Publik lebih akrab dengan istilah “pakar politik” daripada “pakar pemerintahan”. Istilah “pengamat politik” lebih sering kita dengar daripada “pengamat pemerintahan”. Padahal, para pakar tersebut sedang mengamati proses berpemerintahan, membahas orang-orang yang diberi kuasa untuk memerintah, seni dan cara memerintah, kebijakan pemerintah, dan seterusnya. Gambaran sederhana ini menunjukkan bahwa posisi Ilmu Pemerintahan selama ini seolah-olah ada dalam kendali ilmu Politik. Pada saat yang sama, Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia kebanyakan terjebak pada “ilmu perkantoran” yang sangat bermuatan administrasi. Jika Ilmu Hukum berbicara soal legalitas, dan Ilmu Politik berbicara soal legitimasi yang demokratis, maka apa sesungguhnya yang dibahas oleh Ilmu Pemerintahan?
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta menyelenggarakan Webinar dengan tema “Dekolonisasi Ilmu Pemerintahan” sekaligus peluncuran JURNAL GOVERNABILITAS yang diselenggarakan pada hari Kamis, 16 Juli 2020 serentak melalui webinar dengan aplikasi Zoom dan Seminar internal di Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta dengan menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Webinar ini membahas mengenai kontribusi keilmuan para akademisi di Indonesia dalam merekonstruksi Ilmu Pemerintahan sekaligus menyelamatkannya dari krisis identitas. Kegiatan Webinar ini menghadirkan narasumber, pembahas, dan moderator yaitu:
1. Dr. Sutoro Eko Yunanto (Ketua STPMD ”APMD”– Pembicara utama)
2. Dr. Fadhillah Harnawansyah (Universitas Musi Rawas – Pembahas)
3. Andi Luhur Prianto, M.Si (Universitas Muhammadiyah Makassar – pembahas)
4. Dr. Krisno Hadi, M.IP (Universitas Kristen Palangkaraya- Pembahas)
5. Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si (Universitas Katolik Widya Mandira Kupang – Pembahas)
6. Mansetus Darto (Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit- Pembahas)
7. Gregorius Sahdan,S.IP, M.A (Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” – Moderator)
Menurut Sutoro Eko, ada dua tradisi utama yang berpengaruh dalam perkembangan kajian Ilmu Pemerintahan di Indonesia, yaitu tradisi mazhab Anglo-Saxon dan tradisi mazhab Kontinental Eropa. Tradisi Anglo-Saxon berasal dari Inggris dan berkembang di Amerika yang menganggap bahwa pemerintahan adalah politik plus administrasi. Tradisi ini dibawa oleh para ilmuwan politik dan adminsitrasi yang bersekolah di Amerika maupun Inggris, kemudian dibawa ke Indonesia yang kemudian diturunkan dalam konstitusi. Sementara tradisi Kontinental Eropa yang syarat dengan muatan hukum merupakan warisan Romawi, yang berkembang di Prusia dan Jerman dengan nama Kameralisme. Tradisi ini dibawa oleh Belanda ke Indonesia dengan sebutan bestuurkunde. Bestuurkunde inilah yang banyak berkembang di Indonesia dan disebut sebagai “Ilmu Pemerintahan”. Padahal, di Belanda bestuur adalah administrasi dinas-dinas negara, yang kemudian oleh generasi baru, bestuurkunde merupakan administrasi publik Belanda.
Karena ‘benturan antar mazhab’ tersebut di atas, maka Ilmu Pemerintahan yang diajarkan di Indonesia menjadi tidak jelas secara ontologis. Ilmu Pemerintahan seolah-olah anti pada politik, lupa
pada hukum, namun enggan pada administrasi. Karena problem inilah maka sudah saatnya para ilmuwan di Indonesia harus berani merekonstruksi Ilmu Pemerintahan yang bisa berdiri tegak sebagai sebuah disiplin keilmuan sekaligus berguna bagi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara.
