Kemah Belajar Kedesaan dan Kerakyatan Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta di Desa Wisata Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul

Sebanyak 30 mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta didampingi para dosen pembimbing mengikuti Kemah Kedesaan dan Kerakyatan mulai dari 28 Januari sampai 2 Februari 2019 di Desa Wisata Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kegiatan ini dirancang untuk membekali mahasiswa dengan nilai, pengetahuan dan ketrampilan agar dapat menghayati nilai-nilai kedesaan mengembangkan pengetahuan/perspektif kedesaan dan trampil dalam mengelola dan memecahkan persoalan kedesaan secara sistematis-logis, kritis dan kreatif.

Mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini harus memenuhi persyaratan yakni telah menempuh tiga semester dan disaring dengan diwajibkan menulis esai bertema mengapa mereka tertarik mengikuti Kemah Kedesaan dan Kerakyatan.

STPMD “APMD” merasa penting membuat kegiatan ini karena ingin menguatkan mazhab desa kepada mahasiswa.
Berdesa menyediakan dua hal: Pertama, desa menjadi basis identitas dan basis sosial untuk memupuk modal sosial yakni tradisi solidaritas, swadaya, kerjasama,, gotong royong yang secara inklusif melampaui batas-batas identitasnya;
Kedua, desa memiliki kekuasaan dan kepemerintahan (governance) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Acara pembukaan berlangsung cukup khidmat yg dihadiri oleh Ketua seluruh Wakil Ketua STPMD APMD, Kepala Desa, Pengelola Desa Wisata, dan para Dosen Pembimbing.
Dalam sambutannya Ketua STPMD “APMD” Dr. Eko Sutoro Yunanto, M.Si mengatakan pemilihan tempat di Desa Nglanggeran ini bukan sekadar pinjam tempat, tetapi ingin belajar di desa.
Sutoro Eko menambahkan dirinya pertama kali belajar desa di Gunungkidul. “Saya diskusi dengan kepala desa dan pegiat desa. Masalah yang paling banyak dibicarakan saat itu adalah air. Ada program pipanisasi, ada pipanya tapi tak ada airnya. Lalu kepala desa berinisiatif dan bergerak dengan jejaring melakukan penanaman pohon besar-besaran,” kata Sutoro Eko. Pada akhirnya, Gunungkidul memanen air. Semua ini tak ada perencanaan yang njilemet.
Sutoro Eko mengenang sembilan belas tahun silam, bertempat di Panggang Gunungkidul, dengan para pegiat desa berkumpul membicarakan desa sembari menyambut fajar baru UU No. 22/1999.

Dengan acara otak atik gatuk ala Jawa memberi kepanjangan DESA menjadi Demokratis, Emansipatoris, Sejahtera dan Adil. Itu adalah makna, etos dan semangat yang dibawa terus sebagai pijakan pemikiran dan gerakan pada tahun-tahun berikutnya.

“Hari ini, bertempat di Nglanggeran Gunungkidul, dalam Kemah Belajar Kedesaan dan Kerakyatan, etos DESA itu kami tuturkan kembali kepada para murid kami. Selama seminggu kedepan kami menyuntikkan dan memompa ideologi dan mazhab desa kepada para murid, baik lewat diskusi maupun jelalah lokal, agar mereka menjadi pewaris yang militan dan progresif,” papar Sutoro Eko.

Kepala Desa Nglanggeran, pak Senen, dalam pembukaan Kemah Kedesaan dan Kerakyatan menyatakan gembira dapat menerima para mahasiswa dan dosen pendamping untuk belajar di desanya. “Belajar memang tidak hanya di kampus saja tetapi harus terjun ke desa,” ujar pak Senen. Ia menjelaskan, Desa Nglanggeran terdiri dari lima dusun dan mempunyai penduduk 2.616 jiwa yang mayoritas atau sekitar 80-90 persen berprofesi sebagai petani. Sebagaian besar tanah yang digarap di desa ini adalah milik Kraton Yogyakarta atau Sultan Ground. Sebagaian lainnya milik petani sendiri. “Silakan belajar bersama dengan Perangkat Desa, Bumdesa, Pokdarwis, PKK dan lain-lain, di sini banyak potensi untuk dikembangkan” tambah pak Senen. (TAS-APMD)