MAGANG MBKM PKKM ISS STPMD “APMD”  2024

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – (Kamis, 22/08/2024) “Strategic Meeting dan Penandatangan Kerjasama Kemitraan dengan Kalurahan Panggungharjo: Magang MBKM PKKM ISS 2024”. Berlokasi di Kampoeng Mataraman, Kalurahan Panggungharjo, Bantul.

Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta melaksanakan kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan “Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) Institutional Support System (ISS) MBKM” yang bertujuan mendukung transformasi pendidikan tinggi di seluruh program studi melaui salah satu kegiatannya yakni pengalaman kerja industri dan pembelajaran langsung di tempat kerja mitra magang. Kali ini Kalurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul terpilih menjadi lokasi kemitraan atas dasar reputasi prestasi diantaranya sebagai Award 2023 yakni medali Anubhawa Sasana Desa Jagaddita (Apresiasi atas kontribusinya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat terutama terkait dengan kemudahan investasi).

Sambutan diawali oleh Dra. Widati, Lic.rer.reg., dimulai dengan sambutan hangat dan penjelasan mengenai tujuan Magang MBKM PKKM ISS 2024 yakni untuk melatih mahasiswa internership dengan mempraktekan teori yang telah didapat, mendorong pembelajaran berbasis proyek, menambah wawasan, pengembangan diri, dan berlatih problem solving, dengan harapan program magang ini terlaksana dengan baik dan bermanfaat bagi mahasiswa, selanjutnya juga berdampak pada kampus sehingga meningkatkan relevansi kurikulum, dan bagi desa mendapat mahasiswa yang terdidik untuk membantu desa.       Adanya kemitraan ini dapat bersinergi menyumbang kemajuan bangsa. Sambutan kedua dari Lurah Panggungharjo dengan harapan yang sama, lalu menjelaskan selayang pandang Kalurahan Panggungharjo dan memberikan nasihat 4 aspek yang bisa dipelajari mahasiswa yakni “Aspek Legalitas, Aspek Kelembagaan, Aspek Operasional, dan Aspek Finansial” sebagai strategi pengelolaan desa.

Pada acara inti yakni penandatanganan MoU antara STPMD “APMD” Yogyakarta diwakili oleh Dra. MC Candra RD, M.Si., dan pihak Kalurahan Panggungharjo oleh Apt. Wahyudi Anggoro Hadi, S. Farm., dengan dilanjut penyerahan mahasiswa magang yang telah terseleksi. Mahasiswa semester 5 dari Program studi Ilmu Pemerintahan berjumlah 5 mahasiswa dan Program studi Pembangunan Sosial berjumlah 6 mahasiswa. Keseluruhan mahasiswa nantinya akan terbagi di 7 lokasi yakni, Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID), PKK Kalurahan Panggungharjo, BUMDES Panggung lestari, Desa Mandiri Budaya (DMB), Badan Pelaksana Jaring Pengaman Sosial (Bapel JPS, Klinik Konsultasi Keluarga (Klik Keluarga), dan yang terakhir yakni Koperasi Warga Desa Nusantara (KWDN).  Tentunya mahasiswa tidak akan dilepas secara mandiri, akan ada dosen pembimbing lapangan Putera Perdana, S.IP., M.I.P., dari Prodi Ilmu Pemerintahan dan AuliaWidya Sakina, S.Sos., M.A., dari Prodi Pembangunan Sosial, sebagai dosen yang akan mengarahkan dan menjembatani antara mahasiswa dan mitra. Acara ini diakhiri dengan perkenalan tiap mahasiswa dan berbincang mengenai gambaran magang.(vv)

KONGRES DESA 2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Sebanyak kurang lebih seribu peserta hadir pada Kongres Desa yang diadakan di Gedung Ganesha Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”APMD” Yogyakarta, 22 November 2023.

Kongres Desa turut menghadirkan narasumber dari berbagai pihak yakni; Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Direktur Menteri Dalam Negeri bagian Fasilitasi Perencanaan Keuangan dan Aset Pemerintah Desa, Ketua Pansus RUU Desa DPR RI 2012-2023 juga dihadiri dari berbagai peserta dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari masyarakat, mahasiswa, akademisi, kelompok difabel hingga para perangkat desa yang berasal dari dalam dan luar pulau Jawa.

 “Nasib rakyat miskin yang terpapar stunting, sulitnya UMKM tidak pernah dalam diskursus nasional kita, maka inilah sesungguhnya di Kongres Desa merupakan kongresnya rakyat jelata untuk memperjuangkan nasibnya di bangsa ini,” tegas Syarief Aryfaid, S.IP, M.IP dalam sambutan.

Direktur Lembaga Strategis Nasional yang sekaligus menjabat Ketua Panitia Kongres Desa tersebut menjelaskan perbedaan kongres tersebut dengan pertemuan sebelumnya yaitu yang menyatakan gagasan dan pendapatnya adalah rakyat desa bukan kongresnya para elit negara dengan kesadaran politik untuk memperjuangkan nasib rakyat desa di Indonesia.

Kongres ini merupakan salah satu proses menjahit aspirasi, pendapat, dan ide masyarakat dalam kontestasi politik nasional, dimana rakyat hanya disuruh untuk menerima dari suruhan oleh para elit. Seperti stunting, peraturan yang dipaksakan oleh pemerintah, kemiskinan, masalah BUMDes, hingga masalah kelompok difabel yang selalu termaginalkan.

“Untuk menjadi Desa Maju pada saat ini tidak sulit, yaitu dengan transportasi teknologi dan transportasi digital yang membuat desa menjadi terbuka dan sangat strategis. Dengan era integrasi ekonomi dengan transportasi digital yang meng-Indonesia dan mendunia ini akan memperkuat desa, dimana desa bukan lagi menjadi beban akan tetapi desa menjadi gelar pertumbuhan ekonomi nasional,” ucap Aria Bima selaku Wakil Komisi VI DPR RI.

