Gelar Tak Lagi Sakti: Benturan Disonansi Pendidikan dan Ilusi Dunia Industri

Sarjana pengangguran, generasi cemas Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan universitas mencapai sekitar 5,63%, lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA dan SMP. Data BKN menunjukkan dari 250.407 formasi CPNS yang tersedia, diperebutkan oleh 3.572.414 pendaftar. Tidak hanya CPNS, hampir lowongan pekerjaan disesaki pelamar. Salah satu potret kasus pelamar kerja yang membludak di tahun 2024 terjadi di warung seblak di Ciamis, Jawa Barat. Mereka membuka 20 lowongan kerja. Owner warung seblak, Satria Maulana, tidak menyangka pelamarnya hingga 220 pendaftar. Di tempat lain, ribuan pelamar memperebutkan puluhan posisi lowongan kerja di pabrik. Tidak sedikit, sebagian dari pelamar adalah para sarjana hingga lulusan pascasarjana, S2. Kisah viral antrean pelamar yang mengular di setiap pembukaan lowongan kerja terdokumentasi apik di berbagai platform sosial media. Rangkaian peristiwa itu menjadi catatan sejarah dan potret nyata besarnya angka cadangan pekerja di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan di negeri ini. Dinamika sarjana pengangguran semakin meresahkan, berbagai spekulasi dipertentangkan, legacy perguruan tinggi dipertanyakan, hingga mewabahnya cognitive dissonance pendidikan. Fakta ini mengingatkan kita pada pemikiran Joseph Schumpeter mengenai over educated people akibat kapitalisasi pendidikan. Ia memperingatkan mengenai ketegangan sosial dan revolusi akibat terlalu banyak orang terdidik yang tidak terserap dunia kerja. Di Indonesia, hal itu semakin terpampang nyata. Bahaya revolusi yang diramalkan Schumpeter terasa semakin dekat.
Pengangguran bukan hal baru, namun big data sarjana menganggur kian meresahkan. Spekulasi atas penyebab tingginya angka sarjana pengangguran menjadi diskusi bahkan dikursus kebijakan. Pemerintah memperkirakan bahwa sarjana pengangguran diakibatkan oleh disorientasi kurikulum perkuliahan dan kebutuhan dunia kerja. Mahasiswa dianggap telah dibebani dengan mata kuliah yang tidak relevan dengan bidang pekerjaan yang mereka incar. Sehingga, saat lulus, mereka tidak siap kerja, tidak memiliki pengalaman kerja atau kurangnya jiwa kewirausahaan. Data BPS menunjukkan bahwa banyak sarjana yang justru menganggur setelah menyelesaikan studinya. Data itu memicu agar kurikulum perguruan tinggi bisa menjadi fondasi utama dalam mencetak lulusan yang siap bersaing di dunia kerja. Maka, ditawarkan resep, kurikulum perguruan tinggi yang selaras dengan kebutuhan industri. Bertujuan agar lulusan memiliki keterampilan teknis maupun soft skills dan siap kerja setelah lulus.
Melalui kebijakan, kurikulum tidak hanya fokus pada teori namun juga harus memperhatikan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Resep ini diadopsi secara radikal dalam kurikulum merdeka. Di tengah semangat “merdeka belajar”, Kurikulum Merdeka justru kian vulgar menekankan pentingnya keterampilan vokasional, keterampilan teknis, dan adaptif terhadap dunia industri (Dudi). Konstruksi ini sukses menempatkan perguruan tinggi sebagai “pabrik” tenaga kerja, sekaligus melahirkan jutaan kaum urban. Tentu, industrialisasi menciptakan warga kota dan menjauhkan generasi sarjana dari lokus pedesaan. Pendidikan kian menjadi utilitarian, kebaikan diukur dari seberapa besar sumbangannya terhadap economic demand, bukan aspek humanistik. Pembelajaran sering kali diarahkan pada tujuan pragmatis, agar cepat kerja. Sekaligus, kurikulum ini sukses mengurangi porsi humaniora, filsafat, sejarah kritis, dan mata pelajaran yang membentuk karakter sebagai warga negara, bukan sekadar buruh. Meskipun secara normatif kurikulum ini bertujuan ideal, namun hasilnya pembelajaran menjadi pragmatis, agar cepat kerja. Situasi ini bagai replika fenomena yang digambarkan oleh Joseph Schumpeter tentang kapitalisasi pendidikan. Pendidikan direduksi menjadi pelatihan kerja, dan aspek-aspek penting lainnya seperti pengembangan intelektual, moral, atau sosial menjadi terabaikan.
