Dua doktor lulusan Malaysia – Dr. Ismail Suardi W dan Dr. Suyatno Ladiqi – dihadirkan dalam sebuah diskusi khusus untuk memacu para dosen STPMD “APMD” Yogyakarta menulis di jurnal berafiliasi Scopus, Jumat (28/6) di Ruang Sutopo, kampus APMD Timoho. Diskusi ini langsung dimoderatori Ketua APMD Sutoro Eko.
Suyatno, pernah mengajar di prodi Ilmu Pemerintahan APMD kini dosen di Faculty of Law & International Relation, Universiti Sultan Zaenal Abidin, Terengganu Malaysia. Ia bersama Ismail mempunyai kesamaan visi membantu kampus-kampus kecil dan sedang mengembangkan mutu dosennya melalui jejaring internasional.
Suyatno menjelaskan pada dasarnya APMD mempunyai potensi membuat jurnal terindeks Scopus. Jaringan internasional APMD harus diperluas. Suyatno memberi usul kerjasama dengan universitas di Malaysia sebagai pembuka pintu jaringan internasional yang lebih luas. “Saya mengerti ada banyak dosen yang bahasa Inggrisnya belum bagus nah di Malaysia bahasa Indonesia masih bisa digunakan,” tambah Suyatno.
Kepada para dosen APMD, Suyatno yang rajin penelitian dan mengikuti konferensi ke penjuru dunia ini memberi tiga tips. Pertama percaya diri, kedua perkuat jaringan internasional, dan ketiga segera mengambil peluang dengan melakukan langkah nyata.
Ismail, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong Papua Barat ini sebelum memulai pemaparan sedikit menyentil APMD. Katanya, dari 3.000 perguruan tinggi di Indonesia peringkat APMD jauh di bawah STAIN Sorong yang masuk seratus besar. Padahal di Sorong listriknya sering padam. “Di Sorong PLN itu Perusahaan Lilin Negara karena sering mati,” kata Ismail.
Jika ada pepatah banyak jalan menuju Roma, Ismail mengatakan banyak jalan menuju Scopus. Bagi Ismail, era saat ini bagaimana perguruan tinggi bukan lagi berdaya saing tapi berdaya sanding. Karena itu meski kampusnya di daerah harus bisa bersanding dengan kampus lain demi peningkatan mutu para dosennya.
Ismail secara menarik mengenalkan istilah “buat apa yang boleh” dan tinggalkan “apa boleh buat”. Ia menjelaskan dengan banyak silaturahmi maka pintu rezeki mudah terbuka. Ismail pernah mengikuti konperensi di Makau dan tidurnya di bandara. Ia hanya ingin bertemu dengan pengelola jurnal penyelenggara konperensi itu. Jika sebuah kampus luar telah menandatangani kerjasama internasional maka harus dipastikan kesinambungannya. Jangan sekadar hit and run
Karena itu, Ismail menyarankan agar para dosen di kampus yang punya jejaring internasional, setidaknya membuat konperensi internasional di kampus, tak perlu di hotel. Langkah kedua melakukan riset bersama, pertukaran mengajar, kemudian jika dimungkinkan kerjasama dobel degree. Jika langkah-langkah ini dilakukan maka bonusnya untuk dosen yang aktif adalah gelar profesor.
Ismail juga memberi tips membuat jurnal online. Bentuklah tim kerja tiga sampai lima orang untuk mengurus jurnal. Mereka bisa membuat call for paper. Jurnal online itu minimal lima artikel setiap terbit dan terbit setahun dua kali. Diperkirakan jurnal akan dapat akreditasi setelah empat edisi atau empat tahun. “Pengelola jurnal itu seperti pengelola masjid. Ia dicari dosen sebelum jurnal terbit. Setelah terbit dilupakan orang,” ujar Ismail disambut tawa para dosen.
Kepada para dosen Ismail mendorong agar makin percaya diri dengan kampus di Jogja ini. Kedua mari membuat apa saja yang boleh untuk meningkatkan kapasitas kita sebagai dosen. Dan ketiga, mari secara kelembagaan APMD menambah speed dengan makin banyak buku dan jurnal yang terbit dari kampus desa di Timoho itu.
Meski demikian saat menjawab pertanyaan dosen terkait Scopus, Ismail menggarisbawahi dosen jangan sampai terseret ke short cut scopus dengan yang serba uang. (humas/tass)