Covid-19, KKN STPMD “APMD”, dan Kepedulian

Dalam rentan waktu selama satu semester ini, covid-19 masih saja menjadi momok bagi tatanan kehidupan umat manusia. Alasan tersebut menjadi persoalan utama pememorak-morandaan kehidupan sosial, ekonomi, dan peradaban masyarakat. Di lain sisi, kemelaratan di tengahnya bangsa yang dilanda pandemi ini masih sulit terselesaikan.

Berbagai ketakutan terus diproduksi dengan berbagai narasi dan alasan yang tidak masuk akal: selain mengenang para korban di Papua yang terus berguguran nyawanya oleh negara dengan kekerasan yang dilakukan oleh militer, kemiskinan dan berbagai persoalan kehidupan pun masih terjadi di tengah masyarakat.

Cara yang mesti dihadapi saat ini adalah kepedulian. Kepedulian terhadap sesama manusia adalah cara terbaik yang mesti tetap hidup di tengah pergolakan-pergolakan serta fenomena-fenomena baru yang terjadi saat ini. Peduli terhadap sesama masyarakat, orang yang panik, berkekurangan, mengalami keputusasaan akibat dirumahkan, matinya kehidupan sosial, dan berbagai persoalan yang muncul setelah tersebarnya covid-19 ini.

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Yogyakarta (STPMD “APMD”), pada tahun ini, tetap menerjunkan mahasiswa (yang telah menyelesaikan studi teorinya) ke tengah masyarakat untuk bergabung dengan masyarakat dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Bagi STPMD “APMD”, momen ini sangat penting sekaligus berguna dan bermanfaat, karena kemudian mahasiswa boleh berkesempatan melihat secara langsung fenomena yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengobservasi, mengkaji, mengedukasi lalu berkolaborasi dengan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Di sisi lain, mahasiswa dapat belajar banyak dari masyarakat tentang hidup bermasyarakat.

Kegiatan KKN tahun ini memang agak sedikit unik. Jika sebelumnya mahasiswa diterjunkan ke masyarakat dan tinggal di tengah masyarakat selama waktu yang ditentukan, kini mahasiswa STPMD hanya diberi kesempatan 3 sampai 4 jam dalam sehari untuk bertemu dengan masyarakat. Alasan ini jelas, sebab dengan demikian, dapat mempersempit tesebarnya virus mematikan: covid-19.

Walaupun begitu, semangat dan antusiasme antara masyarakat dan mahasiswa untuk saling menerima tetap “hidup” di tengah fenomena ini. Terlepas dari itu, semangat yang diproduksi adalah kepedulian. Kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan pun kepedulian mahasiswa terhadap persoalan yang telah menimpa masyarakat selama berbulan-bulan.

Saya sendiri adalah angota KKN yang diterjunkan bersama empat teman saya: Rusidyan Tarambani dari Sumba, Nelson Kulismian dari Papua, Efantris Megah dari Manggarai, dan Abri Maxon Kogoya dari Jogja. Sebagai kelompok urutan 28, kami diterjunkan di Kelurahan Sorostan, Umbulharjo—sebuah Kelurahan di tengah Kota Yogyakarta.

Dengan semangat kepedulian, kami berlima bekerjasama, menyusun strategi, berkolaborasi, dan saling memberikan ide untuk kemudian berhadapan dengan masyarakat. Strategi utama yang kemudian kami terapkan adalah membangun ke-percayadiri-an dan semangat kekeluargaan agar boleh bersanding dengan masyarakat dengan semangat yang sama.

Di awal kami berkunjung ke masyarakat, memang banyak kendala yang mesti kami terima. Salah satunya adalah tidak diterima oleh masyarakat jika belum membawa bukti kesehatan dari pihak kesehatan (rapid test). Tidak berhenti di situ. Kami kemudian membuat pendekatan dengan lembaga STPMD “APMD” untuk memenuhi permintaan tersebut.

Alhasil, semua itu berjalan lancar. Setelah kami kembali ke masyarakat dengan membawa berkas-berkas tersebut, maka kami diterima untuk menjalankan program-program kami di Kelurahan tersebut. Ini adalah pengalaman menarik yang kemudian kami berlima mengakuinya sebagai orang-orang yang pada akhirnya memang akan menetap di tengah masyarakat umum.

Semangat kepedulian mulai kami bangun saat itu. Kami mendekati setiap masyarakat secara individu dan menanyakan apa yang menjadi persoalan mereka. Dengan segala keterbukaan, masyarakat menceritakan semua kesulitan yang mereka rasakan di tengah merebaknya pandemi covid-19 ini.

