Hadirnya UU Desa hendaknya disyukuri, karena desa akan lebih mandiri. Meski menuju desa mandiri warga harus melek informasi dan karenanya makin tinggi partisipasinya. Namun datangnya uang ke desa tak boleh membawa ‘petaka’ atau malah mengurangi nilai solidaritas yang selama ini berkembang di desa. Karena itu peran masyarakat sipil semacam Lembaga Swadaya Masyarakat dan dunia kampus dalam mendampingi desa tetap diharapkan.
Demikian benang merah dari Seminar Nasional “Mewujudkan desa Informatif, partisipatif dan demokratis” yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta di kampus Timoho, Jogja Kamis (28/5). Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Tri Agus Susanto kepada Bernas Jogja kemarin mengatakan, tampil sebagai pembicara Methodius Kusumahadi (pendiri Yayasan Satunama), Nikson Nababan (Bupati Tapanuli Utara, Sumatera Utara), dan Fajarini Sulistyowati (dosen Prodi Ilmu Komunikasi “APMD”). Methodius menjelaskan ada lima generasi strategi orientasi pengembangan yang dilakukan LSM. Pertama, karikatif ciri-cirinya NGO based approach. Kedua, pengembangan masyarakat dengan ciri-ciri community based approach. Ketiga, pembangunan berkelanjutan ditandai dengan system based approach. Keempat, gerakan rakyat melakukan social movement. Dengan semangat Think Globally Act Locally & kelima, Tiga R (Resiliency, Respects, Rights): integrasi pendekatan pemberdayaan memperkuat kemandirian (resiliency), jaringan (respects) dan pemenuhan hak-hak dasar warga. Menurut Methodius, Community Development adalah strategi tingkat dua dari lima tahapan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kemandirian masyarakat yang bermartabat adalah proses pencarian identitas yang tak ada akhirnya. Karena itu, partisipasi masyarakat berkembang sejalan dengan kesadaran warga akan statusnya sebagai “civilized citizen”. Bagi pembina Yayasan Satunama ini, UU Desa membawa uang dan membawa sikap permisif, dan konsumtif. “Konsumerisme akan menipiskan solidaritas yang hanya bisa dihentikan dengan pendidikan kritis-reflektif,” kata alumni The Lougborough University of Technology Leicestershire Inggris ini.
Pembicara kedua Nikson Nababan adalah alumni Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” tahun 1996. Ia menjadi Bupati Tapanui Utara tahun lalu dan mulai melakukan perubahan di kabupaten di Sumatera Utara itu. Pertama yang dilakukan adalah membuat pemetaan. Semua desa yang paling miskin didata. Desa-desa yang terpencil dengan minim layanan kesehatan dan pendidikan didata. Dari data itu ia melakukan kebijakan percepatan di wilayah terbelakang dan terpencil. Ia bahkan memberi insentif gaji kepada guru di desa terpencil sampai dua kali gaji yang biasa diterima. Pada desa-desa yang tak ada atau rusak irigasinya, ia prioritaskan segera dibangun. Pemerintah kabupaten juga membangun perumahan untuk guru dan tenaga medis. Nikson mengkritisi UU Desa terutama mengenai kriteria mendapatkan Anggaran Dana Desa (ADD) yang didasarkan pada jumlah penduduk. Ia mengusulkan agar ke depan diubah berdasarkan luasan wilayah dan potensi desa tersebut. Nekson menyadari pentingnya desa dalam pembangunan di Indonesia. Jika desa-desa makmur maka Indonesia akan sejahtera. Pada masa bupati sebelumnya tiap desa di Taput mendapat Rp 20 juta dari APBD. Kini anggaran APBD meningkat menjadi Rp 60 juta per desa (2014) dan Rp 100 juta per desa (2015). Dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih Nekson memulai dengan melakukan rekrutmen secara transparan dengan menghadirkan tenaga ahli dari Universitas Sumatera Utara (USU). Dengan fit and proper test yang dilakukan terhadap pejabat di lingkungan pemkab maka ini akan menepis plesetan SUMUT (Semua Urusan Memakai Uang Tunai). Setahun hasilnya lumayan. Posisi Taput yang selama ini nomor 27 se Sumut kini meningkat menjadi nomor 7. Saat penandatangan pakta integritas anti korupsi di Medan (kerjasama Pemprov Sumut dan KPK) ia mewakili bupati/walikota se Sumut membacakan pakta integritas. Mengapa Nekson yang diminta membaca, pihak KPK mengatakan, “Bupati dan Kabupaten Tapanuli Utara sementara bersih!”.
Pembicara terakhir Fajarini Sulistyowati, memaparkan hasil penelitian tentang Sistem Informasi Desa (SID) di Desa Terong Bantul. SID ada dalam UU Desa namun masih sedikit desa menerapkan SID. Di Bantul ada sekitar 75 persen desa-desa telah menerapkan SID. Dengan SID maka sebagian atau seluruh pelayanan kepada masuarakat bisa dilakukan secara online. Selain itu melalui SID semua data desa dan potensi desa bahkan perencanaan desa bisa diakses oleh warga masyarakat. Meski demikian SID masih menemui kendala. Salah satunya sulitnya server dan minimnya dana. Tentang server kini bisa dipecahkan dengan pemusatan server di kabupaten. Sementara soal dana, tampaknya ADD yang merupakan implementasi UU Desa diharapkan segera cair dan sebagian dipakai untuk kepentingan SID. Semoga SID dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat – meski selama ini hanya yang melek teknologi – dan nantinya desa akan makin informatif dan makin berdaya. (Sumber: Margantoro Bernas Jogja, Sabtu 30 Mei 2015 ) Har