Critical Thinking with(out) Critical Theory

Ada satu ungkapan: “Akhir-akhir ini banyak kebijakan pemimpin yang tidak menggunakan logika…”. Secara sepintas, banyak pihak yang terjebak memaknai kalimat ini sebagai ilustrasi dari critical thinking atau berpikir kritis, tetapi bisa saja yang terjadi sebenarnya adalah asal mengkritik, waton suloyo atau keluh kesah karena keputusan/kebijakan yang ditetapkan tidak melayani kepentingan orang yang mengkritik. Pernyataan tersebut bukan berarti tidak boleh mengkritik, justru kritik wajib dilakukan untuk kepentingan menciptakan keadilan dan kebaikan bersama. Setidaknya ada dua bentuk kritik yang bisa didiskusikan: a) critical thinking without critical theory yaitu asal mengkritik, protes atau waton suloyo; b) critical thinking with critical theory yaitu mengkritisi dengan perspektif kritis yang kuat dengan landasan nilai kebajikan. Sekedar protes atau benar-benar berpikir kritis terhadap realitas sosial merupakan dua hal yang sangat berbeda. Jika yang pertama dilandasi oleh “melayani kepentingan diri sendiri atau selfish”, maka yang kedua adalah kritik yang dilandasi oleh “nilai/value”.

Critical thinking with critical theory merupakan abstraksi dari tradisi berpikir kritis yang dilandasi oleh nilai, nalar, moral dan norma. Pertama, nilai merujuk pada keyakinan terhadap hal yang dianggap sebagai kebaikan bersama dalam kehidupan sosial, bersifat abstrak dan sangat berkaitan dengan prinsip yang menjadi pedoman untuk mengambil keputusan, seperti nilai kejujuran, kesetaraan, dan keadilan. Nilai bisa diklasifikasikan ke dalam kebaikan bersama secara universal, lokal, maupun personal yang dilandasi oleh ideologi atau keyakinan (faith). Kedua, nalar dimaknai sebagai kemampuan berpikir secara logis dan rasional, mencakup kapabilitas dalam menangkap kenyataan (realitas), membuat pernyataan (melakukan interpretasi atas realitas),  membentuk pertanyaan untuk memahami hubungan sebab-akibat, membuat abstraksi pengetahuan atas fenomena dan menentukan aksi untuk menyelesaikan masalah berdasarkan hasil pengetahuan (problem-solving).

Ketiga, moral diartikan sebagai seperangkat aturan yang dianggap benar atau salah oleh suatu kelompok atau masyarakat dan berkaitan dengan perilaku yang dianggap baik atau buruk. Moral berbeda dengan moralitas. Moralitas melibatkan penilaian terhadap tindakan atau sikap seseorang, apakah sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Moral mengajak orang berbuat kebaikan sedangkan moralitas membentuk kaum moralis untuk menghakimi perilaku orang lain atas nama moral (moral judgement). Keempat, norma adalah aturan hukum atau pedoman yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat, bersifat tertulis (seperti hukum) atau tidak tertulis (seperti adat atau kebiasaan). Norma dibuat untuk menciptakan keteraturan dan menyelesaikan konflik dilandasi nilai kesetaraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Nilai membentuk cara pandang, nalar membentuk cara berpikir, moral dan norma membentuk cara bersikap.

Freire mengklasifikasikan cara pandang, cara berpikir dan cara bersikap ke dalam tiga tipe kesadaran: magical consciousness, naival consciousness, critical consciousness. Pertama, magical consciousness atau kesadaran magis merujuk pada berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia berada di luar kemampuan dan kekuasaan manusia atau disebut transendental. Berasal dari “trancend” yang bermakna melampaui atau di luar kekuasaan manusia, kesadaran ini berkeyakinan bahwa apa yang terjadi bukan merupakan hubungan sebab-akibat, dan tidak berkaitan satu sama lain. Kesadaran ini digunakan untuk melihat relasi antara manusia sebagai ciptaan (makhluq) dan Tuhan sebagai pencipta (kholiq). Dengan kata lain, semua yang diupayakan manusia secara optimal dengan nalar untuk menelusuri kenyataan, pernyataan, pertanyaan, dan pengetahuan tentang sesuatu tidak akan berhasil membawa pada perubahan yang diharapkan kecuali Tuhan berkehendak. Bukan berarti bahwa kesadaran magis melarang manusia menggunakan nalar, tetapi untuk memberikan pemahaman bahwa kekuasaan manusia “terbatas”, sedangkan kuasa Tuhan “tidak terbatas”.