Persoalan mendasar yang mereka alami adalah ketahanan pangan. Sebagai masyarakat kota, kebutuhan pangan hanya akan bisa didapatkan lewat pendapatan dari bekerja sebagai buruh, gojek, pemulung, pedagang kaki lima dan masih banyak varian pekerjaan yang tidak dapat disebut satu-satu. 

Tetapi pada intinya, krisis pangan benar-benar mereka alami lantas banyak buruh yang dirumahkan, juga beberapa pekerjaan yang mesti dihentikan selama covid-19 masih menjadi persoalan negeri ini.

Persoalan lain adalah belajar via online bagi anak-anak Sekolah Dasar. Mereka masih belum mampu menggunakan teknologi untuk belajar dengan efisien. Persoalan ini saya pikir terjadi di semua daerah. Sistem pembelajaran (baru) yang amat menyulitkan. Saya tidak bayangkan jika mereka yang alami hal demikian adalah orang-orang desa di pedalaman. Tetapi kesulitan-kesulitan itu adalah kenyataan yang mesti dihadapi.

Dan satu lagi persoalan yang cukup memerlukan edukasi adalah protokol kesehatan. Sudah kita tahu bersama bahwa protokol kesehatan secara umum yang harus diterapkan saat ini antara lain: selalu menggunakan masker, sering mencuci tangan, rajin olah raga, menghindari kerumunan dan beberapa yang lain. 

Tetapi banyak masyarakat yang terpakasa harus melanggar aturan-aturan tersebut karena berbagai alasan. Ada yang memang kekurangan edukasi, ada pula karena alasan untuk tetap bertahan hidup meski pada aturan tersebut diimbau untuk tetap di rumah saja. Sedangkan jika di rumah saja, maka yang terjadi adalah krisis ekonomi bahkan kelaparan.

Dari berbagai persoalan di atas, tentu saja kami sebagai mahasiswa tidak dapat menyelesaikannya dengan memenuhi semua kebutuhan masyarakat tersebut, apalagi dalam hal ekonomi masyarakat. Cara yang kami gunakan adalah membantu dengan semangat kepedulian yang tinggi.

Cara-cara yang menururt kami dapat sedikit membantu persoalan-persoalan di atasa dalah sebagai berikut: Pertama, mengalihfungsikan beberapa lahan kosong—tempat pembuangan sampah, atau taman-taman bunga untuk kami tanami berbagai jenis sayuran yang kemudian hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat yang sangat membutuhkan. 

Kedua, mengedukasi masyarakat terkait protokol kesehatan dan juga menyediakan aksesoris seperti tempat mencuci tangan dan hand sinitizer di setiap RT. Ini dimaksudkan untuk masyarakat selalu waspada dengan menjunjung tinggi kebersihan. Dan, ketiga, mendampingi dan mengajarkan anak-anak dalam menggunakan teknologi sebagai satu-satunya media untuk belajar secara online.

Ketiga cara di atas kami lakukan sejatinya bukan karena memang kami bisa dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan, melainkan sebagai bentuk kepedulian dalam memerangi covid-19 secara bersama. Dan satunya-satunya cara yang mesti dilakukan untuk memerangi pandemi ini adalah dengan kerjasama, kekompakan kepedulian dan saling mengingatkan.

Jika sebelumnya STMPD lebih banyak peduli terhadap desa, kini, STPMD juga mampu membuka diri dan memberikan kepedulian terhadap masyarakat kota. Alhasil, persoalan di desa tidak beda jauh dengan yang dihadapi masyarakat kota. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengatasi krisis-krisis tersebut.

Harapannya, pemerintah segera memerhatikan hal-hal kecil seperti persoalan-persoalan yang dialami masyarakat yang saya gambarkan di atas. Terkadang, pemerintah dan para pemegang kekuasan melihat dan memandang dari tahkta yang tinggi lalu membuat banyak kebijakan agar terlihat seperti memerintah tetapi tidak melihat dian-dian kecil yang hampir padam di tengah masyarakat.

Peduli memang sangat penting. Kita hanya bisa “berdiri” jika saling peduli. Peduli terhadap sesama adalah peduli terhadap diri kita sendiri. Pemerintah yang peduli adalah pemerintah yang adil. Masyarakat yang peduli adalah masyarakat yang makmur.

Penulis : Bruno Rey Pantola

30 Juli 2020