Desa mandiri saat ini menjadi isu menarik yang banyak didiskusikan orang. Dalam naskah UU Desa, secara eksplisit tidak dijelaskan konsep maupun ukuran desa mandiri. Karena tidak ada definisi baku, banyak orang maupun institusi selanjutnya menafsirkan makna kemandirian desa berdasarkan argumentasi masing-masing. Menurut Hastowiyono, secara etimologis, ke(mandiri)an berbeda dengan ke(sendiri)an, berbeda pula dengan ke(diri)an. Ke(sendiri)an berarti mengurus dirinya sendiri tanpa dukungan pemerintah, dan pemerintah membiarkan desa bekerja sendiri dengan kekuatan lokal, misalnya dengan memanfaatkan swadaya masyarakat. Ke(diri)an sering disebut dengan autarchy atau sikap ego desa yang lebih banyak berorientasi ke dalam (inward looking), yang tidak mau berinteraksi dengan dunia luar. Sedangkan kemandirian dapat diartikan sebagai kapasitas (kemampuan) untuk melakukan upaya-upaya mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dengan mengedepankan optimalisasi potensi dirinya, tanpa menggantungkan pada pihak lain. Kemandirian dapat juga dimaknai adanya emansipasi (inisiatif/prakarsa dan kemauan/motivasi dari dalam diri) untuk melakukan upaya-upaya mencapai kehidupan yang sejahtera secara berkelanjutan. Dengan demikian, kemandirian desa berpusat pada kapasitas dan emansipasi lokal, yakni kemampuan, prakarsa dan gerakan desa secara kolektif dalam mengembangkan potensi-aset yang dimiliki. Kalaupun ada keterlibatan dari pihak luar, keterlibatannya lebih bersifat memperkuat atau memberi dukungan energi untuk mempercepat pencapaian tujuan. Konsep kemandirian desa (otonomi desa) juga menunjuk adanya kewenangan desa. Kewenangan desa merupakan hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Pada bulan Maret – April 2015 ini, tiga institusi yakni BPMPD Kab. Kutai Timur, PT. Kaltim Prima Coal dan PPDB STPMD ”APMD” Yogyakarta bekerjasama menyelenggarakan pengukuran kemandirian desa. Kegiatan dimulai dengan mendiskusikan konsep, variabel, indikator serta instrumen desa mandiri. Diskusi secara marathon dilaksanakan di kampus STPMD ”APMD” Yogyakarta, di Kantor Bupati dan BPMPD Kutai Timur serta di kantor Community Empowerment PT KPC Kutai Timur. Acara dilanjutkan dengan try out yang diselenggarakan di dua desa yakni desa Sangata Selatan dan desa Swarga Bara. Try out berjalan cukup lancar berkat dukungan dari semua pihak termasuk melibatkan 20 orang personil dari BPMPD Kutim dan PT KPC, sedangkan personil dari PPDB STPMD ”APMD” diwakili 2 orang dosen yakni Hastowiyono dan Suharyanto. Pasca try out, dilakukan pengukuran tingkat kemandirian desa dengan menggunakan pendekatan metode Indeks berdasarkan hasil scoring yang dilakukan pada lebih dari 240 pertanyaan. Hasil dari pengukuran didapatkan pengkategorian kemandirian desa berdasarkan nilai atau persentase masing-masing desa. Try out akan segera dilaksanakan di 12 desa dengan berbagai tipologi desa agar didapatkan pembelajaran berharga sebelum dilaksanakan untuk 134 desa se Kutai Timur. Pengukuran kemandirian desa ini menjadi sangat penting sebagai bahan evaluasi diri bagi desa sekaligus mendiagnosis atas berbagai kekurangan dan kelemahan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, kemasyarakatan serta pemberdayaan masyarakat. Hal ini sangat bermanfaat bagi desa dan supra desa serta para pihak (Perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi) untuk melakukan treatmen atas kekurangan dan kelemahan. Ke depan diharapkan akan dicapai kemandirian di banyak desa seperti yang dicita-citakan oleh pemerintahan Jokowi JK melalui Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi. (har)