Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Sakpada-pada. Menjaga Kesetaraan di pedesaan Jawa 1850-2010.

Dalam rangka dies natalis ke 54, STPMD “APMD” Yogyakarta mengundang Dr. Pujo Semedi H.Y., M.A. dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia membawakan pidato ilmiah berjudul: Sakpada-pada. Kesetaraan di Pedesaan Jawa 1850-2010.”

Data yang menjadi dasar orasi Pujo Semedi dikumpulkan dari Patungkriyono, Pekalongan Selatan, Jawa Tengah. Melalui pengamatan terlibat dan pemeriksaan arsip dari waktu ke waktu ia bisa mengenali dinamika sosial yang berlangsung di kalangan petani yang sejak akhir abad ke 19 mengalami proses de-peasantrization.

Pada dekade 1950an dulu hanya orang kaya di Patungkriyono yang punya lembu, itupun paling hanya 3 atau 4 ekor lembu kurus. Setengah abad kemudian, setiap rumah tangga petani memiliki rata-rata 3 ekor lembu, sementara dua petani kaya tercatat memiliki 100 ekor lembu. Perubahan ini sama sekali berbeda dengan imajinasi umum seperti yang dibentuk oleh Rhoma Irama pada awal dekade 1980 dulu: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Pilkades sebagai arena de-akumulasi:
Pemilihan kepala desa adalah tontonan “adu jago” harus ada jago yang diadu. Jauh sebelum pilkades warga sudah kasak kusuk siapa dari dusun mereka yang mencalonkan diri. “Ayo Kang, angger sejen rika sapa maning sing mrantasi gawe. Urusan suara aja digawe kuwatir. Inyong kabeh sing bakal ngurus. Pokoke aman,” bujuk rayu warga kepada calon jago.

Pada titik ini pilkades bukan lagi perkara publik nasib pelayanan dan pembangunan desa 6 tahun mendatang, tetapi menjadi perkara pribadi penegakan harga diri mengikuti kredo “Lebih baik mati umuk, daripada mati ngantuk, lebih baik kalah uang daripada kalah uwong, boleh kalah jenang tapi aja nanti kalah jeneng.

Alumni Universitas Amsterdam Belanda itu menyimpulkan, persilangan proses akumulasi dan de-akumulasi, antara semangat elit untuk terus mengakumulasi kemakmuran berhadapan dengan semangat warga biasa untuk menjaga agar mereka tak jauh-jauh amat tertinggal. Ini bukanlah semata-mata peristiwa “lokalisasi politik” yang digerakkan pusat namun juga digerakkan oleh daya internal di dalam desa. @ Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”