Dimana Transportasi Struktural Ekonomi (TSE) merupakan kunci dalam mencapai Indonesia Emas 2045. TSE melibatkan aspek ilmu pegetahuan, inovasi, produktivitas, ekonomi hijau, transportasi digital, integrasi ekonomi domestik & global, serta pertumbuhan ekonomi pusat perkotaan.

Harapannya setelah terselenggaranya kongres ini akan ada sebuah blueprint (peta jalan) yang dirumuskan untuk menjadi masukan pemimpin nasional kedepan menuju Indonesia Emas 2045. (Nda)

Sosialisasi Intern Kampus

HUMAS APMD, Yogyakarta – Selasa (19/09/2023) STPMD “APMD” mengadakan pembukaan Sosialisasi Intern Kampus (SIKam). Acara dilaksanakan di Gedung Ganesa APMD Yogyakarta. Dalam pembukaan SIKam tahun ini, dimulai dengan parade bendera Himpunan Mahasiswa Jurusan yang diikuti dan dihadiri oleh unsur pimpinan dan seluruh pejabat struktural kampus APMD.

Sosialisasi Intern Kampus (SiKam) adalah wahana bagi mahasiswa baru untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan civitas akademik dan lingkungan kampus. SIKam tahun ini akan dilaksanakan selama tiga hari yaitu pada tanggal 19 s.d 21 September 2023. Pembukaan acara SIKam disahkan dengan pemukulan gong oleh Ketua STPMD ”APMD” Yogyakarta, Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si.

Tema SIKam yang diambil pada tahun 2023 adalah “Revitalisasi Sumber Daya Manusia dan Budaya Adiluhung di Era Modernisasi”. Tema ini muncul karena di era yang modern pada saat ini, moralitas pada sumber daya manusia semakin menurun. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan untuk menghidupkan kembali moralitas tersebut. Budaya membaca, menulis dan bercerita sudah mulai ditinggalkan oleh para mahasiswa. 

“Moral itu penting tetapi kalau orang kejangkitan moralisme itu justru berbahaya, mengharapkan manusia menjadi malaikat, lalu memandang semua perbedaan itu sebagai setan, tetapi itu penting. Manusia bisa menjadi setan tetapi tidak mungkin menjadi malaikat.” Sambutan Ketua APMD Bapak Dr. Sutoro Eko, M.Si

“Sarjana rakyat itu sangat dekat dengan tradisi intelektual dan aktivis. Aktivis itu merakyat, tetapi banyak juga merakyat tapi anti sosial, merakyat tapi tidak bermasyarakat, karna itu anda semua menjadi aktivis rakyat yang bermasyarakat”. lanjutnya

Zaman berkembang secara pesat saat ini namun semangat sumber daya manusia saat ini meredup. Perkembangan modernisasi sangat berkembang besar di era sekarang ini sehingga perlu mengembangkan sumber daya manusia. Dilihat dari bukti nyata tidak hanya secara insfrastruktur saja tetapi secara suprastruktur dilihat dari budaya yang sekarang ini mulai turun.

“Budaya adiluhung itu kita mempunyai karakter, moralitas, budaya, dan norma kita, jadi bukan hanya pengetahuan melainkan karakter itu melekat pada diri seseorang. Adapun tujuan atau goals dari SIKam tahun ini bagaimana nanti kedepanya anak-anak mahasiswa baru ini dapat satu pengetahuan dan moral yang baik.” ungkap Patrick Valdano Sarwom selaku ketua panitia SIKam 2023 dalam wawancara. 

Mengenal Lebih Dekat Konsep Mahzab Timoho

Yogyakarta, 24 Agustus 2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA –  Prodi Ilmu Pemerintahan menyelenggarakan kegiatan diskusi publik dengan tema “Mengenal Lebih Dekat Konsep Mahzab Timoho (Government, Governing, Governability, Governance, dan Governmentality) yang dilaksanakan di Ruang M. Soetopo pada Kamis, 24 Agustus 2023.

Kegiatan ini dihadiri oleh para calon wisudawan, beberapa mahasiswa baru serta dosen dari Prodi Ilmu Pemerintahan. Diskusi publik ini menghadirkan Guru Desa yaitu Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, Acara ini berjalan baik dengan antusias mahasiswa yang aktif menyimak penjelasan yang diberikan.

Ketua panita, Bapak Junior Hendri Wijaya, S.IP.,M.I.P mengatakan bahwa “Diskusi ini diselenggarakan untuk mengenal lebih dekat mazhab Timoho, dimana memang sudah dirintis oleh ketua STPMD “APMD” Bapak Sutoro Eko, merupakan salah satu konsep baru yang membedakan dengan konsep konsep pada umumnya.”

“Diharapkan Prodi Ilmu Pemerintahan dapat membentuk sarjana rakyat yang dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, khususnya di daerah masing-masing dalam pembangunan desa,” Lanjutnya.

Dalam diskusi ini Sutoro Eko menjabarkan terkait dengan 5G versi ilmu pemerintahan. “Goverment, merupakan organisasi kekuasaan yang khas dalam republik untuk membebaskan manusia dari absolutisme hegel dan etatisme negara. Pemerintahan yang demokratis itu berpangkal pada legitimasi dan berujung pada legalitas itulah governabilitas.

Govermentality merupakan sebuah cara pandang yang mengkritik degradasi government, mereka mengkritik governance. Governance itu dilucuti oleh govermentality karena governance itu memiliki banyak unsur kejahatan. Govermentality mempunyai saran agar kita semua kembali kepada Government.

Muhammad Rian merupakan mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan angkatan 2019 yang ikut serta dalam diskusi ini mengatakan,”Diskusi ini bagus dan mengulik dari segala aspek yang didasarkan oleh masyarakat khususnya keresahan akademisi umumnya karena melihat tumpang tindih antara disiplin ilmu.”

