Bagus Sumartono menyatakan, untuk menjadi penulis skrenario yang baik harus menonton seribu film dulu. Film genre apa saja. Hal itu disampaikan pada Kuliah Tamu Teknik Menulis Skenario di Ruang Multi Media, yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi (18/3). Bacep, panggilan akrab Bagus Sumartono, adalah penulis naskah skenario film Tilik. Film yang fenomenal ini telah ditonton lebih dari 26 juta. Tilik juga menyabet beberapa penghargaan seperti Piala Maya Kategori Film Pendek Terpilih (2018), menjadi Official Selection di Jogja-Netpac Asian Films Festival 2018, serta Official Selection World Cinema Amsterdam 2019.
Bagaimana Bacep menulis naskah Tilik? Awalnya, Bacep sebenarnya berencana untuk membuat film dokumenter tentang kebiasaan masyarakat di wilayah Bantul Timur, terutama di Dlingo, yang sering menjenguk saudara atau kerabat yang sakit menggunakan truk atau pick up. Kebiasaan itu dikenal dengan istilah tilik atau menjenguk. Bacep kemudian bertemu sutradara Wahyu Agung Prasetyo, yang memiliki rencana untuk mengikuti pitching film pendek yang akan didanai oleh Dinas Kebudayaan DIY. “Dari ide dokumenter saya kemudian dimodifikasi menjadi naskah fiksi,” kata Bacep.
Saat Tilik diproduksi, dunia politik Indonesia sedang panas karena kontestasi Pilpres 2019. Hoaks, berita yang tidak jelas validitasnya, serta caci maki antarkubu menghiasi dinding media sosial setiap hari. Dari fenomena itu, Bacep kemudian terinspirasi untuk membuat film yang bisa mengedukasi masyarakat supaya tidak gampang termakan hoaks. Tilik memang bervisi untuk mengedukasi masyarakat untuk cermat terhadap informasi apapun, terutama yang berkaitan dengan internet.
Dalam Tilik, dua tokoh sentral yakni Bu Tejo dan Yu Ning yang berseberangan adalah sama-sama korban sekaligus pelaku penyebar fitnah dan berita bohong. Semua terjebak pada informasi yang ada di internet, dan menganggap informasi itu pasti benar.
Sebagian besar pemeran dalam film Tilik adalah masyarakat Kalurahan Saradan, Kapanewon Dlingo, Kabupaten Bantul. Termasuk pemeran Gotrek, sopir truk. Hanya satu pemeran yang merupakan aktris profesional, yakni Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah.
Seorang mahasiswa bertanya bagaimana membuat dialog yang tajam, kocak dan bikin geregetan penonton? Bacep menjawab salah satu kuncinya adalah melakukan riset, misalnya banyak mendengar atau nguping ibu-ibu yang suka ngrasani (membicarakan) orang lain bahkan suami sendiri. Dengan menyerap dari keseharian warga desa, Bacep bisa menulis naskah yang apa adanya tetapi dalam.
Setelah film Tilik pada 2018, Bacep kemudian membangun gerakan literasi di pedesaan. Dia tidak mau, masyarakat desa selamanya menjadi korban berita bohong dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Di pedesaan itu sangat rentan hoaks. Bacep memulai fasilitasi di Bantul, di antaranya Dusun Saradan, Kalurahan Terong, Kapanewon Dlingo, yang merupakan lokasi pembuatan film Tilik.
Gerakan literasi ini mengarah pada bagaimana cara mengakses informasi melalui internet. Masyarakat juga diberikan pelatihan bagaimana memanfaatkan internet secara bijak dan produktif. Internet bukan ajang bergosip, tapi memanfaatkan internet untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Internet untuk mempublikasikan potensi yang dimiliki desa. Supaya potensi tiap desa bisa diketahui lebih banyak orang,
Bacep dan masyarakat setempat juga bekerja sama membuat film pendek tentang kearifan lokal tiap desa. Selain itu juga sering diundang membagi pengalaman kepada komunitas-komunitas film di kampus maupun daerah seperti di Temanggung.
Pada akhir kuliah tamu yang dihadiri sekira 50 mahasiswa dan enam dosen itu, Bacep memberi kabar gembira, Tilik dalam waktu dekat, akan diangkat kembali dalam sebuah serial. Kita tunggu kiprah mas Bacep selanjutnya. Terima kasih telah menginspirasi para mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi. Semoga di lain waktu Tilik lagi ke Kampus Desa Timoho.