksplorasi inovasi dan kreativitasnya.
Baru sedikit BUM Desa yang berhasil, dan lebih banyak BUM Desa hanya papan nama. Namun keberadaannya jauh lebih menjiwai spirit UU Desa dengan rekognisi dan subsidiaritas. Jika koperasi hanya oleh anggota dan untuk anggota maka BUM Desa jauh luas lagi, yakni dari dan untuk seluruh warga desa. Ada sebuah kisah di Lereng Merapi yang setiap tahun menghasilkan panen salak yang melimpah. Karena dahulu terjadi kekeliruan dalam manajemen pembibitan, sehingga harga salak selalu jatuh. Dalam menyiasati kemerosatan harga, beberapa warga membuat koperasi salak yang salah satu usahanya ekspor salak ke luar negeri. Jika dilihat menarik, dengan harapan sebagian besar salak petani dijual ke luar negeri dengan harga yang layak sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Namun kenyataannya tidak demikian, ternyata salak yang dibeli hanya salak milik anggota koperasi saja. Salak selain milik anggota koperasi, tidak masuk jangkauan untuk dibeli koperasi.
Saat kick off, terdapat kesan bahwa BUM Desa harus tunduk dan dibawah koperasi. Terlebih bagi BUM Desa yang telah mangkrak, wajib diambil alih oleh koperasi atau minimal posisi BUM Desa bisa dibawah Koperasi Desa Merah Putih. Ini jelas kelucuan yang akan dianggap normal, mengapa? Secara hakekat saja jelas berbeda, yang BUM Desa milik seluruh warga desa, yang koperasi hanya milik segelintir orang.
Dilihat dari segi permodalan, Koperasi Desa Merah Putih mengambil modal dari mana? Sesuai ketentuan Diktum Kedelapan Intruksi Presiden (Inpres) 9/2025, Koperasi Merah Putih dibiayai Dana Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), lalu dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Kembali, Dana Desa dirusuhi oleh kebijakan-kebijakan supra desa dengan aturan alokasi yang semakin membuat Pemerintah Desa terkekang. Dana Desa yang seharusnya terfokus dalam empat kewenangan desa: pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan harus ditambah seabrek perintah atasan.
Mencoba Membangun Pola Harmoni
BUM Desa dan koperasi terdapat titik temu, yang perlu ditempatkan pada tempatnya tanpa saling digesekkan. Terdapat beberapa pola tarian antara Koperasi Desa Merah Putih dengan BUM Desa agar bisa berjalan beriringan.
Pertama, BUMDesa dan koperasi berbagi modal dan hasil. Modal BUM Desa dapat dibagi menjadi: 60% dari pemerintah desa, 20% koperasi, dan 20% lainnya dari unsur-unsur masyarakat setempat. Model ini mencerminkan sebuah kegotongroyongan kolektif tanpa harus melibatkan pemodal besar dari luar. Karena minimal harus 51% modal BUM Desa harus dikuasai oleh Pemerintah Desa. Karena berkaitan dengan kebiasaan ekonomi bahwa pemilik saham mayoritas adalah penguasa.
Kedua, koperasi desa tanpa BUM Desa. Desa tidak harus mendirikan BUM Desa tetapi dapat membangun koperasi desa. Pemerintah desa mengorganisir seluruh warga desa secara sukarela membentuk koperasi. Ini bukan koperasi milik desa, melainkan milik warga desa yang semuanya berdiri setara sebagai anggota. Koperasi desa ini berbadan hukum, yang bisa menjalankan usaha ekonomi desa secara leluasa, jelas dan legal. Pemerintah desa dapat memberikan hibah dan penyertaaan modal kepada koperasi desa, sehingga memperoleh pendapatan asli desa. Namun desa tidak dapat memisahkan kekayaan desa kepada koperasi desa, kecuali dengan skema kerjasama pemanfataan. Selain itu, juga tidak masuk akal kalau koperasi desa membangun dan mengelola air bersih dan listrik desa untuk melayani semua warga masyarakat desa yang bukan anggota.
Ketiga, BUM Desa dan koperasi desa berjalan bersama dan berbagi tugas. BUM Desa, tanpa harus berbadan hukum, dapat memanfaatkan aset desa dan sumberdaya milik bersama (seperti air, embung, tenaga surya, telaga, sungai) untuk melayani kebutuhan masyarakat dan pengembangan desa wisata. Koperasi desa dapat dibentuk seperti model kedua, yang menjalankan usaha dan gerakan ekonomi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat  tanpa harus menghadapi kesulitan badan hukum.
Desa Wunut Berdaya Secara Ekonomi
Perbedaan antara Koperasi Desa Merah Putih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa terlihat di Desa Wunut, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hakikat dari BUMDes adalah milik seluruh warga desa, bukan sekedar dari anggota dan untuk anggota sebagaimana prinsip Koperasi seperti kisah salak tadi.
Di Desa Wunut, seluruh warga desa bisa menikmati kebermanfaatan dari adanya BUMDes. Seperti terlihat menjelang lebaran tahun 2025 ini saja setiap warga mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) sebesar Rp.200.000. Pembagian THR untuk 2.289 jiwa. Totalnya Rp 457.800.000 dan ini sudah tahun ketiga sejak tahun 2023.
Warga miskin yang belum tercover bantuan pemerintah kita berikan bantuan pangan berupa beras 10 kilogram per bulan dari BUMDes Sumber Kamulyan. Di awal tahun kemarin warga miskin juga kita berikan zakat sekitar 200 orang per orang Rp.600.000. Per tahun menyediakan sekitar hampir Rp.900.000.000 untuk BPJS, tengok orang sakit Rp.500.000. Yang tidak bisa diikutkan BPJS ketenagakerjaan jika meninggal disantuni Rp.10.000.000. Kebermanfaatan yang diterima warga Desa Wunut bersumber dari Pendapatan Asli Desa (PADes) dari pengelolaan objek wisata Umbul Pelem Water Park yang sudah menghasilkan Rp 25 Milyar.
Objek wisata Umbul Pelem Water Park mulai dirintis pembangunannya tahun 2016 dengan dana desa. Tahun 2018 kemudian dibuka dengan modal awal 2,4 Milyar yang bersumber dari Dana Desa.