Dua Dosen APMD Menjadi Narasumber Kongres Kebudayaan Desa 2020

Pada 1-10 Juli 2020 serangkaian webinar Kongres Kebudayaan Desa telah digelar. Sejumlah 100 narasumber, 20 moderator dari berbagai keahliahnya masing-masing, mulai dari Papua hingga Aceh. Puluhan ribu peserta juga dari segala penjuru Tanah Air bergabung selama kongres.

Menurut Ketua Kongres Kebudayaan Desa, Ryan Sugiarto, semenjak Covid-19 menyebar ke pelosok Nusantara, orang-orang kota berbondong pulang ke desa. Kota-kota besar yang selama ini didamba demi rupiah luluh lantak. Kembalinya orang-orang ke desa seharusnya jadi lonceng pengingat bagi Indonesia bahwa desa kembali menjadi penyelamat bagi rakyat di tengah badai krisis Covid-19.

Ryan Sugiarto menambahkan, melalui Kongres Kebudayaan Desa siasat kebudayaan dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi. Pandemi mengajarkan sisi positif, manusia dengan segala daya, akal budi, dan kreativitasnya harus mencari ruang “perlawanan” yang lebih baik. Menyerah berarti mengantarkan kematian dan kemanusiaan. Maka, tak ada kata lain selain terus berjuang, dan perjuangan itu harus dimulai dari desa. Sebuah entitas negara paling dekat dengan warganya. Tak ada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan warga selain desa.

Dua dosen Sekolah Tinggi embangunan Masyarakat Desa (STPMD) APMD Yogyakarta, Ketua Sutoro Eko dan dosen Ilmu Komunikasi Tri Agus Susanto ikut menjadi pembicara webinar Kongres Kebudayaan Desa. Sutoro Eko, tampil pada sesi weninar ke13: Hukum dan Politik Desa: Membangun Habitus Politik dan Regulasi yang Memuliakan Martabat Manusia Dalam Tatanan Indonesia Baru. Sementara Tri Agus Susanto menjadi pembicara webinar sesi ke 18 (terakhir): Komunikasi, Media dan Influencer: Merumuskan Kebujakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan Desa menuju Indonesia Baru.

Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta Sutoro Eko menilai desa sejauh ini masih dikelola dengan paradigma kolonial. Desa masih dipandang sebagai entitas yang formalistik, disibukkan dengan urusan administrasi. Pembangunan di desa masih menggunakan cara-cara teknokrasi. Ia mencontohkan bagaimana paradigma teknokrat tak berhasil menyejahterakan desa. “Misalnya keterbelakangan desa harus diselesaikan dengan modernisasi [paradigma teknokrasi]. Tapi sudah lama modernasi gagal menyejahterakan desa,” papar dia.

Padahal, menurut Sutoro Eko, ada misi penting yang diemban pemerintah tak terkecuali desa, “Hakikat pemerintah itu protecting [melindungi] dan distributing (mendistribusi). Protecting misalnya menjaga keselamatan dan kelestarian alam, memproteksi rakyat dari perampasan elit [sumber daya dan sebagainya]. Protecting itu juga bisa soal kesehatan. Distributing misalnya mendistribusi dana desa,” jelas Sutoro Eko.

Sementara itu pada sesi terakhir, melalui Kongres Kebudayaan Desa, Tri Agus Susanto, staf pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta, mengatakan pola komunikasi dalam kepemimpinan memilki peran penting dalam membuat desa bertahan terhadap ruralisasi. “Kalau desa bisa mengelola komunikasinya, sumber dayanya, maka desa bisa bertahan saat pandemi,” ujar Tri Agus (10/7).

Tri Agus menekankan gaya kepemimpinan yang paling sesuai untuk menyiapkan desa menghadapi beragam krisis akibat pandemi adalah kepemimpinan inovatif-progresif yang ditandai dengan mengelola kekuasaan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Tipe kepemimpinan ini membuka seluas-luasnya ruang partisipasi masyarakat, transparan dan akuntabel, yang diharapkan mampu mengajak masyarakat berprakarsa dan berpartisipasi membangun desa sebagai kekuatan ekonomi.

Dari sini, Tri Agus kemudian menyebutkan pola komunikasi yang dipilih juga berfokus pada partisipasi warga. Menurutnya, para pimpinan desa diharapkan menggunakan pola komunikasi kombinasi antara gaya komunikasi khas desa dan kekinian. Kepala desa dalam hal ini merupakan influencer harus memadukan gaya komunikasi yang guyub dan kekinian yang menggunakan media sosial dan cepat tanggap. Pun masyarakat harus ikut berperan aktif dalam pola komunikasi ini. “Warga desa dan para perangkatnya harus membangun komunikasi yang baik dengan menggabungkan komunikasi cara lama yang guyup dengan komunikasi yang baru yang berbasis teknologi,” sambungnya. (dari berbagai sumber)