Berangkat dari keresahan itu, setelah melalui proses dialektika yang panjang dan melelahkan, Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta mencoba mendudukkan ulang posisi Ilmu Pemerintahan yang dibingkai dengan lima konsep kunci (5G), yaitu government, governing, governability, governance, dan governmentality. Kelima konsep kunci ini bisa menjadi roh, spirit, dan substansi dari disiplin Ilmu Pemerintahan yang khas Indonesia dan mampu memuliakan rakyat. Kelima konsep kunci ini juga diharapkan mampu menjawab berbagai problema yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia sehingga Ilmu Pemerintahan dapat menjadi ilmu yang mampu memuliakan rakyat dan desa.
Menurut Andi Luhur Prianto, selaku pembahas dari Universitas Muhammadiyah Makassar memiliki keresahan yang sama, bahwasannya Ilmu Pemerintahan saat ini berada dalam masa kritis. Meski Ilmu Pemerintahan memiliki ciri khasnya sendiri diberbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, namun, saat ini Ilmu Pemerintahan bersifat lebih praktis dan hanya sedikit sekali yang membicarakan Ilmu Pemerintahan secara khusus dengan melihat ontologi, epistimologi, maupun aksiologisnya. Dideklarasikannya Mazhab Timoho oleh STPMD “APMD” Yogyakarta seperti sebuah oase dalam masa kritis Ilmu Pemerintahan dewasa ini karena mampu membuat pemetaan yang cukup jelas mengenai posisi Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Mazhab timoho diharapkan mampu membawa Ilmu Pemerintahan keluar dari bayang-bayang ilmu politik maupun administrasi dan membawa Ilmu Pemerintahan tidak lagi bersifat praktis namun mampu melihat fenomena yang ada secara luas, serta berpihak kepada masyarakat kecil seperti yang selama ini menjadi fokus dari prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
Sementara menurut pembahas Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang mengemukakan bahwa selama ini Ilmu Pemerintahan berada dalam cengkeraman ilmu-ilmu lain yang lebih dominan. Ilmu Pemerintahan selama ini juga mengalami tumpang tindih dengan ilmu lain seperti Ilmu Hukum, Ilmu Administrasi, maupun Ilmu Politik. Mazhab Timoho diharapkan mampu mengisi dekolonisasi Ilmu Pemerintahan dan kemudian memperjelas serta mempertegas posisi Ilmu Pemerintahan dalam perkembangannya kedepan. Mazhab timoho juga diharapkan mampu membebaskan Ilmu Pemerintahan yang selama ini cenderung memberikan tempat istimewa untuk pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan mendorong berkembangnya Ilmu Pemerintahan yang terfokus kepada rakyat kecil.
Berbeda dengan pendapat dari Dr. Krisno Hadi, M.IP dari Universitas Kristen Palangkaraya yang mengkritisi Mazhab Timoho ini. bahwa mazhab timoho diharapkan mampu menjadi ilmu semesta maupun ilmu pribumi sehingga konsep kunci 5G mampu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia supaya mudah dipahami oleh seluruh pihak yang concern terhadap Ilmu Pemerintahan. Mazhab timoho juga diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan yang didapatkan oleh Ilmu Pemerintahan dewasa ini, antara lain posisi Ilmu Pemerintahan yang masih kabur dan belum memiliki batasan jelas dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Politik, Ilmu Administrasi, dan sebagainya. Mazhab ini diharapkan juga mampu mendekolonisasi Ilmu Pemerintahan sehingga mampu membedakan sekaligus memetakan antara fakta politk dengan fakta pemerintahan.
Sementara Mansetus Darto selaku Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit yang juga sebagai pembahas di webinar ini menggunakan konsep kunci 5G dari mazhab timoho untuk melihat realitas dan fakta praktis di sektor sawit. Dimana konsep Government dalam sektor sawit dapat digunakan untuk melihat bagaimana berbagai dinas terkait dalam melayani pelaku di sektor sawit belum efektif, selama ini masih berbelit-belit dan masih berpihak kepada pemilik kekuasaan maupun pemilik modal besar. Kemudian konsep governing digunakan untuk melihat bagaimana pemerintah atau pemberi ijin lebih
‘melayani’ dan memudahkan prosedur aturan untuk korporasi dan konglomerasi sawit di Indonesia dan
kurang berpihak kepada rakyat yang berprofesi sebagai petani sawit. Sementara konsep governability
Yogyakarta, 16 Juli 2020