Pindah ibu kota adalah hijrah untuk membuat sejarah masa depan. Tidak perlu berpikir dan berpendapat ala bakul plus tengkulak Jakarta yang hanya berhitung untung rugi. Hal itu dikatakan oleh Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko Yunanto, Rabu (4/9) pada kuliah umum bertema “Keluar dari Negara Jakarta Membentuk Ulang Negara Indonesia.” Kuliah umum diadakan di Ruang M. Soetopo, Kampus Desa Timoho, Yogyakarta, yang diikuti lebih dari seratus mahasiswa dan non mahasiswa.
Dalam kuliah umum yang dipandu Dr. Guno Tri Tjahjoko itu, Sutoro Eko menjelaskan berbagai isu antara lain: teori dan praktik pembentukan Negara, negaranisasi pemerintah govermentalisasi negara, transformasi dan mentalitas Negara Jakarta, arsitektur baru pemerintahan dan Negara Indonesia, dan posisi desa dalam Negara baru.
Pada awal kuliah umum, Ketua APMD itu member latar belakan tentang tujuan dan alas an Presiden Joko Widodo berkehendak memindahkan ibu kota sebagai bagian dari misi besarnya mengubah Jakarta-Jawa centris menuju Indonesia centris. Baik Presiden maupun Bappenas menyampaikan alas an pada fakta hilir yang kongkret dan kasat mata apa yang terjadi di Jakarta. Presiden sama sekali tak menyalahkan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan menurut catatan sejarawan, sejak zaman VOC sudah mengendalikan banjir tetapi juga menciptakan banjir.
Argumen para penolak ibu kota pindah cukup banyak. Mereka menggunakan argumen sejarah, politik, ekonomi, anggaran, dan legalitas. Pada argumen sejarah, Jakarta adalah legacy Bung Karno, terlalu bersejarah untuk ditinggalkan. Jakarta adalah warisan Batavia tetapi Jakarta bukan Batavia karena Bung Karno member citarasa Indonesia pada Jakarta. Argumen politik mengatakan Presiden tak bisa memutuskan sendiri pemindahan ibu kota tetapi harus melalui referendum. Mirip argumen politik, pada argumen legalitas, dikatakan keputusan presiden illegal karena tak menggunakan UU bersama DPR. Argumen ekonomi dan anggaran sebelas-dua belas, ekonomi sedang sulit, pindah ibu kota akan membebani anggaran Negara. Seorang influencer muda yang cerdas, kritis, hebat tetapi dangkal mengatakan bahwa pemindahan ibu kota mengonfirmasi kegagalan Jokowi memperbaiki Jakarta.
Sutoro Eko juga mengutip dua sahabatnya terkait pemindahan ibu kota. M. Barori, Ketua Yayasan Pendidikan 17 mengatakan pemindahan ibu kota bukan soal lingkungan, tetapi reformasi birokrasi secara radikal. Sementara Yando Zakaria, pegiat desa aktivis LSM, mengatakan pemindahan ibu kota Negara itu dalam konteks Indonesia adalah reproklamasi republik. Jadi tidak relevan dibahas dengan pendekatan teknokratik dan atau ekonomi semata.
Negara menurut “ilmu Negara” yang dipengaruhi oleh hukum, Negara adalah kesatuan (entitas) yang terdiri dari wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan pengakuan. Max Weber mengatakan Negara adalah satu masyarakat manusia yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara absah dalam suatu wilayah. Negara mempunyai dua fungsi utama yaitu law & order dan welfare.
Negara Jakarta:
Jakarta bukan sekadar provinsi, bukan pula sekadar ibu kota Negara
Republik Indonesia. Jakarta adalah pusatnya pusat, mengandung unsur
negara, kota dan modal, yang dibentuk dan disepuh terus dari zaman
kolonial hingga zaman neoliberal dengan politik perang dan paksaan.
Sutoro Eko menyebutnya sebagai Negara Jakarta. Ini bukan Negara dalam
Negara. Tetapi Jakarta dan Negara adalah dua sisi mata uang. Sejarah,
ekonomi-politik, budaya,ilmu pengetahuan, teknologi, globalisasi,
sengketa politik, berkontribusi terhadap pembentukan Negara Jakarta.
Karena itu, “Jakarta menciptakan Negara, Negara menciptakan Jakarta,”
jelas Sutoro Eko.
Ketua APMD itu menggarisbawahi, setiap episode sejarah ( dari Kolonialisme Belanda, Nasionalisme Soekarno, Developmentalisme Soeharto, dan Neoliberalisme Reformasi) selalu menampilkan sosok ideologi menonjol yang berbeda, tetapi empat episode yang berbeda itu memiliki kesamaan yakni sentralisme. Nasionalisme sangat kontras dengan kolonialisme, tetapi keduanya adalah sentralisme. Apalagi, developmentalisme dan neoliberalisme, merupakan dua pewaris yang melanjutkan kolonialisme.
Sutoro Eko juga mengutip Susan Blackburn yang antara lain mengatakan selama 400 tahun, Jakarta hanya kota yang dibangun untuk memenuhi impian para penguasa dan kaum aristokrasi uang. Penguasa ingin Jakarta menjadi semacam model kota harapan mereka sendiri. Jakarta bukan milik dan untuk kehidupan bersama.
Sebagai seorang ilmuwan, Sutoro Eko wanti-wanti memberi preskripsi dan antisipasi terhadap berbagai konsekuensi yang tidak disengaja (unintended consequences), jebakan “musang berbulu domba” para penumpang gelap, maupun jebakan mesin anti-politik yang teknokratik-birokratik, yang menyertai kehadiran ibu kota baru. (Humas/Tass)