“Harapan saya untuk diskusi ini tidak hanya sebatas berhenti dalam forum diskusi ini, tapi memang harus dikembangkan lagi karena konsep 5G ini sepenuhnya tidak dipahami dan di ilhami secara bersama pada tatanan masyarakat APMD.” Lanjut Muhammad Rian dalam wawancaranya. (Dan)

78 Tahun Indonesia Merdeka, Bertambah Usia Bukan Semakin Renta, tetapi Semakin Besar dan Kokoh Negaranya

Yogyakarta, 17 Agustus 2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Upacara Bendera dalam rangka Peringatan HUT Ke-78 Republik Indonesia, diikuti seluruh dosen, staff serta perwakilan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Upacara digelar dengan khidmat di alun-alun Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” pada Kamis, 17 Agustus 2023 pukul 7.30 WIB.

Upacara ini merupakan momentum yang tepat dalam membangkitkan semangat patriotisme dalam melanjutkan perjuangan dan pembangunan untuk mewujudkan Indonesia maju, khususnya dalam sivitas akademika Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

Ketua STPMD”APMD” Yogyakarta yaitu Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si  selaku pembina upacara,  dalam amanatnya mengatakan “Usia ke-78 itu bukanlah usia manusia yang akan cepat tua yang kemudian renta, akan tetapi semakin tua sebuah bangsa akan semakin besar dan kokoh.” Bapak Sutoro juga menanggapi tema Peringatan HUT Ke-78 RI, yang berbunyi “Terus Melaju, untuk Indonesia Maju”. Untuk mewujudkan Indonesia Maju, dimulai dari mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana kecerdasan bangsa merupakan pintu masuk dalam menciptakan Negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, makmur, dan sejahtera.

Keadaulatan merupakan eksistensi dari sebuah negara yang telah merdeka. Kemerdekaan merupakan tonggak awal yang dapat mengatur, melindungi, memajukan, serta menciptakan identitas bagi bangsa Indonesia. “Kita hari ini aman dan bahagia merupakan buah dari peristiwa masa lalu. Dimana kemerdekaan merupakan warisan yang harus dijaga oleh setiap warga Negara Indonesia” ujar  Bapak Diasma Sandi Swandaru, S.Sos., M.H. sebagai dosen APMD sekaligus pakar kebangsaan. dalam wawancara.

“Indonesia telah masuk dalam G20 yang artinya Indonesia merupakan salah satu anggota dari negara-negara yang memiliki perekonomian besar di dunia, hal ini telah menetapkan masa depan yang cerah bagi Indonesia. Dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, menciptakan para anak muda yang kreatif, dan memberikan kontribusi positif dapat memajukan bangsa Indonesia,” lanjutnya.

Salah satu mahasiswa yang ikut berpartisipasi adalah Metlyde Da Lopez. Metlyde merasakan kesan yang luar biasa karena ini pengalaman pertama baginya mengikuti upacara di lingkungan kampus dalam rangka memperingati kemerdekaan. “Sebagai mahasiswa kitalah yang melanjutkan cita-cita negera, dimana kita dapat berpikir kritis, ikut bergabung dalam masyarakat serta dapat membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi. Peran kita sebagai anak muda sangat diperlukan untuk kedepannya, yang harapannya kita dapat bermanfaat untuk masyarakat,” ujar Metlyde dalam wawancara. (Nda)

PERLUAS RELASI DENGAN MAGANG, MAHASISWA ILMU PEMERINTAHAN MAGANG DI KPU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Yogyakata. 9/8/2023

HUMAS APMD, YOGYAKARTA – Sebanyak 5 (lima) mahasiswa dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” berkesempatan mengikuti magang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jl. Ipda Tut Harsono No.47, Muja Muju, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Rabu, 9/8 2023)

Magang adalah hal yang sangat bermanfaat terutama untuk mahasiswa dari APMD bernama Irene Bertha Zalukhu, Irene yang notabene sebagai mahasiswi angkatan 2019 yang telah menyelesaikan studi S1 lewat sidang akhir di bulan April kemarin, menggunakan waktu liburan untuk sesuatu yang bermanfaat.

Bermodal dari keingintahuan dan juga semangat kerja kerasnya ia mencari informasi dan relasi untuk magang mengisi waktu luang. Dari salah satu dosen Ilmu Pemerintahan APMD yang juga sebagai tim seleksi komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Bapak Juang Gagah Mardhika, S.IP., M.Sos., Irene melakukan tanya jawab terkait dengan informasi magang di KPU. Banyak mahasiswa dari kampus lain seperti UAD, UKRIM yang juga pernah magang, sekarang APMD menjadi salah satunya.

 Untuk syarat dan ketentuan magang sendiri yaitu menyertakan CV (Curriculum Vitae) berisi identitas, riwayat pendidikan, pengalaman profesional, prestasi dan lainnya, anjuran magang selama 2 (dua) bulan dan mendapatkan sertifikat magang yang diterima di akhir masa magang di KPU DIY. Dengan segala prestasi dan pengalaman profesional terutama dalam bidang Ilmu Pemerintahan, Irene berhasil untuk memenuhi syarat magang yang ditentukan oleh KPU DIY.

Tidak hanya sendirian, Irene juga bersama dengan mahasiwa dari angkatan 2021 yaitu Arviani, Aurin, Putri Gabriel dan Widia. Memilih KPU sebagai tempat untuk magang merupakan hal yang tepat, dari program studi Ilmu Pemerintahan yang belajar juga tentang demokrasi, dan KPU ini salah satu komisi yang mewujudkan tentang demokrasi itu, kuliah sekedar teori, praktek hanya didapatkan disaat kesempatan magang seperti ini, mahasiswa akan di perkenalkan tentang serangkaian proses pemilu, proses calon bisa mendaftar, dan teknis lainnya yang hanya diketahui dari magang.

