BUMDes Quo Vadis? Melongok Seonggok Masalah di Ponggok

Diskusi membahas kasus BUMDes di Ponggok berlangsung di kantor Pemkab Klaten, Senin (1/7). Diikuti puluhan pengelola BUMDes, pendamping desa, perangkat desa dan dinas terkait se Kabupaten Klaten. Dua pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Sutoro Eko Yunanto dan Anom Surya Putra, SH., MH.

Di Klaten saat ini ada sekitar 391 BUMDes dan ada 294 atau 75 persen BUMDes cukup berkembang serta tujuh BUMDes dikategorikan maju termasuk dari Ponggok. Ponggok yang telah lama dikenal sebagai percontohan bagi BUMDes se Indonesia kali ini diterpa berita yang kurang sedap, terkait dugaan pengelolaan aset desa yang tak transparan.

Sutoro Eko, Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta membawakan makalah dengan judul “BUMDesa Menantang Politik Isolasi Ekonomi di Medan Desa.” Mengawali pemaparan dengan memberi argumen BUMDesa bukanlah proyek mobilisasi untuk membuat Merpati (meralat ke bupat), Pedati (perintah dari bupati) jika tak diperintah tak jalan, dan Melati (menjadi ladang upeti).

BUMDesa bukan pula sekadar bisnis konvensional yang semata mempertimbangkan untung rugi dengan pendekatan manajerial dan akuntansi. Selain dua hal di atas, BUMDesa memiliki nilai dan semangat hadir sebagai korpirasi kerakyatan-kemandirian yang dikonsolidasi oleh desa menentang marginalisasi dan isolasi ekonomi.

Sutoro menjelaskan, BUMDesa itu mempunyai tiga A yaitu aset, aktor, dan arena. Aset adalah harta yang dimiliki. Aktor adalah mereka yang menjadi pengelola bisnis skala desa ini. Dan Arena adalah ruang di mana BUMDesa mestinya berkembang dan maju.
Sutoro juga menjelaskan secara historis dampak serius sejarah panjang desa 400 tahun, dari era kolonial sampai neoliberal. Salah satu arsitek UU Desa 6/2014 ini juga sekilas menjelaskan politik kekinian. Katanya, berbeda dengan UU lain yang cenderung teknokratis, UU Desa merupakan sebuah undang-undang yang pro politik.

BUMDesa dalam UU Desa juga dipaparkan termasuk paradoks implementasi UU Desa. Paradoks itu antara lain: semangat besar UU Desa direduksi menjadi proyek dana desa, kepala desa yang seharusnya menjadi pemimoin rakyat diarahkan menjadi mandor proyek, prakarsa desa biasa dibatasi dan dilarang dengan frasa “belum ada payung hukumnya,” “belum ada aturannya,” “aturannya melarang,” kecurigaan dan pengawasan jauh lebih menonjol ketimbang pembinaan dan pemberdayaan.

Pelajaran dari BUMDesa Sejati antara lain: Prakarsa lokal yang digerakkan oleh pemimpin desa, yang malakukan konsolidasi, melakukan subversi atas proyek sektoral misalnya “Wisata desa” menjadi “Desa Wisata” yang sanggup membawa desa mendunia.
Banyaknya tugas kepala desa, secara kelakar, menjadikan mereka mirip presiden. Jika presiden kerja kerja kerja, kalau kepala desa laporan, laporan, laporan. Namun, jika kepala desa salah, misalnya, ya dihukum. Tak perlu polisi dan jaksa ke desa, sampai minta rancangan anggaran desa.

Anom menyatakan pengelola BUMDes itu mestinya masa jabatannya selama enam tahun. Selama ini hanya tiga tahun. Tahun pertama masih bingung mau melakukan apa. Tahun kedua baru membuat program dan tahun ketigasudah ditagih laporan.

BUMDes itu menurut Anom mempunyai setidaknya tiga problem. Yaitu problem yuridis, problem manajerial dan ketiga problem yang ditimbulkan karena politik makro dan lokal. (humas/tass)