Ambivalen, pemerintah seolah telah habis-habisan berupaya dan menyediakan lapangan pekerjaan. Sejak penyiapan kurikulum, setting alur pembelajaran ramah Dudi, hingga fasilitas busa kerja. Namun di saat yang sama, upaya itu justru bermakna menyerahkan putra-putri bangsa ke tangan pasar, berharap kebaikan hati pasar memperkerjakan para sarjana. Ketergantungan tercipta begitu apik. Alih-alih mengikuti langkah sukses Jerman, Finlandia, dan Singapura dalam mengadopsi kurikulum yang lebih adaptif terhadap kebutuhan pasar kerja, Indonesia masih jalan di tempat. Berdasarkan data BPS, empat tahun penerapan Kurikulum Merdeka belum signifikan dalam menekan angka sarjana pengangguran. Di sisi lain, biaya kuliah di perguruan tinggi setiap tahun terus meningkat. Dalam situasi ini sulit memaknai pendidikan tinggi sebagai hak dasar. Pollitical will pemerintah dipertanyakan, apalagi setelah pernyataan viral Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie, bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education yang bersifat pilihan, di luar wajib belajar 12 tahun. Melanjutkan ke perguruan tinggi adalah pilihan warga negara, bukan paksaan, sehingga dirasa pemerintah tidak begitu perlu ikut campur atas putusan tersebut. Pernyataan itu sebagai tanggapan Kemendikbudristek terhadap pergolakan kenaikan biaya uang kuliah tetap di berbagai perguruan tinggi. Lagi, warga negara dilepas begitu saja. Proses komodifikasi pendidikan tinggi sangat vulgar. Terlalu sulit menutup mata atas praktik neoliberalisme di bidang pendidikan.
Tingginya biaya pendidikan dan kegagalan spekulasi kurikulum berbasis Dudi setidaknya menimbulkan dua ancaman. Pertama, memicu kemunculan paham cognitive dissonance terhadap pendidikan tinggi. Cognitive dissonance mengarah pada kebingungan publik atau ketegangan batin rakyat dalam konteks pendidikan. Rakyat menghadapi situasi antara espektasi “Kuliah adalah jalan menuju kesuksesan” versus fakta “banyak sarjana menganggur.” Sebelum era milenium, ijazah sarjana bagai kunci menuju sukses. Narasi itu kini terdengar bagai mitos. Biaya pendidikan tinggi kian meroket, sedangkan gelar tak menjamin sukses dapat pekerjaan. Benturan ini mendorong masyarakat menciptakan narasi baru untuk menenangkan kekecewaan kolektif. “Kuliah adalah pengangguran dengan gaya”, atau “kuliah itu sia-sia”, dua frase yang ramai diperbincangkan di sosial media. Tidak sedikit netizen yang membenarkan asumsi itu. Kondisi ini menggambarkan situasi frustrasi masal. Di sinilah cognitive dissonance bekerja. Gelombang paham cognitive dissonance dapat dicek di sosial media. Alih-alih mengkritik sistem pendidikan, malah semangat belajar yang dikorbankan. Kondisi yang sangat berbahaya, gambaran ketidakpercayaan sistemik rakyat terhadap sistem pendidikan. Cognitive dissonance mendorong kemunculan gerakan anti-intelektual, “Ilmu itu nggak penting, yang penting cuan”, bahkan muncul sentimen negatif terhadap orang yang berteori. Kondisi ini menempatkan masyarakat terjebak pada pragmatisme instan dan anti-refleksi. Pemikiran kritis dan wacana ilmiah dianggap tidak berguna karena nyatanya tidak membuat mereka mendapatkan pekerjaan. Fenomena cognitive dissonance yang muncul akibat tingginya angka sarjana pengangguran di Indonesia tidak boleh dianggap sepele. Jika disikapi tanpa refleksi kritis, itu bisa menghasilkan ketidakpercayaan sistemik, ketidakstabilan psikologis, hingga krisis intelektual dalam masyarakat. Jangan sampai karena sistemnya bermasalah, rakyat justru menyalahkan esensi dari pendidikannya. Gelombang “wabah” yang benar-benar harus dicegah.