Ada 3 (tiga) pembagian kerja yaitu bagian hukum dan pemberdayaan, teknis, dan logistik, Irene berada dibagian hukum dan pemberdayaan dan rekan-rekannya mengisi pada bagian lain. Dalam pengalaman Irene selama 1 (satu) bulan magang di KPU DIY ia beserta rekan kerja lainnya melaksanakan program kerja membuat konten kreatif yang berisi video ajakan atau tata cara pemilihan dan segala informasi pemilu yang di muat di sosial media. Dengan perkembangan zaman dan kaum milenial yang semakin melek teknologi membuat terobosan baru untuk informasi yang disampaikan KPU lebih menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Beberapa kegiatan lainnya yaitu ikut dalam rapat verifikasi calon, rapat pleno dan penertiban administrasi serta membuat arsip data dari Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul dan seluruh wilayah di DI Yogyakarta.

Kesan yang didapat Irene dari pengalamannya magang di KPU DIY, “Kita bisa tahu praktek langsung di lapangan seperti apa, bukan soal mencari materi tetapi pengalaman berharganya, bukan hanya sertifikat tetapi itu adalah tiket untuk mewujudkan apa yang diharapkan.” Teman-teman mahasiswa diajak untuk tetap sejalur mencari pengalaman sesuai bidang atau jurusan serta potensi yang dimiliki. Belajar dari pengalaman menjadi staff di KPU DIY juga termasuk harapan Irene untuk meneruskan karirnya di lembaga Pemerintahan. Penulis (Gsn)

Pimpinan dan Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta Mengantarkan Mahasiswa untuk Magang di Bawaslu DIY

HUMAS APMD, YOGYAKARTA ­- Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, mengantarkan 11 Mahasiswa Program Magang selama kurang lebih 2 bulan di Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) DIY, Senin 07 Agustus 2023.

Acara tersebut berlangsung di Kantor Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Jl. DI Panjaitan No.49, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dihadiri oleh Wakil Ketua III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STPMD “APMD”, Ketua Bawaslu DIY, dan beberapa Dosen.

Wakil Ketua III STPMD “APMD” , Tri Agus Susanto, S. Pd., M.Si. Mengatakan, bahwa Ketua Bawaslu DIY dan Jajaran sangat menyambut kedatangan para mahasiswa dan Dosen.

Tri Agus Susanto menyampaikan, “Belajar itu tidak hanya di kampus tetapi juga di luar kampus,  salah satunya di Bawaslu. Jogja ini ada kampus kecil ada kampus besar, kampus kecil ya “APMD”,  kampus besar ya Jogja yaitu bisa belajar di Perpustakaan, di Museum, dan di Bawaslu. Kalian akan menjadi saksi sejarah pelaksanaan pemilu 2024. Kalian selama dua bulan ini menjadi bagian dari sejarah penyelenggaraan pemilu melalui Bawaslu,” Ujar Wakil Ketua III Tri Agus Susanto.

Kegiatan Mahasiswa di Bawaslu dibagi dalam beberapa bidang antara lain bidang Humas, SDM, Pencegahan, dan lain-lain. Dari sinilah mahasiswa akan mendapatkan sebuah pengetahuan baru untuk mengasah skill yang sudah didapatkan di bangku kuliah, bukan hanya mendapatkan sebuah pengetahuan baru melainkan mendapatkan pengalaman yang akan dibawa untuk masuk ke dalam dunia kerja yang sesungguhnya.

Ia mengatakan, program magang dua bulan ini menjadi pembuka wawasan, bahwa belajar itu tidak hanya di bangku kuliah tetapi langsung ke sebuah lembaga yang mengawasi pemilu, jadi bagaimana pengawasan pemilu, mahasiswa menjadi lebih tahu untuk mencegah pelanggaran sebelum terjadi. Karena terjun langsung di lembaga yang bertugas sebagai pengawas pemilu mahasiswa bisa mendapatkan pengalaman yang sangat berharga untuk bekal nanti.

“Kami berharap  ini bukan menjadi yang pertama, ini akan menjadi kerjasama berikutnya. Jadi saya mengusulkan dalam waktu tidak lama lagi akan segera menandatangani MoU antara “APMD” dan Bawaslu untuk kerja-kerja yang lain sehingga tidak hanya magang saja, misalnya apakah penelitian ataupun kegiatan lain yang bisa di rumuskan bersama. Intinya dengan membuka pintu melalui magang itu akan membukakan pintu kerja sama yang lebih besar “APMD” dan Bawaslu di kemudian hari,” Ungkap Tri Agus Susanto.

MERAIH KESEMPATAN DI TENGAH KONDISI KRISIS

Dalam rangka merayakan dan memuliakan Dies ke-54 Sekolah Tinggi yang bersahaja ini,  izinkan saya menyampaikan Pidato Kelembagaan Ketua, dengan menyajikan tema “Meraih Kesempatan di Tengah Kondisi Krisis”, yang sekaligus sebagai tanggungjawab kepengurusan kami selama satu tahun terakhir.

Awal tahun 2020 lalu, kami telah memberikan arah Resolusi 2020, guna memperteguh martabat dan meraih kemajuan progesif Sekolah Tinggi. Tiga butir penting Resolusi 2020 adalah: publikasi dan promosi yang progresif untuk mendongkrak animo masyarakat karena mengalami penurunan pada tahun 2019; memperkaya karya keilmuan sesuai mandat Tridarma; dan merayakan Dies Natalis ke-55 bersamaan dengan Munas Kappemada yang lebih seru dan bertenaga.

Sejumlah langkah konkret sudah kita tempuh pada dua bulan pertama. Tetapi fakta berbicara lain. Untuk tidak mengatakan sebagai hambatan, pandemi global hadir menjadi jeda atas Resolusi 2020. Alhamdulillah, kita terhindar dari penularan Covid-19, tetapi pandemi ini membawa dampak serius terhadap penurunan (decline) pelaksanaan Tridarma, aktivitas kelembagaan, aktivitas kemahasiswaan, animo masyarakat dan mahasiswa baru, maupun penerimaan sebagai basis material Sekolah Tinggi. Produksi pengetahuan, sebagai aktivitas keilmuan yang bebas dan merdeka, tanpa terhalang pandemi, juga mengalami penurunan.