Kedua adalah naival consciousness atau kesadaran naif, atau banyak disebut sebagai kesadaran palsu “false consicousness” yang ironisnya menjadi tipe kesadaran dominan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Cara pandang ini berkeyakinan bahwa manusia adalah pusat kehidupan alam semesta dan menjadi faktor utama penyebab terjadinya baik-buruknya sebuah realitas sosial. Mullaly menyebutkan bahwa pembentukan kesadaran palsu dilakukan melalui internalisasi penindasan (internalized oppression), bahwa ide, nilai, dan keyakinan kelompok penguasa (dominan) dapat diinternalisasi kepada kelompok yang dikuasai (subordinat) secara terus-menerus melalui berbagai cara termasuk pembentukan wacana, pengetahuan, industri hiburan, dan budaya modern.  Akibat internalisasi kesadaran palsu ini, individu/masyarakat tidak hanya melihat dirinya melalui kacamata orang lain, tetapi juga menilai dirinya berdasarkan nilai dan standar orang lain, serta mengadopsi cara pandang tersebut sebagai miliknya sendiri bahkan ketika interpretasinya adalah untuk melindungi dan menguntungkan orang lain (kelompok dominan).

Dalam menelaah berbagai masalah sosial, kesadaran palsu mengidentifikasi faktor manusia sebagai penyebab utama kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, penelantaran dan kriminalitas. Salah satu teori yang dibentuk dari kesadaran naif dan paling banyak digunakan sebagai cara berpikir dalam menyelesaikan masalah sosial adalah deviant-behaviour theory atau teori perilaku menyimpang. Teori ini mengidentifikasi masyarakat menjadi miskin karena perilaku mereka sendiri yang malas, bodoh, tidak berpendidikan, tidak memiliki jiwa usaha, dan tidak bermoral. Ilustrasi deviant-behaviour theory dalam proses menyalahkan masyarakat melalui labelling ini dijelaskan dalam tahapan-tahapan berikut: 1) mendefinisikan masalah kemiskinan berdasarkan angka, jumlah pendapatan dan pengeluaran masyarakat dengan standar yang ditetapkan oleh orang lain; 2) menganalisa masyarakat dan mendeteksi perbedaan mereka dengan anggota masyarakat lain yang tidak miskin; 3) mendefinisikan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai akar masalah kemiskinan, yang sebenarnya terjadi karena praktek ketidakadilan dan diskriminasi dalam pembangunan; 4) merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dan program kemanusiaan dengan fokus memperbaiki perbedaan dengan mengubah perilaku orang-orang miskin. Kesadaran palsu membentuk nalar berpikir naif, sempit, parsial dan abai dengan analisis holistik yang ujungnya terjebak membentuk kaum moralis yang sibuk menghakimi moral orang lain. Dampak moral judgement tersebut sangat berbahaya jika secara dominan berpengaruh pada pengambilan keputusan dan kebijakan untuk menyelesaikan masalah sosial. Alih-alih mengatasi masalah sosial, yang terjadi justru labelling dan stereotyping kepada masyarakat atas dalih penegakan moral.

Ketiga, critical consciousness atau kesadaran kritis dimaknai sebagai cara pandang yang melihat struktur sosial yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan menindas kelompok yang lain sebagai penyebab masalah sosial. Pendekatan struktural yang lahir dari kesadaran ini mengkritik cara pandang naif yang mengidentifikasi masyarakat/perilaku masyarakat sebagai sumber masalah sosial, dengan memberikan alternatif kesadaran akan adanya relasi dominan-subordinat yang membentuk relasi masyarakat yang berkuasa dan dikuasai melalui praktek-praktek eksploitasi, diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi. Dengan demikian, faktor-faktor penyebab kemiskinan/masalah sosial seperti kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan merupakan dampak dari sistem dan struktur yang tidak adil.  Artinya, kebijakan-kebijakan pemerintah berkontribusi besar menyebabkan seseorang dengan fisik yang lemah tidak bisa hidup layak, masyarakat pinggiran menjadi termarjinalkan karena kesenjangan pembangunan, masyarakat menjadi rentan karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak, serta masyarakat yang tidak berdaya karena kekayaan dan sumber daya yang seharusnya dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat justru dilegitimasi untuk dikuasai demi keuntungan sekelompok orang.

Kesadaran kritis memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam suatu proses dialog penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil. Critical thinking with critical theory lahir dari kesadaran kritis yang membentuk cara pandang kita terhadap realitas sosial: bagaimana kita melihat realitas sosial, apa yang kita anggap sebagai masalah dalam relasi sosial, apa yang kita anggap bermanfaat untuk mengatasi masalah sosial, metode apa yang kita gunakan dalam penelitian terhadap masalah sosial dan metode intervensi apa yang dianggap paling sesuai untuk menanggulangi masalah sosial tersebut. Pada akhirnya, persoalan pilihan terhadap critical thinking with critical theory bukan karena alasan benar atau tidak benar, akan tetapi lebih karena pilihan cara pandang, cara berpikir dan cara bersikap yang lebih bermakna dan bermanfaat yang didasarkan pada nilai keadilan dan kebaikan bagi sesama.