Transformasi Desa Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan KedaulatanRakyat

Yogyakarta, 15 Maret 2025. Program Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” bekerjasama dengan Ikatan
Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan The Indonesian Power for Democracy (IPD),
menyelenggarakan Kuliah Umum dan Buka Puasa Bersama dengan topik:
“Transformasi Desa Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat”. Kuliah
umum ini berangkat dari kenyataan bahwa Desa telah mengalami transformasi di
bawah UU No.6 Tahun 2014 yang kemudian di revisi menjadi UU No.3 Tahun 2024.
Namun, transformasi tersebut belum sepenuhnya menghantarkan desa ke pintu
gerbang kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Terdapat banyak kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah pusat yang mengebiri kedaulatan dan kesejahteraan rakyat,
seperti kebijakan penggunaan dana desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Stunting dan sebagainya, yang membuat desa menjadi kurang berwenang dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri

Kuliah umum ini menghadirkan pidato pembukaan dari Ketua Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Dr. Sutoro Eko Yunanto yang
menyampaikan materi terkait: “Transformasi Kemandirian Dan Kedaulatan Desa”.
Dr. Sutoro Eko menyampaikan dua cara pandang dalam memandang desa yang
saling kontradiksi. Pertama, cara pandang esensialisme yang memandang desa
sebagai situs keaslian bagi negara bangsa-modern. Sebagai situs keaslian, desa
menyimpan dan memberi nilai-nilai yang merupakan tradisi agung untuk
memberikan inspirasi dalam pembentukan negara-bangsa. Esensialisme
memandang desa memberi nilai dan kultur yang akan membentuk sikap politik, baik
para pemimpin maupun masyarakat dalam memandang dunia maupun
memandang negara bangsa modern yang dibentuk. Selain itu, cara pandang yang
kedua adalah modernisme yang memandang desa sebagai situs yang kolot, jadul,
kuno, miskin, bodoh dan terbelakang. Akibatnya desa terus menerus digempur
dengan modernisasi dan pembangunan-pembangunan yang diklaim membawa
pertumbuhan dan kemajuan bagi desa. Realitasnya, desa diperkosa, diperalat dan
diseret menjadi semakin tidak berdaya dan berdaulat atas dirinya sendiri. Sutoro
juga menyampaikan kegagalan negara memberdayakan dan memajukan desa
karena birokratisasi dan teknokratisasi yang begitu rigid mengepung desa dengan
berbagai macam program lintas sektoral yang membatasi kewenangan pemerintah
desa. Ketika pemerintah desa gagal menjalankan program, desa dituding tidak
punya kapasitas, SDM rendah dan sebagainya. Negara membangun sambil
merusak, memajukan sambil melemahkan desa. Inilah yang saya sebut sebagai
kontradiksi,” katanya.

Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Luky Agung Yusgiantoro,
B.Sc,.M.Sc,.Ph.D yang menyampaikan pidato pembukaan dengan materi: “Kontribusi
dan Partisipasi Sarjana Katolik Dalam Memperkuat Kedaulatan dan Kemandirian
Desa” diwakilkan oleh Sekjen ISKA Dr. Ch. Arie Sulistiono. Dr. Ch. Arie Sulistiono
mengatakan bahwa desa merupakan pintu gerbang untuk mencapai kedaulatan
dan kesejahteraan negara. Kalau desa tidak berdaulat dan tidak sejahtera, maka itu
juga menjadi ukuran negara. Negara melalui pemerintah, mesti terus didorong untuk
meningkatkan keberpihakan terhadap desa, terutama untuk memperkuat
kewenangan dan kemandirian desa. Karena itu, dia menyambut baik kegiatan
kolaborasi bersama STPMD ‘APMD’ untuk mengupayakan desa yang lebih
berdaulat dan bermartabat. Sebagai bentuk keterlibatan orang Katolik dalam
pembangunan negara, kata dia, ISKA berkomitmen memperkuat desa, karena
ketika desa kuat negara akan maju dan berkembang. “Tidak akan ada negara maju
dan berkembang kalau desanya belum adil, makmur dan sejahtera,” ungkapnya.
Ketua Umum ISKA melalui Sekjen ISKA Dr. Ch. Arie Sulistiono juga menyampaikan
bahwa ISKA menyetujui kerjasama lanjutan dalam bentuk penerbitan buku Kajian
tentang Desa.