Seperti halnya desa mengalami pandemi BLT, kita juga mengalami pandemi dalam bentuk lain. Pertama, pandemi kuliah daring, yang membikin kerepotan bagi proses belajar mengajar, penugasan, dan penilaian terhadap mahasiswa. Kuliah daring secara direct atau secara streaming sungguh menghadapi kendala teknologi, ekonomi, dan akses sehingga tetap ada mahasiswa yang tercecer. “Kuliah tatap muka membuat hidup saya lebih hidup, tetapi kuliah daring membuat hidup saya tidak hidup”, demikian ungkap Prof. Nasrudin Harahap.

Darurat pandemi membuat mahasiswa menuntut “normalisasi pendekatan darurat”, agar para dosen tidak memberi penugasan dan penilaian yang berat. “Pihak kampus dan dosen tidak peka dengan situasi darurat mahasiswa”, demikian ungkap mahasiswa. Kami memenuhi tuntutan itu, meski ketika berhadapan dengan mahasiswa dalam kuliah, saya selalu mengatakan bahwa “mahasiswa berhak bodoh, tetapi tidak boleh malas dan manja dalam berjuang dan belajar”. Kami terpaksa meminta para dosen untuk melonggarkan dan memudahkan dalam penugasan dan penilaian kepada mahasiswa. Bagi sebagian orang, ini adalah “intervensi” yang memberangus kebebasan akademik. Siapapun boleh mempunyai tafsir seperti itu. Tetapi saya juga memiliki makna lain. Kebebasan akademik adalah bicara dan menulis memproduksi pengetahuan secara merdeka. Penilaian lebih tepat ditempatkan pada dimensi pelayanan, bukan pada dimensi kebebasan akademik, agar tidak terjebak menjadi “kuasa akademik”. Pelayanan dalam penilaian tentu bermakna memudahkan, tetapi melayani dan memudahkan bukan pula terjebak menjadi “gampangan” dan “murahan”. Jika mahasiswa memiliki hasrat untuk memperoleh nilai sempurna, maka mereka harus belajar dan berjuang lebih serius. Inilah pendidikan.

Kedua, pandemi NINA (Nomor Ijazah Nasional), sebuah standar teknokratik, yang harus diterapkan tahun depan. Ijazah tanpa NINA paling lambat November 2020. NINA menjadi pandemi karena ada banyak mahasiswa golongan tua “sisa-sisa laskar pajang” yang membuat keprihatinan dan hiruk-pikuk kampus untuk “menolong” dengan tutup mata agar mereka bisa lolos pada tahun ini.  Dengan begitu, “sisa-sisa laskar pajang” yang ditolong itu tidak mempunyai predikat sarjana yang lulus dengan sukses dan selamat, melainkan sarjana yang lolos dengan maklum.

            Dua pandemi itu memberi kita hikmah tentang “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa. Mungkin ada pihak-pihak berhaluan birokratik yang tidak “mendidik, melayani, dan menolong” mahasiswa, melainkan “mengajar dan mengendalikan” mahasiswa. Ada pula perbedaan antara kaum idealis versus kaum pragmatis. Kaum idealis, yang biasa bicara “apa yang seharusnya”, tentu anti-pragmatisme dan anti-menolong. Mereka bilang bahwa menolong adalah tindakan pragmatis yang membuat institusi menjadi murahan, sekaligus mengeroposkan integritas dan kualitas institusi. Bagi mereka, mahasiswa harus diajarkan dengan standar ideal, agar mahasiswa menjadi lulusan yang berkualitas. Sebaliknya, kaum pragmatis, yang biasa dengan “apa yang mudah untuk dilakukan”, menuding kaum idealis terlalu kaku tidak melihat kenyataan raw material mahasiswa. Kaum pragmatis melayani dan menolong mahasiswa dengan baik, sembari menuding idealisme yang mempersulit itu, bisa membuat mahasiswa rontok dan calon mahasiswa phobia pada Sekolah Tinggi.             Saya ingin mengatakan bahwa cara birokratik — tidak “mendidik, melayani, dan menolong” – itulah yang membuat rontok dan phobia, sehingga harus diakhiri. Di sisi lain, kami memberi arah “realisme-kontekstual” yang menghubungkan secara koheren antara idealisme dan pragmatisme. Kita tidak bisa menerapkan idealisme dan pragmatisme sebagai standar yang standar dan seragam pada setiap mahasiswa.