Kedua, orang yang berpendidikan tinggi namun tidak terserap dalam sistem ekonomi atau politik bisa menjadi sumber instabilitas. Ijazah pendidikan tinggi bukan lagi “tiket” naik kelas. Pendidikan telah gagal mengantarkan kelompok terpelajar naik kelas. Sarjana nganggur justru tetap miskin atau stagnan. Kaum terdidik yang kalah berebut peluang kerja yang sangat terbatas akan frustrasi dan merasa dirampas haknya. Pengangguran menimbulkan potensi ketidakpuasan kolektif. Artikel ini percaya, sarjana tidak puas bila menganggur, mereka punya keinginan mengubah keadaan. Mereka punya waktu, kemarahan, dan kapasitas berpikir. Kombinasi berbahaya jika tidak tersalurkan secara konstruktif. Sangat besar kemungkinan mereka akan menjadi kritikus tajam terhadap sistem dan melahirkan ketegangan sosial. Momentum inilah yang disebut Schumpeter tentang embrio revolusi. Schumpeter menyebut bahwa intelektual yang kecewa, atau orang-orang terdidik yang tidak memiliki saluran produktif, akan menjadi “Critics and destroyers of the established order.” Over-educated people bukan hanya masalah individu, tapi bom waktu sosial. Jika ini berlarut, dan sistem terus gagal menyediakan ruang bagi mereka, maka frustrasi, dan kritik, melahirkan oposisi, gerakan sosial bahkan revolusi. Terbukti, intelektual kecewa yang menjadi motor perubahan sosial besar. Revolusi Perancis (1789) banyak dimotori oleh kaum terdidik (filosof, dan cendekiawan). Tragedi terulang, peristiwa Mei 1968 di Prancis dipicu oleh mahasiswa dan akademisi yang menentang sistem kapitalisme dan birokrasi kampus.
Modifikasi kurikulum perguruan tinggi berbasis economic demand menghasilkan stagnasi dan ketergantungan akut terhadap pasar. Menyalahkan kurikulum perguruan tinggi berbasis ilmu, sebagai penyebab tingginya angka pengangguran sarjana adalah simplifikasi yang tidak tepat. Sudah selayaknya, reposisi pendidikan tinggi kembali pada hakikatnya. Pendidikan bukan sekadar alat cari kerja, tapi fungsi humanistik, arena membentuk cara berpikir, etika, dan kesadaran kolektif. Penting untuk memahami bahwa perguruan tinggi bukanlah “pabrik” pekerja yang semata-mata mencetak tenaga kerja siap pakai. Penting mendudukkan kembali kurikulum perguruan tinggi sebagai pembentukan pola pikir, bukan sekadar keterampilan teknis. Saatnya pemerintah berhenti memanfaatkan kurikulum untuk melayani para pemodal. Seyogyanya, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan adaptabilitas.
Sebaik-baiknya sarjana adalah sarjana yang berguna bagi bangsa, dan negara, sarjana yang mengabdi kepada rakyat. Bagai keniscayaan, lahir generasi sarjana rakyat yang siap memperjuangkan dan membela rakyat, namun harus dipelopori. Tentu tidak mudah mewujudkannya, sekian lama pendidikan dijadikan instrumen melayani industrialisasi dan mesin cetak kaum urban. Sarjana pembela rakyat terdengar ide yang utopis, namun dampak unemployed over educated people yang mengalami frustasi massal dan kemiskinan kota begitu sangat menakutkan. Kemanfaatan sarjana untuk rakyat akan menyucikan kembali hakekat ilmu pengetahuan, point of no return. Ilmu pengetahuan harus diselamatkan dari kabut gelap industrialisasi yang mereduksi esensi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berangkat dari realitas dan bertujuan untuk membela rakyat bagai living document yang akan terus bertumbuh, beradaptasi. Impian indah, proses pembelajaran tanpa akhir, limitless knowledge. Keterampilan ini esensial dalam menghadapi kehidupan, di mana dinamika dunia kerja yang terus berubah ada di dalamnya. Perguruan tinggi harus terus berfokus humanistik, pada pembentukan pola pikir dan karakter lulusan, sementara pemerintah dan sektor industri perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem kerja yang mampu menyerap tenaga kerja terdidik secara optimal.