Pidato Kelembagaan Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta

NGELMU, JENENG, JENANG

Platform Perubahan dan Kepentingan Institusi

Puncak rangkaian kegiatan Dies Natalis STPMD “APMD” Yogyakarta ke-56 adalah pidato kelembagaan oleh Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto, berlangsung di Ruang M. Soetopo (17/11). Pidato bertema NGELMU, JENENG, JENANG, Platform Perubahan dan Kepentingan Institusi, itu dihadiri dosen dan karyawan, mahasiswa dan alumni dengan menerapkan protokol kesehatan.

Sutoro Eko menjelaskan, dalam Bahasa Indonesia ngelmu adalah ilmu; jeneng adalah reputasi, serta jenang adalah kepercayaandan animo. Ketiganya dibungkus sebagai platform perubahan dan kepentingan Sekolah Tingg yang terus akan diperjuangkan secara berkesinambungan.

Lebih lanjut, Ketua APMD menyampailan, ilmu adalah harta sesungguhnya bagi manusia. Ia lebih tinggi, dalam, dan luas ketimbang akademik. Akademik adalah ilmu yang mengalami reduksi dan instrumentasi menjadi hafalan daftar teori, kumpulan definisi konsep, daftar mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa, penyusunan skripsi dan tesis, laporan penelitian dosen, ijazah beserta indeks prestasi komulatif mahasiswa, maupun gengsi akreditasi. Ilmu menyediakan medan dialektika secaea kritis untuk faksifikasi dan akumulasi.

Sutoro Eko mengatakan, setiap pengetahuan-teori, yang mengkonstruksi realitas dan kemudian menjualnya, mengandung politik, kekuasaan, dan kepentingan. Ketika orang sibuk bicara tentang pembangunan, governance, perubahan iklim, SDGs Desa, smart village, desa inklusif, dan lain-lain, kita bisa bertanya dengan politik pengetahuan: siapa sebenarnya yang bpaling berkepentingan dengan barang-barang itu; dan untuk siapa merk-merk dagang itu?

Karena itu, Ketua APMD selalu mengingatkan kepada banyak orang, termasuk kepada warga komunitas Sekolah Tinggi, untuk tidak mudah silau dan tergiur dengan teori-teori resep atau berbagai merk dagang yang diusung oleh kaum neomodernis. Kita harus memandang secara kritis terhadap politik pengetahuan mereka, sebagaimana Sutoro Eko selalu kritis terhadap teori pembangunan dan teori governance.

Pada saat Ketua APMD memandang ktitis terhadap pembangunan, bukan berarti dirinya anti Pembangunan Sosial, sebuah program studi yang dimiliki oleh Sekolah Tinggi. Tetapi sungguh tidak menarik ketika Sutoro Eko gencar mengritik SDGs Desa, sementara komunitas Pembangunan Sosial justru menari di panggung SDGs Desa.

Terhadap Ilmu Pemerintahan, Ketua APMD menyatakan Ilmu Pemerintahan terjebak menjadi Ilmu Perkantoran. Berkat pembangunan, pemerintahan berwajah pembangunan (developmental government) lebih menonjolk ketimbang pemerintahan rakyat (people government). Ketika governance menghiasi Ilmu Pemerintahan, juga disibukkan bicara tentang governance for development. Karena itu Sutoro Eko bersama Prodi Pemerintahan merayakan Mazhab Timoho, yang tidak percaya pada keyakinan from government to governance dan governing without government, mainkan menghadirkan keyakinan bringing government back in, government making, dan citizen making yang relevan dengan kehendak konstitusi.

Terkait Prodi Ilmu Komunikasi Sutoro Eko menggarisbawahi, Prodi IK tidak keliru mengambil posisi-platform “komunikasi pemberdayaan”, untuk membuat sesuatu yang berbeda secara khas (not different but distinction), ketika bersanding-bersaing dengan sejumlah 400-an Prodi IK di perguruan tinggi lain. Tetapi Prodi IK Sekolah Tinggi tidak boleh latah mengusung pemberdayaan yang sudah salah kaprah sebagai sekadar project making di ranah pemerintahan dan pembangunan di Indonesia.

Ilmu adalah jiwa-raga Sekolah Tinggi. Sekolah Tinggi hadir karena mengemban mandat keilmuan Tridarma sarat dengan ilmu. Karena nitu,  mahasiswa datang dari seluruh penjuru negeri ke Kampus Timoho bermaksus “menuntut ilmu”, bertujuan “menjadi orang”. Dosen dan mahasiswa berinteraksi dalam kuliah melakoni proses belajar-mengajar, mencurahkan tenaga dan waktu untuk mempelajari dan menghafal beragam teori sebagai inti ilmu, Namun harus diakui bahwa Sekolah Tinggi, seperti perguruan tinggi pada umumnya, lebih banyak terjebak pada proseduralisme akademik ketimbang realisme dan idealisme ilmu.

Karena itu Sutoro Eko selalu hadir bicara ilmu, memupuk tradisi kelilmuan, membuka ruang-ruang dialektika, seraya mengutamakan realisme-idealisme ilmu untuk menembus hegemoni proseduralisme akademik. Selain melakoni berbagai diskusi keilmuan, momentum penting di tahun 2021 adalah peninjauan kembali kurikulum 2021.

Semangat dan kerja nyata “ilmu amaliah, amal ilmiah” telah dan akan memberi sumbangan untuk pembentukan reputasi (jeneng) Sekolah Tinggi. Reputasi adalah esensi martabat. Reputasi akan membentuk kepercayaan dan animo. Dengan demikian reputasi kita bisa mengikis cutra diri “mudah dan murahan”.

Saat menutup pidato kelembagaam, Sutoro Eko menyerukan semangat KITA BISA! Kita Bisa berubah! Pengayoman sangat penting, tetapi perubahan jauh lebih penting! Pertama, pergaulan hidup bersama dan infrastuktur kelembagaan bisa terus kita perbaiki, sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian tijuan-kepentingan Sekolah Tinggi. Kedua, dengan “berotak keras” dan “berhati lembut” kita bisa menembus batas rutinitas yang rutin, sekaligus secara berdikari berjuang dalam memperluas-memperdalam “ilmu amaliah dan amal ilmiah”; meneguhkan martabat dan mengukir reputasi yang luhur, serta memperoleh kepercayaan dan animo yang berlipat ganda. (Humas STPMD “APMD”)