Setelah Pidato pembukaan dilanjutkan dengan sesi kuliah umum yang diisi oleh
Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A dari Fisipol UGM dengan materi: Kedaulatan dan
Kesejahteraan Rakyat Untuk Siapa? Prof Dr. Purwo Santoso, M.A mengatakan
bahwa kita selalu keliru dalam memandang bahwa pembangunan desa seakanakan merupakan jerih payah pemerintah pusat, tidak dipahami bahwa
pembangunan merupakan bagian dari jerih payah rakyat yang diorkestari oleh
pemerintah. Dengan cara pandang ini, kita pun melihat bahwa kedaulatan dan
kesejahteraan rakyat merupakan jerih payah pemerintah bukan jerih payah rakyat.
Karena kedaulatan dan kesejahteraan dianggap sebagai usaha pemerintah dalam
mewujudkannya, maka rakyat sering sekali dijadikan obyek. Rakyat tidak menjadi
berdaulat, karena sering dijadikan proyek pemerintah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Otonimi Daerah (KPPOD) Herman N.
Suparman yang menyampaikan materi: “Transformasi Desa Menghadapi
Perubahan Kebijakan Pemerintah” mengatakan bahwa Desa memiliki hak asal
usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Desa perlu berkembang
menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menjadi tonggakan
negara dalam mengukur keberhasilan. Namun, KPPOD melihat bahwa desa masih
dijadikan obyek bagi pemerintah dalam menyelenggarakan negara. Ide
menghadirkan Koperasi Merah Putih misalnya, justru menempatkan desa sebagai
obyek yang tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya
sendiri.

Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Dr. Gregorius Sahdan, M.A yang
membawakan materi: “Desa Dalam Kepungan Negara”, menyampaikan bahwa
kita perlu melihat desa dari perspektif rakyat jelata, bukan dari perspektif elite. Dari
perspektif rakyat, desa selalu dijadikan anak tiri republik, jadi korban kebijakan
pemerintah, dianggap bodoh, tidak mampu dan bahkan disingkirkan dalam proses
kebijakan publik. Sejarah republik sebenarnya adalah sejarah kontribusi desa. Ada
negara karena ada desa. Namun pemerintah dengan berbagai kebijakannya kerap
mengabaikan desa dan menganggap desa tidak memiliki kewenangan. Lima tahun
terakhir pemerintahan Jokowi, desa kerap dijadikan sebagai korban kebijakan
kementerian sektoral yang menyedot dan mengambil dana desa. Misalnya
kebijakan stunting dari Kementerian Kesehatan, BLT Dana Desa dari Kementerian
Sosial, SDGs dari Bappenas, Ketahanan Pangan dari Kementerian Pertanian,
Pendidikan Berkualitas dari Kementrian Pendidikan, menyebabkan Musyawarah
Desa (MUSDES) hanya sekedar formalitas untuk menyetujui program kementerian
sektoral yang telah membagi habis penggunaan dana desa untuk membiayai
berbagai program tersebut. Desa juga tengah dikepung oleh Koperasi Masuk Desa
yang rencananya juga diambil dari dana desa. Karena itu, masalah air bersih, listrik
desa, dan sebagainya kerap diabaikan demi memuluskan program kementerian
sektoral ini. Anehnya Menteri Desa melalui Peraturan Penggunaan Dana Desa,
memberikan jalan mulus bagi pelaksanaan program kementerian sektoral ini.

Tujuan Kuliah Umum ini adalah meningkatkan partisipasi dan kontribusi multipihak
dalam memperkuat kapasitas Desa. Kuliah umum ini dilaksanakan pada Sabtu, 15
Maret 2025 Pukul 15.00-18.WIB di Ruang M.Soetopo STPMD “APMD” yang dihadiri oleh
hampir 200 peserta pegiat desa, aktivis desa, dosen dan mahasiswa.