Idealisme tentu merupakan fondasi dan tradisi pendidikan yang menggembleng, mencerahkan dan membebaskan, agar para mahasiswa menjadi “orang” dan sarjana sujana yang berilmu, kritis, mandiri, dan amaliah. Kalau Sekolah Tinggi pengin kuat dan jaya, maka idealisme harus ditumbuhkan. Sebagai contoh adalah nasehat Prof. Nasrudin Harahap, “Yang membuat mahasiswa menjadi orang bukan selembar ijazah, melainkan ilmu yang dimiliki”. Dari sini, saya hendak membedakan antara “idealisme ilmu” versus “idealisme akademik”.  “Idealisme ilmu” berbicara tentang pengetahuan berlandasankan pada filsafat ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dibangun melalui belajar, penelitian, pendidikan, diskusi, dan lain-lain. Ilmu bersifat tanpa batas, menembus ruang dan waktu, tanpa harus menggunakan standar, yang mengikuti petuah Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”.  Dalam mendidik, kita harus menyuntikkan idealisme ini. Sebaliknya “idealisme akademik” berbicara tentang pengetahuan yang mengalami instrumentalisasi, teknikalisasi dan standarisasi secara teknokratik dalam bentuk kurikulum, proses belajar-mengajar, bahan ajar, metode belajar, teknologi pengajaran, satuan kredit semester, rasio dosen-mahasiswa, ujian, penilaian, indeks prestasi, dan lain. Idealisme akademik juga mengajawantah menjadi kebebasan akademik, kompetensi akademik, kemampuan akademik, gelar akademik, sistem informasi akademik, pedoman akademik, portal akademik, administrasi akademik, dan lain-lain. Semua ini disebut sebagai industri akademik atau academic enterprise, untuk mengarahkan perguruan tinggi sebagai korporasi akademik, yang ingkar pada tradisi “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta doktrin Bung Karno “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Antara idealisme ilmu dan idealisme akademik lebih sering tidak berjalan bersama. Banyak teknokrat bergelar tinggi dan banyak memiliki kemampuan dan prestasi akademik yang sundul langit, dengan TOEFL dan TPA yang tinggi, tetapi memiliki ilmu dan penalaran berkasta rendah, serta miskin amaliah untuk rakyat. Indonesia sangat kaya akan teknokrat, yang berhasil mempengaruhi pemerintah serta membuat kebijakan di segala bidang, tetapi mereka gagal memperkuat daerah, memajukan desa, dan memakmurkan rakyat. Para ranah mikro di kampus, kita juga menyaksikan banyak mahasiswa memiliki indeks prestasi yang menjulang tinggi, tetapi kalau mau jujur, ya hanya sebatas prestasi akademik, bukan reputasi ilmu. Sebaliknya orang-orang seperti saya, merasa memiliki ilmu banyak, tetapi mempunyai kemampuan akademik yang jongkok. Ketika mengikuti TOEFL dan TPA, saya selalu gagal, sehingga saya tidak bakat menjadi teknokrat. Apa yang disebut “standar nasional” bukanlah pengajawantahan dari idealisme ilmu, melainkan penerapan idealisme akademik. Mau tidak mau, suka tidak suka, standar idealisme akademik itu harus dijalankan oleh kampus, tanpa peduli secara serius pada idealisme ilmu. Meskipun Presiden Joko Widodo dan Mendikbud Nadiem Makarim telah melakukan “subversi” atas idealisme akademik, antara lain dengan jargon kampus merdeka, tetapi standar teknokratik tetap berjalan.  Program studi sebenarnya memiliki idealisme ilmu dan otonomi keilmuan, tetapi semua itu mengalami reduksi karena intervensi standar akademik. Standarisasi, misalnya, tidak membuat ketua prodi menjadi “begawan ilmu” melainkan menjadi “mandor akademik”, serupa dengan teknokratisasi yang membuat kepala desa bukan sebagai pemimpin rakyat dan pemerintah yang kuat, melainkan menjadi mandor proyek dana desa.  Tak urung, idealisme akademik yang teknokratik ini, juga bekerja pada ranah relasi antara dosen dan mahasiswa, yang tergelincir menjadi kuasa akademik atas nama kebebasan akademik.

Pertentangan yang terjadi sebenarnya bukan antara antara idealisme ilmu dengan pragmatisme, melainkan antara idealisme akademik dengan pragmatisme, sebab idealisme ilmu telah direduksi oleh idealisme akademik. Idealisme ilmu tidak bisa disebut sebagai standar teknokratik, melainkan sebagai hakekat, tantangan dan cita-cita tanpa batas yang harus diperjuangkan dan diraih. Jika komunitas Sekolah Tinggi, termasuk mahasiswa, masih jauh dari idealisme ilmu, itu adalah tantangan yang harus kita sambut dengan serius. Kita harus melakoni proses untuk menjadi (becoming) terus-menerus sesuai idealisme ilmu.

Pertama, pendidikan adalah mandat dan jalan untuk mencapai idealisme ilmu. Sekolah Tinggi mempunyai panggilan mendidik mahasiswa agar anak-didik ini menjadi orang berilmu, meskipun tidak harus menjadi ilmuwan. Hasrat ingin tahu dan imajinasi anak-didik merupakan hakekat sukses pendidikan, melampaui (beyond) kebiasaan akademik berupa pengajaran, ujian, dan penilaian yang menghasilkan indeks prestasi tinggi. Kedua, program studi dan dosen adalah entitas yang mencari, menebarkan, dan mendidik ilmu kepada mahasiswa. Ilmu bukan sebatas kurikulum, bukan pula kumpulan daftar mata kuliah, yang diampu oleh dosen dan diajarkan kepada mahasiswa. Setiap program studi adalah pemegang disiplin ilmu, yang harus memiliki filsafat ilmu, atau memiliki tubuh pengetahuan yang utuh, untuk dijabarkan ke dalam setiap mata kuliah sampai penulisan karya ilmiah mahasiswa. Dalam hal ini, skripsi bukan sekadar sebagai syarat akademik untuk meraih gelar sarjana sesuai dengan standar akademik, melainkan sebagai proses pembentukan pengetahuan bagi mahasiswa. Setiap skripsi, yang paling dasar, harus duduk sesuai ilmunya. Ini idealisme ilmu yang tidak bisa ditawar. Saya sering cerewet pada komunitas Ilmu Pemerintahan, karena mahasiswa menulis skripsi tidak duduk secara keilmuan, entah menulis skripsi bercorak ilmu politik, administrasi publik, ilmu perkantoran, ilmu pariwisata, atau ilmu pengelolaan (manajemen).

