Salah satu misi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2022-2027 adalah mereformasi Kalurahan untuk lebih berperan dalam meningkatkan hudup-kehidupan-penghidupan warga. Reformasi birokrasi kalurahan bermuara pada terwujudnya pemerintahan kalurahan yang cergas dan adaptif. Sementara reformasi pemberdayaan masyarakat kalurahan bertujuan meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
Demikian benang merah Kuliah Umum Reformasi Kalurahan Daerah Istimewa Yogyakarta di Ruang M. Soetopo, STPMD “APMD” Yogyakarta (8/11), yang dihadiri sekitar 150 peserta. Tampil menjadi narasumber adalah KPH. H. Yudanegara, Ph.D (Kabag Bina Pemerintahan Kalurahan dan Kapanewon/Kemantren Biro Tapem Setda DIY) dan Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua APMD), dan moderator Rema Marina, S.Sos., M.I.P.
KPH Yudanegara dalam paparannya berjudul “Tata Kelola Pemerintahan Kalurahan & Reformasi Kalurahan Daerah Istimew Yogyakarta” menjelaskan dari penggunaan nomenklatur kalurahan, sejarah kalurahan, kalurahan dalam UU Keistimewaan dan UU Desa, sampai reformasi kalurahan. Kalurahan adalah desa di DIY, penyebutan nomenklatur lokal, seperti gampong di Aceh atau di Papua. Secara historis, sebelum Indonesia berdiri, kalurahan di DIY merupakan wilayah pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten.
Menurut KPH Yudanegara, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, kecuali Aceh, DKI Jakarta dan Papua/Papua barat, urusan pemerintahan di DIY, melaksanakan tiga undang undang sekaligus. Yaitu UU Desa Nomor 6 /2014, UU Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014, dan UU Keistimewaan 13/2012. Di dalam hukum berlaku asas “lex specialis derogat legi generali” artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umu bila mengatus hal yang sama.
Ada empat urusan keistimewaan, lanjut KPH Yudanegara, yang ditugaskan ke kalurahan, yaitu kelembagaan pemda DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang. Terkait reformasi kalurahan, yang direformasi adalah birokrasi kalurahan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan reformasi birokrasi kalurahan diharapkan ada ukuran kinerja standar bagi lembaga Pemerintahan Kalurahan, sehingga kinerja lembaga tidak terpengaruh dengan siapa lurahnya. Sementara dengan reformasi pemberdayaan masyarakat, diharapkan pelibatan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintahan Kalurahan dan pembentukan, pengembangan, peningkatan kapasitas Lembaga Ekonomi Kalurahan. Beberapa desa bisa dijadikan contoh yang sukses mengelola bantuan Gubernur hingga memberikan kontribusi balik bagi perekonomian masyarakat dan PADes, antara lain Mangunan dan Breksi.
Sutoro Eko dalam paparan bertema “Kalurahan/Desa dalam Logika Keistimewaan”, menjelaskan istilah kalurahan dan keluharan. Kalurahan adalah istilah yang asli yang sejah dahulu, sebelum Indonesia merdeka, telah digunakan. “Masyarakat di Jawa yang disebut daerah Mataraman, terutama bagian selatan, dari Cillacap, Banyumas sampai Blitar, paling utara adalah Semarang, hingga kini menyebut kepala desa dengan lurah,” ujar Sutoro Eko. Ada yang mengira, terutama di luar DIY, bahwa kalurahan itu meniru kelurahan. “Kelurahan itu baru muncul pada tahun 1979, UU 5/1979, sementara kalurahan sudah ada pada zaman Belanda, jadi yang meniru atau KW itu ya kelurahan bukan kalurahan,” kata Sutoro Eko.
Ketua APMD itu juga menjelaskan tentang amalgamasi atau penggabungan desa. Desa-desa di Yogyakarta besar karena gabungan dari desa-desa sehingga lebih besar dibandingkan dengan di Jawa tengah misalnya. Contoh Kalurahan Caturtunggal di Kabupaten Sleman merupakan wilayah dari penggabungan lima kelurahan. Di China juga ada Desa Huaxi, desa terkaya di China dan dunia. Dari desa seluas 3 kilometer persegi kini sekitar 33 kilometer persegi, setara dengan luas Kota Jogja. Penggabungan desa berarti penggabungan kekuatan ekonomi. Makin besar luas desa makin besar pula kekuatan ekonominya.
Reformasi Kalurahan sudah dimulai di Panggungharjo misalnya dalam pemberian tunjangan kinerja. Ini harus dihargai meskipun banyak yang menilai terlalu maju. Terkait danais, Sutoro Eko wanti-wanti jangan seperi dana desa. Dana desa itu cenderung memberhalakan uang. Uanglah mestinya yang yang melayani kita. “Seperti pesan ngarso dalem, danais jangan lunglap, hilang tanpa bekas, karena itu harus ada nilai investasi,” papar Sutoro Eko.
Tentang ajakan kolaborasi yang disampaikan KPH Yudanegara, Sutoro Eko menyambut baik kolaborasi Empat K (Keprajan, Kalurahan, Kraton dan kampus. “Kegiatan kuliah umum ini adalah transfer ilmu. Selanjutnya akan dilakukan pengabdian masyarakat baik melalui KKN atau kegiatan lainnya. Kampus akan terus berkontribusi dalam reformasi kalurahan,” pungkas Sutoro Eko.