Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran
(dari Pidato Dr Sutoro Eko Yunanto)
Dalam rangka memperingati dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi, dengan tema “Maju dan Bermartabat” Ketua APMD Dr Sutoro Eko Yunanto menyampaikan pidato berjudul “Mendudukkan Ulang Keilmuan, Kelembagaan dan Kemakmuran.”
Tema “Maju dan Bermartabat” bukan sekadar jargon rutinitas yang rutin sehingga menjadi sebuah formalisme yang terkena formalin. Sebaliknya tema itu adalah semangat, makna, vocation, dan passion, sekaligus sebagai start up untuk mencapai langka demi langkah, hari demi hari, perjalanan Sekolah Tinggi, yang tidak pernah lekang dimakan waktu.
Dekade 1980-an adalah dekade kejayaan APMD. Dekade 1990an adalah dekade decline Sekolah Tinggi. Dua dekade reformasi adalah dekade kebangkitan kembali Sekolah Tinggi. Pelan tapi pasti, reformasi (globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, politisasi, lokalisasi, desanisasi, pemberdayaan, dan lain-lain) telah memberikan struktur kesempatan bagi eksistensi Sekolah Tinggi, yang memaksa Sekolah Tinggi berorientasi keluar lebih luas, sekaligus membuka pandangan dunia luar kepada Sekolah Tinggi. Berkah reformasi, capaian APMD naik kelas dari perguruan tinggi yang survival menjadi developing, tentu masih di bawah perguruan tinggi unggul.
Jika dipandang dengan standar teknokratik, Sekolah Tinggi mempunyai kinerja capaian baik, sesuai standar rutin. Akreditasi B merupakan penanda kinerja Sekolah Tinggi yang berstandar rutin itu. Jika dielaborasi dengan naluri dan suasana kebatinan, darma pendidikan punya nilai B minus, penelitian punya nilai C, dan darma pengabdian lebih unggul punya nilai A minus.
APMD hadir pada tahun 1965 karena mengemban misi keilmuan. Sekolah Tinggi, sampai hari ini, bukanlah perguruan tinggi universal seperti universitas, melainkan perguruan tinggi partikular, yang khas dan unik. Ciri khas partikular itu ditandai dengan identitas dan ilmu “desa”, selain memiliki ilmu universal, yakni ISPH Ilmu sosial – politik humaniora. Tak sedikit para sahabat eksternal tak mau tahu tentang prodi dan ISPH, melainkan melihat identitas desa, yang menaruh harapan besar kepada Sekolah Tinggi memiliki “laboratorium desa” yang beragam di belahan Nusantara, melalui sentuhan Tridarma yang konkret.
Meskipun ada sejumlah mata kuliah yang berjudul “desa”, tetapi lewat begitu saja. Dosen dan mahasiswa umumnya tidak tahu hal ihwal desa, yang lebih banyak menekuni Ilmunya, bahkan dosen secara “rutinitas yang rutin” melakoni pengajaran mata kuliah yang diampunya selama bertahun-tahun.
ISPH menggunakan ilmu universal untuk melihat, mendidik, meneliti, dan menyuluh desa. Ilmu secara deduktif memandang desa sebagai lokasi dan obyek. Dalam praktik kebijakan, ini disebut dengan pendekatan sektoral, yang masuk ke desa, melalui desa, tetapi tanpa desa. Posisi “Ilmu memandang desa” ini lazim dipakai oleh sebagian besar ilmuwan sosial baik domestik maupun asing, baik yang berhalauan orientalis-modernis maupun kaum revisionis-radikal.
Di Sekolah Tinggi, praktik “Ilmu memandang desa” ini juga terjadi. Dosen datang ke desa sebagai lokasi dan obyek penelitian dan pengabdian, dengan membawa konsep “berbasis masyarakat”, misalnya manajemen bencana berbasis masyarakat, pariwisata berbasis masyarakat, konservasi lingkungan berbasis masyarakat, manajemen sumber daya alam berbasis masyarakat dan sebagainya. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh tradisi community development ala Amerika atau Australia yang juga dibawa oleh CSR perusahaan multinasional ke Indonesia. Orang APMD kok bicara “berbasis masyarakat”, kenapa tidak bicara “berbasis desa”?
Desa berdiri sendiri sebagai ilmu yang memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi, dengan mengabaikan ISPH secara formal. Mengabaikan ilmu secara deduktif, ilmu desa ini bekerja secara induktif dengan pengetahuan lokal yang tumbuh dalam kehidupan desa maupun praktik kebijakan. Tetapi posisi ini terlalu romantis dan bahkan konyol, yang justru akan mengisolasi desa dari dunia dan narasi besar. Ilmu desa tidak mungkin berdiri sendiri tanpa berinteraksi dengan banyak ilmu universal.
ISPH dan desa blended bersenyawa menjadi satu. Ilmu berdesa, desa berilmu, atau mendesakan Ilmu dan mengilmukan desa. Blended ini dialektik, konstruktivis, reflektif, kontekstual dan relevan. Sutoro Eko secara personal mengambil posisi ini, tanpa meninggalkan Ilmu politik-pemerintahan, bahkan dirinya juga belajar sosiologi, sejarah, dan antropologi untuk memperkuat blended antara ilmu sosial dan desa.
Sebagai sarjana politik-pemerintahan Sutoro Eko membangkang ajaran Bapak Ilmu Politik, Aristoteles, yang meninggalkan asosiasi manusia bernama desa, menuju negara sebagai asosiasi pamungkas bagi manusia, yang memberi kehidupan etik secara baik dan sempurna bagi warga negara. Sebaliknya, Sutoro Eko mengambil posisi membela dan memuliakan desa, bukan karena sikap romantis-esensialis, tetapi sikap kontruktivis-transformatif. Pilihan ini diambil karena Sutoro Eko secara institusional bernaung di bawah payung APMD. Juga secara keilmuan, pilihan atas desa itu karena “Desa adalah sel negara, desa adalah pemilik negara”, dan secara historis-antropologis desa telah menciptakan negara.
Jika perspektif “desa ilmiah” melihat desa sebagai lokasi dan obyek semata, perspektif “desa semesta” secara utuh memandang desa sebagai ruang kehidupan manusia, yang lengkap mengandung kekuasaan, rakyat, sumberdaya ekonomi, identitas, wilayah, masyarakat dan seterusnya. Rural bukan sekadar area, melainkan mengandung tiga dimensi a) lokalitas b) kehidupan dan c) representasi.
Jika “desa ilmiah” bekerja secara masif dan berjangkauan luas dari makro-nasional, meso-regional dan mikro-lokal, maka juga harus ditandingi secara masif, baik melalui counter discourses, Ilmu blended, provokasi politik, praktik diskursif, maupun praktik konkret melalui pembelajaran dan pengorganisasian. Sekolah Tinggi, pegiat desa, dan para pemimpin desa bisa merajut gotong royong untuk melawan “desa ilmiah” itu dan memperjuangkan “desa semesta”.