Idealisme ilmu memang dikerangkai dan dijalankan dengan standar-rezim akademik yang juga disebut idealisme itu. Tidak sedikit mahasiswa yang tercecer, atau jauh dari harapan, idealisme ilmu. Namun mahasiswa yang tercecer dari dari idealisme ilmu tidak akan terkena sanksi akademik, kecuali risiko di kemudian hari karena yang bersangkutan tidak berilmu secara memadai. Sebaliknya mahasiswa yang tercecer secara akademik bisa dilihat secara nyata, yaitu mereka yang saya sebut sebagai “sisa-sisa Laskar Pajang”, yang kerap berurusan dengan Wakil Ketua, bahkan melibatkan orang tua untuk bertemu Ketua. Baik idealisme ilmu maupun idealisme akademik, dalam praktik, kerap berjumpa dengan pragmatisme. Idealisme ilmu adalah perbuatan mendidik dan mengetahui. Idealisme akademik adalah perbuatan melayani, mengajar, menguji, menilai, bahkan menghukum, sesuai standar akademik. Pragmatisme adalah perbuatan menolong dengan menurunkan harapan idealisme ilmu dan standar idealisme akademik. Idealisme ilmu, yang tanpa batas itu, bisa dibuat kontekstual dan lentur sesuai kondisi, tetapi tetap harus berproses sampai batas yang tidak bisa ditembus lagi. Inilah mendidik. Idealisme akademik, atau standar akademik yang baku, memang harus dijalankan oleh menjaga integritas (bukan kualitas) dan akuntabilitas, tetapi ketika menghadapi mahasiswa yang tercecer, maka harus ada pertolongan secara pragmatis. Dalam kasus seperti ini, kita tidak boleh kaku dan ketat menerapkan kuasa akademik, melainkan harus dengan siasat. Kami tidak akan campur tangan terhadap penerapan idealisme ilmu, tetapi kami akan campur tangan terhadap penerapan kuasa akademik terhadap mahasiswa yang tercecer. Namun pragmatisme tidak boleh ditaruh di depan mendahului idealisme ilmu dan idealisme akademik. Pragmatisme tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai standar dan menu utama. Kalau pragmatisme menjadi standar dan menu utama, maka kita akan menjadi murahan dan lemah. Ia bukan standar dan menu yang berada di depan, melainkan tindakan afirmatif-residual di tengah atau di penghujung perjalanan, untuk memudahkan dan menolong para mahasiswa tercecer yang tidak sanggup dan lulus mengikuti idealisme.  

Sebagai refleksi kritis saya ingin mengatakan bahwa kita lebih banyak bergulat dengan idealisme akademik ketimbang idealisme ilmu, yang kerapkali berjumpa dengan pragmatisme baik di depan maupun di belakang. Sebagai resolusi baru, kita harus berdiri dan berbuat mendidik idealisme ilmu secara serius-seksama; melayani idealisme akademik secara lentur dan mudah; sekaligus menolong secara pragmatis-afirmatif terhadap mahasiswa yang tercecer dari idealisme.

Animo masyarakat, input mahasiswa, dan penerimaan, yang saya sebut sebagai kemakmuran, sungguh merupakan tantangan serius bagi Sekolah Tinggi. Tahun 2019 lalu input mengalami penurunan 29% dibandingkan dengan tahun 2018, dan menurun lagi 14% pada tahun 2020. Saya selalu mengatakan bahwa input merupakan sebuah misteri, meskipun fakta empirik – seperti kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin ketat, hingga daya beli yang menurun di tahun krisis pandemi – merupakan variabel yang bisa diperhitungkan secara rasional. Misteri bukan bermakna tetuko: sing teko ora tuku-tuku, sing tuku ora teko-teko. Faktanya bisa kita pahami.

Pertama, selama puluhan tahun, input dari Nusa Tenggara Timur selalu menempati ranking satu. Tahun ini, NTT digeser oleh Kalimantan Barat. Apakah ini karena daya beli masyarakat NTT menurun drastis bila dibandingkan dengan daerah lain? Sebaliknya animo dan input dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah justru sedikit meningkat, yang menempatkan DIY pada urutan ketiga setelah Kalimantan Barat. Dengan begitu, daya beli bukan faktor tunggal.

Kedua, meskipun input agregat Sekolah Tinggi mengalami penurunan, tetapi input untuk Prodi Ilmu Komunikasi dan Prodi Magister Ilmu Pemerintahan malah mengalami peningkatan, bahkan Prodi Ilmu Komunikasi menggeser Prodi Pembangunan Sosial. Ketiga, meskipun jalur gethok tular merupakan strategi kearifan lokal yang mujarab, namun fakta juga menunjukkan bahwa input dengan jalur online meningkat secara signifikan. Saya tidak mengatakan gethok tular dan promosi tatap muka itu buruk, tetapi peningkatan jalur online merupakan sebuah gejala positif, yang dalam dunia bisnis disebut diversifikasi:

dari promosi ke reputasi, dari personal ke impersonal, dari mendengar ke mengetahui, dari pendekatan berbasis input ke pendekatan berbasis output, dan seterusnya. Semua ini adalah kekuatan dan kesempatan yang baik dan terbuka bagi Sekolah Tinggi.

Jika input merupakan misteri, maka naluri dan keyakinan merupakan jalan untuk membukanya, tentu dengan kalkulasi rasional, yang mengarah pada inovasi dan diversifikasi. Dalam konteks ini, saya berulang kali mengatakan sejumlah hal dan arah. Pertama, tanpa mengabaikan banyak daerah di seluruh penjuru negeri, DIY dan Jawa Tengah, merupakan ceruk menarik. Dua daerah ini bukan hanya dekat secara fisik tetapi dekat secara sosial dengan  Sekolah Tinggi, karena pergaulan Tridarma kita dari daerah ke daerah serta dari desa ke desa, seiring dengan hiruk-pikuk tradisi berdesa berkat stimulus UU Desa. Kedua, memperkuat pendekatan output dan reputasi untuk keperluan input dan promos, atau yang kerap disebut dengan pendekatan “unjuk gigi”. Perbuatan paling sederhana adalah “iklan yang berkonten, dan konten yang diiklankan”. Ketiga, sesuai dengan yang kedua, kita harus agresif berselancar di dunia maya, bukan hanya menampilkan informasi kegiatan kampus, tetapi menghadirkan (representasi) atas gagasan, pengalaman, dan pengetahuan kita kepada masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah karya buku kita “Mengabdi dan Melayani Desa”, yang akan kita luncurkan segera.

