“Digitalisasi politik, pedang bermata dua”

Sejumlah 74 makalah dari tujuh negara dibahas dalam Internasional Conference on Advances Goverment and Political Sciences (ICAGPS2019) dan Digital Communication, Media and Journalism (ICCMJ-2019) yang digelar di STPMD “APMD” Yogyakarta 25-26 Oktober 2019.

Tiga pembicara utama yang tampil kemarin adalah Dr. Rizal Mohd Yaakop dari Universiti Teknologi Malaysia, Prof. Tutut Herawan Ph.D (coaching clinic Internasional Journal), dan Prof. Purwo Santoso Ph.D. Mereka membawakan makalah di depan sekitar 150 peserta dari berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia dan mancanegara.

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr Sutoro Eko Yunanto dalam opening speach mengatakan konferensi internasional ini memiliki tiga kata kunci: politik-pemerintahan, komunikasi dan community developnent. Namun, lanjutnya, di antara tiga kata kunci, terdapat satu kata kunci yang sama, yakni advances, yang secara etimologis bermakna promoting atau moving foward.

Sutoro Eko menjelaskan orang lebih suka berbicara pada sejumlah konsep yang direproduksi sebagai industri pemerintahan oleh neoliberalisme seperti transparansi, akuntabilitas, integritas, partisipasi, anti-korupsi. Bagi neoliberal, yang diikuti netizen milenial dan kaum kelas menengah kota, konsep “advance” lebih bermakna sebagai digitalisasi (data, informasi, media, teknologi, internet) terhadap kehidupan manusia, sebagaimana hadir dalam berbagai jargon: ekonomi digital, masyarakat digital, komunitas digital, politik digital maupun pemerintah digital.

Ketua APMD menggarisbawahi perangkat digital ibarat sebilah pedang bermata dua. Tubuh pedang itu adalah neoliberalisme, yang memanfaatkan perangkat digital untuk mengobati krisis kapitalisme, sekaligus memperkuat kapitalisme dengan prinsip efisiensi dan kecepatan informasi yang disediakan oleh perangkat digital. Namun kapitalisme bukan perkara bisnis biasa. Ia hidup bersentuhan dengan negara, pemerintah dan masyarakat. Neoliberalisme tak suka pada sistem politik-pemerintahan yang merugikan ekonomi pasar kapitalis, entah demokrasi atau otoritarian.

Ada dua jenis sistem-politik pemerintahan yang menjadi musuh neoliberalisme dan harus dihadapi dengan perangkat digital, Sutoro Eko menjelaskan. Satu mata pedang perangkat digital digunakan oleh masyarakat sipil, yang didukung oleh agen neoliberalisme, untuk menantang otoritarianisme dan membuka demokrasi. Contoh Arab Spring.

Mata pedang yang lain, digitalisasi melemahkan demokrasi, sesuai skenario neoliberalisme. Secara formal, demokrasi terus berfungsi tetapi menjadi semakin kosong, yang disebut sosiolog Inggris Colin Crough (2000) sebagai “pasca-demokrasi.” Ciri penting “pasca-demokrasi” adalah peningkatan kuasa agen neoliberal dan korporasi untuk memengaruhi keputusan yang diambil pemerintah nasional dalam menanggapi tekanan rakyat. Mereka juga memaksa mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan sosial, kecuali campur tangan yang menguntungkan pasar dan korporasi. Pemerintah juga dipaksa untuk mengadopsi perangkat digital sebagai bentuk kontrol teknokratis atas oligarki dan populisme.

Sutoro Eko juga memberi sejumlah tanda terhadap rezim digital dan pasca-demokrasi. Pertama, netizen merupakan bentuk jejaring komunalisme baru tanpa kewargaan. Kedua, rezim digital tidak percaya pada pemerintah dan negara, tetapi lebih percaya pada kapitalisme, sembari memaksa dan memanfaatkan negara untuk mengurus kepentingan mereka. Ketiga, efisiensi lebih penting ketimbang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Keempat, informasi lebih penting ketimbang harapan dan aspirasi rakyat. Kelima, standardisasi teknokrasi lebih penting ketimbang representasi politik. Keenam, kreator digital adalah pahlawan, yang lebih utama ketimbang guru, pemimpin rakyat atau profesor. Ketujuh, manusia semesta disederhanakan menjadi sumberdaya manusia sebagai alat produksi, yang harus mahir menggunakan perangkat digital.

Pada bagian akhir Sutoro Eko memberi saran agar kita tidak boleh gampang terkejut dan heran, lalu menjadikan digitalisasi sebagai berhala. Kita harus bersikap kritis dan emansipatoris. Digitalisasi politik harus ditandingi dengan politisasi digital, agar perangkat teknologi itu tidak dilembagakan menjadi teknokrasi, yang mereduksi segala aspek kehidupan manusia menjadi perkara teknis semata. Paling tidak orang bisa melakukan bullying terhadap digitalisasi politik maupun perangkat digital yang dilembagakan menjadi teknokrasi.