Penurunan input harus kita refleksi sebagai krisis, meski krisis Sekolah Tinggi tidak separah dunia usaha yang babak balur karena pandemi. Kita tetap melayani hak-hak pegawai seperti sedia kala, tidak ada penundaan dan tidak ada pemulangan. Kami merespons krisis dengan rasionalisasi. Rasionalisasi mengandung efisiensi, tetapi efisiensi tidak sama dengan rasionalisasi. Kami memahami rasionalisasi sebagai bentuk penggunaan nalar dalam penggunaan sumberdaya, perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan berbagai aktivitas Tridarma dan pelayanan. Kita gunakan nalar daya-guna, hasil-guna dan tanggungjawab, untuk mengelola anggaran tahun 2020 maupun 2021, membiayai kegiatan penting dan mendesak, yang mendukung-mendongkrak promosi, inovasi, dan reputasi. Publikasi karya keilmuan (gagasan, pengalaman, dan pengetahuan) melalui jurnal, buku, diskusi, media sosial, dan lain-lain merupakan aktivitas penting untuk promosi, inovasi dan reputasi itu.

Di tengah pandemi, kerja kelembagaan Sekolah Tinggi terus berjalan. Sejak Maret, kami menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan kampus sepi seperti kuburan tetapi juga tidak boleh membuat ramai seperti pasar. Kerja dari rumah (work from home) hanya berlangsung singkat dari pertengahan Maret hingga akhir Mei 2020. Sejak Juni hingga sekarang, kita tetap bekerja di kantor, dengan protokol moderat dan semangat sluman slumun slamet; melakukan kerja kelembagaan yang tidak pernah habis. Rapat, sebagai kerja kelembagaan, tidak pernah kendor dilakukan. Sebagai bentuk exercising power, rapat adalah perbuatan komunikasi, koordinasi, konsolidasi, dan eksekusi dalam hal pengaturan dan pelayanan untuk memastikan hak dan kewajiban, maupun mengurai-mengatasi kemacetan administratif (administrative traffic) yang sering muncul. Namun saya selalu mengingatkan bahwa kerja rapat kelembagaan kita jauh lebih banyak-padat ketimbang diskusi pengetahuan. Kalau datang sembilan standar pasti kita akan rapat bertubi-tubi. Saya tidak bermaksud mengatakan rapat kelembagaan tidak penting. Tetapi kalau kita jarang

melakukan diskusi pengetahuan, maka idealisme ilmu kita akan mengalami involusi, yang akan melemahkan reputasi Sekolah Tinggi. Karena kita jarang diskusi, maka keberanian dan kapasitas produksi pengetahuan juga terbatas. Terbukti kerja menulis singkat untuk website juga tidak kunjung hadir, yang karena itu, saya subversi secara cepat dengan Podcast APMD, untuk menebar gagasan, pengalaman, dan pengetahuan.

Akhir kata, meskipun menghadapi krisis, kita sebenarnya memiliki harapan sebagai kekuatan, yang jika kita mau (gelem) dan berani (wani), maka kita bisa (iso) meraih kesempatan yang gemilang di masa depan.  Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang luhur kepada seluruh pegawai yang telah berdikasi dengan loyalitas tanpa batas (satya ananta) kepada Sekolah Tinggi. Juga kepada mahasiswa yang hidup menghidupi dan menghidupkan Sekolah Tinggi. Raihlah kesempatan, kalian adalah masa depan Sekolah Tinggi. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung, melimpahkan ridho, hidayah, dan rahmat kepada kita, keluarga besar Sekolah Tinggi. Aaamiin Allahuma Aamiin.

Demikian,

Timoho, 15 November 2020

Ketua

Dr. Sutoro Eko Yunanto

KKN di Kampung Halaman Peduli Covid-19

Ketua STPMD “APMD” Yogyakarta Dr. Sutoro Eko melepas 158 mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode 53 di Kota Yogyakarta dan 131 peserta di luar Kota Yogyakarta, Rabu 15 Juli 2020. Pelaksanaan KKN tahun ini bertema KKN Peduli  Pandemi Covid-19. Di satu sisi mahasiswa yang tertahan di Yogyakarta, karena Covid-19,  melakukan KKN di Kota Yogyakarta. Sementara yang tertahan di kampung halaman, melakukan KKN di kampung halaman. Tercatat KKN di luar Kota Yogyakarta tersebar di 19 provinsi, 41 kabupaten dan 65 desa.

Sutoro Eko dalam pembekalan menyatakan bahwa KKN merupakan tempat mahasiswa Bergaul dengan rakyat, memupuk kepekaan melihat dengan konkret. Belajar, menetapkan realitas, memahami hubungan pemerintah desa dengan masyarakat. Bagaimana desa menangani Covid-19. Bekerja, jika diminta Desa untuk membantu menangani pandemi Covid-19, mahasiswa berarti mendapat kehormatan. Berdesa, berhubungan, bersenyawa, tak berjarak, memuliakan desa. Tentu mengritik desa juga bisa, mengritik untuk menguatkan.

Mahasiswa KKN harus mampu memahami desa dengan baik. Cara pandang modernis, Barat, Jakarta, memandang desa itu jadul, miskin, bodoh, malas, SDM rendah. Untuk itu solusinya adalah mengelola desa seperti kota. Pandangan strukturalis menganggap desa sebagai situs penindasan. Elit dianggap lalim dan rakus. Tentu saja pandangan  ini terlalu berlebihan. Pendekatan patologis mungkin benar secara ilmiah tetapi bisa gagal secara amaliah. KKN APMD  Yogyakarta merupakan arena melakukan “berilmu dengan beramal, beramal dengan berilmu.” Selain itu, KKN juga ajang mengabdi dengan meneliti dan meneliti dengan mengabdi.

Sutoro Eko menggarisbawahi jika ada sengketa antara pusat dengan daerah maka harus mendukung daerah. Jika ada sengketa daerah dengan desa maka harus mendukung. Jika ada sengketa antara Desa dengan rakyat Desa maka harus mendukung rakyat. “Jangan lupa membuat story telling. Ceritakan gotong royong, solidaritas sosial di desa tempat KKN,” ujar Sutoro Eko.

Yogyakarta, 15 Juli 2020

Open chat
Selamat datang dikampus STPMD "APMD".

Kami dari Penerimaan Mahasiswa Baru siap melayani.

Apakah ada yang bisa kami bantu?